Gugatan Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara

BAB III GUGATAN PERDATA ATAS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI SOEHARTO DAN YAYASAN BEASISWA SUPERSEMAR

A. Gugatan Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara

Penggunaan hukum perdata dalam mengajukan gugatan perdata atas pengembalian kerugian keuangan negara telah diatur dalam UUPTPK. Pengaturan itu menurut Eka Iskandar, belum menampilkan karakter spesifik dalam kaitannya dengan 3 tiga kondisi tertentu tindak pidana korupsi, yaitu: 132 1. Yang tidak terbukti secara pidana; 2. Tersangka dan terdakwanya meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; 3. Karena kerugian negara yang belum disita baru diketahui kemudian setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Di samping unsur Perbuatan Melawan Hukum PMH sebagaimana yang telah disebutkan di atas, unsur yang kedua dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat undang-undang korupsi, baik yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 maupun undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi. 132 Eka Iskandar, ”Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata”, konsultan hukum, meraih gelar Doktor dari Pascasarjana Universitas Airlangga Unair, tanggal 13 Agustus 2008, hal. 3. Universitas Sumatera Utara Menurut undang-undang korupsi tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen hukum pidana dan instrumen hukum perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim. Sedangkan instrumen perdata dilakukan oleh JPN atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia. Instrumen pidana lebih lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan mudah. Penggunaan instrumen perdata dalam perkara korupsi, menimbulkan kasus perdata yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materil maupun formil. Undang-undang korupsi yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tidak menyatakan digunakannya instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Tetapi dalam praktek instrumen perdata ini digunakan oleh Jaksa, berkaitan dengan adanya hukuman tambahan yaitu pembayaran uang pengganti terhadap terpidana vide Pasal 34 C Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. 133 Dalam hal ini JPN melakukan gugatan perdata terhadap terpidana, agar membayar uang pengganti sebagaimana ditetapkan oleh Hakim pidana yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan. 133 Pasal 34 C, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 UU Korupsi Lama baerbunyi, “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.” Universitas Sumatera Utara Undang-undang korupsi yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan tegas menyatakan penggunaan instrumen perdata, sebagaimana pada Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 38 C Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001. 134 Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan instrumen perdata yang tersirat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut: 135 a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur- unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan. Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk 134 Undang Undang Nomor 31 Tahun 199, Pasal 32 berbunyi: 1 Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. 2 Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Pasal 33, “Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.” Pasal 34, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.” Pasal 38 C, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, berbunyi, “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat 2, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.” 135 Eka Iskandar., Op. cit., hal. 34. Universitas Sumatera Utara dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum menyerahkan putusan Hakim kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan negara Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka Pasal 33 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999; d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan, sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya Pasal 38 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN atau kuasa hukumnya untuk mewakilinya. Proses perdata dilakukan dalam pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara menggunakan instrumen perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materil maupun formil, meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materil, maka proses perdata menganut sistem pembuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktikan materil. Universitas Sumatera Utara Dalam tindak pidana korupsi khususnya, di samping penuntut umum, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik terbatas” penjelasan Pasal 37 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dilihat dalam perspektif hukum perdata, khususnya prinsip-prinsip hukum acara perdata dengan melihat pengalaman di berbagai negara, misalnya di Ontario, mengenai gugatan perdata dalam kasus korupsi yang dikonsepsi sebagai civil forfeiture diatur tersendiri, baik di luar hukum pidana umum maupun khusus, serta di luar hukum acara perdatanya. 136 Masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal. Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan potensi civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula memerlukan suatu restrukturisasi hukum nasional. Restrukturisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara 136 I Gusti Ketut Iriawan, Loc. cit, hal. 8. Universitas Sumatera Utara perdata yang harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Di samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Yang lebih penting, adalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum. Civil forfeiture sebagai hukum acara perdata khusus, termasuk bagi tindak pidana korupsi diatur dalam “Civil Remedies Act”. Melihat pengalaman tersebut, dan dalam rangka mengharmonisasi dengan UNCAC 2003 United Nations Convention Against Corruption 2003, seyogyanya diatur secara tersendiri dalam undang-undang khusus. Di Amerika juga demikian, terdapat ketentuan khusus yang mengatur “federal forfeiture law”, adapun di AustraliaNew Zealand diatur khusus dalam “Proceeds of Crime Act, 2002”. Di Ireland, diatur khusus dalam “The Proceeds of Crime Act, 1996”, di Inggris United Kingdom diatur dalam “The United Kingdom’s Proceeds of Crime Act, 2002” yang telah diamandemen dalam “The Serious Organized Crime and Police Act, 2005”. 137 Pengaturan khusus ini penting terutama dikaitkan dengan tiga hal: 137 http:www.thenewspaper.comrlcdocs2007ontarioag-size.pdf, Ministry of the Attorney General, Civil Forfeiture in Ontario, An Update On the Civil Remedies Act, 2001, Ministry of the Attorney General, 2007, diakses terakhir tanggal 14 Januari 2010. Universitas Sumatera Utara 1. Harmonisasi UUPTPK dengan Konvensi Anti Korupsi sehubungan dengan ratifikasi Konvensi tersebut; 2. Pengaturan BW maupun HIR mengenai tanggung gugat dan gugatan perdata yang tidak menunjuk pada penerapan untuk kasus tindak pidana korupsi; 3. Prinsip dalam hukum pidana bahwa seseorang yang dibebaskan atau tidak dapat dipidana menandai tidak adanya perbuatan melawan hukum atau tidak adanya kesalahan. Burgerlijke Wetboek BW, memungkinkan untuk diterapkan mengenai tanggung gugat yang dipertajam dalam bentuk “pembalikan beban pembuktian” dan “tanggung gugat risiko”. Dimungkinkannya kedua hal tersebut, karena alasan sebagai berikut yaitu: 1. Posisi pihak yang dirugikan mungkin diperkuat dengan sambil mempertahankan persyaratan; sifat melanggar hukum dan kesalahan mengubah pembagian beban pembuktian yang normal tanggung gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian, demi kerugian pelaku dan oleh demi keuntungan yang dirugikan. Kalau dalam keadaan normal pihak yang dirugikan wajib membuktikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melanggar hukum, maka di sini pelanggaran norma dianggap ada, dan selanjutnya mewajibkan pelaku meniadakan anggapan dan persangkaan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak berbuat melanggar hukum. Contoh adalah Pasal 6.3.6 Rancangan BW baru Belanda, dimana anak yang masih sangat muda dan orang gila, yang tentu tidak bersalah, dalam keadaan-keadaan tertentu dapat dinyatakan bertanggung gugat atas perbuatan melanggar hukum yang mereka lakukan. 138 2. Mungkin pula mempertajam tanggung gugat ditimbulkannya kerugian dengan menimbulkan syarat-syarat; sifat melanggar hukum dan kesalahan tanggung gugat risiko. Dalam hal ini, masih dapat dibedakan antara hanya meniadakan kesalahan dalam arti sempit di satu pihak dan peniadaan sifat melanggar hukum dan kesalahan sebagai syarat tanggung gugat di lain pihak. Contoh adalah 138 J.H. Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Surabaya: tanpa penerbit, 1985, hal.135. Diterjemahkan oleh Djasadin Saragih. Universitas Sumatera Utara tanggung gugat majikan atas perbuatan melanggar hukum bawahannya. c.f. Pasal 1367 Ayat 3 BW. 139 Mengenai gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi, lebih berkaitan dengan penajaman tanggung gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 Ayat 2 jo Ayat 5 BW. 140 Apabila ketentuan ini diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi, hanya memungkinkan bagi kondisi berlakunya Pasal 32, 33, dan 34 UUPTPK. Argumentasi yang dapat dikemukakan, yaitu dalam kondisi berlakunya Pasal 32, 33, dan 34 UUPTPK, penuntut umum tidak Pasal 32 UUPTPK atau belum Pasal 33 dan 34 UUPTPK berhasil membuktikan sifat melawan hukum dan kesalahan terdakwa. Persoalannya menjadi sulit, terutama berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 UUPTPK karena sifat melawan hukum dalam pengertian materiil telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Sifat melawan hukum formal di sisi lain, sudah tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum, sehingga mengakibatkan dibebaskannya terdakwa. Terhadap kondisi seperti diatur dalam Pasal 33 dan 34 UUPTPK, gugatan dengan pembalikan beban pembuktian masih mungkin diterapkan. Ahli waris tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia harus membuktikan bahwa tersangka atau terdakwa telah berbuat sedemikian rupa sehingga di samping tidak berbuat melanggar hukum dan melakukan “kesalahan”, juga telah berusaha dengan cukup baik supaya tidak timbul kerugian pada negara. 139 Ibid. hal.74. 140 Ibid., hal.136. Universitas Sumatera Utara Instrumen lain yang penting dalam gugatan harta kekayaan adalah melalui civil forfeiture. Salah satu hasil dari Konvensi UNCAC 2003 adalah lahirnya prinsip cicvil forfeiture. Gugatan perdata yang ada dalam UUPTPK memberikan beban pembuktian adanya “unsur kerugian negara” kepada jaksa sebagai pengacara negara. Sebaliknya civil forfeiture mengadopsi prinsip pembalikan beban pembuktian dimana para pihak yang merasa keberatan membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi. Hal ini menjadikan JPN cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi. 141 Semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus-kasus korupsi di Indonesia, maka untuk memerangi korupsi, salah satu cara dapat menggunakan instrument civil forfeiture ini untuk memudahkan penyitaan dan pengambilalihan aset hasil korupsi yang dilakukan para koruptor melalui jalur perdata. Indonesia selama ini cenderung mengutamakan penyelesaian melalui jalur pidana yang lebih fokus untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian aset negara. Kenyataannya jalur pidana tidak cukup ampuh untuk meredam atau mengurangi jumlah terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini 141 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery StAR Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, hal. 20. Sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam UUPTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam UUPTPK menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda. Universitas Sumatera Utara sebagaimana diungkapkan oleh Marwan Effendy, bahwa korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir-akhir ini nampak makin terpola dan sistematis, lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. , korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai “extraordinary crime” kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional. 142 Prinsip-prinsip menyangkut gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi di Indonesia umumnya masih mengikuti ketentuan yang diatur dalam UUPTPK maupun hukum acara perdata dan BW. Dalam UUPTPK hanya mengatur beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai ikhwal yang spesifik, baik mengenai tujuan dilakukannya gugatan perdata maupun karakter spesifik gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi yang membedakan dengan gugatan perdata pada umumnya. Dasar yang menjadi pengaturan gugatan perdata dimungkinkan dalam UUPTPK bukan saja karena selama ini penyelesaian perkara korupsi secara pidana tidak selalu berhasil mengembalikan keuangan negara, tetapi secara filosofis mengandung maksud untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan hasil korupsi. Alasan lain karena tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime sehingga 142 Marwan Effendy, ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal.1. Universitas Sumatera Utara melibatkan kekuasaan dan kerugian negara, maka cara penanganannya dilakukan dengan cara yang luar biasa pula yaitu disamping melalui jalur pidana juga dilakukan melalui jalur perdata. Tujuan yang hendak dicapai dalam gugatan ini, yaitu pengembalian kerugian keuangan negara assets recovery, namun gugatan ini bersifat fakultatif dan komplemen dari upaya perampasan melalui mekanisme hukum pidana. Mengenai karakteristik spesifik dari gugatan perdata dalam perkara tindak pidana korupsi, UUPTPK mensyaratkan adanya proses pidana terlebih dahulu. Prinsip gugatan perdata untuk pengembalian keuangan negara yang terkandung di dalam UUPTPK antara lain; prinsip kondisional yaitu gugatan perdata tidak selalu dapat diajukan dalam tindak pidana korupsi, kecuali dalam kondisi- kondisi tertentu, prinsip gugatan perdata untuk jenis tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara saja yang dapat diajukan gugatan serta prinsip gugatan perdata sebagai komplemen perampasan untuk negara. Prinsip-prinsip Konvensi Anti Korupsi meskipun belum diharmonisasi dengan UUPTPK, namun dapat diterapkan karena telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi, 2003 United Nations Conventions Against Corruption, 2003 atau UNCAC 2003, meliputi; Prinsip “Asset Recovery”, prinsip gugatan perdata sebagai alternatif pengembalian aset negara, prinsip litigasi multiyurisdikasi, prinsip pembekuan atau penyitaan dan perampasan dari hasil korupsi atau kekayaan yang dicuci di negara lain. Harmonisasi UUPTPK dengan UNCAC 2003 dalam kaitannya Universitas Sumatera Utara dengan gugatan perdata terutama mengenai yang dapat dijadikan dasar seperti diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan Pasal 38 C UUPTPK diperlukan karena dalam ketentuan tersebut belum disertai pembalikan beban pembuktian sebagaimana model civil forfeiture di negara-negara lain. Gugatan perdata dalam prakteknya memunculkan problem pengembalian kerugian keuangan negara. Kendala teknis yuridis terletak pada sistem pembuktian yang rumit. Hal ini menuntut pengaturan gugatan perdata mengenai tindak pidana korupsi secara khusus, sehingga dapat diharapkan mencapai tujuan. Gugatan perdata dengan demikian tidak dapat hanya disandarkan atau didasarkan pada ketentuan- ketentuan mengenai gugatan perdata dalam HIR dan Rbg. Sebenarnya politik hukum pemberantasan korupsi sudah menyadari pentingnya hukum pidana maupun hukum perdata. Karena itu, UUPTPK tidak hanya memberikan peluang hukum pidana melalui penyitaan harta benda milik pelaku oleh penyidik dan selanjutnya Jaksa Penuntut Umum JPU menuntut agar Hakim melakukan perampasan, tetapi juga memberikan peluang melalui instrumen hukum perdata. Selama ini jaksa hanya menggunakan instrumen pidana semata, sementara gugatan perdata belum pernah dilakukan. Timbul pertanyaan, Mengapa gugatan perdata tidak dilakukan? Adakah persoalan yuridis? Harus diakui, secara teknis- yuridis terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi Jaksa Pengacara Negara dalam melakukan gugatan perdata. Antara lain, hukum acara perdata yang digunakan sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang menganut asas pembuktian formal. Beban pembuktian terletak pada pihak yang mendalilkan Jaksa Pengacara Universitas Sumatera Utara Negara yang harus membuktikan kesetaraan para pihak, kewajiban hakim untuk mendamaikan para pihak, dan sebagainya. Sedangkan Jaksa Pengacara Negara JPN sebagai penggugat harus membuktikan secara nyata bahwa telah ada kerugian negara. Yakni, kerugian keuangan negara akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa, atau terpidana; adanya harta benda milik tersangka, terdakwa, atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara. 143 Selain itu, seperti umumnya penanganan kasus perdata, membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. Berharap Banyak Pembentuk UUPTPK, tampaknya, berharap banyak untuk mengembalikan keuangan negara sebanyak-banyaknya. misalnya, ketentuan tentang dimungkinkannya melakukan gugatan perdata dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti. Padahal, secara nyata telah ada kerugian keuangan negara Pasal 32, gugatan terhadap ahli waris, dan terhadap putusan bebas juga masih dimungkinkan dilakukan gugatan perdata. Sayang, ketentuan tersebut tidak operasional dan belum pernah dilakukan. Begitu besarnya perhatian terhadap korupsi yang sudah dikategorikan extra ordinary crime, transnational crime, dan julukan lain yang menunjukkan betapa berbahayanya korupsi, sehingga tersangka, terdakwa, atau terpidana yang meninggal dunia sekalipun masih dimintai pertanggungjawaban kepada ahli warisnya. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 UNCAC 2003, juga membolehkan mengambil tindakan- 143 http:www.komisihukum.go.id, diakses terakhir tanggal 13 Januari 2010. Universitas Sumatera Utara tindakan yang diperlukan untuk melakukan penyitaan atau perampasan atas kekayaan pelaku tindak pidana korupsi tanpa adanya putusan pengadilan dalam pelaku meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan layak. Keinginan besar untuk mengembalikan kerugian negara dan julukan korupsi sebagai extraordinary crime tidak didukung oleh perangkat hukum yang ada, khususnya dalam upaya penggunaan civil forfeiture. Sebab, selama ini hukum perdata tidak memberikan kemudahan, bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara. Juga, misalnya, tidak ada hakim ad hoc, proses litigasi bagi tersangkaterdakwaterpidana yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaian yang harus ditempuh dading, dan sebagainya. 144 Hambatan-hambatan tersebut harus segera diatasi untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara melalui pembuatan hukum acara perdata khusus perkara korupsi yang keluar dari pakem-pakem hukum acara perdata konvensional. Jika tidak, pengembalian kerugian negara melalui instrumen perdata yang diamanatkan undang-undang hanya akan menjadi macan ompong. Dalam proses perdata, beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat, demikian halnya untuk korupsi Soeharto, dan YBS, beban pembuktian berada pada 144 Jawa Pos, tanggal 1 Agustus 2007. Universitas Sumatera Utara JPN atau instansi Pemerintah Republik Indonesia yang dirugikan sebagai penggugat. Dalam hubungan ini penggugat berkewajiban membuktikan antara lain: 145 a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka terdakwa atau terpidana. c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara. Dipandang dari sisi hukumnya, hal yang menjadi penghambat dalam praktek pengajuan gugatan perdata terhadap pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi dapat dipaparkan berikut ini: 146 a. Dalam Pasal 32, 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 terdapat rumusan “secara nyata telah ada kerugian negara”. Penjelasan Pasal 32 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik.” Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik. Jadi pengertian “nyata” disejajarkan atau diberi bobot hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”. Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim dalam suatu persidangan pengadilan mempunyai hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau tidak terbukti. Perhitungan instansi yang berwenang atau akuntan publik tersebut dalam sidang pengadilan tidak mengikat hakim. Hakim tidak akan serta merta menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang benar, sah dan karenanya mengikat. Demikian halnya dengan tergugat tersangka, terdakwa atau terpidana juga dapat menolaknya sebagai perhitungan yang benar, sah dan dapat diterima. Siapa yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang”, juga tidak jelas; mungkin yang dimaksud instansi seperti BPKP, atau BPK. Mengenai “akuntan publik”, juga tidak dijelaskan siapa yang menunjuk akuntan publik tersebut; penggugat atau tergugat atau pengadilan? a. Penggugat JPN atau instansi yang dirugikan harus dapat membuktikan bahwa tergugat tersangka, terdakwa, atau terpidana telah merugikan keuangan negara dengan melakukan perbuatan tanpa hak onrechmatige daad, 145 http:www.duniaesai.comhukumhukum3.html, diakses terakhir tanggal 13 Januari 2010. 146 Eka Iskandar, Op. cit, hal. 6-8. Universitas Sumatera Utara factum illicitum. Beban ini sungguh tidak ringan, tetapi penggugat harus berhasil untuk bisa menuntut ganti rugi. b. Kalau harta kekayaan tergugat tersangka, terdakwa atau terpidana pernah disita, hal ini akan memudahkan penggugat JPN atau instansi yang dirugikan untuk melacaknya kembali dan kemudian dapat dimohonkan oleh penggugat agar Hakim melakukan sita jaminan conservatoir beslag. Tetapi bila harta kekayaaan tergugat belum tidak pernah disita, maka akan sulit bagi penggugat untuk melacaknya; kemungkinan besar hasil korupsi telah diamankan dengan di atas namakan orang lain. c. Pasal 38 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa terhadap “harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, negara dapat melakukan gugatan perdata”. Dengan dasar “dugaan atau patut diduga” saja penggugat JPN atau instansi yang dirugikan pasti akan gagal menggugat harta benda tergugat terpidana. Penggugat harus bisa membuktikan secara hukum bahwa harta benda tergugat berasal dari tindak pidana korupsi, “dugaan atau patut diduga” sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum dalam proses perdata. d. Proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan memakan waktu panjang, bahkan bisa berlarut-larut. Tidak ada jaminan perkara perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi akan memperoleh prioritas. Di samping itu, sebagaimana pengamatan umum bahwa putusan Hakim perdata sulit diduga unpredictable. Untuk melaksanakan gugatan perdata tersebut sungguh tidak gampang. Pengajuan gugatan perdata terhadap korupsi, sering mengalami kegagalan. Kegagalan gugatan perdata terhadap kasus korupsi sebenarnya sudah diduga sejak awal. Bukan saja karena kasus itu sarat muatan politik, tapi juga karena alasan yuridis. Secara prosedural, kegagalan tersebut disebabkan gugatan perdata bersifat menunggu. Yaitu diajukan setelah proses pidana tidak mungkin lagi dilakukan. Akibatnya, sejak awal gugatan perdata telah kehilangan momentum atau kesempatan yang tepat untuk menarik aset koruptor. 147 147 Ibid., hal. 4. Universitas Sumatera Utara Selain itu, kesulitan yang lebih serius dihadapi JPN terkait dengan persyaratan prosedural pengajuan gugatan perdata. Hal ini disebabkan gugatan perdata diajukan setelah dalam proses pidana dinyatakan tidak cukup unsur bukti, bahkan diputus bebas. Secara logika hukumnya, bagaimana mungkin dapat berhasil menuntut pengembalian keuangan atau aset negara terhadap perkara yang telah dinyatakan tidak cukup unsur bukti atau terhadap perkara yang telah diputus bebas. Dengan demikian, gugatan perdata pengembalian keuangan negara semakin rumit. B. Dasar Hukum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Mengajukan Gugatan Perdata Terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar 1. Dasar hukum Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengalami perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU Kejaksaan. Perubahan Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut semakin memperluas wewenang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara. Di samping berperan di bidang Universitas Sumatera Utara penuntutan juga diberikan kewenangan lain sebagai pihak penggugat maupun tergugat dalam perkara Perdata dan Tata Usaha Negara yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. 148 Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menjalankan tugas profesinya akan tunduk dan patuh pada sumpah atau janji, serta kode etik jaksa. Kode etik ini merupakan pedoman atau petunjuk dalam menjalankan tugasnya sehari-hari yang lazim disebut ”Tri Krama Adhyaksa”. 149 Menurut Liliana Tedjosaputro, ”Tri Krama Adhyaksa” adalah landasan jiwa dari setiap warga Adhyaksa dalam meraih cita-cita luhurnya, terpatri dalam ”trapsila” yang disebut ”Tri Krama Adhyaksa” yang meliputi tiga krama yaitu Pertama, Stya artinya kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia. Kedua, Adhy, artinya kesempurnaan dalam bertugas yang berunsur utama pada kepemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga dan sesama manusia. Ketiga, Wicaksana, artinya bijaksana dalam tutur kata dan perilaku khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangan. 150 148 Supriadi., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 127. 149 Ibid, hal. 132. 150 Liliana Tedjosaputro., Etika Profesi dan Profesi Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 2003, hal. 103. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka jelas terlihat fungsi kejaksaan tersebut untuk menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan terhadap kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan memberi wewenang khusus. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. 151 Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera adil dan makmur walfarestate berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Komperasi pengaturan mengenai tugas dan kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia secara normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan Undang-Undang Kejaksaan Republik Indoneia. Kewenangan kejaksaan sebagaimana dinyatakan pada 151 RM. Surachman dan Andi Hamzah., Loc. cit, hal. 35. Universitas Sumatera Utara Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sebagai berikut: 152 1. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan; 153 b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 154 c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat; 155 d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik; 152 Marwan Effendy., Loc. cit, hal. 126. 153 Dalam penjelasan Pasal 30 Ayat 1 Huruf a dijelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterimanya dari penyidik serta memberikan petunjuk guna melengkapi untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke penuntutan. 154 Penjelasan Pasal 30 Ayat 1 huruf b, menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual atau dilelang. 155 Dalam penjelasan Pasal 30 Ayat 1 huruf c, bahwa yang dimaksud dengan putusan lepas bersyarat adalah putusan yang dikeluarkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan. Universitas Sumatera Utara 2. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah; 3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Peningkatan kebijakan penegakan hukum; c. Pengamanan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. Pencegahan penyalahgunaan danatau penodaan agama; dan f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Pasal 33 Undang-Undang Kejaksaan mengatur bahwa, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan juga membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. 156 Kemudian Pasal 54 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. 156 Penjelasan Pasal 33 menyatakan, adalah menjadi setiap kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerjasama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan terpadu. Universitas Sumatera Utara Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, disebutkan hal-hal yang disempurnakan, antara lain: 157 1. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan; 2. Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang semula 58 lima puluh delapan tahun ditetapkan menjadi 62 enam puluh dua tahun; 3. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 4. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang- undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden; dan 5. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat. Jaksa dapat bertindak untuk dan atas nama negara sebagai akibat dari perluasan kewenangan Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara, kalau negara 157 Marwan Effendy, Op. cit, hal. 127, 129. Universitas Sumatera Utara menjadi pihak dalam gugatan perdata dan kalau seorang warga atau badan hukum meminta hakim tata usaha negara untuk menguji apakah tindakan administratif terhadap dirinya yang diambil oleh pejabat pemerintah itu berlaku atau sah menurut hukum. 158 Kewenangan Jaksa sebagai Pengacara Negara dalam bidang perdata semakin penting. Dimana salah satu upaya pengembalian aset hasil korupsi adalah berdasarkan hukum perdata, diperani oleh Jaksa dengan sebutan Jaksa Pengacara Negara. Aset hasil korupsi adalah harta atau kekayaan negara yang terancam haknya untuk dikembalikan ke negara melalui Jaksa Pengacara Negara JPN. Harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, serta termasuk pula Pendapatan Negara Bukan Pajak PNBP. 159 Jaksa Pengacara Negara diberi wewenang dalam hal bertindak membela hak- hak negara, mengambil harta kekayaan atau aset hasil korupsi, bukanlah masalah atau hal yang baru karena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 27 April 1922, kurang jelas alasan-alasannya mengapa sampai tahun 1977 fungsi tersebut terlupakan. 160 Berkat adanya kebijakan penyaringan perkara secara ketat 158 RM. Surachman dan Andi Hamzah., Op. cit, hal. 41. 159 Marwan Effendy., Op. Cit, hal. 165. 160 Kejaksaan Agung RI, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia1945-1985, Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985, hal. 226-227. Universitas Sumatera Utara menolak menjadi pembela perkara-perkara yang lemah, selama ini Jaksa hampir selalu menang dalam perkara-perkara perdata. 161 Dengan demikian jaksa dapat bertindak sebagai penggugat dan juga sebagai tergugat. Mencermati beberapa pasal di atas, bahwa tugas dan kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia yang berkenaan dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam bentuk kerugian negara dikategorikan ke dalam unsur perdata. Dalam lapangan hukum perdata berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan RI hanya ada 2 dua pasal yang mengatur secara tegas tentang jaksa berwenang beracara dalam lapangan hukum perdata sebagai Jaksa Pengacara Negara yaitu Pasal 30 Ayat 2, ”Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Pasal 35 butir d, ”Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”. Jika dilihat kedua pasal ini, ada tertulis Jaksa Di bidang Perdata dan Jaksa di bidang Tata Usaha Negara, yang bertindak untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah boleh bertindak di dalam maupun di luar pengadilan termaksud dalam lapangan hukum perdata untuk beracara hingga ke Mahkamah Agung. Dalam UU Kejaksaan ditentukan bahwa, di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan melalui Ketua Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara 161 RM. Surachman dan Andi Hamzah., ibid, hal. 42. Universitas Sumatera Utara JAMDATUN 162 mengamanahkan Jaksa di jajarannya dengan Surat Kuasa Khusus dapat mewakili NegaraPemerintah di dalam atau pengadilan Pengadilan. Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 juga memberikan gerak bagi Kejaksaan tetap dapat mewakili NegaraPemerintah baik di dalam maupun di luar pengadilan.

2. Dasar Hukum Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana