44
kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan
keinginan karyawan. 5
Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya. Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung
jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan
karyawan ini akan meninggalkan perusahaan.
2.1.4.3 Faktor –Faktor yang mempengaruhi Intention to Leave
Mor barak, Nissli, dan Levin 2001 menambahkan tiga kategori yang menjadi turnover antecedent yaitu, faktor demografis personal dan work-related,
profession perception komitmen organisasi dan kepuasan kerja, dan organizational conditionkeadilan dalam memberikan kompensasi dan budaya
organisasi. 1.
Faktor Demografis Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa usia, tingkat
pendidikan, jenis kelamin, masa kerja, dan level jabatan menjadi prediktor Intention to leave. Individu yang muda dan memiliki pendidikan yang
tinggi cenderung memiliki keinginan yang lebih besar untuk meninggalkan pekerjannya. Hal ini sejalan dengan temuan Leontaridi dan
Ward 2002. Pekerja minoritas yang berbeda gender, etnik, jenis kelamin, atau usia dengan lingkungan tempatnya bekerja memiliki
45
intention to leave yang lebih besar. Sedangkan individu yang memiliki masa kerja lebih lama dan jabatan yang lebih tinggi cenderung untuk tetap
bertahan pada pekerjaannya. Mor barak, Nissli, dan Levin 2001 menambahkan bahwa faktor demografis merupakan prediktor intention to
leave. 2.
Professional Perception Individu yang memiliki konflik nilai dengan organisasi tempatnya bekerja
akan cenderung untuk meninggalkan pekerjaanya. Sedangkan individu yang memiliki kecocokan dengan nilai organisasi tempatnya bekerja
cenderung untuk tetap bertahan pada pekerjaannya. Komitmen organisasi merupakan salah satu prediktor intention to leave. Mowday, Steers, dan
Porter 1979 dalam Mor barak, Nissli, Levin, 2001 menjelaskan bahwa individu yang memiliki komitmen terhadap oraganisasi, nilai organisasi,
dan belief yang sama dengan organisasi cenderung untuk tetap berada pada organisasi tersebut. Semakin tinggi komitmen organisasi semakin
rendah intention to leave pada karyawan. Job satisfaction juga merupakan prediktor yang konsisten terhadap intention to leave dimana semakin
tinggi job satisfaction seorang karyawan, semakin rendah intention to leave yang dimiliki, dan sebaliknya. Miller 2007 dan Cabigao 2009
juga menemukan hasil serupa bahwa terdapat hubungan negatif antara job satisfaction dan intention to leave.
3. Kondisi Organisasi
46
Sebagian besar karyawan pada berbagai sektor organisasi cenderung mengasosiasikan kondisi organisasi dengan job stress. Beberapa
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat jobstress yang tinggi akan cenderung untuk meninggalkan
pekerjaanya. Jobstress sangat berkorelasi dengan turnover, role overload, dan ketidakjelasan deskripsi kerja. Dukungan kerja dari karyawan lain
dan atasan dapat mereduksi tingkat jobstress pada karyawan. Leontaridi dan Ward 2002 menambahkan bahwa job stress merupakan determinan
dari intention to leave pada pekerjaan. Hal ini lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki Avey, Luthans, dan Jensen 2009
memiliki hasil penelitian yang serupa, Yaitu job stress memiliki hubungan positif yang signifikan dengan intention to leave. Semakin tinggi job
stress pada individu, semakin tinggi pula intention to leave pada individu. American Psychological Association 2007, dalam Avey, Luthans, dan
Jensen 2009 mengidentifikasi bahwa pekerjaan yang menjadi sumber utama stres adalah beban kerja yang berat, harapan kerja yang tidak
menentu, dan panjangnya jam kerja. Mobley 1986 dalam Rodly 2012 menyatakan bahwa banyak faktor
yang menyebabkan karyawan berpindah dari tempat kerjanya namun faktor determinan keinginan berpindah diantaranya adalah :
1 Kepuasan Kerja
Pada tingkat individual, kepuasan merupakan variabel psikologi yang paling sering diteliti dalam suatu model intention to leave. Aspek kepuasan yang
47
ditemukan berhubungan dengan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi meliputi kepuasan akan upah dan promosi, kepuasan atas supervise
yang diterima, kepuasan dengan rekan kerja dan kepuasan akan pekerjaan dan isi kerja.
2 Komitmen organisasi
Karena hubungan kepuasan kerja dan keinginan menginggalkan tempat kerja hanya menerangkan sebagian kecil varian maka jelas model proses intention
to leave karyawan harus menggunakan variabel lain di luar kepuasan kerja sebagai satu-satunya variabel penjelas. Perkembangan selanjutnya dalam studi intention to
leave memasukkan konstruk komitmen organisasional sebagai konsep yang turut menjelaskan proses tersebut sebagai bentuk perilaku, komitmen organisasional
dapat dibedakan dari kepuasan kerja. Komitmen mengacu pada respon emosional affective individu kepada keseluruhan organisasi, sedangkan kepuasan mengarah
pada respon emosional atas aspek khusus dari pekerjaan. Menurut Griffet 1995 dalam Rodly 2012 bahwa Hampir semua model
intention to leave dikarenakan oleh tingkat kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang rendah, yaitu :
1 Kepuasan kerja adalah sikap yang paling berpengaruh terhadap intention to
leave. Hasil studi menunjukkan bahwa kepuasan kerja berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri pre withdrawal cognition, intensi untuk pergi
dan tindakan nyata berupa keputusan untuk keluar dari tempat kerja. 2
Komitmen organisasi adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya intention to leave dibanding kepuasan kerja.
48
2.2 Penelitian Terdahulu
Dewi Andriani dan Engkos 2012 melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja terhadap Intention to Leave
pada PT Azda Jaya Perkasa Bogor. Hasil penelitian ini adalah motivasi kerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap Intention to Leave. Oleh
karena itu hal utama yang mendorong karyawan untuk keluar dari perusahaan adalah kurangnya motivasi kerja. Karyawan yang kurang puas kemungkinan besar
akan keluar dari organisasi. Faktor kedua yang mendorong karyawan keluar adalah Kompensasi.
Sondang dan Laksmi 2012 melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Kompensasi dan Pengembangan Karir terhadap Intention to Leave
pada PT APL Indonesia”. Dari hasil analisis data, diperoleh Kompensasi dan Pengembangan Karir secara bersama-sama berkontribusi secara positif dan
signifikan terhadap Intention to Leave Karyawan. Kompensasi secara parsial berpengaruh terhadap Intention to Leave karyawan dan Pengembangan Karir
secara parsial berpengaruh terhadap Intention to Leave Karyawan. Norita 2013 melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Kompensasi
dan Loyalitas Karyawan terhadap Intensi Turnover di PT. Eramart Group Samarinda”. Terdapat pengaruh yang negatif yang menunjukkan adanya korelasi
yang berlawanan antara kompensasi terhadap intensi turnover karyawan di PT. Eramart Samarinda dengan kategori kuat, artinya semakin tinggi kompensasi yang