yang saat Pemilu mendukungnya. Hal ini berakibat konflik internal kabinet rezim Gus Dur. Kemudian gerakan mahasiswapun terjadi polarisasi antara
gerakan pro Gus Dur dan gerakan anti Gus Dur. Kelompok yang pertama, Badan Eksekutif Mahasiswa se-
Indonesia BEM SI melakukan aksi-aksi penolakan terhadap Gus Dur lewat isu seperti Buloggate dan mengusulkan segera dilakukan Sidang Istimewa
MPRDPR. Kelompok yang kedua, Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia BEM-I melakukan aksi-aksi pendukungan terhadap Gus Dur.
2.1.2. Aktivis Mahasiswa
Aktivis berasal dari kata dasar aktivitas yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah kegiatan. Aktivis adalah subyek atau orang
dalam kegiatan tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan aktivis mahasiswa adalah mahasiswa yang menjadi subyek dalam kegiatan-kegiatan organisasi
kemahasiswaan. Biasanya para aktivis mahasiswa terhimpun dalam organisasi kemahasiswaan atau menjadi fungsionaris atau pengurus suatu
organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan adalah perkumpulan, kesatuan mahasiswa
yang sudah terlembaga, mempunyai landasan hukum, dan mempunyai tujuan yang jelas guna mengembangkan peran serta dan fungsi mahasiswa di
lingkungan maupun di masyarakat Buku Panduan Unnes, 2006: 23. Organisasi kemahasiswaan bisa berupa organisasi kemahasiswaan intra
kampus maupun organisasi kemahasiswaan ekstra kampus. Ormawa tingkat
universitas mempunyai landasan hukum yaitu dengan Keputusan Rektor Unnes, sedangkan Ormawa tingkat fakultas mempunyai landasan hukum
yaitu dengan Keputusan Dekan Fakultas yang bersangkutan. Sedangkan untuk organisasi kemahasiswaan ekstra kampus landasan hukumnya
menurut aturan yang berlaku di dalam internal organisasinya masing- masing. Organisasi kemahasiswaan dibentuk dari, oleh dan untuk
mahasiswa. Di kalangan kaum muda lebih khusus lagi mahasiswa, bahwa
mahasiswa dalam hal ini adalah para aktivis mahasiswa senantiasa peka terhadap gejala sosial yang terjadi di sekitarnya. Tumbuhnya kepekaan
mahasiswa terhadap persoalan masyarakat ini menurut Arbi Sanit 1985 dalam Rahmat dan Najib, 2001: xii-xiii disebabkan paling tidak oleh lima
hal. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa memiliki pandangan yang cukup luas untuk dapat
bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai golongan masyarakat yang paling lama mengalami
pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup
unik di kalangan mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan
memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur ekonomi dan akan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat, adalah kelompok elit di
kalangan kaum muda. Kelima, seringya mahasiswa terlibat dalam
pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya
ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya. Mahasiswa melalui penentangannya yang sistematis, menegaskan
perbedaannya yang otonom dari struktur masyarakat tradisional. Suatu penentangan yang dilakukan secara sadar sebagai wujud dari kegelisahan
atas kebekuan sistem sosial yang berjalan tidak normal di dalam masyarakat atau kadang-kadang dikarenakan suatu penghayatan tertentu terhadap suatu
realitas yang diresapi kembali dan ditransformasikan dari struktur dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif.
Untuk konteks Indonesia, kemunculan peranan kelompok ini dalam kehidupan sosial politik bangsa Indonesia merupakan fenomena khas abad
20. Mahasiswa, disebabkan oleh beberapa kualitasnya yang spesifik, tampil sebagai suatu lapisan masyarakat yang vokal, berorientasi ke depan sehingga
menjadi idealis dan tentu saja sebagai sebuah konsekuensinya, mahasiwa memiliki suatu posisi sosial tertentu dan sangat menentukan dimana di
dalamnya sejumlah privelese menjadi haknya yang dikuasai secara independen.
Membicarakan mahasiswa berarti kita tengah membicarakan suatu kelompok masyarakat yang sadar dan tersadarkan. Suatu kelompok
masyarakat yang sesungguhnya memiliki peran sangat penting dalam dinamika sosial suatu masyarakat secara keseluruhan. Memang sangat sulit
untuk menentukan sejauh mana peran ini dapat dimainkan dikarenakan
faktor situasi dan kondisi yang melingkupinya seringkali berubah. Tetapi pada umumnya dalam suatu kondisi yang melingkupinya seringkali berubah.
Tetapi pada umunya dalam suatu kondisi krisis tertentu dalam suatu masyarakat, mahasiswa yang lebih memiliki kesempatan untuk tidak terlalu
jauh terseret oleh krisis itu karena faktor pendidikannya, menunjukkan peran pentingnya itu melalui responnya terhadap suatu krisis seraya mendorong
lahirnya alternatif-alternatif baru bagi krisis tersebut. Saat itulah kewajiban mendasar yang dituntut darinya adalah suatu tindakan ‘heroik’, sebagai
wujud responnya terhadap krisis yang timbul dan sedang dihadapi oleh masyarakat.
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dimana ketimpangan-ketimpangan sosial seringkali nampak jelas, terbuka peluang
yang lebih besar bagi lahirnya suatu krisis di dalam suatu masyarakat. Hal ini memberikan penjelasan mengapa kemudian di negara-negara
berkembang ini, suatu proses radikalisasi untuk perubahan menjadi bagian yang sangat menonjol dalam dinamika kehidupan mahasiswa. Dihubungkan
dengan persoalan kesempatan yang diberikan oleh suatu sistem sosial dan politik, yang memang sangatlah buruk di banyak negara berkembang,
kelompok mahasiswa biasanya menunjukkan sikap enggan untuk mematuhi sistem tersebut, alih-alih memperlihatkan penentangannya.
Hal ini oleh Burhan D. Magenda dalam Rahmat, 2001: 31 disebutkan sebagai etika nobless oblige, suatu privelese yang disandang
mahasiswa yang dihubungkan dengan semangatnya dalam memperjuangkan
kepentingan rakyat. Di sini timbul pertanyaan, apakah sifat ini sepenuhnya tunduk pada suatu kondisi atau situasi sosial politik tertentu.
Menurut Albach, 1988: 11-15 terjadi kemerosotan dalam gerakan mahasiswa, hal ini disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
Pertama, ketidakmampuan
gerakan mahasiswa
untuk mempertahankan
tingkat kegiatan
politiknya, terutama
dalam memobilisasikan massa, untuk waktu yang lama. Kedua, akibat dari ‘artefak
media massa’. Terdapat hubungan yang dekat antara gerakan mahasiswa dengan perhatiannya terhadap gerakan mahasiswa, maka krisis akan segera
terjadi pada gerakan tersebut. Ketiga, perubahan fokus perhatian mahasiswa dari isu-isu yang bersifat gerakan massa menjadi isu elite dan cenderung
menjauh dari massa. Keempat, perubahan orientasi mahasiswa, khususnya dalam gaya hidup, yang lebih liberal dan cenderung berbeda berbeda dengan
masyarakat umum. Kelima, diserapnya sejumlah aktivis mahasiswa ke dalam posisi-posisi profesional, termasuk pula oleh sistem politik baru. Pada
saat yang sama minat terhadap studi sosial dan kemanusiaan menurun dan lebih cenderung pada bidang-bidang profesi. Dampaknya adalah
menurunnya kegiatan politik yang beresiko tinggi. Keenam, perubahan kebijakan pendidikan di kampus-kampus efektif menurunkan tingkat
aktivisme mahasiswa. Ketujuh, faktor populasi mahasiswa turut pula memberi pengaruh, khususnya dalam menciptakan keseimbangan baru di
dalam kampus yang tidak rawan krisis. Kedelapan, gerakan mahasiswa sendiri banyak yang merasa gagal dalam menjalankan fungsinya untuk
melakukan perubahan yang mendasar dan besar-besaran. Kesembilan, perubahan realitas politik eksternal. Seperti institusionalisasi lembaga-
lembaga politik telah memungkinkan terserapnya sejumlah agenda politik mahasiswa dan masyarakat secara umum, walaupun tidak keseluruhan,
sehingga dengan begitu aktivisme mahasiswa yang terkait erat dengan isu- isu politik masyarakat luas dapat diserap oleh institusi politik resmi.
2.1.3. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat