Dasar Hukum Dalam Peraturan Pemerintah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Akan tetapi istilah JPN ini mulai digunakan atau diterapkan secara resmi di lapangan, setelah diungkannya UUPTPK. Dimana telah jelas-jelas disebutkan di dalam pasal-pasalnya yakni dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 UUPTPK tersebut.

4. Dasar Hukum Dalam Peraturan Pemerintah

Bahwa dalam mencapai tujuan Negara Republik Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 333KMK.0111978 tanggal 30 Agustus 1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5 lima persen dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, yang menentukan bahwa 50 lima puluh persen dari 5 lima persen sisa laba bersih Bank-Bank milik Negara harus disetorkan langsung ke dalam rekening Yayasan Beasiswa Supersemar YBS atau Tergugat II. Bahwa dengan aturan tersebut YBS memperoleh sejumlah dana untuk digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan YBS sesuai dengan Pasal 3 ayat 2 Anggaran Dasar Yayasan yang berbunyi sebagai berikut: 164 164 Pasal 3 ayat 2 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar Nomor 37. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan Supersemar dibuat dan dinyatakan berlaku seteleh ditandatangani para pengurus, saksi-saksi dan Notaris Drs. Gde Ngurah Rai, SH Notaris di Jakarta, Nomor 37 tanggal 16 Mei 1974. Universitas Sumatera Utara 1. Membantumembina para siswamahasiswa yang cukup cakap tetapi tidak dapat melanjutkan pelajarannya karena kesulitan dalam pembiayaan; dan 2. Lain-lain bagi kepentingan pendidikan. Secara khusus bahwa kejaksaan sesuai dengan amanat di dalam Undang- Undang Kejaksaan, maka Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia memberikan Surat Kuasa Khusus dengan hak Subtitusi dari Presiden Republik Indonesia kepada Jaksa Agung Republik Indonesia tanggal 2 Februari 2007 dan Surat Kuasa Khusus Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor SK-047AJ.A052007 tanggal 25 Mei 2007 kepada para Jaksa Pengacara Negara.

C. Kontradiksi Penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Terdapat perbedaan pendapat di kalangan praktisi hukum dan akademisi hukum dalam penentuan undang-undang mana yang semestinya diberlakukan terhadap perkara Nomor 904Pdt.G2007PN Jakarta Selatan. Apakah menerapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 undang-undang anti korupsi yang lama atau UUPTPK undang-undang anti korupsi yang baru?. Sementara YBS sendiri berdiri di masa berlakunya undang-undang anti korupsi yang lama. YBS didirikan dengan Akte Notaris Drs. Gde Ngurah Rai, SH Notaris di Jakarta, Nomor 37 tanggal 16 Mei 1974, jika terjadi penyalahgunaan wewenang dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi dilakukan oleh para pengurus Yayasan dimana melanggar ketentuan di dalam undang-undang korupsi seharusnya menurut Universitas Sumatera Utara asas hukum pidana yang menyatakan bahwa, ”Ketentuan pidana dalam undang- undang tidak boleh berlaku surut”. 165 Asas yang menyebutkan bahwa hukum undang- undang tidak boleh berlaku surut ini, terdapat di dalam Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana, yang ditentukan bahwa, ”Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”. 166 Ketentuan pasal 1 ayat 1 tersebut merupakan suatu asas hukum yang lebih dikenal dengan asas legalitas dengan kata lain bahwa asas legalitas ini dalam bahasa latin adalah nullum delictum nulla poena sine praevia lege artinya tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. 167 Ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana tersebut, kemudian diperjelas dalam Pasal 1 ayat 2 mengisyaratkan tenggang waktu atau daluarsa, terhadap tersangka atau terdakwa sebaiknya dikenakan undang-undang yang menguntungkan baginya. 168 165 E.Y. Kanter., dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hal. 75-76. Misalnya dalam hal seseorang suatu tindakan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang, kemudian ketentuan pidana itu dihapuskan, sebelumpetindak diadili, seharusnya petindak tetap dipidana berdasarkan ketentuan pidana yang lama yang berlaku pada saat tindakan itu dilakukan. 166 R. Soesilo., Op. cit, hal. 27. 167 Moeljatno., Loc. cit, hal. 23. Lihat juga, E.Y. Kanter., dan S.R. Sianturi., Op. cit, hal. 78- 80. Dalam buku karangan E.Y. Kanter., dan S.R. Sianturi tersebut, dipaparkan mengenai masih adanya Perbedaan pendapat mengenai kekecualian asas legalitas itu, hingga sampai saat ini masih tetap banyak diperdebatkan oleh para sarjana hukum. 168 Ibid, hal. 35. Universitas Sumatera Utara Pasal 1 ayat 2 KUH Pidana tersebut, yang ditentukan bahwa, ”Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.” Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 2 inilah yang merupakan pengecualian dari ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana. Oleh sebab itu, maka perlu diketahui bahwa asas tidak boleh berlaku surut dalam hukum pidana tersebut, tidak selama bisa dipakai atau tidak berlaku mutlak untuk diterapkan. Karena ada pengecualian terhadap asas tidak boleh berlaku surut ini. Pengecualian itu sesuai dengan adagium hukum yang menyebutkan bahwa, ”Tidak ada suatu peraturan yang tanpa kekecualian”. 169 Jika meneliti kepada asas hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan YBS, terjadi pada tahun 1974 tiga tahun setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi yang lama diundangkan. Maka, seharusnya dalam penentuan pasal-pasal terhadapnya didasarkan kepada ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. YBS didirikan pada tahun 1974 sesuai dengan Anggaran Dasar, namun, dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengurusnya, dalam perkara perdata Nomor 904Pdt.G2007PN Jakarta Selatan atas tergugat mantan Presiden Soeharto dan YBS, tetap saja dikenakan atau didasarkan kepada Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 169 E.Y. Kanter., dan S.R. Sianturi., Op. cit, hal. 79. Universitas Sumatera Utara 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UUPTPK. Hal ini merupakan kekecualian dari Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sulit dalam penentuan maksud Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana tersebut di lapangan. Oleh sebab itu, para praktisi hukum baik pengacara, polisi, jaksa dan hakim dan akademisi hukum seharusnya harus jeli dalam membentuk pemahamannya untuk menerapkan ketentuan tersebut. Sehubungan dengan itu, sesuai dengan permasalahan yang diteliti di dalam penelitian ini mengenai tindak pidana korupsi terhadap Soeharto dan YBS, maka terdapat hal-hal yang menjadi dasar dikecualikannya ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana tersebut adalah karena akibat tindak pidana korupsi yang diperbuat oleh mantan Presiden Soeharto dan YBS tersebut, telah nyata-nyata terjadi unsur perbuatan tindak pidana korupsi itu senidiri yaitu, 1 Adanya Perbuatan Melawan Hukum onrechtmatige daad, dan 2 Adanya unsur kerugian keuangan negara mencapai sejumlah uang US 420.002.910,64 Empat ratus dua puluh juta dua ribu sembilan ratus sepuluh dollar Amerika Serikat enam puluh empat sen dan Rp.185.918.048.904,75 Seratus delapan puluh lima milyar sembilan rutus delapan belas juta empat puluh delapan ribu sembilan ratus empat rupiah tujuh puluh lima sen. Maka tidak beralasan untuk dikatakan bahwa tidak dapat dituntut atau digugat pelaku tindak pidana korupsi itu jika undang-undangnya sudah diubah. 170 170 Hal ini dipaparkan peneliti, mengingat ditemukannya berbagai perbedaan pedapat dalam penerapan undang-undang yang mana seharusnya dikenakan kepada para tergugat. Pihak-pihak yang Universitas Sumatera Utara Sehubungan dengan itu juga, dalam hal kerugian keuangan negara yang telah jelas-jelas ada atau nyata terjadi berdasarkan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Tim BPKP Kejaksaan Agung Republik Indonesia, maka untuk pengembalian kerugian keuangan negara tersebut, JPN bersandarkan kepada dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata atas dasar pebuatan melawan hukum. Tepatlah dengan yang disebutkan Bismar Nasution dimana pada bulan September 2007 the United Nations Office on Drugs and Crime dan World Bank secara resmi meluncurkan Stolen Asset Recovery Initiative yang mempunyai tujuan utama untuk memberikan technical dan financial assistance untuk memperkuat kapasitas institusional lembaga-lembaga nasional dari negara-negara berkembang untuk dapat mengambil kembali asset-assetnya yang telah dicuri. Sehingga di akhir kesimpulannya disebutkan bahwa: 171 ”Dikeluarkannya Stolen Asset Recovery Initiative StAR merupakan suatu hal yang harus di sambut baik oleh pemerintah Indonesia. Dengan adanya StAR, proses pengembalian asset-asset yang dicuri oleh para koruptor, terutama yang ada di luar negeri, menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, perlu kiranya pemerintah melakukan suatu legal audit terhadap regulasi nasional kita terutama yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan regulasi di bidang ekonomi yang berkaitan erat dengan proses pengembalian asset. Legal audit ini diperlukan karena pelaksanaan StAR menuntut adanya harmonisasi dan reformasi di bidang hukum. Dari hasil legal audit ini, diharapkan pemerintah dapat membuat suatu reformasi hukum yang lebih terarah dan teroganisir untuk mendukung pelaksanaan StAR di Indonesia.” Melihat permasalahan ini, perlu kiranya Indonesia memikirkan suatu cara baru untuk memerangi korupsi. Salah satu cara yang dapat digunakan oleh memberikan alasan-alasan atau pendapat yang mempertentangkan itu berasal dari kalangan praktisi hukum, pengacara tergugat, dan akademisi hukum. 171 Bismar Nasution., Op. cit, hal. 20. Universitas Sumatera Utara pemerintah Indonesia adalah dengan menyita dan mengambil alih aset para koruptor dengan jalur perdata atau yang di negara common law di kenal dengan istilah civil forfeiture. Dalam menerapkan civil forfeiture pada intinya difakuskan kepada penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi. 172 Civil forfeiture adalah penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset. 173 Konsep civil forfeiture didasarkan pada “taint doctrine” dimana sebuah tindak pidana dianggap “taint” menodai sebuah aset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut. 174 Walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menyita dan mengambilalih aset hasil kejahatan, civil forfeiture berbeda dengan criminal forfeiture yang menggunakan gugatan in personam gugatan terhadap orang untuk menyita dan mengambilalih suatu aset. 175 Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita dan mengambil aset yang berasal, berkaitan atau merupakan hasil dari kejahatan sudah lazim ditemui di negara-negara common law. Akar dari prinsip civil forfeiture pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang- barang yang dianggap sebagai instrument of a death atau yang sering disebut sebagai 172 Ario Wandatama dan Detania Sukarja., Op. cit, hal 3. 173 David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hal. 390. Diterjemahkan oleh Ario Wandatama dan Detania Sukarja. 174 Ibid. 175 Ibid. hal. 389. Universitas Sumatera Utara Deodand. 176 Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita. 177 Maka jelaslah, bahwa sangat banyak pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam penerapan undang-undang di dalam pengembalian kerugian keuangan negara sebagai aset hasil korupsi mantan Presiden Soeharto dan YBS ini.

D. Perkara Perdata Nomor 904Pdt.G2007PN Jakarta Selatan

Gugatan perdata yang diajukan Negara Republik Indonesia cq Pemerintah Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Jaksa Pengacara Negara terhadap mantan Presiden Soeharto dan YBS adalah didasarkan atas dasar meninggalnya tersangka atau terdakwa dalam hal ini Soeharto telah meninggal dunia. Maka, ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 UUPTPK terkait dengan keberadaan Soeharto secara pribadi tidak mungkin lagi perbuatannya dipertanggungjawabkan secara hukum pidana, karena meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan dan atau pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini merupakan peristiwa hukum yang bersifat kondisional sehingga tidak mungkin tersangka atau terdakwa diproses secara pidana, meski telah terjadi kerugian keuangan negara yang nyata. Mengantisipasi terjadinya kerugian keuangan negara maka di dalam UUPTPK diatur mengenai upaya gugatan perdata yang dapat ditujukan kepada ahli warisnya. 176 Tood Barnet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hal. 89. 177 Ibid. hal. 90. Universitas Sumatera Utara Dasar gugatan mengacu pada Pasal 33 dan Pasal 34 UUPTPK. Dalam Pasal 33 dinyatakan bahwa, “Dalam hal tersangka meninggal pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”. Sedangkan dalam Pasal 34 disebutkan, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”. Ketentuan ini merupakan bentuk nyata dari pentingnya pengembalian kerugian keuangan negara yang hilang akibat dari perbuatan korupsi. Hal ini perlu dinyatakan karena ada beberapa perkara tindak pidana korupsi yang sedang berjalan kemudian terdakwanya meninggal dunia, maka proses persidangan tersebut berhenti padahal nyata-nyata kerugian negara telah muncul. Prinsip pengembalian kerugian keuangan negara dalam konteks ini tidak terhalang dengan meninggalnya terdakwa, karena JPN atau instansi yang dirugikan dapat melakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. 178 178 http:gagasanhukum.wordpress.com20081006prinsip-pengembalian-aset-hasil-korupsi- agian-vii, Artikel, Oleh: S. Eka Iskandar, Advokat Konsultan Hukum Bisnis, ”Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi-Bagian VII”, diakses terakhr tanggal 12 Januari 2010. Universitas Sumatera Utara

1. Duduk Perkara Atas Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan Para