49
BAB III ELECTRONIC VOTING
3.1 Landasan Hukum
3.1.1 Putusan Mahkamah Konstitusi No: 147PUU-VII2009
Pada 5 November 2009, Bupati Jembrana beserta jajaran kepala desa mengajukan pengujian pasal 88 ke Mahkamah Konstitusi terkait konstitusionalitas
pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal pelaksanaan suatu pemilihan dengan metode e-voting. Para pemohon
ialah Bupati Jembrana I Gde Winasa beserta 17 kepala dusun di lingkungan Kabupaten Jembrana.
111
Bahwa berdasarkan pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yakni “Pemberian suara untuk Kepala Daerah dan wakil Kepala
Daerah dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara”.
112
Pada kenyataannya pasal ini bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sesuai pasal 28 C ayat 1 UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa “ setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia”.
113
111
Para pemohon dengan surat permohonannya bertanggal 5 November 2009 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 November 2009 dengan registrasi
Perkara Nomor 147PUU-VII2009.
112
Pasal 88 Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
113
Pasal 28 C Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kemudian ditambahkan lagi dalam ayat 2 bahwa “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam meperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”.
50
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan perkara Nomor 147PUU- VII2009 menyatakan bahwa :
a. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian b. Menyatakan pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah konstitusional bersyarat terhadap pasal 28 C ayat 1 dan ayat 2 UUD NRI 1945 sehingga kata “mencoblos” dalam pasal 88 Undang-
Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan pula menggunakan metode e-voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut :
1. tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil 2. Daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi,
pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi maka ada beberapa hal penting yang patut dijadikan sebagai pertimbangan penggunaan metode e-voting.
Pertama, pemberian suara yang dilakukan dengan cara “mencentang” salah satu calon dalam suatu pemilihan sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas
pemilu yang Luber dan Jurdil tidak mengurangi keabsahan karena masih dalam batas yang wajar. Demikian juga dengan cara lain seperti e-voting adalah
konstitusional sepanjang tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
114
114
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 147PUU-VII2009, dibacakan tertanggal 30 Maret 2010, hlm. 43
Mahkamah Konstitusi menyatakan makna “mencoblos” dalam pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
dapat diartikan pula sebagai metode e-voting.
51
Kedua, inovasi baru dalam pengambilan serta pemungutan suara dengan e- voting
apabila dilaksanakan sesuai amanat Mahkamah Konstitusi dapat mengurangi kelemahan dalam pengambilan serta pemungutan suara dengan
pencoblosan atau pencontrengan. Selain itu, dampak penerapan e-voting akan membuat suatu Pilkada semakin efektif dalam penyelenggaraan dan efisien
terhadap penggunaan anggaran. Ketiga, penggunaan metode e-voting
juga lebih menjamin penyelenggaraan Pilkada berjalan sesuai dengan asas-asasnya dibandingkan
dengan mencoblos atau mencontreng. Prinsip yang digunakan juga sederhana, pertama adalah memiliki KTP ber-chip dimana semua database seseorang akan
disimpan, termasuk sidik jari.Itulah sebabnya kartu pemilih dan tinta tidak perlu dipergunakan karena pemilih hanya bisa sekali melakukan pemberian suara
karena sistem akan melakukan blok terhadap seseorang yang melakukan dua kali pemberian suara. Hal ini jelas meminimialisir kecurangan yang biasa terjadi
dalam pemilihan dengan mencoblos atau mencontreng. Keempat, penggunaan metode e-voting dapat meniadakan fungsi lembaga
quick count
115
115
Suatu lembaga yang telah ditetapkan untuk memberikan perhitungan hasil suatu pemilihan secara cepat kepada publik
yang menurut penulis tidak perlu dibutuhkan dalam pilkada dengan metode e-voting karena memiliki kedudukan yang hampir sama dengan KPU
dalam hal pengumuman hasil Pilkada. Dengan adanya metode e-voting peran lembaga quick count tidak diperlukan lagi karena sudah ada e-voting yang
menjanjikan penghitungan dan penayangan hasil dalam pemilu yang cepat dan akurat. .
52
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan para pemohon untuk melaksanakan e-voting seperti telah dijelaskan pada
sebelumnya ternyata tidak serta merta mencabut Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dicabut karena bertentangan dengan Pasal 28 C UUD NRI
1945. Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa apabila pasal 88 Undang- Undang a quo dibatalkan maka tidak ada lagi landasan hukum tentang tata cara
pemberian suara untuk pilkada sehingga dapat menimbulkan kekosongan hukum. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut tetap konstitusional
sepanjang tidak melanggar asas Luber dan Jurdil, dan daerah telah siap dalam hal teknologi , pembiayaan, sumber daya, dan perangkat lunak, maupun kesiapan
masyarakat.
116
Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 konstitusional bersyarat conditionally constitutional,
yaitu konstitusional sepanjang kata “mencoblos” dimaknai termasuk menggunakan metode e-voting.
117
116
Ibid
117
Janedjri M.Gaffar, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, Jakarta:Konpress, 2013, hlm. 103
Berdasarkan hal sebagaimana telah dijelaskan diatas maka Mahkamah Konstitusi telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang berlakunya e-voting
melalui putusan perkara dengan Nomor Register 147PUU-VII2009.Kiranya cara-cara pemberian suara selain dengan pencoblosan dengan pencontrengan
dapat dikuatkan kembali oleh pembentuk undang-undang serta penyelenggara Pilkada.
53
3.1.2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik