Kepentingan Nasional Kedaulatan Negara

84

h. Kepentingan Nasional

Disadari bahwa dalam rangka integrasi ekonomi, kepentingan nasional merupakan yang utama yang harus diamankan oleh Negara Anggota ASEAN. Kepentingan kawasan, apabila tidak sejalan dengan kepentingan nasional, merupakan prioritas kedua. Hal ini berdampak pada sulitnya mencapai dan melaksanakan komitmen liberalisasi AEC Blueprint. Dapat dikatakan, kelemahan visi dan mandat secara politik serta masalah kepemimpinan di kawasan akan menghambat integrasi kawasan. Selama ini ASEAN selalu menggunakan pendekatan voluntary approach dalam berbagai inisiatif kerja sama yang terbentuk di ASEAN sehingga group pressure diantara sesama Negara Anggota lemah. Tentu saja hal ini berkonsekuensi pada pewujudan integrasi ekonomi kawasan akan dicapai dalam waktu yang lebih lama.

i. Kedaulatan Negara

Integrasi ekonomi ASEAN membatasi kewenangan suatu negara untuk menggunakan kebijakan fiskal, keuangan dan moneter untuk mendorong kinerja ekonomi dalam negeri. Hilangnya kedaulatan negara merupakan biaya atau pengorbanan terbesar yang ”diberikan’ oleh masing-masing Negara Anggota ASEAN. Untuk mencapai AEC 2015 dengan sukses, diperlukan kesadaran politik yang tinggi dari suatu negara untuk memutuskan ”melepaskan” sebagian kedaulatan negaranya. Kerugian besar lainnya adalah seperti kemungkinan Universitas Sumatera Utara 85 hilangnya peluang kerja di suatu negara serta kemungkinan menjadi pasar bagi Negara ASEAN lainnya yang lebih mampu bersaing. Universitas Sumatera Utara 86

BAB III Analisis Posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan

menggunakan Perspektif Realisme

3.1 Pergeseran Esensi Politik Bebas-Aktif

Terkait pada masalah hubungan internasional Indonesia, tentu saja termakhtub dalam politik luar negeri Indonesia yang memiliki prinsip bebas-aktif, apabila dikaji dari aspek aktualisasinya saat ini, relevan dengan apa yang disampaikan oleh Marshall Clark dalam jurnalnya yang berjudul Indonesia Post- colonial Regional Imagin ary :from a ‘neutralist’ to ‘all-direction’ Foreign Policy yang menyatakan bahwa, 35 Finally, I argued that Southeast Asia’s postcolonial condition – which is as much a product of globalization and the crisis or ‘hybridity’, to borrow postcolonial parlance of the nation-state as it is a product of the traumas of European colonialism – is also an impulse that must be reckoned with. Although pre-colonial indigenous concepts and practices have been used to conceptualize and describe regional relations in the region, such as the concept of Indonesia being part of a pan- Malay Nusantara or ‘Archipelago’, the immediate post-independence period was dominated by discourses such as nationalism, decolonization, and the anti- Westernism of Indonesia’s first president, Sukarno. The New Order foreign policy orientation was focussed on endorsing the formation of ASEAN in 1967, in a new 35 Marshall Clark, Indonesia Post – Colonial Regional Imaginary : a ‘neutralist’ to ‘all-direction’ foreign policy. Cambridge University Press : 2011, Cambridgeshire. Japanese Journal of Political Science 12 2 hal. 302 Universitas Sumatera Utara