54
2. Faktor – Faktor Pendorong Timbulnya Pelacuran
Berlangsungnya perubahan – perubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan
ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya disharmoni, konflik – konflik internal dan eksternal, juga
disorganisasi dalam kelas sosial masyarakat. Peristiwa tersebut di atas memudahkan individu menggunakan pola – pola responsi reaksi yang
tidak lazim digunakan atau penyimpangan dari pola – pola umum yang berlaku.
Dalam hal ini, ada pola pelacuran untuk mempertahankan hidup ditengah – tengah hiruk pikuk alam pembangunan khusunya di Kota Medan.
Adapun faktor – faktor penyebab timbulnya pelacuran tersebut antara lain adalah:
a. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk
menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan dan buta
huruf sehingga menghalalkan pelacuran. b.
Adanya nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks, histeris dan hiper seks, sehingga tidak merasa puas
mengadakan relasi seks dengan satu pria suami.
Universitas Sumatera Utara
55 c.
Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan. Adanya pertimbangan – pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
khusus dalam mendapatkan status sosial yang lebih baik. d.
Aspirasi materil yang tinggi daripada diri wanita dan kesenangan, ketamakan terhadap pakaian – pakaian indah dan perhiasan mewah.
Ingin hidup bermewah – mewahan, tetapi malas bekerja. e.
Kompensasi terhadap perasaan – perasaan imperior. Jadi ada adjustment yang negatif, terutama sekali terjadi pada masa puber dan adolesen. Ada
keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante – tante atau wanita – wanita modern lainnya.
f. Rasa ingin tahu gadis – gadis kecil dan anak – anak puber pada masalah
seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan – bujukan bandit seks.
g. Anak – anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang
menekankan banyaknya tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat, dan norma – norma susila yang dianggap terlalu
mengekang diri anak – anak remaja itu yang lebih menyukai pola seks bebas.
h. Pada masa kanak – kanak pernah melakukan relasi seks, atau suka
melakukan hubungan seks sebelum perkawinan untuk sekedar iseng,
Universitas Sumatera Utara
56 atau untuk menikmati masa indah dikala muda. Atau sebagai simbol
keberanian dan kegagahan telah menjalani dunia seks secara nyata. Selanjutnya gadis – gadis tadi terbiasa melakukan banyak melakukan
relasi seks secara bebas dengan pemuda – pemuda sebaya. Lalu terperosoklah mereka ke dalam dunia pelacuran.
i. Gadis – gadis dari daerah slums perkampungan – perkampungan
melarat dan kotor dengan lingkungan yang immoral, yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang – orang dewasa secara
kasar dan terbuka, sehingga terorganisir mentalnya dengan tindakan tuna susila. Lalu menggunakan mekanisme pelacuran untuk mempertahankan
hidupnya. j.
Oleh bujuk rayu kaum lelaki dan para calo, terutama yang menjanjikan pekerjaan – pekerjaan terhormat dengan gaji yang tinggi misalnya
sebagai pelayan toko, bintang film, pragawati dan lain – lain. Namun pada akhirnya gadis – gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke
dalam bordil – bordil dan rumah – rumah pelacuran. Dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan janji – janji yang diberikan kepada
mereka hingga tidak ada pilihan, akibat rasa malu dan prustasi dari keadaan tersebut, akhirnya tetap menjalankan aktivitas pelacuran
sebagai penghasilan utama.
Universitas Sumatera Utara
57
3. Pelacuran Sebagai Masalah Sosial