Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar

(1)

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA YAYASAN

BEASISWA SUPERSEMAR

TESIS

Oleh:

TAMBOK NAINGGOLAN 087005012 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA YAYASAN

BEASISWA SUPERSEMAR

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

TAMBOK NAINGGOLAN 087005012 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA YAYASAN

BEASISWA SUPERSEMAR

Nama Mahasiswa : TAMBOK NAINGGOLAN

NIM : 087005012

Program Studi : ILMU HUKUM

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S. Ketua

Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum


(4)

Telah Lulus Diuji Pada

Tanggal, 15 November 2010

PANITIA PENGUJI

Ketua

: Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

Anggota

: 1. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.

2.

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

3.

Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.

4.

Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H.


(5)

ABSTRAK

Selama kepemimpinan Soeharto pada Yayasan Supersemar telah banyak merugikan keuangan negara melalui penyaluran beasiswa kepada Pelajar dan Mahasiswa. Judul dalam penelitian ini adalah, “Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar”. Karena Soeharto telah meninggal dunia, maka diajukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar melalui Jaksa Pengacara Negara pada tanggal 9 Juli 2007 dengan Nomor Registrasi Perkara Nomor 904/Pdt/G/2007/PN Jaksel. Dalam gugatan tersebut, Jaksa Pengacara Negara menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp.185 miliar, ditambah ganti rugi immateriil Rp.10 triliun dengan mendasarkan kepada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Permasalahan di dalam penelitian ini, Pertama, bagaimana kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi? Kedua, bagaimana gugatan perdata atas kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar? dan Ketiga, bagaimana analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap kerugian keuangan negara yang dilakukan H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 333/KMK.011/1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% (Lima Persen) Dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara, serta Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, dan HIR/Rbg.

Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Jaksa Pengacara Negara untuk menghukum Yayasan Supersemar dengan membayar ganti kerugian materiil sejumlah US $ 105.000.727,66, dan Rp.46.479.512.226,187, sedangkan kerugian immateril sama sekali tidak dikabulkan majelis hakim.

Diharapkan dalam putusan Mahkamah Agung nantinya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan itu semestinya tetap menghukum semua pengurus Yayasan Supersemar secara tanggung renteng membayar kerugian atas perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan.


(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Judul penelitian ini yaitu, ”Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar”. Telah dinyatakan lulus yudisium dengan baik dan tepat pada waktunya pada tanggal 15 November 2010.

Banyak pihak yang telah membantu selama studi dan penelitian ini berlangsung. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K);

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH, yang telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau selalui saran, petunjuk, arahan, bimbingan, dan semangat sehingga studi dan penelitian ini dapat selesai tepat waktu dengan nilai yang sangat memuaskan;

4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang banyak berperan memberikan motivasi dan masukan-masukan selama studi dan penelitian ini berlangsung;

5. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing I yang telah banyak berupaya memberikan koreksi sehingga penelitian ini menjadi sempurna; 6. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing II juga

telah memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai kepada selesainya penelitian ini dengan sempurna;


(8)

7. Seluruh Staf Pengajar/Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan kepada kawan-kawan yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuannya;

8. Seluruh Staf/Pegawai adminstrasi yang telah melancarkan segala urusan berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi dan penelitian ini berlangsung;

9. Yang terhormat, Ibunda tercinta T. Br. Aritonang, setiap waktu dan sepanjang hari selalu memberikan semangat dan mendukung karir, selalu berdo’a agar penulis dapat menyelesaikan studi ini tepat waktu;

10.Istri ku yang tercinta Dra. Dandy Nadeak, bersama dengan pengorbanan dan pengertiannya selalu mengiringi langkah dalam keadaan apapun tidak pernah menunjukkan keluh kesahnya walau kadang-kadang ditinggal demi untuk menyelesaikan studi ini;

11.Anak kon hi do hamoraon di au, khusus kepada anak-anak ku, penawar lelah dan penyejuk hati: Yosua dan Josephine, karena mereka juga penulis semakin bertambah semangat yang luar biasa menyelesaikan studi ini. Mudah-mudahan dengan melihat Papanya yang tidak pernah malas-malas belajar dan terus belajar, hendaknya menjadi dorongan memunculkan semangat bagi mereka dan termotivasi untuk maju menjadi anak yang berprestasi terbaik dan bertaqwa kepada Tuhan;

12.Seluruh saudara-saudara famili dan handai toulan yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang penulis banggakan dalam keluarga besar dimana bahwa mereka juga selalu mengingatkan dan mendorong agar studi ini cepat diselesaikan tepat waktu.

Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi manfaat bagi semua pihak dalam menambah dan memperkaya wawasan Ilmu Pengetahuan. Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat memadukan dan mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat dan menjadikan “Hukum Sebagai Panglima”.


(9)

Akhir kata, mohon maaf atas kesilapan dan kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan pada masa-masa yang akan datang. Amin.

Medan, 15 November 2010 Penulis

Tambok Nainggolan


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : TAMBOK NAINGGOLAN

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 17 Agustus 1961

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen

Alamat : Jl. Menteng VII Gang Aries No. 11 Medan Denai

Pekerjaan : Kepala Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam

Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Katholik Balige (Lulus Tahun 1973); - Sekolah Menengah Pertama Negeri Kisaran (Lulus

Tahun 1976);

- Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Medan (Lulus Tahun 1980);

- S-1 Fakultas Hukum USU (Lulus Tahun 1988); - S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (Lulus Tahun 2010).


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Keaslian Penelitian... 20

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 20

1. Kerangka Teori... 20

2. Landasan Konsepsional... 38

G. Metode Penelitian ... 42

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 42

2. Sumber Data... 43

3. Teknik Pengumpulan Data... 45

4. Analisis Data ... 45

BAB II : KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SEBAGAI UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI ... 49

A. Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara .... 49

1. Keuangan Negara ... 49

2. Kerugian Keuangan Negara ... 55

3. Beberapa Hal yang Dapat Merugikan Keuangan Negara ... 57

B. Tindak Pidana Korupsi Dapat Merugikan Keuangan Negara... 59

C. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 66


(12)

BAB III : GUGATAN PERDATA ATAS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SOEHARTO

DAN YAYASAN BEASISWA SUPERSEMAR... 85

A. Gugatan Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara ... 85

B. Dasar Hukum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Mengajukan Gugatan Perdata Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar ... 101

1. Dasar Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Negeri Republik Indonesia ... 101

2. Dasar Hukum Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)... 109

3. Dasar Hukum Dalam KUH Perdata dan Hukum Peninggalan Kolonial Belanda... 111

4. Dasar Hukum Dalam Peraturan Pemerintah ... 114

C. Kontradiksi Penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi... 115

D. Perkara Perdata Nomor 904/Pdt.G/2007/PN Jakarta Selatan ... 121

1. Duduk Perkara Atas Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan Para Tergugat... 123

2. Permohonan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) dan Putusan yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (Uit Voerbaar Bij Voorraad)... 127

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN TERHADAP KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG DILAKUKAN SOEHARTO DAN YAYASAN BEASISWA SUPERSEMAR ... 130

A. Yayasan Beasiswa Supersemar Sebagai Yayasan yang Berbadan Hukum... 130

B. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 135

1. Eksepsi ... 135

2. Provisi ... 142

C. Analisis Putusan ... 144

1. Kedudukan Atas Pihak-Pihak Yang Berperkara ... 144


(13)

3. Dalam Pokok Perkara... 156

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 169

A. Kesimpulan ... 169

B. Saran... 171


(14)

ABSTRAK

Selama kepemimpinan Soeharto pada Yayasan Supersemar telah banyak merugikan keuangan negara melalui penyaluran beasiswa kepada Pelajar dan Mahasiswa. Judul dalam penelitian ini adalah, “Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar”. Karena Soeharto telah meninggal dunia, maka diajukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar melalui Jaksa Pengacara Negara pada tanggal 9 Juli 2007 dengan Nomor Registrasi Perkara Nomor 904/Pdt/G/2007/PN Jaksel. Dalam gugatan tersebut, Jaksa Pengacara Negara menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp.185 miliar, ditambah ganti rugi immateriil Rp.10 triliun dengan mendasarkan kepada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Permasalahan di dalam penelitian ini, Pertama, bagaimana kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi? Kedua, bagaimana gugatan perdata atas kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar? dan Ketiga, bagaimana analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap kerugian keuangan negara yang dilakukan H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 333/KMK.011/1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% (Lima Persen) Dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara, serta Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, dan HIR/Rbg.

Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Jaksa Pengacara Negara untuk menghukum Yayasan Supersemar dengan membayar ganti kerugian materiil sejumlah US $ 105.000.727,66, dan Rp.46.479.512.226,187, sedangkan kerugian immateril sama sekali tidak dikabulkan majelis hakim.

Diharapkan dalam putusan Mahkamah Agung nantinya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan itu semestinya tetap menghukum semua pengurus Yayasan Supersemar secara tanggung renteng membayar kerugian atas perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan negara, maka perlu ada kejelasan secara yuridis pengertian keuangan negara. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Kerugian keuangan negara berkaitan pula dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) yang menyebutkan bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Kemudian dalam Pasal 32 UUPTPK disebutkan bahwa kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Mengenai siapa instansi berwenang yang dimaksud tersebut, tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun, demikian mengacu kepada beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku,


(16)

maka sekurang-kurangnya tiga instansi mempunyai kewenangan dimaksud yaitu BPK, BPKP dan Inspektorat baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.1

Dalam perspektif UUPTPK secara umum yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dan hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Terhadap kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi ditinjau dari penyelesaiannya dapat dilakukan atas 4 (empat) cara yaitu:2

a. Tuntutan pidana/pidana khusus korupsi; b. Gugatan perdata; dan

c. Tuntutan ganti rugi melalui pembayaran uang pengganti.

Terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat dituntut secara pidana akan tetapi jika pelaku korupsi telah meninggal dunia, secara pidana telah gugur haknya untuk dituntut. Namun secara hukum perdata tetap saja dilakukan upaya hukum untuk menggugat pelaku korupsi, di samping itu juga dilakukan upaya terhadap pelaku atau keluarganya mengganti rugi segala kerugian keuangan negara.

1

Eddy Milyadi Soepardi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, Makalah disampaikan dalam ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hal. 3.

2


(17)

Dalam pemerintahan H.M. Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan salah satunya korupsi pada Yayasan Supersemar (disingkat YBS). Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto. Lengsernya Soeharto menimbulkan kasus dugaan korupsi dimana Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2% (dua persen) dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.3

Perbuatan Soeharto digolongkan kepada tindak pidana korupsi. Maka tepatlah Koentjaraningrat menyatakan bahwa, “Korupsi sudah menjadi budaya bangsa

3

http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/3567745.stm, diakses terakhir tanggal 18 Maret 2010. Kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh HM. Soeharto pada YBS sekitar antara tahun 1967 sampai dengan tahun 1998. Yayasan Supersemar memiliki program beasiswa yang disebut Yayasan Beasiswa Supersemar (YBS), untuk pendidikan siswa/siswi/pelajara yang cakap, pintar tetapi tidak mampu sekolah. Susunan pengurus YBS pertama kalinya berdasarkan dengan Akte Notaris Drs. Gde Ngurah Rai, SH Notaris di Jakarta, Nomor 37 tanggal 16 Mei 1974. Sedangakan susunan pengurus terakhir berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Yayasan Supersemar berdasarkan Akte Notaris P. Sutrisno A. Tampbolon, SH Notaris di Jakarta, Nomor 46 tanggal 27 Desember 1999. Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999. Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15-35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.


(18)

Indonesia, dapat dilakukan oleh sendiri atau orang lain atau suatu korporasi pada umumnya selalu merugikan keuangan negara.4

Kejaksaan diberikan kewenangan oleh undang-undang di samping sebagai penuntut umum juga dapat berwenang sebagai penggugat atau tergugat untuk mewakili negara di dalam maupun di luar pengadilan.5 Pengembalian kerugian keuangan negara hasil dari perbuatan korupsi dalam pelaksanaannya terasa sulit diterapkan karena pada umumnya tindak pidana korupsi baik dalam skala kecil maupun skala besar dilakukan dengan cara-cara yang sangat rahasia, terselubung, melibatkan banyak pihak dengan solidaritas yang kuat untuk saling melindungi dan menutupi melalui manipulasi hukum, rekayasa hukum, dan masa bodoh para pejabat negara terhadap kepentingan rakyat. Bahkan harta kekayaan dari hasil jarahan para koruptor sudah sampai melewati lintas batas negara melalui ditransfer antar rekening

4

Koentjaraningrat., Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1974), hal. 75. Perbuatan korupsi merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, karena sudah menjadi budaya bangsa Indonesia akibatnya mencemaskan dalam masyarakat.

5

Marwan Effendy., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif

Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 136, tugas dan wewenang kejaksaan yang

bertindak sebagai JPN, diperjelas di dalam Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Profesi Jaksa memiliki aturan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah jaksa diperkenankan beracara dalam lapangan hukum perdata?, dalam lapangan hukum perdata berdasarkan undang-undang ini hanya ada 2 (dua) pasal yang mengatur secara tegas tentang jaksa dapat beracara dalam lapangan hukum perdata yaitu Pasal 30 Ayat (2), ”Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.” sedangkan dalam Pasal 35 butir d, ”Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”. Salah satu bentuk wewenang lain yang dimaksud tersebut adalah kewenangan untuk bertindak sebagai JPN yang diberi wewenang sebagai aktor yang berprofesi membela hak-hak negara dalam mengambil harta kekayaan atau aset hasil korupsi, bukanlah masalah atau hal yang baru karena telah menjadi hukum berdasarkan

Koninklijk Besluit tertanggal 27 April 1922, kurang jelas alasan-alasannya mengapa sampai tahun 1977


(19)

ke negara lain sebagai antisipatif dan untuk mengaburkan asal-usul sumber keuangan tersebut.6

Gagasan untuk menggugat Soeharto secara perdata, pertama kali dilontarkan oleh Baharudin Lopa yang menggantikan Marzuki Darusman. Setelah itu, penyidikan terhadap Soeharto menggantung karena sakit bahkan H.M. Soeharto telah meninggal dunia. Akhirnya dikeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) oleh Jaksa Agung yang dijabat Abdul Rahman Saleh pada 2004.7

Untuk mengembalikan kerugian keuangan negara, berdasarkan kewenangan Kejaksaan,8 maka dibentuklah tim Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disingkat JPN) di bawah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara untuk menggugat Soeharto secara perdata. JPN dipimpin langsung oleh Dachamer Munthe.9

Abdul Rahman Saleh belum sempat mewujudkan rencana gugatan perdata terhadap Soeharto sampai masa jabatannya berakhir karena harus diganti oleh Hendarman Supandji. Masa Kejaksaan Agung (Kejagung), dipimpin oleh Hendarman Supandji, resmi mendaftarkan gugatan perdata terhadap mantan Presiden Soeharto.10

6

Oka Mahendra., ”Kerjasama Bantuan Timbal Balik Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”, Makalah dalam Seminar ”Sinergi Pemberantasan Korupsi”, Jakarta, Selasa 4 April 2006, dikutip dari Alatas, ”Korupsi Sifat dan Fungsi”, tahun 1987, hal. 9.

7

Bismar Nasution., ”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Makalah, Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007, hal. 11.

8

Kejaksaan Agung RI., Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia/1945-1985, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985), hal. 226-227.

9

RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan

Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 42. 10


(20)

Secara resmi mendaftarkan gugatan terhadap mantan Presiden ke-2 RI tersebut ke Paniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 9 Juli 2007 dengan daftar perkara Nomor 904/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel. Dengan pendaftaran gugatan ini, Kejaksaan Agung membuka kembali upaya pengembalian kerugian keuangan negara terhadap harta kekayaan mantan Presiden Soeharto. Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN), Dachamer Munthe mengatakan, “Kualifikasi gugatan perdata yang didaftarkan Kejaksaan adalah perbuatan melawan hukum karena pengumpulan dana yang disalurkan kepada Yayasan Supersemar tidak sesuai dengan peruntukan”.11 Kejaksaan mengajukan gugatan ganti rugi materil sebesar Rp.1,5 triliun dan immateril Rp.10 triliun.

Gugatan perdata terhadap Mantan Presiden ke-2 Soeharto hanya terfokus pada pengembalian dana kepada negara saja, hal ini sesuai dengan asas dan tujuan di dalam Stolen Asset Recovery Initiative sebagai dasar pokok dalam pengembailan kerugian keuangan negara.12 Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya

11

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17123&cl=Berita, “Yayasan Supersemar Resmi Digugat”, ”Perburuan harta mantan Presiden Soeharto kembali dimulai. Mungkinkah berhasi?”, diakses terakhir tanggal 14 Januari 2010.

12

I. Gusti Ketut Ariawan., ”Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Volume 33 Nomor 01, Bali, Januari 2008, hal. 6, Negara Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. UNCAC 2003 telah diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB dalam resolusinya Nomor 58/4 Tanggal 31 Oktober 2003, dan terbuka untuk ditandatangani di Meksiko dari Tanggal 9 Desember 11 Desember 2003. Sebelum UNCAC 2003, ada dua konvensi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of Council of Europe) yaitu Criminal Law Convention on Corruption yang telah berlaku sejak Tanggal 1 Juli 2002, dan Civil

Law Convention on Corruption yang berlaku efektif sejak Tanggal 1 November 2003, dan telah

diratifikasi oleh 21 negara Uni Eropa. Selain itu, dapat dicatat bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah pula menghasilkan Africa Union Convention on Preventing and Combating


(21)

strategis di samping upaya pemberantasan (represif). Dan yang lebih penting lagi adalah strategi pengembalian asset (asset recovery) hasil korupsi.13

JPN tidak mengusut sampai kepada pihak yang menerima penyelewenangan melainkan pertanggungjawaban dipegang yayasan sebagai koorporasi.14 Total semua kerugian negara dari penyimpangan dana tersebut mulai dari Bank dan masyarakat sekitar 420 juta AS Dollar dan Rp.184 miliar, yang disalurkan kepada pihak ketiga yang diduga menerima dana dari Yayasan adalah sejumlah nama yang tercantum dalam dokumen mulai dari Bank Duta hingga Kelompok Usaha Kosgoro yang diperlihatkan kepada hukumonline.15

1. Sejumlah US $ 125.000.000 (seratus dua puluh lima juta dollar Amerika Serikat) pada tanggal 22 September 1990 diberikan kepada PT. Bank Duta; 2. Sejumlah US $ 19.959.807.,19 (sembilan belas juta sembilan ratus lima puluh

sembilan delapan ratus tujuh dollar Amerika Serikat sembilan belas sen) pada tanggal 25 September 1990 diberikan kepada PT. Bank Duta;

3. Sejumlah US $ 275.043.103,45 (dua ratus tujuh puluh lima juta empat puluh tiga ribu seratus tiga dollar Amerika Serikat empat puluh lima sen) pada tanggal 26 September 1990 diberikan kepada PT. Bank Duta;

4. Sejumlah Rp. 13.173.178.904,75 (Tiga belas miliar seratus tujuh puluh tiga juta seratus tujuh puluh delapan ribu sembilan ratus empat rupiah tujuh puluh lima sen) antara tanggal 23 September 1989 s/d 17 November 1997 diberikan kepada PT. Kiani Lestari dan PT. Kiani Sakti;

5. Sejumlah Rp. 150.000.000.000,- (Seratus lima puluh miliar rupiah) pada tanggal 13 November 1995 diberikan kepada PT. Kiani Lestari dan PT. Kiani Sakti;

13

Chapter V Artikel 51 dan 57 UNCAC 2003.

14

Muladi., Kebijakan Pidana Dalam Upaya Menanggulangi Pencemaran/Perusakan

Lingkungan Hidup, Makalah Pada Seminar Nasional Pengenalan Lingkungan Hidup dan Kebijakan

Penyidik secara Integratif, Hotel Emeral Garden Medan, 7-8 Januari 1997.

15

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17123&cl=Berita, Ibid, lihat juga Gugatan Dalam Perkara Perdata Diajukan Oleh JPN Sebagai Kuasa Dari Negara Republik Indonesia cq. Pemerintah Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia Sebagai Penggugat Terhadap H.M. Soeharto Sebagai Tergugat I dan Yayasan Supersemar Sebagai Tergugat II, Perkara Nomor: 904 Pdt.G/2007/PN.JAK.SEL, Tanggal 12 Februari 2008.


(22)

6. Sejumlah Rp. 12.744.870.000,00 (Dua belas miliar tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah) antara Desember 1982 sampai dengan Mei 1993 diberikan kepada PT. Kalhold Utama, Essam Timber dan PT. Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri; dan

7. Sejumlah Rp. 10.000.000.000,00 (Sepuluh miliar rupiah) pada tanggal 28 Desember 1993 diberikan kepada Kelompok Usaha Kosgoro.

Sebelum tahun 2001, peraturan secara tertulis tentang Yayasan belum ada. Dalam KUH Perdata hanya dijumpai ketentuan mengenai istilah saja yakni pada Pasal 365, Pasal 680, Pasal 1680, Pasal 1852 dan Pasal 1954 KUH Perdata. Dalam KUH Dagang dan peraturan-peraturan lainnya tidak ada yang mengatur mengenai Yayasan.16 Baru setelah 56 tahun Indonesia merdeka, Negara Republik Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001. 17

Setelah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 berjalan kurang lebih tiga tahun, akhirnya padatanggal 6 Oktober 2004 diubah melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430 dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005 satu tahun setelah diundangkan. Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, belum ada keseragaman tentang cara mendirikan Yayasan. Pendirian Yayasan hanya didasarkan kepada hukum kebiasaan, diktrin, dan yurisprudensi (kedua

16

Gatot Supramono., Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 11. disebutkannya bahwa Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal manusia sejak awal sejarah. Yayasan dengan tujuan khusus pun seperti keagamaan dan pendidikan sudah sejak lama pula ada. Pada tahun 1977, Belanda telah memiliki peraturan mengenai Yayasan. Secara khusus di atur dalam

Rechtspersoonen dalam Buku 2 Titel 5 Pasal 289 sampai dengan Pasal 305 yang dilakukan secara

sistematis mengenai ketentuan tentang syarat-syarat pendiriannya, kewenangan pengurusnya, dan sebagainya.

17


(23)

undang ini disebut UU Yayasan).18

Kalau dipelajari secara seksama, atas perubahan UU Yayasan tersebut, nampak adanya keinginan pemerintah untuk mengendalikan ataupun sekurang-kurangnya memonitor kegiatan yayasan di masa yang akan datang.19 Berbagai kasus penyalahgunaan yayasan selama ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan pengaturan masalah yayasan ini. Prinsip yang ingin diwujudkan dalam ketentuan UU Yayasan adalah kemandirian yayasan sebagai badan hukum, keterbukaan seluruh kegiatan yang dilakukan yayasan, dan akuntabilitas kepada masyarakat mengenai apa yang telah dilakukan oleh yayasan, serta prinsip nirlaba yang merupakan prinsip yang fundamental bagi suatu yayasan. 20

Ada 4 (empat) prinsip yang harus dimiliki Yayasan sesuai dengan harapan dalam UU Yayasan, yakni:21

1. Kemandirian Yayasan sebagai badan hukum; 2. Keterbukaan seluruh kegiatan Yayasan; 3. Akuntabilitas publik; dan

4. Prinsip nirlaba.

Menurut UU Yayasan, yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas

18

Anwar Borahima., Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan dan Tanggung

Jawab Yayasan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 22. 19

Ahmad Rafiq., Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 491-492.

20

Gatot Supramono., Op. cit., hal. 7. Prinsip nirlaba adalah dimana Yayasan diperbolehkan mencari keuntungan akan tetapi keuntungan tersebut tidak boleh dibagi-bagi kepada pengurus dan anggota dalam Yayasan sebagai dividen, dengan catata, dana yang disalurkan untuk membuka usaha tersebut tidak boleh lebih dari 25% dari total aset Yayasan.

21

Rita M., Risiko Hukum Bagi Pembina, Pengawas, dan Pengurus Yayasan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), hal. 71-72.


(24)

kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan tidak mempunyai anggota.

Yayasan sebagai suatu badan hukum terdapat pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan Anggota Koperasi.22

Secara philosofis dibentuknya suatu Yayasan bersifat nirlaba karena memang orang yang mendirikan Yayasan itu memiliki tujuan yang ideal yaitu mengutamakan kesejahteraan sosial, agama dan kemanusiaan. Dalam hal YBS adalah milik pemerintah Indonesia, jadi dalam hal ini pemerintah wajib mengetahui apakah dana yang telah diserahkan kepada YBS tersebut memang dipergunakan untuk kepentingan sosial, agama dan kemanusiaan.23 Yayasan bergerak di bidang nirlaba dalam UU Yayasan dibolehkan memiliki badan usaha dengan syarat bahwa dana untuk badan usaha tidak lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari total aset yayasan.24

22

Erman Rajagukguk., “Pengerian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara”, Makalah yang Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006, hal. 2.

23

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/12/04/brk,20071204-112844,id.html (1 of 2)1/17/2008 12:01:20 AM, diakses terakhir tanggal 16 Mei 2010.

24

http://www.pdf-search-engine.com/tempointeraktif.com, diakses terakhir tanggal 12 Februari 2010.


(25)

Terkait pertanggungjawaban Yayasan, maka pihak yang bertanggung jawab di dalam Yayasan adalah pengurus. Penguruslah yang mempertanggungjawabkan atas pengelolaan dana yayasan itu. Secara internal, maka pertanggungjawaban pengurus sudah selesai, akan tetapi secara external pengurus harus mempertanggungjawabkan pula berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku diluar Anggaran Dasar (AD) Yayasan.25 Dimana bahwa Yayasan Supersemar memiliki program beasiswa (disingkat YBS) untuk membantu siswa/siswi, pelajar yang pintar dan cakap, namun tidak memiliki kemampuan dari segi uang melanjutkan sekolah.

Hingga pada akhirnya JPN menggugat secara perdata biasa terhadap perbuatan melawan hukum Soeharto dan YBS. Pada tanggal 27 Maret 2008, PN Jaksel memutuskan bahwa Yayasan Supersemar wajib membayar US$ 105 juta ditambah Rp.46 miliar, atas gugatan JPN dalam kasus penyalahgunaan aliran dana yayasan.26

Gugatan perdata terhadap H.M. Soeharto dan YBS, berdasarkan asumsi terjadinya tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara, meski tindak pidana korupsi tidak cukup bukti untuk diajukan atau karena sebab-sebab yang

25

Sebelum adanya UU Yayasan, AD Yayasan Supersemar memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada pengurus tanpa adanya pengawasan. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 (yang lama) mengatakan yang berwenang melakukan perubahan Anggaran Dasar Yayasan adalah Pengurus Yayasan. Kemudian pendiri Yayasan Supersemar juga merangkap sebagai pengurus Yayasan, (dia mendirikan dan dia juga bertindak sebagai pengurus). Namun setelah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (yang baru), maka eksistensi Yayasan di lndonesia memperoleh landasan hukum yang kokoh.

26

http://www.menkokesra.go.id/content/view/10558/39/, ”Yayasan Supersemar tetap Kalah di Pengadilan Banding”, diakses terakhir tanggal 14 Janauari 2010. Lihat juga, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 904/Pdt.G/2007/PN Jakarta Selatan. Perbuatan melawan hukum Yayasan Supersemar didasarkan kepada Yayasan Supersemar telah menyalahgunakan dana beasiswa karena yang seharusnya diberikan pada pelajar dan mahasiswa kurang mampu, tetapi disalurkan ke sejumlah perusahaan milik mantan Presiden Soeharto.


(26)

membuat gugurnya penuntutan dan pemidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 32 UUPTPK. Di samping itu dasar gugatan juga di alasankan pada Pasal 34 UUPTPPK.27

Pada Salinan Resmi Putusan Perkara Gugatan Perdata terhadap HM. Soeharto dan YBS, selain dari Pasal 32, Pasal 34 UUPTPK, pengajuan gugatan juga didasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Selengkapnya pada bagian konsideran putusan berbunyi, ”Menimbang bahwa menurut hukum acara perdata, dalam hal mengajukan gugatan mengenai perbuatan melawan hukum tidak harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 32 UU No. 31 Tahun 1999, Pasal 29 A B dan Pasal 34 UU No. 31 Tahun l999 melainkan berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata”.28

Pasal 32, Pasal 34, UUPTPK dan Pasal 1365 KUH Perdata yang mendasari Jaksa Agung selaku pengacara negara mengajukan gugatan perdata terhadap Soeharto untuk memulihkan kerugian keuangan negara tersebut. Pasal 32 UUPTPK secara tegas dan jelas menyatakan bahwa gugatan perdata yang diajukan oleh Jaksa sebagai Pengacara Negara dilakukan dalam hal Penyidik menemukan dan berpendapatan bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Tim JPN.

27

UUPTPTK adalah Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 34 disebutkan, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan peneriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada JPN atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”

28


(27)

Peluang menggugat perdata sesungguhnya tidak terbatas hanya karena alasan tidak ditemukannya unsur cukup bukti, tetapi secara nyata ada kerugian negara, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3229, Pasal 3330, dan Pasal 34 UUPTPK31. Gugatan perdata juga dimungkinkan dilakukan dengan alasan; saat penyidikan atau pemeriksaan persidangan, pelaku tindak pidana korupsi meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Maka, Jaksa selaku pengacara negara atau instansi lain yang dirugikan, dapat mengajukan gugatan perdata.

UUPTPK mengatur tiga hal dalam kaitannya dengan pengembalian kerugian negara. Yaitu, Pertama, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang nyata seperti yang diatur dalam Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UUPTPK, Kedua, gugatan perdata terhadap harta benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara seperti yang

29

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dnegan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) sebagai berikut: Pasal 32 menyatakan:

(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan; dan

(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

30

Ibid., Pasal 33 menyatakan, “Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

31

Ibid., Pasal 34 menyatakan, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”


(28)

diatur dalam Pasal 38 C UUPTPK,32 Ketiga, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dengan jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) Huruf b UUPTPK.33 Upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata tersebut semakin kuat ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan kontroversial. Yakni, sifat perbuatan melawan hukum secara materiil dalam UUPTPK seperti yang dicantumkan dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1)34 adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Gugatan perdata terhadap H.M. Soeharto alias Soeharto, sebagai pendiri sekaligus sebagai Ketua YBS bertempat tinggal di Jalan Cendana Nomor 8 Jakarta Pusat (selanjutnya disebut Tergugat I) dan YBS, merupakan Badan Hukum yang

32

Ibid, Pasal 38 C, “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.”

33

Ibid, Pasal 18 Ayat (1) Huruf b, “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”;

34

Ibid, Penjelasan Pasal 2 Ayat (1), “Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.”


(29)

didirikan menurut hukum Indonesia, berkedudukan di Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 8-9 (Gedung Granadi) kuningan, Jakarta Selatan.35

Perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan adanya kerugian negara pada YBS bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah (selanjutnya disebut PP No. 15 Tahun 1976) yang kemudian diatur lebih lanjut dengan dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara (selanjutnya disebut Kepmenkeu No.333/KMK.011/1978). Karena sudah tidak sesuai dengan tujuan peruntukan yang telah ditetapkan dalam Pasal 2 huruf f PP No. 15 Tahun 1976 yang berbunyi, “5% (lima persen) dipergunakan untuk keperluan-keperluan di bidang sosial yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan Negara dengan persetujuan Presiden”. Kemudian dalam pada Pasal 1 Kepmenkeu No.333/KMK/.011.1978 ditentukan bahwa, “Dana yang berasal dari 5% (lima puluh persen) dari laba bersih bank-bank milik negara, 50% disetorkan langsung ke dalam rekening Yayasan Dharmais dan 50% (lima puluh persen) lainnya disetorkan langsung ke dalam rekening Yayasan Supersemar pada

35

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, “Gugatan Dalam Perkara Perdata Diajukan Oleh Jaksa Pengacara Negara Sebagai Kuasa Dari Negara Republik Indonesia cq. Pemerintah Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia Sebagai Penggugat Terhadap H.M. Soeharto Sebagai Tergugat I dan Yayasan Supersemar Sebagai Tergugat II”, Perkara Nomor: 904 Pdt.G/2007/PN.JAK.SEL, Tanggal 12 Februari 2008. Pengembalian kerugian keuangan negara tersebut, dilakukan melalui pengajuan gugatan berdasarkan asas dalam hukum perdata yakni ”perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad).


(30)

Bank Indonesia dengan nama rekening: 5% dari laba bersih bank-bank milik negara untuk keperluan sosial”.

Uang yang dipergunakan secara tidak sesuai dengan tujuan peruntukan tersebut mencapai sejumlah US $ 420.002.910,64 atau Rp.185.918.048.904, berdasarkan kepada ketentuan dalam PP No. 15 Tahun 1976 dan Kepmenkeu RI No.333/KMK.011/1978, yang seharusnya disetorkan kepada YBS untuk dipergunakan sesuai dengan tujuan peruntukan yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran rumah Tangga YBS untuk dana sosial, akan tetapi telah disalahgunakan oleh H.M. Soeharto dan YBS sebagaimana diuraikan di atas maka Penggugat berhak untuk menuntut agar uang tersebut dikembalikan kepada Negara karena negara sudah dirugikan.

Dengan digunakannya sejumlah uang US $ 420.002.910,64 atau Rp.185.918.048.904,75 yang tidak sesuai dengan tujuan peruntukannya itu sehingga mengakibatkan banyak siswa/mahasiswa Indonesia yang cukup cakap, tetapi tidak dapat melanjutkan pelajarannya karena kesulitan dalam pembiayaan, karena telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bantuan biaya pendidikan. Oleh karena itu, maka Tim JPN dalam gugatannya mencantumkan sejumlah gugatan materil dan immateril terhadap H.M. Soeharto dan YBS diperkirakan sebesar Rp.1,5 triliun dan immateril Rp.10 triliun.

Perbuatan H.M. Soeharto dan YBS sebagaimana diuraikan di atas merupakan Perbuatan Melawan Hukum/PMH (Onrechtmatige Daad) sebagaimana yang


(31)

dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata,36 karena perbuatan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 huruf f PP No. 15 Tahun 197637 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Pasal 1 Kepmenkeu No.333/KMK.011/197838 serta Pasal 3 Ayat (2) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga YBS.39

Perbuatan melawan hukum tersebut dikatakan merugikan keuangan negara karena, Pertama, Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan sesuai dengan ketentuan Pasal 31 UUD 1945, Negara mempunyai kewajiban konstitusional untuk memenuhi hak setiap warga Negaranya mendapatkan pengajaran, pencapaian tujuan antara lain dipercayakan kepada YBS,

Kedua, Dana yang oleh negara telah disetorkan kepada YBS berdasarkan PP No. 15

Tahun 1976 yang kemudian diatur lanjut dengan Kepmenkeu No.333/KMK.011/1978, serta ketentuan Pasal 3 ayat (2) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga YBS, telah berakibat bahwa dana tersebut tidak dapat

36

Subekti., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1990), hal. 288, Pasal 1365 menyebutkan: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”.

37

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara, Pasal 2 Huruf f menyebutkan: “5% (lima persen) dipergunaakan untuk keperluan-keperluan di bidang sosial yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan dengan persetujuan Presiden”.

38

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 333/KMK.011/1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% (Lima Persen) Dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara, Pasal 1 menyatakan: “Dana yang berasal dari 5% (lima persen) dari laba bersih bank-bank milik negara, 50% disetorkan langsung ke dalam rekening Yayasan Dharmais dan 50% lainnya disetorkan langsung ke dalam rekening Yayasan Supersemar pada Bank Indonesia dengan nama rekening 5% dari

laba bersih bank-bank milik negara untuk keperluan sosial”. 39

Angaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan Supersemar (AD dan ART), Pasal 3 Ayat (2) Menyatakan maksud dan tujuan Yayasan adalah:

1. Membantu/membina para siswa/mahasiswa yang cukup cakap, tetapi tidak dapat melanjutkan pelajarannya karena kesulitan dalam pembiayaan;


(32)

digunakan untuk membantu/membina para siswa/mahasiswa cukup cakap yang tidak mampu melanjutkan pelajarannya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan pokok permasalahan yang diteliti di dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kerugian keuangan negara dan perbuatan melawan hukum sebagai unsur tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana gugatan perdata atas kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar?

3. Bagaimana analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap kerugian keuangan negara yang dilakukan H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendalami kerugian keuangan negara dan perbuatan melawan hukum sebagai unsur tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui dan mendalami gugatan perdata atas kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar.


(33)

3. Untuk menganalisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap kerugian keuangan negara yang dilakukan H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar.

D. Manfaat Penelitian

Permasalahan yang diteliti di dalam penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan membuka paradigma berfikir terhadap permasalahan tindak pidana korupsi dan kerugian keuangan negara berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan masukan terhadap eksekusi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;

2. Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi. Khususnya bagi masyarakat umum agar dapat mengetahui sejauh mana penerapan undang-undang yang berkenaan dengan korupsi Soeharto dan YBS dan secara tidak langsung publik juga mengetahui hak-hak rakyat yang dikorupsi semasa rezim pemerintahan mantan Presiden Republik Indonesia ke-2 Soeharto dan YBS telah dipulihkan


(34)

atau dikembalikan kepada publik yang seharusnya diperuntukkan oleh negara kepada bantuan sosial kemasyarakatan.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pemeriksaan data tentang ”Kerugian Keuangan Negara Pada YBS”, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada baik di perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di Perpustakaan Besar Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan di luar dari pada Kampus Universitas Sumatera Utara serta di institusi lain mengenai judul di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Menurut hukum perdata, ada dua subyek hukum yang dikenal yaitu orang (persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Kedua subyek hukum ini sebagai pengemban hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, terhadap keduanya diwajibkan hukum untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Hal ini sehubungan dengan suatu asas dalam hukum perdata menyebutkan bahwa semua kekayaan seseorang menjadi tanggungan untuk segala kewajibannya, juga yang dinamakan kematian


(35)

perdata, yaitu suatu hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi.40

Selain orang, subyek hukum yang kedua adalah badan hukum (rechtspersoon). Badan hukum ini juga memiliki hak dan kewajiban sebagaimana layaknya manusia bernyawa. Badan hukum meliputi organisasi atau perkumpulan yang memiliki kekayaan sendiri ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraannya manusia. Jadi badan hukum itu adalah orang yang diciptakan oleh hukum. Biasanya orang memiliki tempat tinggal (domicili), begitu pula suatu badan hukum juga memiliki tempat tinggal.41

Subyek hukum dalam tindak pidana korupsi meliputi orang dan badan hukum. Sebagaimana orang yang sudah meninggal dunia, maka subyek hukum yang masih mengemban hak dan kewajiban itu adalah orang yakni ahli waris termasuk pula organisasi atau perkumpulam yang didirikan berdasarkan badan hukum di Indonesia.

Badan hukum juga disebut dengan korporasi.42 Korporasi disebut juga legal

personality artinya korporasi dapat memiliki harta kekayaan sebagaimana halnya

manusia dapat menuntut dan dapat dituntut dalam kasus perdata. Dalam

40

Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1982), hal. 19-21.

41

Ibid., hal. 21.

42

Chaidir Ali., Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 65. Korporasi berasal dari kata

corporatio atau corporation artinya secara luas adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu

badan susila yang diciptakan menurut undang-undang suatu negara untuk menjalankan suatu usaha atau aktifitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut di muka persidangan pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakan fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. Pada umumnya suatu korporasi dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau partikelir.


(36)

perkembangannya korporasi sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat mempertanggugjawabkan dalam hukum pidana dan hukum perdata sudah merupakan realita.

Mulanya orang menolak korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Alasannya, korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga korporasi dianggap tidak mungkin melakukan kesalahan, dan pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi. Namun, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi, maka timbul pemikiran untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara pidana. Korporasi dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh anggotanya dalam kaitannya dengan ruang lingkup pekerjaannya. Tentu saja pidana yang dijatuhkan kepada korporasi biasanya berupa pidana denda.43

Menurut Utrech dan M. Soleh Djindang, korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu objek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, namun mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.44 Sementara menurut Muladi dan Dwija Prijatna, korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak hukum untuk tujuan tertentu. Sedangkan Subekti dan Tjitrosudiro menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan

43

Ibid., hal. 51.

44


(37)

hukum. Pramadya Puspa, mengartikan korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum, yang dimaksudkan sebagai suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal), sebagai pengemban atau pemilik hak dan kewajiban, memiliki hak menggugat atau digugat di muka persidangan pengadilan.45

Berbagai pengertian mengenai korporasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa korporasi mempunyai arti yang luas. Pengertian korporasi juga lebuh luas dari pengertian badan hukum, hal ini terlihat dari berbagai ketentuan perundang-undangan di luar KUH Pidana yang memakai istilah badan usaha, sekelompok orang dan lain sebagainya sebagai subjek hukum pidana.

Mengenai bentuk-bentuk korporasi, tidak terlepas dari persoalan dunia bisnis.46 Ruang lingkup usaha korporasi itu cukup luas, bisa meliputi bidang industri, bidang perdagangan, bidang jasa dan bidang lainnya. Dalam melaksanakan bisnis ini maka bisa dilakukan oleh perseorangan dan juga dilakukan dalam suatu organisasi atau perkumpulan untuk bisnis-bisnis yang besar, yang dinamakan korporasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.

Subjek hukum dalam tindak pidana korpusi adalah orang, badan hukum, dan korporasi. Akan tetapi secara umum korporasi dipandang sama dengan badan hukum.

45

Muladi., dan Dwija Prijatna., Pertanggungjawaban Korporasi Adalah Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hal. 14.

46

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 89. Kata bisnis berasal dari Bahasa Inggris “business” yang berarti kegiatan usaha. Secara luas kata bisnis sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus yang berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan atau disewagunakan dengan mendapat keuntungan.


(38)

Sebagaimana yang dikatakan Setiyono, adalah ”Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidna dan kriminologi untuk menyebut apa yang di bidang hukum lain, khususnya di bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris disebut dengan legal person atau legal body.”47

Alasan pemikiran untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum di samping subjek hukum manusia alamiah adalah karena ingin kerja sama untuk memperoleh keuntungan dan membagi risiko jika sewaktu-waktu timbul kerugian. Alasan lainnya adalah agar memudahkan menunjuk siapa subjek hukum yang harus bertanggung jawab di antara sedemikian banyak orang-orang yang terhimpun dalam badan tersebut, yang secara yuridis mengonstruksikannya cukup dengan menunjuk ”badan” itu sebagai subyek hukum yang harus bertanggung jawab.48

Korporasi sebagai subyek hukum di atas menyangkut subyek hukum Soeharto (orang) dan Yayasan Beasiswa Supersemar (sebagai badan hukum atau korporasi) pelaku dalam tindak pidana korupsi. Terhadap kasus gugatan perdata Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar dilakukan gugatan perdata biasa. Karena jalur keperdataan dalam pengembalian aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian korupsi. Pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak pidana.

47

Sutiyono., Kejahatan Korporasi, Analisis Victimologis dan Pertanggungjawaban

Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2009), hal. 2. 48


(39)

Implementasinya adalah apa yang disebut civil forfeiture. Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal.49

Model civil forfeiture adalah model yang menggunakan pembalikan beban pembuktian, dinama bahwa model ini merupakan model yang memfokuskan kepada gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku (tersangka atau terdakwa). Penyitaan dengan menggunakan model civil forveiture ini lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana. Sehingga aset negara dapat diselamatkan meski tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia. Karena pada prinsipnya penerapan model ini adalah bahwa hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat. Terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara

civil forfeiture dibandingkan dengan criminal forfeiture, antara lain; Pertama, Civil

forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat

lebih cepat diminta kepada pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan secepat mungkin begitu adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana. Kedua,

Civil forfeiture menggunakan standart pembuktian perdata, tetapi dengan

menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam

49

Anthony Kennedy, “Designing a civil forfeiture system: an issues list for policymakers and legislator”, Journal of Financial Crime, Tanggal 13 Februari 2006, hal. 5.


(40)

melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan. Ketiga, Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap asset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Keempat, Civil forfeiture berguna bagi kasus dimana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin untuk dilakukan. Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju mungkin bisa dijadikan wacana di Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan dalam proses persidangan.50

Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan potensi civil

forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula

memerlukan suatu re-strukrisasi hukum nasional. Restrukrisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang

50


(41)

hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Di samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Yang lebih penting, adalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum51.

Masalah pembuktian menggunakan asas civil forfeitur akan tetapi instrumen hukum yang diterapkan untuk mengembalikan aset negara atau harta negara yang dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu berdasarkan hukum perdata, diperani oleh Jaksa dengan sebutan Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disebut JPN). Untuk kekayaan negara dalam hal ini disamakan dengan aset negara yang haknya diambil alih oleh seorang atau lebih atau suatu korporasi yang dapat dimungkinkan terjadi melalui perbutaan korupsi selama melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.

Dalam civil forfeiture menggunakan guagatan in rem. Gugatan in rem adalah suatu guagatan yang substansinya merupakan perampasan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi secara perdata yakni dengan pemulihan kembali harta kekayaan negara yang telah dikorupsi. Berbeda dengan perampasan harta kekayaan

51

Bismar Nasution, ”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Makalah, Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007, hal. 11.


(42)

secara pidana merupakan bagian dari pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu perkara pidana, jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan in

personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem terhadap harta kekayaan yang

terkait dengan tidak pidana. Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap asset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Terhadap civil forfeiture cukup menjanjikan karena dapat melakukan penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset hasil korupsi secara perdata.52

Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. UNCAC 2003 telah diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB dalam resolusinya Nomor 58/4 Tanggal 31 Oktober 2003, dan terbuka untuk ditandatangani di Meksiko dari Tanggal 9 Desember 11 Desember 2003. Sebelum UNCAC 2003, ada dua konvensi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of

Council of Europe) yaitu Criminal Law Convention on Corruption yang telah berlaku

sejak Tanggal 1 Juli 2002, dan Civil Law Convention on Corruption yang berlaku efektif sejak Tanggal 1 November 2003, dan telah diratifikasi oleh 21 negara Uni Eropa. Selain itu, dapat dicatat bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah pula menghasilkan Africa Union Convention on Preventing and

52

Oloan Harahap., “Analisis Guigatan Bersifat In Rem Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi pada Sistem Common Law”, Laporan Penelitian Tesis, Pasacasarjana USU, 2009, hal. 2.


(43)

Combating Corruption, yang ditetapkan di Adis Ababa pada Tanggal 18 s/d 19

September 2002.53

Dalam materi UNCAC 2003 tercermin suatu perubahan cara pandang terhadap multi aspek korupsi, antara lain:54

a. Masalah korupsi memiliki multi aspek, aspek hukum, HAM, pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, keamanan;

b. Bahwa sistem pembuktian secara konvensional tidak selalu ampuh dalam pemberantasan korupsi, sehingga beban pembuktian terbalik merupakan alternatif solusi yang potensial.

Ratifikasi UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia yang secara politis menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi lewat kerjasama internasional, diharap mampu memberikan dorongan terutama bagi negara- negara lain yang kurang kooperatif dalam pengembalian asset hasil korupsi di Indonesia, di samping pula langkah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi dari negara lain akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi secara global.

Dijelaskan pula bahwa pemberantasan korupsi sebenarnya bukanlah hanya dalam lingkup penegakan hukum pidana lewat penuntutan (conviction) lewat suatu proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata-mata, melainkan juga dapat dilaksanakan lewat upaya keperdataan (civil proceeding). Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya strategis di samping upaya pemberantasan

53

I. Gusti Ketut Ariawan, ”Stolen Asset RecoveryInitiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Volume 33 Nomor 01, Bali, Januari 2008, hal. 6.

54


(44)

(represif). Dan yang lebih penting lagi adalah strategi pengembalian asset (asset

recovery) hasil korupsi. Suatu hal yang paling mendasar dalam UNCAC 2003, adalah

kerjasama internasional di bidang asset recovery.55

UNCAC 2003 disusul dengan diluncurkannya Stolen Asset RecoveryInitiative (StAR), pada bulan Juni 2007, yang memuat challenges, opportunities dan action

plan dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi. StAR (Stolen Asset Recovery)

merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa khususnya UNODC (United Nations Office on Drugs

and Crimes) untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam

mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian asset hasil kejahatan (terutama korupsi) di negara-negara sedang berkembang. StAR merupakan bagian integral dari Governance and Anti Corruption

Strategy World Bank Group yang menyatakan perlunya bantuan bagi negaranegara

berkembang dalam pengembalian asset. Progam yang diluncurkan oleh PBB ini sebenarnya terinspirasi dari keberhasilan Peru, Nigeria dan Filipina dalam mengembalikan aset-aset yang diinvestasikan di Negara lain oleh mantan kepala negaranya. Walaupun keberhasilan tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama.

55


(45)

Pengembalian asset tersebut dilakukan dengan melalui proses litigasi dan permintaan antar pemerintah melalui MLA (Mutual Legal Assistance). Bila dielaborasi, tujuan StAR adalah dalam rangkaian:56

1. Memberikan faktor deterence dengan menunjukkan bahwa tidak adanya safe

haven bagi koruptor serta meningkatkan kewaspadaan komunitas

internasional untuk memberikan komitmen penuh dalam pemberantasan korupsi;

2. Meningkatkan kapasitas dalam mengembalikan aset-aset yang dicuri dan mencegah tindak pidana korupsi di masa depan. Aset-aset yang berhasil dikembalikan, dipergunakan untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan; dan

3. Meningkatkan kerjasama negara-negara berkembang dengan membantu mengurangi hambatan-hambatan yang dialami negara-negara tersebut dalam upayanya mengembalikan asset yang dicuri. Mendorong upayaupaya bersama untuk mengembalikan asset-aset negara berkembang yang seringkali disimpan di negara maju.

Salah satu bentuk kerjasama Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) yang dapat dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam UNCAC 2003, pada prinsipnya dapat dilakukan 3 (tiga) bentuk yaitu, Pertama, yang dibuat secara bilateral, Kedua, yang dibuat secara regional,

Ketiga, yang dibuat secara multilateral.57 Pada prinsipnya Perjanjian Bantuan Hukum

Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA), menurut Yunus Husein,58 harus memperhatikan prinsip persamaan (aquality) yang didasarkan pada sikap saling menghargai dan kedaulatan (souvereignity) dari negara-negara yang terlibat dalam

56

I. Gusti Ketut Ariawan, Op. cit, hal. 8.

57

Zulkarnain Sitompul, “Merampas Hasil Korupsi Tantangan Kerjasama Internasional, Forum Keadilan”, Nomor 40, Tanggal 13 Februari 2005.

58

Yunus Husein, “Perspektif dan Upaya yang Dilakukan Dalam Perjanjian Bantuan Hukum timbal Balik Mengenai tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)”, Makalah disampaikan pada Seminar tetang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalh Pidana, yang diselenggarakan oleh BPHN, Bandung, Tanggal 29 s/d 30 Agustus 2006, hal. 21.


(46)

kerjasama tersebut, dan kerjasama yang tertuang dalam perjanjian Internasional akan berlaku dan mengikat secara politik dan hukum (legally and politically binding effect) kepada negara-negara yang membuatnya.

Stolen Asset Recovery Initiative merupakan program bersama yang

diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank)59 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangkaian peningkatan kerjasama internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil korupsi di negara-negara sedang berkembang.

Objek tindak pidana korupsi adalah keuangan negara. Sementara keuangan negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat menentukan kelangsungan perekonomian baik sekarang maupun yang akan datang. Kalau semakin banyak korupsi, maka terhadap kelangsungan perekonomian suatu bangsa akan terganggu.60

Pengaturan keuangan negara dalam UUD 1945 yang sangat singkat dan diatur dalam Pasal 23 Bab VIII tentang “Hal Keuangan”, menjadi titik awal (starting point) pengaturan hukum keuangan negara di Indonesia. Meskipun rumusannya sangat

59

I. Gusti Ketut Ariawan, Op. cit, hal. 9.

60

Hilman Tisnawan., “Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebansentralan 42 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005, hal. 1.


(47)

singkat, tidak berarti pasal tersebut tidak mengandung makna secara filosofis, yuridis, maupun historis.61

Definisi keuangan negara bersifat plastis, tergantung kepada sudut pandang, apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang apabila bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Negara maupun Perum. Dengan kata lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Perusahaan Jawatan, Perusahaan Negara maupun Perum dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.62

Mengenai definisi keuangan negara, Erman Rajagukguk melakukan beberapa pendekatan seperti yang dikutip peneliti berikut ini:63

“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara

61

Arifin P. Soeria Atmadja (I)., “Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka: Masalah dan Prospeknya Bagi Indonesia Inc.”, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI), hal. 2. Lihat juga, A.K. Pringgodigdo., Tiga

Undang-Undang Dasar, Cet., 4, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1974), hal. 79. 62

Hilman Tisnawan., Op. cit, hal. 2.

63


(48)

mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan”.

Selanjutnya bahwa keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:64

1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;

2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Menurut M. Solly Lubis, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.65

Sedangkan definisi keuangan negara yang terdapat di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut dengan UU Keuangan Negara), bahwa, ”Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik

64

Ibid., hal. 3.

65


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ais, Chatamarrasji., Badan Hukum Yayasan, Suatu Analisis Mengenai Yayasan

Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Alatas, Syed Husein., Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1983.

Ali, Chaidir., Chaidir Ali., Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1987.

Arief, Barda Nawawi., dan Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni 1992.

Atmadja (I), Arifin P. Soeria., “Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka: Masalah dan Prospeknya Bagi Indonesia Inc.”, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI).

______(II), Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori,

Praktik dan Kritik, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum universitas

Indonesia, 2005.

Barnet, Tood., “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesne Law Review Fall 2001.

Borahima, Anwar., Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan dan

Tanggung Jawab Yayasan, Jakarta: Prenada Media Group, 2010.

Effendy, Marwan., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari

Perspektif Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Iskandar, Eka., ”Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata”, konsultan hukum, meraih gelar Doktor dari Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), tanggal 13 Agustus 2008. Kanter, E.Y., dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002.

Kejaksaan Agung RI., Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik

Indonesia/1945-1985, Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985.

Kholis, Efi Laila., Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta: Solusi Publishing, 2010.

Koentjaraningrat., Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia, 1974.


(2)

Liliana Tedjosaputro., Etika Profesi dan Profesi Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 2003.

Lubis, M. Solly., Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: CV. Mandar Maju, 1994. Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Muladi., dan Dwija Prijatna., Pertanggungjawaban Korporasi Adalah Hukum

Pidana, Cetakan Pertama, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991.

Nieuwenhuis, J.H., Pokok-pokok Hukum Perikatan, Surabaya: tanpa penerbit, 1985. Pringgodigdo, A.K., Tiga Undang-Undang Dasar, Cet., 4, Jakarta: PT.

Pembangunan, 1974.

Rafiq, Ahmad., Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998. Romantz, David Scott., “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative

Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28

Suffolk University Law Review, 1994.

Rita M., Risiko Hukum Bagi Pembina, Pengawas, dan Pengurus Yayasan, Jakarta: Forum Sahabat, 2009.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Pelita, 1994.

Soekanto, Soerjono., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

______Purnadi Purbacaraka dan Soerjono., Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Alumni, 1982.

______Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Sidman, Ann, dkk., Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan

Masyarakat Yang Demokratis, (Terjemahan Johanes Usfunan cs). Jakarta:

ELIPS, 2001.

Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1982.

______Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1990. Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2001.


(3)

Supriadi., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Surachman, RM., dan Andi Hamzah., Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan

Kedudukannya, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Syahrani, H. Ridwan., Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT. Alumni, 2004.

Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

B. Perundang-Undangan

Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dnegan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (UU Korupsi Lama).

Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 333/KMK.011/1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% (Lima Persen) Dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara.

Angaran Dasar Yayasan Supersemar.

Nota Pembelaan Terhadap Requisitoir/Surat Tuntutan Jaksa Nomor Reg. Perkara: PDS-08/JKT.SL/Ft.1/09/2005.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 904/Pdt.G/2007/PN Jakarta Selatan.

C. Makalah, Jurnal, Artikel, Loka Karya, dan Diktat

Ariawan, I. Gusti Ketut., ”Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Volume 33 Nomor 01, Bali, Januari 2008.

Arief, Barda Nawawi., Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang

Pemberantasan Korupsi, Makalah seminar di Unsoed, Poerwokerto, 1999.

Stephen D. Plats, dalam Triaji, Optimalisasi Fungsi BPK dalam Pengawasan

Keuangan Negara, Sebagai Upaya Preventif terjadinya KKN, Seminar di


(4)

Atmadja (III)., Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam Perspektif Teori, Praktik, dan Kritik”, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, dalam Jurnal Hukum Perbankan dan Kebangsentralan, 42 Vol. 3 No. 3, Desember 2005.

Effendy, Marwan., ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007.

Chapter V Artikel 51 dan 57 UNCAC 2003.

Mahendra, Oka., ”Kerjasama Bantuan Timbal Balik Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”, Makalah dalam Seminar ”Sinergi Pemberantasan Korupsi”, Jakarta, Selasa 4 April 2006, dikutip dari Alatas, ”Korupsi Sifat dan Fungsi”, tahun 1987.

Muladi., Kebijakan Pidana Dalam Upaya Menanggulangi Pencemaran/Perusakan

Lingkungan Hidup, Makalah Pada Seminar Nasional Pengenalan Lingkungan

Hidup dan Kebijakan Penyidik secara Integratif, Hotel Emeral Garden Medan, 7-8 Januari 1997.

Nasution, Bismar., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.

______”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Makalah, Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007.

Rajagukguk, Erman., “Pengerian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara”, Makalah yang Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006.

Soepardi, Eddy Milyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, Makalah disampaikan dalam ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009.

Simatupang, Dian Puji., Hak Menguasai Negara Dalam Keuangan Publik: Konsep,

Teori dan Praktik, Bahan Kuliah Hukum Anggaran Negara, Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2007.

Suminto., “Pengelolaan APBN Dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara”, Makalah Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan sebagai bahan penyusunan Budget in Brief 2004.

Sutiyono., Kejahatan Korporasi, Analisis Victimologis dan Pertanggungjawaban


(5)

Tisnawan, Hilman., “Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebansentralan 42 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005.

Theberge, Leonard J., “Law and Economic Development”, Journal of International

Law and Policy. Vol. 9 Tahun 1980.

Wandatama, Ario., dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasinal, 2007.

D. Surat Kabar

Jawa Pos., tanggal 10 Juli 2007. Kompas., tanggal 26 Juli 2006. Jawa Pos, tanggal 1 Agustus 2007. E. Internet

http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/3567745.stm, diakses terakhir tanggal 18 Maret 2010.

http://dir.groups.yahoo.com/group/beritakorupsi/message/3227, ”Soeharto Digugat, Siapa Menyusul?”

http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=294079, diakses terakhir tanggal 13 Janauri 2010.

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17123&cl=Berita, “Yayasan Supersemar Resmi Digugat”, ”Perburuan harta mantan Presiden Soeharto kembali dimulai. Mungkinkah berhasi?”, diakses terakhir tanggal 13 Januari 2010. http://www.menkokesra.go.id/content/view/10558/39/, ”Yayasan Supersemar tetap

Kalah di Pengadilan Banding”, diakses terakhir tanggal 14 Januari 2010.

http://www.wisnuwardhana.ac.id., “Catatan Tentang Badan Hukum”, oleh: Yudhipanto, dikases terakhir tanggal 14 Januari 2010.

http://www.pdf-search-engine.com/tempointeraktif.com, diakses terakhir tanggal 12 Februari 2010.

http://www.thenewspaper.com/rlc/docs/2007/ontarioag-size.pdf, Ministry of the Attorney General, Civil Forfeiture in Ontario, An Update On the Civil Remedies Act, 2001, Ministry of the Attorney General, 2007, diakses terakhir tanggal 14 Januari 2010.

http://antikorupsi.org/indo/content/view/11007/6/, diakses terakhir tanggal 12 Januari 2010.


(6)

189

http://www.duniaesai.com/hukum/hukum3.html, diakses terakhir tanggal 13 Januari 2010.

http://www.inilah.com/berita/2008/06/27/35446/calon-jamdatun-menghadapjakgung/, diakses terakhir tanggal 13 Januari 2010.

http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/10/06/prinsip-pengembalian-aset-hasil-korupsi-agian-vii/, Artikel, Oleh: S. Eka Iskandar, (Advokat & Konsultan Hukum Bisnis), ”Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi-Bagian VII”, diakses terakhr tanggal 12 Januari 2010.