melakukan perubahan yang mendasar dan besar-besaran. Kesembilan, perubahan realitas politik eksternal. Seperti institusionalisasi lembaga-
lembaga politik telah memungkinkan terserapnya sejumlah agenda politik mahasiswa dan masyarakat secara umum, walaupun tidak keseluruhan,
sehingga dengan begitu aktivisme mahasiswa yang terkait erat dengan isu- isu politik masyarakat luas dapat diserap oleh institusi politik resmi.
2.1.3. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
Kebebasan berpendapat dan berbicara merupakan ruh demokrasi yang menjadi hak bagi setiap warga negara. Semua segi kehidupan manusia
sangat membutuhkan arus pembicaraan. Melalui pembicaraan berbagai bentuk sosialisasi, kerjasama dan konsensus di antara manusia dalam
kehidupan sosial terbentuk. Presiden Roosevelt menyatakan ada 4 empat macam hak dalam
The Four Freedoms Empat Kebebasan yaitu: 1. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat Freedom of
Speech 2. Kebebasan beragama Freedom of Religion
3. Kebebasan dari ketakutan Freedom of Fear 4. Kebebasan dari kemelaratan Freedom of Want dalam Budiardjo, 2001:
120. Kebebasan berpendapat diharapkan dalam rangka untuk mendukung
terselenggaranya pemerintahan yang baik dan demokratis sesuai dengan
aspirasi masyarakat. Miriam Budiardjo 2001:60 menyatakan bahwa syarat- syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah
Rule of Law ialah: 1 perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari
menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2 badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak independent and
impartial tribunals. 3 pemilihan umum yang bebas.
4 kebebasan untuk menyatakan pendapat. 5 kebebasan untuk berserikatberorganisasi dan beroposisi.
6 pendidikan kewarganegaraan civic education. Banyak sekali jaminan bagi kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat, misalnya dalam Declaration of Human Rights, Pasal 19 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas.”
Demokrasi menjamin kebebasan berbicara dan berpendapat warga negaranya. Pembicaraan dan perdebatan yang bebas tapi bertanggungjawab,
jujur dan terbuka akan menuntun warga pada kebenaran yang diyakini bersama sebagai tindakan umum yang lebih bijak. Sebaliknya,
ketidakbebasan berbicara dan berpendapat akan membuat pembicaraan penuh dengan ketidakpastian, kebohongan dan ketidakjujuran. Hal inilah
yang menyebabkan banyak aspirasi masyarakat arus bawah grassroots yang tidak dapat terwujud sebagaimana mestinya.
Pada masa Orde Baru berkuasa, masyarakat yang melakukan aksi protes hampir selalu ditangkap dan diadili berdasarkan ketentuan pasal 510
KUHP. Meskipun pasal itu mensyaratkan ijin bagi pawai atau keramaian umum belaka, tetapi pihak aparat beranggapan bahwa ijin atas pawai atau
keramaian umum berlaku pula untuk segala bentuk penyampaian pendapat yang berupa lisan dan tulisan. Artinya bahwa kegiatan aksi demonstrasi juga
termasuk di dalamnya sebagai bentuk pawai dan keramaian umum. Karena pada masa itu belum ada ketentuan khusus yang mengatur tentang aturan
penyampaian pendapat apalagi demonstasi, hanya UUD 1945 pasal 28 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat.
Padahal dalam Covenan on Civil and Political Rights, Pasal 19 berbunyi:
1 Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan.
2 Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
segala macam penerangan dan gagasan tanpa menghiraukan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, maupun tulisan atau
tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain menurut pilihannya.
Pelaksanaan hak-hak yang tercantum dalam ayat-ayat dari pasal ini membawakan kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab yang khusus. Oleh
karena itu dapat dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi pembatasan-pembatasan ini terbatas pada yang sesuai dengan ketentuan
hukum yang perlu: a untuk menghormati hak-hak atau nama baik orang lain.
b untuk perlindungan kemanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan dan moral umum.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diterbitkan pada bulan Oktober 1997 untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam salah satu
pasalnya, yaitu pasal 15 2 butir a Undang-Undang Kepolisian Negara RI Nomor 28 Tahun 1997 disebutkan mengenai wewenang kepolisian
memberikan ijin untuk kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya. ’Kegiatan’ dalam ketentuan tersebut tidak jelas maknanya, sehingga
kegiatan aksi demonstrasi mudah saja dianggap menjadi jenis ’kegiatan’ dalam ketentuan tersebut.
2.1.4. Aksi Demonstrasi Sebagai Bentuk Partisipasi Politik