Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada Siswa SMA X Medan

(1)

PENGARUH PERSEPSI IKLIM SEKOLAH TERHADAP

KECENDERUNGAN BULLYING PADA SISWA SMA X MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

LIA HAIRANI

101301001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada Siswa SMA XMedan

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperolehgelar kesajarnaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2015

LIA HAIRANI NIM 101301001


(3)

Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada Siswa SMA X Medan

Lia Hairani dan Lita Hadiati Wulandari

ABSTRAK

Bullying adalah suatu tindakan negatif dan agresif atau tindakan yang disengaja atau berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, biasanya terjadi secara berkala. Bullying merupakan tindakan yang kejam dan berdasarkan ketidakseimbangan kekuatan (Sullivan, 2005). Bullying dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah sekolah (Beane, 2008). Situasi, suasana atau atmosfer, suatu karakteristik internal dalam suatu sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain dan mempengaruhi perilaku orang-orang di dalamnya tersebut dikenal sebagai iklim sekolah (Hoy dan Miskel dalam Ulfah, 2009).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying pada siswa SMA X Medan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan populasinya adalah siswa SMA X Medan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 121 orang. Alat ukur yang digunakan adalah skala persepsi iklim sekolah yang disusun berdasarkan 3 aspek dari persepsi iklim sekolah yang terdiri dari 28 aitem dengan reliabilitas sebesar 0,896. Dan skala kecenderungan bullying yang disusun berdasarkan 3 jenis dari kecenderungan bullying yang terdiri dari 38 aitem dengan reliabilitas sebesar 0,889. Hasil dari penelitian ini adalah ada pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying pada siswa SMA X Medan.

Kata kunci: bullying, persepsi iklim sekolah, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)


(4)

The Influence of Perceptions on School Climate against School Bullying Tendencies at SMA X Students

Lia Hairani dan Lita Hadiati Wulandari

ABSTRACT

Bullying is a negative and often aggressive or manipulative act or series of acts by one or more people against another person or people, usually over a period of time. It is abusive and based on imbalance of power (Sullivan, 2005). Bullying is influenced by several factors, one of which is a school (Beane, 2008). Situation, mood or atmosphere, an internal characteristic which distinguishes a school from others and influence the behavior of the people in it are known as school climate (Hoy and Miskel in Ulfah, 2009).

The objective of this study is to determine the influence of perceptions on school climate with bullying tendencies. This study uses a quantitative approach . The population of this study were senior high school students at SMA X Medan. The sampling technique used was simple random sampling with a total sample of 121 students. Measuring instrument used was a scale perceptions of school climate which is based on three aspects of the perception of school climate consists of 28 item with a reliability of 0.896 and bullying tendencies scale which is based on three aspects of bullying tendencies consisting of 38 item with a reliability of 0.889.

The conclusion of this study is that the perceptions of school climate influence bullying tendencies at SMA X Students.

Keywords: bullyings, perceptions of school climate, Senior High School Student (SMA)


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat dan pertolongan-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam peneliti ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dan suri tauladan dalam hidup. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Psikologi

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Pengaruh

Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada Siswa SMA X

Medan”.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta, Ibunda Atun dan ayahanda Nasrun Efendi yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis sejak kecil, mendidik, membimbing, dan selalu memotivasi serta selalu mendoakan penulis dalam setiap aktivitas. Semoga Allah SWT memberikan kebahagiaan kepada keduanya di dunia maupun di akhirat. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada adinda tercinta Subur Sanjaya dan Novri Aldi Khairunnas. Terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama ini. Semoga kita menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi bangsa dan agama. Peneliti juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama peneliti menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, terima kasih banyak atas bimbingan,


(6)

saran, dan arahan yang diberikan kepada saya selama menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi USU ini.

2. Ibu Rr. Lita Hadiati W., M.Pd., psikolog, selaku pembimbing yang telah bersedia memberikan waktu, tenaga dan pemikiran untuk membimbing saya dengan sabar dan memberikan semangat dan saran yang berarti bagi penyelesaian skripsi ini. Terima kasih banyak bu. 3. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.A, selaku dosen pembimbing

akademik yang selalu mengarahkan, membimbing dan memotivasi saya selama menjalani proses perkuliahan.

4. Kepada kak Dian Ulfasari. P, M.Psi, psikolog dan kak Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi, psikolog, selaku dosen penguji pada sidang skripsi tanggal 06 Februari lalu, terima kasih atas kesediaan kakak dalam menguji serta membimbing selama proses revisi skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada saya.

6. Kepada staf administrasi pada bagian kemahasiswaan yaitu: pak Aswan, kak Devi, kak Ari, dan bang Ronal yang telah banyak membantu proses administrasi selama perkuliahan di Psikologi. 7. Kepada Hans Erawan S.Psi yang selalu menjadi motivasi dan

semangat bagi saya, tidak pernah berhenti membantu, mendukung dan membimbing saya selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. Terima kasih bang atas waktu dan pengorbananmu.


(7)

8. Teman-teman seperjuangan: Putri, Mentari, Dyta, Juannita, Ami, Rara, Icha, Dedeg, serta teman-teman angkatan 2010 lain, terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan dalam pengerjaan skripsi ini.

9. Buat kakak dan abang (bang Wanda, kak Irma, dan kak Imel, kak Sari Amanda S.Psi, dll) yang selalu memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini.

10.Semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi generasi yang akan datang. Dengan kerendahan hati, saya meminta maaf kepada semua pihak yang selama ini berhubungan dengan saya jika saya telah melakukan kesalahan baik disengaja atau tidak selama ini.

Medan, Januari 2015


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL...ix

DAFTAR LAMPIRAN...x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kecenderungan Bullying ... 11

1. Definisi Kecenderungan Bullying ... 11

2. Bullying di Sekolah ... 12

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Bullying ... 13

4. Jenis-jenis Kecenderungan Bullying ... 17

B. Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 18

1. Definisi Persepsi ... 18


(9)

3. Aspek-aspek Persepsi ... 19

4. Definisi Iklim Sekolah ... 20

5. Faktor yang Mempengaruhi Iklim Sekolah ... 22

6. Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 24

7. Indikator Pengukuran Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 25

C. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)………...29

1. Pengertian Remaja ... 29

2. Ciri-ciri Masa Remaja ... 30

D. Dinamika Antara Persepsi Iklim Sekolah dan Kecenderungan Bullying .... 32

E. Hipotesis Penelitian ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian yang Digunakan ... 36

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 36

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 38

E. Metode Pengumpulan Data ... 41

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 49

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 52

I. Metode Analisa Data ... 53

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data ... 55


(10)

2. Hasil Penelitian ... 56

a. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 57

b. Hasil Uji Hipotesis ... 58

c. Kategorisasi ... 60

B. Pembahasan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 73 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Kuesioner ... 3

Tabel 2. Blue Print Kecenderungan Bullying... 44

Tabel 3. Blue Print Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 46

Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Bullying Setelah Uji Coba ... 49

Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Bullying Untuk Penelitian ... 50

Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 51

Tabel 7. Distribusi Aitem Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah Untuk Penelitian ... 51

Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 55

Tabel 9. Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkatan Kelas ... 56

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 57

Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ... 58

Tabel 12. Hasil Ringkasan Analisis Regresi ... 59

Tabel 13. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 61

Tabel 14. Norma Kategorisasi Persepsi terhadap Iklim Sekolah ... 61

Tabel 15. Kategorisasi Data Persepsi terhadap Iklim Sekolah ... 62

Tabel 16. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Kecendrungan Bullying... 62

Tabel 17. Norma Kategorisasi Kecenderungan Bullying ... 63


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

Data Mentah Skala Try Out

Data Try Out Skala Kecenderungan Bullying ... 77

Data Try Out Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 81

Reliabilitas Skala Try Out Reliabilitas Skala Kecenderungan Bullying ... 85

Reliabilitas Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah... 93

LAMPIRAN B Data Mentah Skala Penelitian Data Demografik ... 97

Data Penelitian Skala Kecenderungan Bullying... 100

Data Penelitian Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 105

Hasil Pengolahan Data ... 110

LAMPIRAN C Skala Uji Coba ... 114

Skala Penelitian ... 122


(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (dalam Siswanti, 2009). Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif dan jauh dari kekerasan.

Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah saat ini sangat memprihatinkan bagi pendidik dan orang tua. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat bagi anak menimba ilmu serta membantu membentuk karakter pribadi yang positif ternyata malah menjadi tempat tumbuh suburnya praktek-praktek bullying, sehingga memberikan ketakutan bagi anak untuk memasukinya (Usman, 2013).

Dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Menurut American Psychiatric Association (APA) bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif atau jahat yang dimaksudkan untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) hubungan yang melibatkan ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat (dalam Stein dkk, 2006).


(14)

Pada bulan Agustus 2014 lalu, seorang pelajar berusia 16 tahun kelas X SMAN 9 Serua Ciputat Tangerang Selatan dengan inisial CE di-bullying oleh kakak kelasnya di sekolah dengan cara dilepas kancing bajunya serta seragamnya dicoret-coret dengan kata-kata kotor (Ali, 2014). Selain itu kasus yang serupa juga terjadi pada 13 siswa SMA Negeri 70 di Jakarta, para siswa tersebut akhirnya dikeluarkan dari sekolah karena diduga melakukan tindak penindasan atau bullying terhadap adik kelasnya pada Juli 2014 (Marbun, 2014).

Pada sekolah yang berada di kota Medan sendiri tidak terlepas dari bullying yang terjadi di sekolah, seperti yang dikemukakan oleh S, seorang mahasiswa yang pernah magang di SMA X Medan, S mengemukakan:

“Saat kami sedang magang disana banyak siswanya yang berperilaku

kasar kepada temannya, misalnya memukul kepala temannya saat mereka sedang bercanda, walaupun mereka sedang bercanda tetapi kami melihat teman yang dipukul tersebut merasa tidak nyaman dan bahkan meringis

kesakitan” (Komunikasi Personal, 22 Maret 2014)

Peneliti kemudian menyebar kuesioner awal untuk menambah data yang didapat dari asumsi tersebut. Kuesioner diberikan pada 76 siswa dari 3 kelas yang mewakili kelas I, kelas II IPA dan kelas II IPS, kuesioner ini berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai pengertian dan ciri-ciri bullying ini yang sebagian diambil berdasarkan aitem dari Olweus bullying questinnare (Olweus, 2006). Hasil kuesioner tersebut dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:


(15)

Tabel 1. Hasil kuesioner

No Jawaban dari Kuesioner Ya Tidak

1 Sekolah saya pernah terlibat tawuran antar sekolah

17 59

2 Saya pernah berkelahi dengan teman yang tidak disukai

46 30

3 Setelah saya berkelahi dengan teman yang tidak disukai saya merasa senang

26 50

4 Saya pernah mengejek teman yang tidak saya sukai

24 52

5 Saya mengejek teman saya lebih dari sekali 38 38 6 Saya pernah diejek oleh teman-teman saya 66 10 7 Ejekan tersebut membuat saya merasa tersakiti 49 27 8 Ejekan tersebut saya terima lebih dari sekali 47 29 9 Teman saya menjauhi saya karena saya

berbeda dari mereka

26 50

10 Saya pernah mendapat ancaman dan gangguan dari teman saya

30 46

11 Saya pernah melihat teman saya mendapat perlakuan kasar dari teman yang lain

45 31

Jawaban yang diberikan siswa-siswi SMA X tersebut menunjukkan bahwa mereka pernah melakukan bullying dan mengalami bullying. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara pada seorang siswa kelas XI dengan inisial B, B mengatakan:

“Kalau udah pukul-pukulan baru dibawa ke ruangan BP kak, tapi kalau

cuma ejek-ejekan paling cuma dinasehati sebentar aja, terus paling diulangi lagi kak, kawan-kawan kan pada ngejek dia dengan “bencong” jadi udah kebiasaan sih ngejek-ngejek dia kayak gitu, anak yang diejek paling cuma bisa diem aja kak, trus dia nampakku jadi makin bencong kak. (Komunikasi Personal, 29 Maret 2014). Dari wawancara di atas dapat dilihat bahwa fenomena bullying yang tidak disadari guru mengakibatkan efek yang negatif untuk siswa-siswanya, seperti yang disebutkan oleh B bahwa temannya mulai meniru perilaku seperti hal nya ejekan yang Ia terima. Selain itu, sikap guru dalam menangani bullying yang belum jelas memicu munculnya bullying yang berulang-ulang, hal ini sesuai


(16)

dengan pendapat Beane (2008) bahwa tidak adanya prosedur yang jelas mengenai penanganan dan penyelesaiaan kejadian bullying ini merupakan salah satu faktor penyebab munculnya bullying.

Menurut Edwards (2006) bullying paling sering terjadi pada masa-masa Sekolah Menengah Atas (SMA), dikarenakan pada masa ini remaja memiliki egosentrisme yang tinggi. Piaget (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa egosentrisme remaja ditandai dengan ciri-ciri bahwa remaja merasa segala sesuatu masih terpusat pada dirinya, dari sinilah akan munculnya perilaku menyimpang. Perasaan remaja yang meyakini bahwa segala sesuatu berpusat pada dirinya membuat para remaja melakukan tindakan kekerasan seperti bullying (Edward, 2006).

Kebanyakan bullying terjadi secara tersembunyi (covert) dan sering tidak dilaporkan sehingga kurang disadari oleh kebanyakan orang (Glew dkk, 2000). Bullying dapat terjadi di lingkungan mana saja dimana terjadi interaksi sosial antar manusia seperti di sekolah (school bullying). Dalam hal ini bullying di sekolah adalah kasus yang sering dilupakan, padahal bullying di sekolah dapat menyebabkan efek yang sangat serius baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi para korbannya (Rudi, 2010).

Beane (2008) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab munculnya bullying adalah kondisi sekolah, seperti: ketidakjelasan standar perilaku, ketidakkonsistenan metode pendisiplinan, tidak ada kebijakan anti-bullying, tidak ada prosedur yang jelas mengenai penanganan dan penyelesaian kejadian bullying, warga sekolah yang menggunakan sindiran yang menyakitkan, warga


(17)

sekolah yang menghina murid di depan teman-temannya, dan lain-lain. Salah satu faktor yang menyebabkan munculnya bullying yang dikemukakan oleh Beane (2008) terdapat juga pada SMA X dimana hal ini dikemukakan oleh seorang guru BP yang berinisial I, dimana beliau menyebutkan bahwa :

“Bagi kami mungkin anak-anak yang berantam adalah hal yang wajar,

dikatakan tidak wajar apabila telah menimbulkan adu jotos atau keributan. Kami memiliki beratus-ratus siswa di sekolah ini, jadi jika hanya sebatas ejek-ejekan atau sindir-sindiran mungkin kami kurang bisa langsung turun tangan mengatasinya, kami langsung serahkan itu kepada wali kelas masing-masing. Dan baru-baru ini memang kami kecolongan dimana ada dua orang siswi yang sampai jambak-jambakkan hanya karena sindir-sindiran.” (Komunikasi Personal, 29 Maret 2014)

Dari wawancara di atas, peneliti berpendapat bahwa pihak sekolah sudah mengetahui adanya bullying di kalangan para siswanya namun masih mengabaikan keberadaan bullying yang terjadi dan belum adanya kebijakan anti-bullying dari pihak sekolah tersebut, sehingga hal ini menjadi pemicu munculnya bullying pada SMA tersebut.

Astuti (2008) menambahkan bahwa sekolah yang mudah terdapat kasus bullying pada umumnya berada dalam situasi sebagai berikut: pertama, sekolah dengan ciri perilaku diskriminatif di kalangan guru dan siswa. Kedua, kurangnya pengawasan dan bimbingan etika dari para guru dan satpam. Ketiga, sekolah dengan kesenjangan besar antara siswa kaya dan siswa miskin. Keempat, adanya kedisiplinan yang sangat kaku atau yang terlalu lemah. Kelima, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten.

Hal yang diungkapkan Astuti (2008) juga peneliti temukan melalui wawancara kembali kepada seorang murid kelas XII yang berinisial Y, Y


(18)

mengatakan bahwa:

“Di sekolah ini para guru dan siswa sering sekali bercanda kelewat batas kak, kelewat batas yang saya maksud adalah tak jarang guru memukul kepala siswanya yang melanggar peraturan, sehingga dari situ kami merasa bahwa guru saja sudah mengajarkan hal yang tidak baik bagi siswanya, tentu tanpa guru sadari beberapa siswa juga meniru perilaku kasar seperti itu.”

(Komunikasi personal, 18 Februari 2015). Dari wawancara tersebut, peneliti berpendapat bahwa cara guru menghukum para siswa yang melanggar aturan dengan memukul kepala siswanya merupakan bimbingan etika yang tidak tepat dari guru sehingga dapat memicu munculnya bullying pada siswa di sekolah tersebut.

Menurut Thapa (2012) kejelasan aturan tentang kekerasan fisik dan hubungan antar warga sekolah merupakan salah satu aspek-aspek dari iklim sekolah. Iklim sekolah adalah bentuk dasar dari pengalaman orang-orang dalam kehidupan sekolah dan refleksi dari norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, prakter belajar mengajar, dan stuktrur organisasi (Thapa dkk, 2012).

Iklim sekolah juga dapat diartikan sebagai perasaan pribadi setiap anggota sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar (Pintrich & Shunck, 1996).

Pintrich & Shunck (1996) juga menyebutkan bahwa salah satu aspek dari iklim sekolah adalah perasaan aman dan nyaman dalam menuangkan ide, opini dan beraktivitas. Pada SMA X Medan rasa aman dan nyaman dalam menuangkan ide, opini dan beraktivitas itu masih sangat sulit dirasakan oleh siswanya, hal ini peneliti dapatkan dari hasil wawancara dari seorang siswi kelas X yang berinisial


(19)

A, A menyebutkan bahwa:

“Kalau guru nyuruh menjawab pertanyaan yang beliau kasih, saya sering

malas angkat tangan kak, soalnya sering kena ejekin sama teman-teman kalau jawabannya salah, kadang juga ditertawakan rame-rame, jadi biarin aja yang

lain yang jawab kak.” (Komunikasi personal, 18 Februari 2015).

Perasaan yang A alami dalam menuangkan ide dan pendapatnya di dalam kelas yang masih sering mendapat respon negatif dari temannya membuat A merasa tidak nyaman dalam beraktivitas, dan hal ini mempengaruhi iklim sekolah yang dirasakan oleh A tersebut.

Kassabri dkk, (2005) menyebutkan bahwa iklim sekolah yang positif berhubungan dengan rendahnya tingkat korban kekerasan di sekolah. Hal ini juga turut mendukung pernyataan Adam dan Corner (2008) yaitu adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara lingkungan psikososial sekolah terhadap prediksi perilaku bullying.

Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah hal yang subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif ternyata dapat dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013). Persepsi atas kualitas iklim sekolah yang baik, dapat menjaga remaja dari resiko pengalaman peningkatan tingkat emosi dan masalah perilaku seperti bullying (Loukas dkk, 2004).

Menurut Barnes (2012) semakin baik persepsi terhadap iklim sekolah akan semakin rendah tingkat kekerasan (agresivitas) yang terjadi di sekolah. Siswa yang memiliki persepsi yang positif mengenai iklim sekolahnya akan lebih


(20)

mungkin untuk bertindak dan menunjukkan sikap saling peduli terhadap sesama dan mencegah agresivitas dari sesama siswa (Syvertsen, Flanagan & Stout, 2009).

Way dkk (2007) menemukan bahwa ada hubungan antara persepsi siswa terhadap iklim sekolah dengan kecenderungan munculnya masalah perilaku siswa, persepsi siswa terhadap iklim sekolah berkaitan dengan perilaku siswa. Siswa memiliki persepsi tersendiri terhadap apa yang dirasakannya di sekolah. Interpretasi siswa terhadap iklim sekolahnya bisa saja berbeda dengan keadaan sekolah yang sebenarnya.

Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa persepsi terhadap iklim sekolah memiliki hubungan dengan kecenderungan bullying. Melalui penelitian ini, peneliti tertarik untuk melihat adakah pengaruh yang ditimbulkan persepsi terhadap iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying pada siswa SMA X Medan.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying.


(21)

D. Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan akan mendatangkan dua manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah, dan memberikan informasi agar dapat mengembangkan ilmu Psikologi, terutama Psikologi Pendidikan yang berkaitan dengan bullying.

b. Hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan bagi penelitian-penelitian selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan iklim sekolah dan bullying.

2. Manfaat praktis

a. Manfaat bagi sekolah

1) Sebagai masukan untuk mengambil kebijakan-kebijakan mengenai bullying disekolah yang didasarkan pada faktor-faktor penyebab dari bullying itu sendiri.

2) Agar pihak sekolah lebih sadar akan pentingnya iklim sekolah bagi pembentukan perilaku siswa-siswa yang ada didalam sekolah. 3) Agar pihak sekolah yang merupakan sebuah sistem diharapkan

mampu untuk mengawasi dan mengurangi tingkat perilaku siswa-siswanya yang menyimpang seperti bullying.

b. Manfaat bagi siswa sekolah

Agar para siswa-siswi dapat mengurangi tingkat bullying di sekolahnya.


(22)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan berisikan latar belakang masalah diadakannya penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan teori berisikan mengenai tinjauan kritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan, landasan teori yang mendasari tiap-tiap variabel, hubungan antar variabel dan pembentukan hipotesa (hipotesis penelitian).

Bab III : Metode penelitian berisikan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu metode penelitian yang digunakan, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, populasi dan sampel penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan data dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa data dan pembahasan berisikan mengenai analisa data dan pembahasan berisi uraian singkat hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan saran berisikan mengenai kesimpulan berdasarkan hasil penelitian. Kemudian berdasarkan kesimpulan akan diajukan saran bagi penelitian selanjutnya.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kecenderungan Bullying

1. Definisi Kecenderungan Bullying

Dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Bullying diartikan sebagai suatu tindakan negatif dan agresif atau tindakan yang disengaja atau berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, biasanya terjadi secara berkala. Merupakan tindakan yang kejam dan berdasarkan ketidakseimbangan kekuatan (Sullivan, 2005).

Menurut American Psychiatric Association (APA), bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif atau jahat yang dimaksud untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) hubungan yang melibatkan ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat (dalam Stein dkk, 2006).

Selain itu, menurut Rigby (dalam Astuti, 2008) bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecenderungan bullying adalah suatu kecenderungan untuk melakukan tindakan negatif yang dilakukan


(24)

kepada seseorang atau lebih dengan maksud menyakiti orang tersebut yang dilakukan secara berulang-ulang dan disebabkan karena ketidak seimbangan kekuasaan antara kedua belah pihak tersebut.

2. Bullying Di Sekolah

Menurut Rudi (2010) bullying dapat terjadi di lingkungan mana saja dimana terjadi interaksi sosial antar manusia, antara lain di sekolah (school bullying), tempat kerja (workplace bullying), pada internet dan teknologi digital (cyber bullying), lingkungan politik (political bullying), lingkungan militer (military bullying), dan perpeloncoan.

Bullying yang terjadi di sekolah (school bullying) adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

Siswa/siswi yang menjadi korban bullying adalah siswa/siswi yang biasanya cenderung pasif, gampang terintimidasi, atau mereka yang memiliki sedikit teman, memiliki kesulitan untuk mempertahankan diri dan korban bisa juga lebih kecil dan lebih muda. Para siswi pelaku bullying melakukan tindakannya kepada rekan-rekan perempuannya dengan kreatif, dalam kelompok, serta tidak kalah kerasnya dibandingkan para pelaku siswa. Umumnya siswi-siswi yang menjadi korban adalah mereka yang cantik, menarik, anak orang berada, kurus dan tampak lemah, pandai tapi lemah fisiknya dan disayang guru (Siswanti, 2009).


(25)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Bullying

Beane (2008), dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan bullying, diantarany yaitu:

a. Media

Beane (2008) menyebutkan bahwa media memiliki dampak yang cukup signifikan bagi anak-anak saat ini. Beberapa penelitian mengidentifikasikan bahwa anak-anak yang melihat banyak kekerasan di televisi, video, game, dan film lebih sering menjadi agresif dan kurang empati terhadap yang lainnya. Dalam kenyataannya, diantara penelitian yang meneliti kekerasan di televisi melihat terdapat peningkatan pengukuran dari 3% menjadi 15% pada perilaku agresif individu setelah melihat kekerasan di televisi.

Selain itu siaran olahraga yang sering di tayangkan oleh media juga menjadi contoh yang mengajarkan kekerasan pada anak. Beberapa bentuk kekerasan oleh raga tim diantaranya seperti ice hockey, sepak bola, dan rugby. Terkadang media memperlihatkan pemain yang melakukan kekerasan, kontroversial dan agresif. Anak-anak sering memilih pahlawan olahraga tersebut seperti role model atau meniru perilaku mereka (Beane, 2008).

b. Keluarga

Selain media, Beane (2008) juga menyebutkan bahwa orang tua juga memiliki pengaruh terhadap perilaku agresif anak tersebut. Orang tua merupakan role model pertama bagi anak-anak mereka. Tak jarang bahwa penyebab dari munculnya perilaku bullying pada anak ialah datang dari orang tua. Terkadang orang tua merasa bahwa mereka memiliki kendali atas anak-anak mereka,


(26)

sehingga sering kali mereka menggunakan kekerasan untuk membuat anak-anak mematuhi mereka.

c. Teman Sebaya

Beane (2008) menyebutkan bahwa anak-anak mungkin ditolak bukan karena perilaku atau karakteristik yang mereka miliki, namun karena peer group membutuhkan target untuk ditolak. Penolakan tersebut membantu kelompok menentukan batas-batas penerimaan mereka dengan membawa kesatuan dalam kelompok. Dengan kata lain, individu-individu yang ditargetkan menjadi kambing hitam berfungsi untuk kepentingan kepaduan kelompok. Ini adalah salah satu alasan siswa begitu bersemangat untu bergabung di dalam kelompok bahkan ketika mereka tidak sama seperti orang yang ada di dalam.

d. Lingkungan Masyarakat

Salah satu lingkungan yang disebutkan oleh Beane (2008) yang juga mebawa pengaruh besar bagi anak ialah masyarakat, karena bagaimanapun juga anak hidu dan besar di dalam sebuah masyarakat. Apa yang terjadi di masyarakat tempat ia tinggal akan mebawa pengaruh yang sangat signifikan, dimana anak akan belajar untuk berperilaku seperti orang-orang yang ada di dalamnya. Jika anak dibesarkan dalam lingkungan dan nilai masyarakat yang keras, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang keras juga, namun jika anak dibesarkan dalam lingkungan yang bermoral dan baik, maka anak juga akan menjadi pribadi yang bermoral dan baik pula. Lingkungan yang selalu memperlihakan kekerasan pada anak akan mengajarkan kepada anak bahwa perilaku tersebut diperbolehkan untuk dilakukan.


(27)

e. Sekolah

Kemudian lingkungn sosial yng terakhir adalah sekolah. Beane (2008) menyebutkan bahwa kondisi sekolah juga dapat memberi pengaruh terhadap perilaku agresif anak. Beberapa faktor yang terkait diantaranya yaitu:

- Rendahnya moral staf

- Ketidakjelasan standar perilaku

- Ketidakkonsistenan metode pendisiplinan - Buruknya organisasi

- Supervisi yang tidak memadai

- Anak-anak tidak diperlakukan sebagai individu - Tidak memadainya fasilitas

- Kurangnya dukungan untuk murid baru - Tidak ada kebijakan anti-bullying

- Tidak ada prosedur yang jelas mengenai penanganan dan penyelesaian kejadian bullying

- Pengabaian bullying oleh warga sekolah - Kelas yang kacau

- Kurangnya dukungan untuk murid berkebutuhan khusus - Tidak ada ruang untuk aktifitas yang tenang

- Warga sekolah yang menggunakan sindiran yang menyakitkan - Warga sekolah yng menghina murid di depan teman-temannya


(28)

Menurut Ariesto (dalam Mudjijanti, 2011) penyebab terjadinya bullying antara lain:

a) Keluarga

Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah: orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stres, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang. Dari sini anak mengembangkan bullying tersebut.

b) Sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. dan menghormati antar sesama anggota sekolah.

c) Faktor kelompok sebaya

Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak


(29)

nyaman dengan perilaku tersebut. Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku pada korbannya, yang dimaksudkan untuk menggangu seorang yang lebih lemah. Faktor individu dimana kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab timbulnya bullying, Semakin baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan dapat meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

4. Jenis-jenis Kecenderungan Bullying

Kecenderungan bullying dapat dilihat dari jenis-jenis bullying yang dikemukakan oleh Sullivan (2005), diantaranya adalah:

a. Bullying Fisik

Bullying fisik adalah bentuk bullying yang paling nyata dan terjadi ketika seseorang terluka secara fisik, yang meliputi menggigit, memukul, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, mendorong, menjambak, atau bentuk serangan fisik lainnya.

b. Bullying Nonfisik

Bullying nonfisik terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal

1) Bullying verbal meliputi: telepon ancaman, meminta uang atau barang dengan paksa, mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengintimidasi, memberi panggilan nama (name-calling), mencela/mengejek ras, memaki, dan menyebarkan gosip. 2) Bullying non-verbal. Bullying non-verbal dibagi menjadi secara

langsung dan tidak langsung.


(30)

kasar, melihat dengan sinis, menampilkan ekspresi muka yang jahat.

Bullying non-verbal tidak langsung meliputi: mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng, dan membuat orang dibenci oleh orang lain.

c. Merusak Benda Milik Orang Lain

Merusak benda milik orang lain meliputi: menyobek pakaian, merusak buku, menghancurkan, dan mengambil benda milik orang lain.

B. Persepsi Terhadap Iklim Sekolah 1. Definisi Persepsi

Robbins (1996) menyatakan persepsi merupakan suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna kepada lingkungan. Persepsi merupakan upaya mengamati dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian (Chaplin, 1999). Persepsi adalah proses mengatur dan menginterpretasikan informasi sensoris untuk memberikan makna (King, 2010).

Menurut Walgito (1994), persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap ransangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu.


(31)

2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Walgito (1994), diantaranya:

1) Perhatian yang selektif

Individu memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja. Dengan demikian, objek-objek atau gejala lain tidak akan tampil ke muka sebagai objek pengamat.

2) Ciri-ciri rangsang

Rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil; yang kontras dengan latar belakangnya dan yang intensitas rangsangnya paling kuat.

3) Nilai-nilai dan kebutuhan individu

Seorang seniman mempunyai pola dan citra rasa yang berbeda dalam pengamatannya dibanding dengan orang yang bukan seniman.

4) Pengalaman terdahulu

Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi dunianya.

3. Aspek-aspek Persepsi

Beberapa aspek-aspek dalam dunia persepsi menurut Walgito (1994) diantaranya adalah:

1) Sensor sel dasar


(32)

yaitu sifat sensori dasar dari masing-masing indera cahaya untuk penglihatan, bau untuk penciuman, suhu untuk perasa, bunyi untuk pendengaran dan sifat permukaan bagi peraba.

2) Dimensi ruang

Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang). Kita dapat menyatakan atas bawah, tinggi rendah, luas sempit, depan dan belakang. 3) Dimensi waktu

Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu seperti cepat, lambat, tua dan muda.

4) Konteks

Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan yang menyatu. Kita melihat meja tidak berdiri sendiri tetapi dalam ruang tertentu di saat tertentu, letak atau posisi tertentu. 5) Tujuan

Dunia persepsi merupakan dunia penuh arti, kita cenderung melakukan pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang ada hubungannya dengan diri kita.

4. Definisi Iklim Sekolah

Menurut Owens (1995), iklim sekolah adalah suasana lingkungan kerja di sekolah yang dirasakan oleh warga sekolah. Pengertian iklim sekolah tersebut mengandung dua hal penting, yakni pertama, iklim sekolah merupakan persepsi dari para anggota sekolah yang bersangkutan terhadap berbagai aspek yang ada di


(33)

lingkungan sekolah tersebut, baik aspek personal, sosial, maupun kultural. Kedua, iklim sekolah menyangkut afeksi yang membentuk pola perilaku yang selanjutnya menjadi karakteristik sekolah yang mempengaruhi atau membentuk perilaku warga di dalam sekolah.

Iklim sekolah adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar (Pintrich & Shunck, 1996).

Sergiovanni dan Starrat (dalam Hadiyanto, 2004) berpendapat bahwa iklim sekolah merupakan karakteristik yang ada (the enduring characteristics), yang menggambarkan ciri-ciri psikologis (psychological character) dari suatu sekolah tertentu, yang membedakan suatu sekolah dari sekolah yang lain, mempengaruhi tingkah laku guru dan peserta didik dan merupakan perasaan psikologis (psychological feel) yang dimiliki guru dan peserta didik di sekolah tertentu.

Mengutip pendapat Litwin dan Stringer, Sergiovanni dan Starrat (dalam Hadiyanto, 2004) juga mengatakan bahwa iklim sekolah merupakan efek subyektif yang dirasakan (perceive subjective effects) dari sistem formal, gaya informal dari manajer, dan faktor penting yang lain dari lingkungan pada sikap (attitude), kepercayaan (beliefs), nilai (values) dan motivasi (motivation) orang-orang yang bekerja pada suatu lembaga tertentu (sekolah).

Hadiyanto (2004) menyimpulkan bahwa iklim sekolah adalah situasi atau suasana yang muncul karena adanya hubungan antara kepala sekolah dengan


(34)

guru, guru dengan guru, guru dengan peserta didik atau hubungan antar peserta didik yang menjadi ciri khas sekolah yang ikut mempengaruhi proses belajar mengajar di sekolah.

Hoy dan Miskel (dalam Ulfah, 2009) menyebutkan bahwa iklim sekolah adalah situasi, suasana atau atmosfer, suatu karakteristik internal dalam suatu sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain dan mempengaruhi perilaku orang-orang di dalamnya. Iklim sekolah juga dapat diartikan sebagai bentuk dasar dari pengalaman orang-orang dalam kehidupan sekolah dan refleksi dari norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, prakter belajar mengajar, dan stuktrur organisasi (Thapa dkk, 2012).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa iklim sekolah adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah tentang pengalaman personel terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah tersebut yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Iklim Sekolah

Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim sekolah menurut Owens (1991) terdiri dari :

1) Ekologi yaitu lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi, alat elektronik, dan lain-lain.

Sekolah adalah lingkungan sosial bagi anak/siswa, dimana di dalam sekolah terjadi proses interaksi baik siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru.


(35)

Di dalam sekolah juga terjadi kontak secara fisik dimana siswapun akan berhubungan dengan segala fasilitas yang ada di dalam sekolah tersebut. Oleh karena itu sekolah harus di desain sedemikian rupa oleh warga sekolah sehingga sekolah merupakan lingkungan yang menyenangkan bagi siswa dalam tugas dan peranannya di dalam sekolah sebagai peserta didik dan tugas serta peranannya dalam perkembangan fisik maupun emosionalnya. 2) Hubungan sosial

Hubungan sosial adalah cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Hubungan sosial ini juga menyangkut penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, mentaati peraturan, membangun komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya. Hubungan sosial juga merupakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan mengandung kesadaran untuk saling menolong. Hubungan sosial terjadi karena ada interaksi sosial yang melibatkan emosi atau perasaan. Hubungan sosial yang positif antar warga sekolah akan mempengaruhi terciptanya iklim yang kondusif.

3) Sistem sosial yakni ketatausahaan, perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi

Sekolah sebagai sebuah sistem sosial apat diartikan sebagai organiasi sosial yang mempunyai struktur tertentu yang melibatkan sejumlah orang dengan tugas melaksanakan suatu fungsi untuk memenuhi suatu kebutuhan. Melaksanakan suatu fungsi yang dimaksudkan itu seperti ketatausahaan,


(36)

perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi antar warga yang ada di dalam sekolah. Jika fungsi tersebut telah dilaksanakan dengan baik maka akan membantu terciptanya iklim sekolah yang positif.

4) Budaya yakni nilai-nilai, kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang dalam organisasi

Budaya sekolah diartikan sebagai sistem makna yang dianut bersama oleh warga sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain. Budaya sekolah yang baik akan mendorong seluruh anggota masyarakat sekolah untuk meningkatkan kinerjanya agar tujuan sekolah dapat tercapai. Karena nilai, moral, sikap dan perilaku siswa selama di sekolah dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta interaksi mereka dengan aspek-aspek dan komponen yang ada di dalamnya, seperti kepala sekolah, guru, materi pelajaran dan hubungan antarsiswa sendiri. Budaya sekolah adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terciptanya iklim atau suasana sekolah. Iklim atau suasana sekolah merupakan bagian dari kultur sekolah yang dipandang dan dipahami oleh anggota sekolah tersebut.

6. Persepsi terhadap Iklim Sekolah

Persepsi terhadap iklim sekolah adalah proses penginterpretasian terhadap informasi mengenai perasaan pribadi setiap anggota sekolah tentang pengalaman personel terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah tersebut yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar (Pintrich &


(37)

Shunck, 1996).

Persepsi siswa terhadap hubungan antar warga sekolah akan mempengaruhi keterlibatan siswa secara emosional. Persepsi siswa terhadap kemampuan warga sekolah mengatasi kegagalan akan mempengaruhi keterlibatan siswa secara kognitif. Sedangkan persepsi siswa terhadap kejelasan peraturan dan lingkungan sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa secara behavior (Purwita, 2013).

Bagaimana siswa memandang atau mempersepsikan sekolah juga menentukan perilaku mereka di sekolah. Persepsi warga sekolah terhadap lingkungan sekolahnya dapat menjadi prediktor terhadap afeksi siswa, kognitif dan behavioral engagement (Wang & Halcombe dalam Voight, dkk 2011). Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif ternyata dapat dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013).

7. Indikator Pengukuran Persepsi Terhadap Iklim Sekolah

Aspek-aspek iklim sekolah dikemukakan oleh Pintrich dan Schunk (1996) yaitu:

a. Rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas (a sense of community and belongingness)

Merupakan perasaan pribadi yang setiap orang miliki terhadap kelompok atau organisasinya dan memiliki komitmen terhadap tujuan dan nilai-nilai


(38)

organisasi tersebut. Sebaliknya, organisasi dalam hal ini sekolah, juga peduli dan memberikan perhatian yang sepenuhnya terhadap kebutuhan setiap anggota di dalamnya.

Pada sekolah staf administrasi, staf pengajar dan para siswa saling menghormati dan peduli satu sama lainnya, akan berhubungan erat dengan kinerja positif guru dan siswa, yaitu orientasi tujuan (goal orientation), self efficacy, usaha (efforts), ketekunan (persistence), dan pretasi yang positif (Lee dkk dalam Pintrich & Schunk, 1996).

b. Kehangatan dan kesopanan dalam hubungan personal (warmth and civility in personal relation)

Dimensi ini merefleksikan kehidupan afektif sekolah yang berkenaan dengan kehangatan dan kesopanan yang diekspresikan dalam hubungan antar pribadi di sekolah. Berkaitan dengan hubungan guru dan siswa, perasaan kepedulian, perhatian, dukungan, dan hormat terhadap siswa serta interaksi yang positif antara guru dan siswa, akan berhubungan positif dengan hasil motivasional. Perhatian terhadap kesejahteraan orang lain atau terciptanya masyarakat yang peduli terhadap sesama dapat menciptakan pengaruh yang positif bagi seluruh siswa, bahkan bagi siswa yang beresiko mengalami kegagalan dalam sekolah (Bryk, Lee, dan Holland dalam Pintrich dan Schunk, 1996).

c. Perasaan aman dan nyaman (feelings of safety and security)

Iklim sekolah mengacu pada perasaan guru dan siswa terhadap keamanan dan kenyamanan personal. Persepsi ini mengacu pada perasaan seseorang dalam mengambil resiko dan merasa nyaman dalam menuangkan ide, opini dan


(39)

beraktivitas. Saat ini ada beberapa sekolah yang mengabaikan kebebasan siswa dalam mengemukakan ide dan pendapatnya. Sekolah lebih memusatkan perhatian dan penciptaan rasa aman dan bebas dari rasa takut serta cemas terhadap kejahatan secara fisik. Oleh karena itu sekolah seharusnya memperhatikan kedua aspek tersebut, yaitu rasa aman dalam menuangkan pendapat dan rasa aman dari ancaman fisik.

Selain itu aspek-aspek iklim sekolah juga dikemukakan oleh Thapa, dkk (2012) yaitu :

a. Rasa Aman (safety)

Terbagi menjadi 3 bagian yaitu : aturan dan norma (roles and norms), keamanan fisik (physical safety), dan emosional sosial (social emotional).

1) Aturan dan Norma (roles and norms)

Mengkomunikasikan peraturan tentang kekerasan fisik secara jelas, mengkomunikasikan peraturan tentang kekerasan verbal, pelecahan dan tindakan pemaksaan secara jelas, serta konsisten dalam memberikan intervensi dalam hal tersebut

2) Keamanan Fisik (physical safety)

Keadaan dimana siswa merasa aman dari kekerasan fisik di sekolah. 3) Emosional Sosial (social emotional)

Keadaan dimana siswa merasa aman dari kekerasan verbal, pelecehan, dan pengucilan.


(40)

b. Hubungan (relationship)

Hubungan (relationship) terbagi atas: menghargai keberagaman (respect fordiversity), hubungan dan keterikatan sekolah (school connectedness/ engagement), dukungan sosial (social support), dan kepemimpinan (leadership).

1) Menghargai keberagaman (respect for diversity)

Saling menghormati terhadap perbedaan individu seperti: gender, ras, suku, agama dan sebagainya dalam lingkungan sekolah baik antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, guru dengan guru, dan semua norma yang berlaku.

2) Hubungan dan keterikatan sekolah (school connectedness/engagement) Identifikasi positif pada norma-norma sekolah untuk seluruh anggota sekolah seperti siswa, staff, guru, dan keluarga dari siswa tersebut

3) Dukungan Sosial (social support)

Bentuk dukungan dari teman sebaya pada siswa seperti berteman untuk bersosialisasi, untuk memecahkan masalah, untuk kebutuhan akademik, dan untuk penyesuaian diri siswa baru.

4) Kepemimpinan (leadership)

Menciptakan dan mengkomunikasikan pandangan secara jelas, agar tujuan mudah dicapai dan mendapat dukungan dari staff sekolah.

c. Belajar dan mengajar (teaching and learning)

Belajar dan mengajar (teaching and learning) terbagi atas pengetahuan sosial dan kepentingan umum (social and civic learning); dukungan untuk pengetahuan akademik (support for academic learning); dukungan untuk


(41)

pengetahuan profesional (support for professional learning) d. Lingkungan instututional (institutional environmental)

Lingkungan instututional (institutional environmenta)l terbagi atas hubungan sekolah (school connectedness) dan keadaan sekolah (surrounding of school).

1) Hubungan sekolah (school connectedness)

The Centre for Desease Control and Prevention (2009) mendefinisikan hubungan sekolah (school connected) adalah ketika siswa percaya bahwa orang-orang di sekelilingnya seperti guru dan teman sekolahnya peduli terhadap proses belajar siswa tersebut

2) Keadaan sekolah (surrounding of school)

Kebutuhan akan kebersihan, susunan, dan fasilitas yang memadai.

C. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)

Masa Sekolah Menengah Atas (SMA), umumnya di Indonesia dimulai dari usia 15 tahun atau 16 tahun sampai usia 17 tahun atau 18 tahun. Pada usia tersebut, individu berada pada masa remaja.

1. Pengertian Remaja

Remaja (adolescence) diartikan sebagai individu yang sedang pada masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007).


(42)

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan. Menurut Hurlock masa remaja mempunyai ciri–ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut akan diterangkan secara singkat di bawah ini (Hurlock, 2004)

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat jangka panjangnya.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Perubahan yang sama yang hampir bersifat universal diantaranya, meningginya emosi,


(43)

perubahan tubuh, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah dan sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian dan pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara ini remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Banyak anggapan populer tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak di antaranya yang bersifat negatif. Remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan


(44)

orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri awal masa remaja.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan usia belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa.

D. Dinamika Antara Persepsi Terhadap Iklim Sekolah dan Kecenderungan

Bullying

Remaja (adolescence) dilihat dari tahap perkembangannya adalah individu yang sedang berada pada masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Salah satu permasalahan yang sering dihadapi para remaja berhubungan dengan penolakan teman sebaya adalah munculnya bullying yang merupakan bentuk khusus agresi dikalangan teman sebaya. Kebanyakan bullying terjadi secara tersembunyi (covert) dan sering tidak dilaporkan sehingga kurang disadari oleh kebanyakan orang (Glew, dkk 2000).


(45)

Menurut Edwards (2006) bullying paling sering terjadi pada masa-masa Sekolah Menengah Atas (SMA), dikarenakan pada masa ini remaja memiliki egosentrisme yang tinggi. Piaget (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa egosentrisme remaja ditandai dengan ciri-ciri bahwa remaja merasa segala sesuatu masih terpusat pada dirinya, dari sinilah akan munculnya perilaku menyimpang. Perasaan remaja yang meyakini bahwa segala sesuatu berpusat pada dirinya membuat para remaja melakukan tindakan kekerasan seperti bullying (Edward, 2006).

Dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Bullying diartikan sebagai suatu tindakan negatif dan agresif atau tindakan yang disengaja atau berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, biasanya terjadi secara berkala. Merupakan tindakan yang kejam dan berdasarkan ketidakseimbangan kekuatan (Sullivan, 2005).

Beane (2008) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab munculnya bullying adalah kondisi sekolah, seperti: ketidakjelasan standar perilaku, tidak ada kebijakan anti-bullying, warga sekolah yang menggunakan sindiran yang menyakitkan, warga sekolah yang menghina murid di depan teman-temannya, dan lain-lain. Kejelasan peraturan dan lingkungan sekolah mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013). Lingkungan sosial sekolah yang harmonis membuat kondisi sekolah menjadi nyaman dan menyenangkan, lingkungan sosial yang harmonis akan tercipta bila seluruh warga sekolah berusaha menjalin komunikasi dan pergaulan yang baik (Yati, 2014).


(46)

Menurut Thapa (2012) kejelasan aturan tentang kekerasan fisik dan hubungan antar warga sekolah merupakan salah satu aspek-aspek dari iklim sekolah. Iklim sekolah menurut Pintrich & Shunck (1996) adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar.

Kassabri dkk, (2008) menyebutkan bahwa iklim sekolah yang positif berhubungan dengan rendahnya tingkat korban kekerasan di sekolah. Hal ini juga turut mendukung pernyataan Adam dan Corner (2008) yaitu adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara lingkungan psikososial sekolah terhadap prediksi perilaku bullying.

Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif ternyata dapat dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013). Persepsi atas kualitas iklim sekolah yang baik, dapat menjaga remaja dari resiko pengalaman peningkatan tingkat emosi dan masalah perilaku (Loukas dkk, 2004).

Menurut Barnes (2012) semakin baik persepsi terhadap iklim sekolah akan semakin rendah tingkat kekerasan (agresivitas) yang terjadi di sekolah. Siswa yang memiliki persepsi yang positif mengenai iklim sekolahnya akan lebih mungkin untuk bertindak dan menunjukkan sikap saling peduli terhadap sesama


(47)

dan mencegah agresivitas dari sesama siswa (Syvertsen, Flanagan & Stout, 2009). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying, sehingga peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai hal tersebut.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori yang telah peneliti paparkan di atas maka peneliti menjadikan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: Ada pengaruh persepsi terhadap iklim sekolah terhadap kecederungan bullying pada siswa SMA X Medan.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian yang Digunakan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Azwar (2000) pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika. Pada dasarnya, pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian yang dilakukan dalam rangka menguji hipotesis dan menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu probabilititas kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompok atau signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti. Pada umumnya, penelitian kuantitatif merupakan penelitian sampel besar.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek yang akan diselidiki (Hadi, 2000). Sesuai dengan judul penelitian yaitu pengaruh iklim sekolah terhadap kecenderungan prilaku bullying, maka terdapat 2 (dua) variabel, yaitu persepsi terhadap iklim sekolah dan kecenderungan bullying.

1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung penelitian ini adalah kecenderungan bullying 2. Variabel Bebas


(49)

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Kecenderungan Bullying

Kecenderungan bullying adalah keinginan seseorang untuk melakukan tindakan yang negatif secara sengaja yang dilakukan lebih dari sekali terhadap orang lain dan disebabkan karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara kedua belah pihak tersebut.

Kecenderungan bullying ini akan diukur dengan menggunakan skala untuk kecenderungan bullying yang dikembangkan melalui jenis-jenis dari bullying yang dikemukakan oleh Sullivan (2005) yang meliputi: bullying fisik, bullying non fisik, dan merusak benda milik orang lain.

2. Persepsi Terhadap Iklim sekolah

Persepsi terhadap iklim sekolah adalah proses pemberian makna terhadap perasaan yang dimiliki oleh anggota sekolah terhadap situasi dan kondisi sekolah yang mereka rasakan dan dapat memberi pengaruh kepada anggota sekolah tersebut.

Iklim sekolah ini diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan aspek iklim sekolah yang dikemukakan oleh Pintrich dan Shcunk (1996) yaitu rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas (a sense of community and belongingness), kehangatan dan kesopanan dalam hubungan personal (warmth and civility in personal relation), dan perasaan aman dan nyaman (feeling of safety and security).


(50)

D. Populasi, Sample dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sample

Masalah populasi dan sampel yang dipakai dalam penelitian merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2012).

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) X Medan yang secara keseluruhan berjumlah 183 orang yang terdiri atas 29 orang siswa kelas X IPS, 24 orang siswa kelas X IPA, 23 orang siswa kelas XI IPS, 29 orang siswa kelas XI IPA 1, 29 orang siswa kelas XI IPA 2, 30 orang siswa kelas XII IPS dan 19 orang siswa kelas XII IPA. Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian, atau yang dikenal dengan nama sampel.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2012). Subjek penelitian menurut Azwar (2001) adalah sumber utama data penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel yang akan diteliti. Karakteristik subjek penelitian diperlukan untuk menjamin homogenitasnya. Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu siswa-siswi Sekolah Menengah Atas yang ada di SMA X Medan.


(51)

2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling adalah teknik yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai dan dengan memperhatikan sifat-sifat serta penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Cara demikian dilakukan bila anggota populasi dianggap homogen (Sugino, 2012). Teknik ini akan dilakukan dengan cara tiap unit populasi diberi nomor. Kemudian sampel yang diinginkan ditarik secara random, baik digunakan dengan random numbers ataupun dengan undian biasa (Nazir, 1988).

Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan sistem undian dimana nanti setiap siswa dalam kelas akan diberi nomor undian dan nomor yang terpilih akan menjadi sampel pada penelitian ini. Teknik sampling yang digunakan dipilih berdasarkan kesesuaian terhadap fokus penelitian yang akan dilakukan dimana setiap siswa mempunyai persepsi masing-masing terhadap iklim sekolahnya sehingga siswa-siswa yang akan menjadi subjek dalam penelitian dianggap homogen. Siswa-siswi yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini nantinya akan dipilih secara acak dari kelas I hingga kelas III SMA.


(52)

3. Jumlah Sampel Penelitian

Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Namun, sesungguhnya tidak ada angka yang dapat dikatakan dengan pasti.

Berapa jumlah anggota sampel yang paling tepat digunakan dalam penelitian tergantung pada tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki. Tingkat ketelitian/kepercayaan yang dikehendaki sering tergantung pada sumber dana, waktu dan tenaga yang tersedia. Makin besar tingkat kesalahan maka akan semakin kecil jumlah sampel yang diperlukan, dan sebaliknya (Sugiono, 2012).

Berdasarkan pertimbangan diatas untuk mengetahui jumlah sampel pada penelitian ini, peneliti memutuskan untuk menggunakan tabel penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu yang dikembangkan dari Isaac dan Michael untuk tingkat kesalahan 5% (dalam Sugiono, 2012). Sehingga bila populasi 183 orang dan kesalahan 5%, maka jumlah sampelnya adalah 119 orang. Populasi yang terbagi atas: X IPS= 29, X IPA = 24, XI IPS = 23, XI IPA 1 = 29, XI IPA 2 = 29, XII IPS = 30, dan XII IPA = 19 maka masing-masing jumlah sampel perkelas adalah sebagai berikut:

a. Kelas X IPS = 29/183 x 119 = 18,8 = 19 orang b. Kelas X IPA = 24/183 x 119 = 15,6 = 16 orang


(53)

c. Kelas XI IPS = 23/183 x 119 = 14,9 = 15 orang d. Kelas XI IPA 1 = 29/183 x 119 = 18,8 = 19 orang e. Kelas XI IPA 2 = 29/183 x 119 = 18,8 = 19 orang f. Kelas XII IPS = 30/183 x 119 = 19,5 = 20 orang g. Kelas XII IPA = 19/183 x 119 = 12,3 = 13 orang

Setelah dilakukan pembulatan jumlah sampel penelitian ini adalah 121 orang.

E. Metode Pengumpulan Data

Alat ukur yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2002). Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode skala.

Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2000).

Penelitian ini menggunakan penskalaan model Likert. Penskalaan ini merupakan model penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar, 2000).

Sebelum peneliti merancang penulisan aitem/soal, maka peneliti harus membuat blue print terlebih dahulu. Blue print berupa tabel yang memuat sekaligus uraian isi tes dan tingkat kompetensi yang akan diungkap pada setiap bagian isi. Blue print akan menjadi pegangan yang sangat membantu sewaktu penulisan aitem berlangsung sebagai suatu pedoman yang akan menjaga agar penulisan aitem tetap terarah pada tujuan pengukuran tes dan tidak keluar dari batasan isi (Azwar, 2000).


(54)

Model skala yang digunakan adalah penskalaan model likert dengan menggunakan 5 kategori jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Bentuk pernyataan dari setiap butir terdiri dari aitem yang favourable dan aitem yang unfavourable. Aitem yang favourable adalah aitem yang bersifat mendukung pernyataan, sedangkan aitem unfavourable bersifat kebalikannya. Penilaian yang diberikan kepada masing-masing jawaban responden pada tiap-tiap aitem dalam skala ditentukan oleh sifat aitemnya.

Penilaian aitem yang favourable diberikan untuk tiap jawaban SS adalah 5, untuk jawaban S adalah 4, untuk jawaban N adalah 3, untuk jawaban TS adalah 2, dan 1 untuk jawaban STS. Sedangkan untuk aitem yang unfavourable, subjek yang menjawab SS dinilai 1, S dinilai 2, N dinilai 3, TS dinilai 4, dan nilai 5 untuk jawaban STS.

Dalam penelitian ini terdapat dua alat ukur, yaitu:

1. Skala Kecenderungan Bullying

Kecenderungan bullying dapat dilihat dari jenis-jenis bullying yang dikemukakan oleh Sullivan (2005), diantaranya adalah:

a. Bullying Fisik

Bullying fisik adalah bentuk bullying yang paling nyata dan terjadi ketika seseorang terluka secara fisik, yang meliputi menggigit, memukul, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, mendorong, menjambak, atau bentuk serangan fisik lainnya.


(55)

b. Bullying Nonfisik

Bullying nonfisik terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal.

1) Bullying verbal meliputi: telepon ancaman, meminta uang atau barang dengan paksa, mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengintimidasi, memberi panggilan nama (name-calling), mencela/mengejek ras, memaki, dan menyebarkan gosip.

2) Bullying non-verbal. Bullying non-verbal dibagi menjadi secara langsung dan tidak langsung.

Bullying non-verbal langsung meliputi: gerak tubuh yang kasar, melihat dengan sinis, menampilkan ekspresi muka yang jahat.  Bullying non-verbal tidak langsung meliputi: mendiamkan

seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng, dan membuat orang dibenci oleh orang lain.

c. Merusak Benda Milik Orang Lain

Merusak benda milik orang lain meliputi: menyobek pakaian, merusak buku, menghancurkan, dan mengambil benda milik orang lain.


(56)

Rancangan aitem jenis-jenis kecenderungan bullying dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2

Blue Print Kecenderungan Bullying

2. Skala Persepsi terhadap Iklim Sekolah

Aspek-aspek iklim sekolah dikemukakan oleh Pintrich dan Schunk (1996) yaitu:

a. Rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas (a sense of community and belongingness)

Merupakan perasaan pribadi yang setiap orang miliki terhadap kelompok atau organisasinya dan memiliki komitmen terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi tersebut. Sebaliknya, organisasi dalam hal ini sekolah, juga peduli dan memberikan perhatian yang sepenuhnya terhadap kebutuhan setiap anggota di dalamnya.

Pada sekolah staf administrasi, staf pengajar dan para siswa saling menghormati dan peduli satu sama lainnya, akan berhubungan erat dengan kinerja positif guru dan siswa, yaitu orientasi tujuan (goal orientation), self

No Jenis-jenis bullying Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable 1. Bullying Fisik 1,2,17,18,33,

34,40,41

3,4,19,20,35,36, 42,43

16 2. Bullying Nonfisik

verbal

5,6,21,22,37 7,8,23,22,44 10 3. Bullying Nonfisik non

verbal 9,10,25,26,45,4 6 11,12,27,28,38, 39 12

4. Merusak Benda Milik Orang Lain

13,14,29,30, 47 15,16, 31,32,48 10


(57)

efficacy, usaha (efforts), ketekunan (persistence), dan pretasi yang positif (Lee dkk dalam Pintrich & Schunk, 1996).

b. Kehangatan dan kesopanan dalam hubungan personal (warmth and civility in personal relation)

Dimensi ini merefleksikan kehidupan afektif sekolah yang berkenaan dengan kehangatan dan kesoponan yang diekspresikan dalam hubungan antar pribadi di sekolah. Berkaitan dengan hubungan guru dan siswa, perasaan kepedulian, perhatian, dukungan, dan hormat terhadap siswa serta interaksi yang positif antara guru dan siswa, akan berhubungan positif dengan hasil motivasional.

Perhatian terhadap kesejahteraan orang lain atau terciptanya masyarakat yang peduli terhadap sesame dapat menciptakan pengaruh yang positif bagi seluruh siswa, bahkan bagi siswa yang beresiko mengalami kegagalan dalam sekolah (Bryk, Lee, dan Holland dalam Pintrich dan Schunk, 1996). c. Perasaan aman dan nyaman (feelings of safety and security)

Iklim sekolah mengacu pada perasaan guru dan siswa terhadap keamanan dan kenyamanan personal. Persepsi ini mengacu pada perasaan seseorang dalam mengambil resiko dan merasa nyaman dalam menuangkan ide, opini dan beraktivitas. Saat ini ada beberapa sekolah yang mengabaikan kebebasan siswa dalam mengemukakan ide dan pendapatnya. Sekolah lebih memusatkan perhatian dan penciptaan rasa aman dan bebas dari rasa takut serta cemas terhadap kejahatan secara fisik. Oleh karena itu sekolah seharusnya memperhatikan kedua aspek tersebut, yaitu rasa aman dalam


(58)

menuangkan pendapat dan rasa aman dari ancaman fisik.

Rancangan aitem skala persepsi terhadap iklim sekolah dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3

Blue Print Persepsi Terhadap Iklim Sekolah

No Aspek Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable 1. Rasa memiliki dan

menjadi bagian dari komunitas

1,2,13,17,18 4,16,29,3,20 10

2. Kehangatan dan kesopanan dalam hubungan personal 5,6,14,15,21, 22,31 7,8,30,19,23,2 4,34 14

3. Perasaan aman dan nyaman 9,10,25,26,3 2 11,12,27,28,3 3 12

Total 17 17 34

F. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur

Akurasi dan kecermatan dari hasil pengukuran tergantung pada validitas dan reliabilitas alat ukurnya (Azwar, 2001). Oleh karena itu perlu adanya uji coba alat ukur, tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran (Azwar, 2006). Uji coba skala dilakukan dengan menyebarkan skala kepada responden uji coba yang memiliki karakteristik hampir sama dengan karakteristik subjek penelitian.

1. Uji Validitas

Azwar (2000) mendefinisikan validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu mengukur apa yang dimaksudkannya untuk diukur, artinya derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat kecermatan suatu tes. Untuk


(59)

mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi (content validity).

Validitas isi menunjukkan sejauh mana item-item yang dilihat dari isinya dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Validitas isi alat ukur ditentukan melalui pendapat professional (professional judgement) dalam proses telaah soal sehingga aitem-aitem yang telah dikembangkan memang mengukur (representatif) bagi apa yang dimaksudkan untuk diukur (Suryabrata, 2004).

2. Uji Reliabilitas

Pengujian reliabilitas terhadap hasil skala dilakukan bila item-item yang terpilih lewat prosedur analisis item telah dikompilasi menjadi satu. Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2000).

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal

(Cronbach’s alpha coeffecient), yaitu suatu bentuk tes yang hanya memerlukan

satu kali pengenaan tes tunggal pada sekelompok individu sebagai subjek dengan tujuan untuk melihat konsistensi antar item atau antarbagian dalam skala. Teknik ini dipandang ekonomis dan praktis (Azwar, 2000). Penghitungan koefisien reliabilitas dalam uji coba dilakukan dengan menggunakan program SPSS version 18.0 For Windows.


(60)

3. Uji Daya Beda Aitem

Setelah melakukan validitas isi kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji daya beda item. Uji daya beda item dilakukan untuk melihat sejauh mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur (Azwar, 2000). Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) yang dapat dilakukan dengan menggunakan formula koefisien korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2006). Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi

5% (ρ < 0.05).

Besarnya koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0 sampai dengan 1.00 dengan nilai positif dan negatif. Semakin baik daya diskriminasi aitem maka koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1.00 (Azwar, 2006). Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rix ≥ 0.30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.30, daya pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rix < 0.30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar, 2006). Penghitungan daya diskriminasi aitem dalam uji coba ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS 18.0 For Windows.


(1)

27.

Tata letak semua sarana dan prasarana di sekolah ini

cukup teratur

28.

Saya merasa ide-ide dari para siswa dapat ditampung

dengan baik di sekolah ini


(2)

Quisioner

Petunjuk :

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberi tanda silang pada jawaban yang anda rasa cocok dengan keadaan yang sebenarnya!

Kelas :

Jenis Kelamin :

1. Apakah sekolah anda pernah terlibat tawuran antar sekolah ?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah anda pernah berkelahi dengan teman yang tidak anda sukai ?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah setelah anda berkelahi dengan teman yang tidak anda sukai anda merasa senang?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah anda pernah mengejek teman yang tidak anda sukai ?

a. Ya b. Tidak

5. Jika jawaban no.4 “Ya”. Apakah anda mengejek teman anda lebih dari sekali ?

a. Ya b. Tidak

6. Apakah anda pernah diejek oleh teman-teman anda ? a. Ya

b. Tidak

7. Jika jawaban No.6 “Ya”. Apakah Anda merasa sakit hati dengan ejekan tersebut ?

a. Ya b. Tidak

8. Apakah ejekan itu anda terima lebih dari sekali ? a. Ya

b. Tidak

9. Apakah teman anda menjauhi anda karena anda berbeda dari mereka (karena ras, agama, pendapat,dll) ? a. Ya


(3)

b. Kadang-kadang c. Tidak

10.Apakah anda pernah mendapat ancaman atau gangguan dari teman anda ?

a. Ya, sering sekali b. Lebih dari sekali c. Tidak pernah

11.Apakah anda pernah melihat teman anda berkelahi karena disebabkan saling mengejek?

a. Ya, sering sekali b. Lebih dari sekali c. Tidak pernah

12.Apakah anda merasa tertekan di sekolah ini ? a. Ya

b. Kadang-kadang c. Tidak

13.Jika “ya & kadang-kadang”, mengapa ?

14.Apakah sering ada gangguan saat anda menyimak pelajaran ?

a. Ya, sangat sering

b. Lebih dari sekali c. Tidak pernah

15.Jika jawaban no.14“ya & Lebih dari sekali” Seperti

apakah itu ?

a. Pertanyaan yang menyimpang dari pelajaram b. Cemoohan

c. Perbuatan usil d. Lain-lain: (Jelaskan)

16.Jika jawaban no.14 “ya & Lebih dari sekali”, apakah

anda menganggap masalah itu serius pada teman tersebut ?

a. Ya, sangat serius b. Cukup serius c. Tidak serius

17.Jika jawaban no.17 “ya dan cukup”, mengapa ? Tolong jelaskan dengan singkat :

18.Apakah anda merasa senang bergaul dengan teman anda ?

a. Ya


(4)

c. Tidak

19.Jika jawaban no.19 “ya”, mengapa ? Tolong jelaskan dengan singkat :

20.Jika jawaban no.19 “tidak”, mengapa ? Tolong jelaskan dengan singkat :

21.Bagaimana rata-rata cara mengajar guru anda ? a. Sangat menyenangkan dan jelas

b. Menyenangkan dan jelas

c. Cukup menyenangkan walaupun kurang jelas d. Sedang saja dan jelas

e. Tidak menyenangkan dan kurang jelas

22.Menurut anda, apakah pihak sekolah memiliki peraturan yang tegas terhadap siswa yang melakukan perkelahian ?

a. Tegas

b. Kurang tegas/biasa-biasa saja

c. Kadang-kadang ya dan kadang-kadang tidak d. Tidak tegas

23.Apakah guru anda selalu memberikan motivasi dan arahan kepada anda terhadap semua kesulitan yang anda dapatkan di sekolah ?

a. Ya, selalu b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

24.Apakah pihak sekolah memberikan peraturan dan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan para siswa-siswi di sekolah ?

a. Tegas

b. Kurang tegas/biasa-biasa saja

c. Kadang-kadang ya dan kadang-kadang tidak d. Tidak tegas

25.Apakah sekolah anda memiliki sarana dan prasarana yang sudah memadai untuk membantu proses belajar anda ?

a. Ya, sangat memadai. b. Cukup memadai c. Kurang memadai

26.Apakah pihak guru ikut ambil andil pada persoalan para siswa-siswi yang mengadu telah mendapat ejekan dari siswa-siswi lainnya ?


(5)

a. Selalu ikut andil

b. Kadang-kadang ya, kadang-kadang tidak c. Tidak pernah ikut andil

27.Apakah metode pengajaran yang diterapkan para guru membuat anda termotivasi dalam belajar ?

a. Sangat termotivasi b. Lumayan termotivasi c. Kurang termotivasi d. Tidak termotivasi

28.Apakah anda pernah berdiskusi dengan guru anda tentang kegiatan atau mata pelajaran diluar jam pelajaran ?

a. Ya, sering sekali b. Lebih dari sekali c. Tidak pernah

29.Jika “tidak”, mengapa ?

a. Suasana tidak baik

b. Takut dianggap cari muka c. Takut pada teman

d. Segan berbecara dengan guru e. Lainnya :


(6)

30.Ceritakan secara singkat bagaimana menurut anda suasana sekolah anda saat ini ?

31.Apa harapan anda mengenai hubungan anda dengans teman-teman anda yang berada di sekolah ini ?