secara oral atau melalui makanan, sedangkan LD50 dermal ialah dosis yang terpapar melalui kulit Depkes, 2003.
Pestisida meracuni manusia melalui berbagai proses seperti : 1. Kulit
Hal ini dapat terjadi apabila pestisida terkena pada pakaian atau langsung pada kulit ketika petani memegang tanaman yang baru saja disemprot, ketika pestisida
pada kulit atau pakaian, ketika petani mencampur pestisida tanpa sarung tangan, atau ketika anggota keluarga mencuci pakaian yang telah terkena pestisida. Untuk
petani atau pekerja lapangan, cara keracunan yang paling sering terjadi adalah melalui kulit.
2. Pernafasan Hal ini paling sering terjadi pada petani yang menyemprot pestisida atau pada
orang-orang yang ada di dekat tempat penyemprotan. Perlu diingat bahwa beberapa pestisida yang beracun tidak berbau.
3. Mulut Hal ini terjadi bila seseorang meminum pestisida secara sengaja ataupun tidak,
ketika seseorang makan atau minum air yang telah tercemar, atau ketika makan dengan tangan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu setelah berurusan dengan
pestisida.
2.1.5 Metode Penyemprotan Pestisida
Saat pemakaian pestisida, umumnya perhatian para petani lebih tertuju pada masalah pengendalian hama yang menyerang tanaman sehingga keselamatan petani
Universitas Sumatera Utara
jadi kurang diperhatikan. Pemakaian pestisida menjadi hal yang rutin sehingga dianggap tidak berbahaya. Metode atau cara yang dilakukan sewaktu penyemprotan
pestisida akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya pemaparan terhadap petani.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar para petani terhindar dari
pemaparan sewaktu menyemprotkan pestisida yaitu :
a. Membaca semua instruksi dan pengarahan yang ada pada label pestisida, menyangkut pemakaian konsentrasi dan dosis yang tepat, aturan keselamatan,
serta pertolongan bagi penderita keracunan. b. Tidak diperkenankan merokok, makan, dan minum selama menyemprotkan
pestisida. Cucilah tangan dan muka dengan menggunakan sabun jika ingin makan, minum dan merokok. Tubuh dan pakaian harus terhindar dari tetesan
pestisida. Jika terjadi, pakaian atau bagian tubuh yang terkena harus dicuci dengan air dan sabun.
c. Jangan membuka kemasan dengan cara memaksa atau mencongkel karena cairan pestisida akan tersembur keluar dan mengenai muka.
d. Jangan menggunakan alat penyemprotan yang bocor. Periksa selalu kondisi alat semprot sebelum menyemprotkan pestisida.
e. Gunakan selalu alat-alat pelindung pada saat menyemprotkan pestisida. Pelindung yang dipakai minimal adalah masker, celana panjang, kaca mata, dan
topi.
Universitas Sumatera Utara
f. Jangan menyemprotkan pestisida melawan arah angin. Pada saat menyemprot berjalanlah searah dengan arah tiupan angin, sehingga kabut semprot tidak tertiup
ke arah badan. g. Jangan meniup nozel yang tersumbat. Gunakanlah jarum yang halus untuk
membersihkan nozel Djojosumarto, 2008.
2.1.6 Jeda Waktu Penyemprotan
Pemaparan pestisida pada tubuh manusia dengan frekuensi yang sering dan dengan interval waktu yang pendek menyebabkan residu pestisida dalam tubuh
manusia menjadi lebih tinggi. Secara tidak langsung kegiatan petani yang mengurangi frekuensi menyemprot dapat mengurangi terpaparnya petani tersebut oleh pestisida.
Menurut Mariani dkk, 2005 istirahat minimal satu minggu dapat menaikkan aktivitas kholinesterase dalam darah pada petani penyemprot. Istirahat minimal satu
minggu pada petani keracunan ringan dapat menaikkan aktivitas kholinesterase dalam
darah menjadi normal 87,50.
Penelitian Sumekar, dkk 2006, menyebutkan bahwa kejadian paparan pestisida disebabkan oleh beberapa faktor determinan, yaitu selang waktu antara
kontak terakhir dengan pengukuran kadar kolinesterase, disamping faktor lain seperti perilaku petani dalam menyemprot, frekuensi penyemprotan, pemakaian alat
perlindungan diri, dosis pestisida dan lama penyemprotan. Hasil analisis regresi logistik pada tingkat kemaknaan 5 menunjukkan bahwa ada pengaruh selang waktu
pengukuran terhadap resiko paparan pestisida.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Praptini, dkk 2002 tentang Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Keracunan Pestisida Pada Tenaga Kerja Teknis Pestisida
Perusahaan Pemberantasan Hama Pest Control di Kota Semarang Tahun 2002, menyimpulkan bahwa rata-rata angka kejadian keracunan pestisida sebesar 69,91,
sehingga disarankan bagi tenaga kerja teknis pestisida, untuk mencegah terjadinya keracunan pestisida, melakukan penyemprotan tidak lebih 2 kali setiap minggu dan
tidak melakukan penyemprotan secara berturut-turut lebih dari 12 jam dalam waktu 3
bulan. 2.1.7 Lama Penyemprotan Pestisida
Lamanya penyemprotan pestisida yang dilakukan tenaga penyemprot sejalan dengan lamanya penyemprot tersebut terpapar pestisida. Paparan yang berlangsung
terus-menerus lebih berbahaya daripada paparan yang terputus-putus pada waktu yang sama. Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi risiko
pemaparan baru. karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik. Telah dibuktikan bahwa penggunaan
pestisida secara berlama-lama untuk pertanian dapat menyebabkan kanker seperti non Hodgkin’s lymphoma Weisenburger, 1990.
Penyalahgunaan insektisida pada pertanian merupakan salah satu faktor yang menyebabkan residu pada hasil pertanian dan berdampak terhadap konsumen yang
mengkonsumsinya. Apalagi semakin tingginya permintaan cabai merah segar maupun cabai merah giling dalam satu hari. Semakin tinggi pula tingkat konsumsi masyarakat
terhadap cabai. sehingga semakin banyak pula masyarakat yang terpapar oleh residu insektisida. Penelitian Iskandar tahun 2012 tentang aplikasi pestisida dan analisa
residu pestisida menyebutkan bahwa penyemprotan terakhir sebelum panen
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi tinggi rendahnya residu pestisida pada beras. Menurut wudianto 2010 menyebutkan bahwa penyemprotan pestisida sebaiknya dilakukan tidak
kurang dari 2 minggu sebelum panen dengan maksud agar pestisida sudah terurai saat di panen.
2.2 Residu Pestisida Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang
terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah Deptan, 2009. Beberapa yang mengindikasikan batas residu, digunakan untuk
memprediksi pemasukan residu pestisida. Batas maksimum residu BMR adalah salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida ditetapkan dalam
mgkg yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal pada komoditas makanan dan daging hewan. Data BMR Profenofos berdasarkan FAO dan
WHO 2010 dan Deptan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1. Batas Maksimum Residu Profenofos pada Makanan No
Komoditas BMR mgkg
1 Benih Kapas
3 2
Telur 0,05
3 Mangga
0,2 4
Manggis 10
5 Daging Mamalia
0,05 6
Susu 0,01
7 Cabai
5 8
Daging Unggas 0,05
9 Tomat
10 10
Kentang 0,05
11 Kubis
1 12
Paprika 0,5
Sumber : FAO dan WHO 2010; Deptan 2009
Universitas Sumatera Utara
Selain BMR, Acceptable Daily Intake ADI atau batas yang dapat diterima tubuh dalam sehari juga merupakan parameter internasional untuk dievaluasi.
Berdasarkan FAO and WHO, ADI untuk profenofos adalah 0-0,03 mgkg berat badan FAO
dan WHO, 2010. 2.3 Tanaman Cabai
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan yang memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru
dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia. Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buahnya.
Diperkirakan terdapat 20 spesies yang sebagian besar hidup di Negara asalnya. Masyarakat pada umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yakni cabai besar,
cabai keriting, cabai rawit dan paprika. Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin.
Diantaranya Kalori, Protein, Lemak, Karbohidrat, Kalsium, Vitamin A, B1 dan Vitamin C. Selain digunakan untuk keperluan rumah tangga, cabai juga dapat
digunakan untuk keperluan industri diantaranya, Industri bumbu masakan, industri makanan dan industri obat-obatan atau jamu. Dengan semakin meningkatnya
kebutuhan Pada umumnya cabai dapat ditanam pada dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter dpl. Cabai dapat beradaptasi dengan baik pada temperatur 24-
27 derajat Celsius dengan kelembaban yang tidak terlalu tinggi. Tanaman cabai dapat ditanam pada tanah sawah maupun tegalan yang gembur, subur, tidak terlalu liat dan
Universitas Sumatera Utara
cukup air. Permukaan tanah yang paling ideal adalah datar dengan sudut kemiringan lahan 0 sampai 10 derajat serta membutuhkan sinar matahari penuh dan tidak
ternaungi, pH tanah yang optimal antara 5,5 sampai 7. Tanaman cabai menghendaki pengairan yang cukup. Tetapi apabila jumlahnya berlebihan dapat menyebabkan
kelembaban yang tinggi dan merangsang tumbuhnya penyakit jamur dan bakteri. Jika kekurangan air tanaman cabai dapat kurus, kerdil, layu dan mati. Pengairan dapat
menggunakan irigasi, air tanah dan air hujan. Penelitian yang dilakukan oleh Tugijo 2003 menyatakan bahwa tenaga kerja
penyemprot yang mempunyai jam kerja 5 jam mempunyai resiko keracunan pestisida lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja
≤ 5 jam OR = 5,22 lama waktu saat menyemprot harus di waspadai karena semakin lama
petani kontak dengan pestisida maka akan semakin besar kemungkinan petani mengalami keracunan.
2.3.1 Penggunaan Pestisida pada Tanaman Cabai