Sejarah Pilkada di Indonesia

23

BAB II POLA PEMILIHANKEPALA DAERAH DI INDONESIA

2.1 Sejarah Pilkada di Indonesia

Pilkada di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dengan mekanisme yang berbeda-beda, ada yang menggunakan pola penunjukkan, pilkada melalui DPRD, dan pilkada secara langsung.Pilihan masing-masing pola tersebut sangat bergantung pada pemegang kekuasaan.Pergantian pemegang kekuasaan maupun masuknya rezim baru dalam suatu kekuasaan memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pilkada selama ini.Masing-masing penguasa atau rezim mengambil kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda. 40 40 Joko. J. Prihatmoko, Pilkada Langsung, Pustaka Pelajar, Semarang, 2005 Hal. 37 Perjalanan pelaksanaan pilkada di Indonesia apabila dikaji secara historis dibagi menjadi 3 zaman.Hal ini berdasarkan zaman sebelum Indonesia merdeka sampai memperoleh kemerdekaan. Berikut ini penjelasan 3 zaman tersebut : Eksistensi pilkada di Indonesia dibagi menjadi 3 zaman, yaitu antara lain sebagai berikut : a. Kepala Daerah Pada Zaman Belanda b. Kepala Daerah Pada Zaman Jepang c. Kepala Daerah Zaman Indonesia Merdeka a. Pilkada Pada Zaman Belanda 24 Pada zaman Belanda, pengaturan tentang pemerintahan di daerah umumnya dibedakan menjadi 2 bagian yang saling terkait satu sama lain. Pertama, daerah Jawa dan Madura.Kedua, daerah di luar Jawa dan Madura seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya.Pembagian wilayah ini dimaksudkan untuk membagi sebagian kewenangan yang dimiliki pusat kepada daerah-daerah. Ada beberapa tingkat-tingkat pemerintahan dalam zaman Belanda yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Daerah Jawa dan Madura Tingkatan pemerintahan di Jawa dan Madura pada masa kolonial Belanda terbagi dalam beberapa tingkatan, yang dapat dikelompokkan menjadi pemerintahan pangreh praja dan pamong praja.Pemerintahan pangreh praja pada tingkat tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur.Selanjutnya, tiap-tiap provinsi dibagi menjadi Karesidenan yang dipimpin oleh Residen.Tiap-tiap Keresidenan dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Afdelling yang dipimpin oleh Asisten Residen.Dalam pemerintahan pamong praja, terdiri dari Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati.Kemudian tiap Kabupaten dibagi menjadi beberapa Kawedanan yang dipimpin oleh seorang Wedana.Tiap-tiap Kawedanan dibagi menjadi Kecamatan yang masing-masing dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana.Kecamatan meliputi beberapa desa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa. 41 41 J.Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah Pola Kegaiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daearh , Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Hal.25 2. Daerah Luar Jawa dan Madura 25 Adapun untuk daerah luar Jawa dan Madura susunan tingkat-tingkat pemerintahan daerah agak berbeda sedikit dibandingkan dengan daerah Jawa dan Madura.Tingkat pemerintahan yang tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur.Tiap-tiap provinsi dibagi menjadi beberapa Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Residen.Tiap-tiap Karesidenan dibagi menjadi beberapa Afdeling yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen.Tiap-tiap Afdeling dibagi menjadi beberapa Onder-Afdeling yang dikepalai oleh seorang Kontrolir.Tiap-tiap Onder Afdeling dibagi menjadi Kewedanan atau District yang dikepalai oleh Wedana atau Demang. Selanjutnya tiap-tiap Kewedanan dibagi menjadi beberapa kecamatan atau Onder-District yang dikepalai oleh seorang Camat atau Asisten Demang dan tiap-tiap Kecamatan meliputi beberapa Desa atau Marga atau Kuria Nagari atau nama lainnya, yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa atau nama lainnya. 42 Pada zaman Belanda dapat dikatakan bahwa praktik penyelenggaraan pilkada sudah dilakukan dengan cara penunjukan secara langsung. Politik kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan menerapkan sistem pemerintah daerah yang bertujuan untuk kepentingan mereka. 43 Untuk tiap-tiap jabatan pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan diatas ,pilkada dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Hal ini terjadi karena tidak Oleh sebab itu, baik untuk daerah Jawa dan Madura atau daerah luar Jawa dan Madura, jabatan-jabatan Gubernur, Residen, Asisten Residen dan Kontrolir dipegang dan dijabat langsung oleh orang-orang Belanda, sedang untuk jabatan-jabatan lainnya seperti Camat dan Kepala Desa diberikan kepada pribumi bangsa Indonesia untuk mendudukinya. 42 Ibid 43 Joko. J. Prihatmoko, Op.Cit Hal. 40 26 ada mekanisme dan persyaratan yang jelas dalam rekrutmen jabatan untuk pemerintahan di daerah.Mekanisme pengisian jabatan dalam tingkat-tingkat pemerintahan zaman Belanda dilakukan dengan sistem penunjukkan langsung oleh Belanda melalui Gubernur Jenderal untuk menempati posisi kepala pemerintahan di daerah-daerah dan memberi beberapa posisi kepada pribumi melalui sejumlah kewajiban. 44 Kewajiban pribumi yang akan menduduki jabatan dalam pemerintahan yakni harus memberikan upeti. 45 Setelah zaman Belanda berakhir maka Jepang berkuasa atas Indonesia untuk menjalankan pemerintahan.Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Jepang memaklumatkan 3 Osamu Sirei, yang dalam teks berbahasa Indonesia disebut dalam ejaan aslinya Oendang-Oendang b. Kepala Daerah Pada Zaman Jepang 46 . Ketiga Oendang-Oendang itu adalah Oendang-Oendang Nomor27Tahun 1902 Tentang Peroebahan Pemerintahan; Oendang-Oendang Nomor28 Tentang Atoeran Pemerintahan Syuu; dan Oendang-Oendang Nomor30 Tahun 1902 Tentang Mengoebah Nama Negeri dan Nama Daerah. Undang-undang 47 ejaan sekarang sebagaimana telah dijelaskan merupakan landasan hukum bagi pemerintahan Jepang untuk menjalankan kekuasaan. 48 44 Kalau dicermati proses penentuan kepala daerah tersebut sesungguhnya dalam proses tersebut tidak terjadi pilkada namun yang dilakukan adalah penerapan pola penunjukkan langsung. 45 Ibid 46 Penggunaan terminologi oendang-oendang dibuat berdasarkan ejaan asli yang berlaku pada zaman penjajahan di Indonesia. 47 Penulisan undang-undang yang memiliki kesamaan makna dengan “oendang-oendang” berdasarkan pada ejaan yang telah disempurnakan 48 Joko J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 42 27 Pada zaman Jepang yang menggantikan penjajahan di Indonesia dari Belanda, Jepang masih meneruskan asas dekonsentrasi 49 sebagaimana dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda.Asas ini dilaksanakan Jepang dengan mengadakan perubahan-perubahan dalam praktik penyelenggaraannya. Perubahan yang jelas terlihat ialah tentang nama daerah beserta pejabatnya diganti dengan Bahasa Jepang, jabatan yang semula diduduki oleh orang-orang Belanda digantikan oleh para pembesar Jepang, sedangkan bangsa Indonesia hanya diberikan kesempatan sedikit mungkin. Wilayah provinsi beserta gubernurnya baik Jawa maupun di luar Jawa dihapus, serta Afdelling beserta asisten residennya untuk wilayah Jawa dihapus. 50 Sistem pengangkatan danatau penunjukkan sebagaimana telah dijelaskan diatas dilakukan secara hierarkis.Hal ini mengakibatkan sistem rekrutmen Kepala Daerah tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan masa zaman Belanda. Seperti halnya saat pemerintah Belanda menguasai wilayah Indonesia dan memegang kekuasaan atas pemerintahan, sistem rekrutmen Kepala Daerah saat zaman Jepang mengabaikan nilai-nilai demokrasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan tiap-tiap pejabat yang akan diangkat danatau ditunjuk oleh penguasa Jepang selaku pemerintah pusat. 51 49 Makna dekonsentrasi dapat ditemui definisinya di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 Pasal 1 angka 9 UU tersebut memberikan makna dekonsentrasi sebagai pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, danatau kepada gubernur dan bupatiwalikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Makna dekonsentrasi secara umum dapat kita pahami sebagai pelimpahan wewenang kepada daerah oleh pemerintah pusat untuk menjalankan pemerintahan. Lihat. J.Kaloh. Op.Cit hal 29 50 Ibid 51 Joko J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 45 28 c. Kepala Daerah Pada Zaman Kemerdekaan Kepala Daerah pada zaman ini dibagi menjadi 3 bagian besar yakni : era orde lama, era orde baru, dan era reformasi. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang ketiga era tersebut. 52 Produk hukum yang melandasi berlakunya sistem pemerintahan daerah dalam orde baru ialah undang-undang.Undang-undang pertama yang diterbitkan pada masa kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.Undang-Undang ini bermaksud mengubah sifat Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang diketuai oleh Kepala Daerah. Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : “Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya”. 1. Era Orde Lama 53 Dalam poin penjelasan dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa Kepala Daerah juga sebagai Komite Nasional Daerah yang hendak menjadi Badan Legislatif 54 . Selain itu seorang Kepala Daerah harus menjalankan fungsi sebagai wakil Badan Perwakilan Rakyat Daerah. 55 52 Ketiga era ini didasarkan pada era yang pernah berlangsung di Indonesia setelah masa pendudukan zaman Belanda dan zaman Jepang. 53 Lihat pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah 54 Lihat bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah 55 Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah 29 Dalam pasal sebagaimana telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala Daerah duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Berkaitan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepala Daerah pada masa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 adalah Kepala Daerah yang diangkat pada masa sebelumnya yakni masa pendudukan Jepang. Akibat berbagai situasi yang muncul, seperti situasi politik, keamanan dan hukum ketatatanegaraan pada saat itu maka Kepala Daerah diangkat begitu saja untuk menjamin berlangsungnya pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan pusat yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI sekaligus mencegah kekosongan jabatan dalam pemerintahan. 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 hanya berusia 3 tahun. Pada tahun 1948, lahir penggantinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945. 57 Pada masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah diusahakan untuk mengadakan keseragaman antar Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia.Secara hierarki, pada saat berlakunya undang-undang tersebut, wilayah Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan. Dalam pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa : “Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten Kota besar dan Desa Kota kecil negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Salah satu hal diatur dalam undang-undang tersebut adalah peran Kepala Daerah dalam mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 58 56 Joko. J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 47 57 Undang-UndangNomor22 tahun 1948 ini terdapat dalam Lembaran Negara .. Tambahan Negara .. 58 Untuk selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan disingkat menjadi DPRD dan Dewan 30 Pemerintah Daerah 59 serta berhak menahan pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil oleh DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. 60 Undang-undang sebagaimana telah dijelaskan menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh dan dari DPRD.Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.Kepala Daerah bertugas mengawasi pekerjaan DPRD dan Pemerintah Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 18 ayat 1 yang berbunyi Hal ini ditegaskan dalam pasal 36 ayat 1 undang-undang tersebut, yakni bahwa : “Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dan berhak menambah dijalankan putusan- putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, bila dipandangnya putusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan undang-undang atau peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan daerah yang lebih atas, bila putusan-putusan itu diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah di bawah Propinsi”. 61 Presiden juga berwenang mengangkat Kepala Daerah Istimewa, sebagaimana tercantum dalam pasal 18 ayat 5 yang menyatakan bahwa : “Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi” 62 59 Untuk selanjutnya Dewan Perwakilan Daerah akan disingkat menjadi DPD 60 J.Kaloh, Op.Cit,Hal. 32 61 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 62 Ibid, Pasal 18 ayat 5 “Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan dan dengan mengingat adat- istiadat daerah itu”. 31 Sementara itu, Menteri Dalam Negeri berwenang mengangkat Kepala Daerah Kabupaten atau Kota.Calon Kepala Daerah diusulkan oleh DPRD. Dalam pasal 18 ayat 2 disebutkan : 63 “Kepala Daerah Kabupatenkota besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten kota besar”.Adapun Kepala Daerah Desa atau kota kecil diangkat oleh Gubernur. Dalam pasal 18 ayat 3 disebutkan : 64 Pada kenyataannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengalami revisi dan menghasilkan produk hukum baru yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. “Kepala Daerah Desakota kecil diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan DPRD Desa kota kecil”. Satu hal yang menjadi catatan penting dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 ialah undang-undang ini mampu memberikan ketegasan tentang pemisahan antara fungsi eksektutif dan legislatif. Kepala Daerah tidak lagi menjadi ketua DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. 65 63 Ibid, Pasal 18 ayat 2 64 Ibid, Pasal 18 ayat 3 65 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1143 Hal yang menjadi pembeda dalam undang-undang ini dibandingkan dengan undang-undang lainnya terkait pemerintahan daerah ialah adanya tingkatan-tingkatan daerah.Secara hukum tingkatan ini mulai dikenalkan dalam undang-undang ini.Sesuai hierarki, undang-undang ini membagi 3 tingkatan, Gubernur memimpin daerah tingkat I termasuk Kotapraja Jakarta Raya, BupatiWalikota memimpin Daerah Tingkat II 32 termasuk Kotapraja, dan Camat untuk Daerah Tingkat III. 66 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Pemerintah Daerah terdiri atas DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. Pasal 6 ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Kepala Daerah karena jabatannya adalah ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah”. Dalam pasal 2 ayat 1 dikatakan bahwa : “Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan sebanyak-banyaknya 3 tiga tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah sebagai berikut : a. Daerah tingkat ke I, termasuk Kotapraja, Jakarta Raya, b. Daerah tingkat ke II, termasuk Kotapraja, c. Daerah tingkat III. 67 Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 23 ayat 1 68 bahwa “Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dalam undang-undang”.Pada praktiknya undang-undang yang maksudkan untuk memilih Kepala Daerah dalam pasal tersebut belum dibuat.Atas beberapa pertimbangan maka untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Daerah.Selain itu, seorang Kepala Daerah merupakan alat daerah yang menjalankan Pemerintahan daerah dan bertindak kolegial, yaitu bersama-sama dengan anggota Dewan Pemerintah Daerah lainnya. 69 66 Joko.J. Prihatmoko, Op.Cit,Hal 51 67 Lihat pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 68 Lihat pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 69 J.Kaloh, Op.Cit, Hal.33 33 Undang-undang yang selanjutnya berlaku terkait pemerintahan daerah ialah Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965. 70 Di dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 mengatur tentang Kedudukan Kepala Daerah baik sebagai alat pemerintah pusat maupun sebagai dan alat pemerintah daerah. 71 Sebagai alat pemerintah pusat, Kepala Daerah menjadi pemegang kebijaksanaan politik di daerahnya dengan mengindahkan wewenang yang ada pada pejabat-pejabat sebagaimana diatur berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan pemerintah pusat di daerah antara jawatan-jawatan tersebut dengan pemerintah daerah melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah dan menjalankan tugas-tugas yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. 72 Perkembangan politik yang terjadi dalam masa peralihan dari orde lama ke orde baru telah membawa nuansa baru dalam kepemimpinan Kepala Daerah. Hal ini tentu membawa nuansa baru dalam kepemimpina Kepala Daerah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Berlakunya undang-undang sebagaimana telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala Daerah masih dipilih oleh DPRD yang pengangkatannya dilakukan oleh Presiden dalam wilayah daerah tingkat I. Daerah tingkat II pengangkatan Kepala Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.Selanjutnya, Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I melalui persetujuan Menteri Dalam Negeri. 2. Era Orde Baru 70 1965 tentang Pokok-Undang-Undang Nomor8 tahun Pokok Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2778 71 Ibid 72 Ibid 34 Pokok Pemerintahan di Daerah. 73 Dapat dikatakan bahwa produk hukum yang lahir pada era ini memuat tentang mekanisme pemilihan calon Kepala Daerah yang dalam hal ini masih dilaksanakan oleh DPRD namun pengangkatan dan pemberhentiannya berbeda secara hierarki. 74 Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor5 Tahun 1974, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan berarti sebab DPRD memegang komando dalam melaksanakan pemilihan dan pencalonan Kepala Daerah. Pemilihan dan pencalonan Kepala Daerah tercantum dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa : 75 Kemudian ditambahkan dalam pasal 16 ayat 1 bahwa “Kepala Daerah tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 tiga orang dan sebanyak-banyaknya 5 lima orang yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRDpimpinan fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri” 76 73 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037 74 Suharizal, Op.Cit,Hal.16 75 Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah 76 Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah : “Kepala Daerah tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 tiga orang dan sebanyak-banyaknya 5 lima orang yang telah dimusyawarhkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRDpimpinan fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Untuk selanjutnya, Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan 35 oleh Menteri Dalam Negeri.Mekanisme diatas menggambarkan bahwa pilkada dilakukan secara hierarki. 77 77 Ibid 36 3. Era Reformasi Di era reformasi sampai saat ini telah terdapat beberapa undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut ialah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah beberapa kali dieubah dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, serta Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, 78 pilkada pilkada 79 dilakukan dengan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. DPRD masih memiliki kewenangan yang cukup besar dalam menentukan Kepala Daerah serta wakil Kepala Daerah. Pengaturan tentang pengisian Kepala Daerah terdapat dalam pasal 34 ayat 1 yang menyebutkan bahwa : 80 “Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan”. Selanjutnya pada ayat 2 dikatakan : 81 Dalam perjalanan era reformasi, berbagai kelemahan dalam Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. ”Calon Kepala Daerah dan calon wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”. 82 78 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839 79 Untuk selanjutnya, penulisan pilkada akan ditulis dengan Pilkada 80 Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 81 Ibid, Pasal 34 ayat 2 82 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437 Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pilkada tidak 37 lagi dilakukan oleh DPRD namun telah berubah menjadi sistem pemilihan langsung dimana rakyat selaku pemegang kedaulatan berperan secara aktif dalam melaksanakan pemilihan. Pasal 24 ayat 5 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan ayat 3 dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. 83 Selanjutnya dalam upaya untuk memperbaiki pola demokrasi di Indonesia maka sejak tahun 2008, pemerintah bersama DPR telah menyetujui dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.Undang-Undang tersebut merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 56 ayat 1 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Hal ini memberikan perubahan dalam pelaksanaan pilkada yang berbeda dengan yang pernah dilakukan sebelumnya. 84 Pada perkembangan selanjutnya, lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Pada pengaplikasiannya, pasangan calon sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 56 ayat 1 diusulkan atau didaftarkan oleh partai politik atau non partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang. 85 83 Pasal 24 ayat 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 84 Pasal 56 ayat 1Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 85 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 Undang-undang tersebut tidak mengatur secara jelas tentang pilkada.Hal ini bisa terlihat dalam pasal-pasal dalam undang-undang sebagaimana telah disebutkan diatas tidak memberi penjelasan tentang mekanisme dalam 38 memilih Kepala Daerah.Dalam pasal 62 dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai pilkada diatur dengan undang-undang”. 86 Pilkada secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan daerah yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945. Pilkada secara langsung muncul sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kepastian pilkada secara langsung terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada bagian penjelasan angka 4 “Pemerintahan Daerah” yang berbunyi sebagai berikut : Undang-undang yang dimaksud dalam pasal tersebut mengacu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu.Undang-undang tersebut memberi pesan bahwa rakyat masih berperan dalam memilih Kepala Daerah di daerahnya.

2.2 Lahirnya Pilkada Secara Langsung

Dokumen yang terkait

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

2 84 93

Pemetaan Daerah Pemilihan

0 52 7

Kebijakan Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus: Kebijakan Partai Demokrat Dalam Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013-2018)

0 51 95

Peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012)

2 58 135

Etnisitas Dan Pilihan Kepala Daerah (Suatu Studi Penelitian Kemenangan Pasangan Kasmin Simanjuntak dan Liberty Pasaribu di Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir)

3 45 67

Perilaku Memilih Birokrat Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010

1 48 200

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004

2 56 119

Peranan Komisi Pemilihan Umum dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Untuk Meningkatkan artisipasi Politik Masyarakat (Studi pada Kantor Komisi Pemilihan umum Tapanuli Utara)

16 168 113

BAB II POLA PEMILIHANKEPALA DAERAH DI INDONESIA 2.1 Sejarah Pilkada di Indonesia - PenerapanElectronic Voting Sebagai Perwujudan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - PenerapanElectronic Voting Sebagai Perwujudan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia

0 0 22