Mekanisme Penagihan Utang Pajak Dengan Surat Paksa Pada Kantor Pelayanan Pajak (Kpp) Pratama Lubuk Pakam

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM STUDI DIPLOMA III MANAJEMEN KEUANGAN

MEKANISME PENAGIHAN UTANG PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA

LUBUK PAKAM

TUGAS AKHIR Diajukan oleh:

NOVITA RISNA ARTA PURBA 122101007

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Pada Prgram Diploma III

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM STUDI DIPLOMA III MANAJEMEN KEUANGAN

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR

NAMA : NOVITA RISNA ARTA PURBA

NIM : 122101007

PROGRAM STUDI : DIPLOMA III MANAJEMEN KEUANGAN

JUDUL : MEKANISME PENAGIHAN UTANG PAJAK

DENGAN SURAT PAKSA PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA LUBUK PAKAM

Tanggal : 2015 DOSEN PEMBIMBING

Dra. Lucy Anna, M.Si. NIP: 198310082010122003

Tanggal : 2015 KETUA PROGRAM STUDI

DIPLOMA III MANAJEMEN KEUANGAN

Dr. Yeni Absah, SE, M.Si. NIP: 197411232000122001

Tanggal : 2015 DEKAN FAKULTAS

EKONOMI DAN BISNIS

Prof.Dr.Azhar Maksum, SE,M.Ec.Ac,CA NIP: 195604071980021001


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena sampai saat ini Ia masih memberikan kasih dan berkat kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini guna memenuhi salah satu persyaratan akademik dalam menyelesaikan Program Studi pendidikan Diploma III Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara. Adapun judul Tugas Akhir ini adalah “ Mekanisme Penagihan Utang Pajak dengan Surat Paksa pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam”. Pada saat melakukan penulisan Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat dukungan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus hati mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Azhar Maksum, SE, M.Ec, Ac, CA, selaku Dekan Fakultan Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Yeni Absah, SE, M.Si , selaku Ketua Program Studi Diploma III Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Lucy Anna, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan (saran) yang sangat berguna kepada penulis dalam penyusunan Tugas Akhir ini. 4. Orang tua penulis yang sangat penulis sayangi, Bakti Ampera Purba dan

Leli Rosita Saragih. Terimakasih buat kasih sayang, dukungan materi dan moril yang telah diberikan selama penulis kuliah, semoga bapak dan mama sehat selalu. Amin


(4)

5. Buat sahabat-sahabat tersayang Hotmaida Sidauruk, Lasmaria Manurung, Sulastri Eka Pertiwi, dan Yudistria Sihombing terimakasih buat semuanya, sudah menjadi sahabat yang baik dalam suka-duka. Semoga persahabatan kita abadi untuk selamanya. Amin.

6. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan bantuannya.

Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyusunan dan penyelesaian Laporan Tugas Akhir ini, namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan baik dari segi isi maupun tata bahasa. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun yang membangun dalam penulisan kedepan. Semoga segala budi baik yang telah diberikan selama penulisan Tugas Akhir ini, kiranya mendapat berkat dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata, penulis berharap agar Tugas Akhir ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Agustus 2015 Penulis

Novita Risna Arta Purba Nim: 122101007


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1LatarBelakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

BAB II PROFIL INSTANSI 2.1 Sejarah KPP Pratama LubukPakam ... 7

2.2 Visidan Misi KPP Pratama ... 10

2.3 Kebijakan KPP Pratama ... 11

2.4 Tugas KPP Pratama ... 12

2.5 Fungsi KPP Pratama ... 12

2.6 Struktur Organisasi dan DeskripsiTugas... 13

2.6.1 Struktur Organisasi ... 13

2.6.2 Deskripsi Tugas ... 15

2.7 Kinerja Terkini ... 18

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Teori Perpajakan Secara Umum ... 21

3.1.1 Pengertian Pajak... 21

3.1.2 Manfaat dan Fungsi Pajak ... 22

3.1.3 Aspek Hukum Perpajakan... 24

3.1.4 Sistem Pemungutan Pajak ... 26

3.1.5 Jenis dan Pembagian Pajak ... 27

3.1.6 Utang Pajak ... 28

3.1.7 Timbulnya Utang Pajak ... 29

3.1.8 Berakhirnya Utang Pajak ... 30

3.2 Penagihan Pajak ... 32

3.2.1 Defenisi, Tujuan dan Fungsi Penagihan Pajak ... 32

3.2.2 Penetapan Pajak sebagai Dasar Penagihan Pajak ... 33

3.2.3 Pelaksanaan Penagihan ... 34

3.3 Penagihan Seketika dan Sekaligus ... 37

3.3.1 PenagihanPajakSeketikadanSekaligusPadaPajakPusat... 38

3.3.2 PenagihanPajakSeketikadanSekaligusPadaPajak Daerah... 39

3.4 Surat Paksa ... 40

3.4.1 KarakteristikSuratPaksa ... 40

3.4.2 Isi SuratPaksa ... 41

3.4.3 PenerbitanSuratPaksa ... 42

3.4.4 PemberitahuanSuratPaksaolehJurusita ... 43

3.4.5 PelaksanaanPemberitahuanSuratPaksa ... 44


(6)

3.5 Kendala-kendala yang dihadapi KPP Pratama Lubuk Pakam ... 48 3.6 AnalisisPelaksanaanKegiatanPenagihandenganSuratTeguran

dan Surat Paksa ... 51 3.7 Jumlah Target danRealisasiPenerimaanPajak KPP Pratama

LubukPakam ... 55

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 58 4.2 Saran... 58


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perbedaan antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak ... 42

Tabel 3.2 Realisasi Penerbitan Surat Teguran dan Surat Paksa ... 51

Tabel 3.3 Target Penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam ... 55


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 StrukturOrganisasi Pada Kantor PelayananPajak

(KPP) PratamaLubukPakam ... 14 Gambar 3.1 Jadwal dan Alur Tindakan Penagihan Pajak ... 35


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hukum yang berlandaskan padaUndang-Undang Dasar 1945 dan berasaskan Pancasila.Hal ini bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangasa yang adil dan sejahtera, aman, tenteram, dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah seharusnya melaksanakan pembangunan nasional secara berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air. Sekarang ini setiap negara sedang melakukan pembangunan secara menyeluruh baik dari segi infrastruktur maupun pada sektor pelayanan masyarakat tak terkecuali Bangsa Indonesia. Pada saat ini sebagai negara berkembang, Indonesia tengah gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan di segala bidang baik ekonomi, sosial politik, hukum maupun bidang pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dengan secara adil dan makmur. Untuk mewujudkan tujuan dari Pembangunan Nasional tersebut setiap negara harus memperhatikan masalah pembiayaan.Salah satu usaha yang harus ditempuh pemerintah dalam mendapatkan pembiayaan yaitu dengan memaksimalkan potensi pendapatan yang berasal dari Negara Indonesia sendiri, yang salah satunya berasal dari pajak. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan dalam Pembangunan Nasional yang berasal dari iuran masyarakat atas pendapatan yang diperolehnya. Oleh karena itu, peran masyarakat dalam pemenuhan kewajiban di


(10)

bidang perpajakan perlu terus ditingkatkan dengan mendorong kesadaran, pemahaman, dan penghayatan bahwa pajak adalah sumber pembiayaan negara dan pembangunan nasional serta salah satu kewajiban kenegaraan sehingga setiap anggota masyarakat wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya, walaupun nantinya manfaat dari membayar kewajiban pajak tidak dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Disamping itu pajak merupakan sumber pendapatan asli negara yang mempunyai potensi besar dalam mendukung seluruh program kerja pemerintahan dalam melakukan perubahan agar semua tujuan yang diharapkan pemerintah dapat tercapai. Dengan demikian diperlukan suatu penanganan dan perhatian yang menyeluruh dari segenap pegawai perpajakan dalam memaksimalkan penerimaan negara yang belum mencapai titik maksimal. Saat ini bangsa Indonesia sedang berusaha keluar dari krisis ekonomi global yang melanda di berbagai dunia. Kita sebagai warga negara yang baik harus turut serta membantu tujuan bangsa Indonesia dengan berpartisipasi dalam hal perpajakan seperti kesadaran membayar pajak secara jujur. Apabilaseluruh warga negara mempunyai kesadaran untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak akan berpengaruh terhadap penerimaan negara dan tujan negara dapat dicapai.

Salah satu cara yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan melakukan pembaharuan peraturan, kebijakan, dan administrasi perpajakan secara terus menerus, bertahap, konsisten, dan berkelanjutan. Usaha yang telah ditempuh Bangsa Indonesia untuk meningkatkan pendapatan negara melalui sektor perpajakan adalah diawali dengan adanya perubahan atau pembaharuan sistem perpajakan nasional yang dikenal dengan


(11)

nama Tax Reform.Tax Reform dilakukan pemerintah karena peraturan perpajakan yang berlaku pada tahun 1983 adalah peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, struktur, dan organisasi pemerintahan serta tidak berdasarkan Pancasila. Tujuan reformasi perpajakan adalah untuk menegakkan kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional dengan mengarahkan segenap kemampuan sendiri.

Pemerintah menyadari bahwa untuk membiayai pelaksanaan pembangunan nasional tidak hanya mengandalkan pada peningkatan penerimaan negara dari minyak bumi dan gas alam maupun dari utang luar negeri. Peningkatanpenerimaan negara dari perpajakan atau sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas merupakan suatu keharusan yang mutlak bagi berhasilnya pembangunan. Pada reformasi perpajakan adalah sistem perpajakan yang berlaku akan disederhanakan. Salah satu bukti diberlakukannya Tax Reformadalah diberlakukannya sistem pemungutan pajak self assessment yaitu Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melaporkan sendiri jumlah utang pajaknya menggantikan sistem official assessment. Dalam sistem ini semua urusan perpajakan dilakukan oleh fiskus termasuk menghitung dan melaporkan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang direvisi dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan direvisi lagi dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007.

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pemerintah telah berupaya membantu masyarakat dalam Pembangunan Nasional. Dalamkenyataannya ataupun prakteknya sering adapihak-pihak yang tidak mempunyai kesadaran dalam membayar pajak, hal ini dibuktikan dengan banyaknya tunggakanpajak


(12)

dalam jumlah besar yang belum terselesikan pembayarannya serta adanya pihakyang berusaha menghindari pajak dengan tidak melaporkan kegiatan usahanya. Untuk mengatasi masalah tersebut Instansi perpajakan melaksanakan kebijakan untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak serta melaksanakan ketetapan mekanisme penagihan utang pajak yang mempunyai kekuatan hukum dalam menagih utang pajak. Pada mekanisme penagihan utang pajak diterbitkan Surat Paksa yang digunakan untuk menagih utang pajak dan pembiayaan pajak. Dengan diterbitkan Surat Paksa dapat mendorong Wajib Pajak dapat segera membayar utang pajak.

Berdasarkan hal ini, maka penulis tertarik untuk mempelajari dan mengetahui bagaimana mekanisme penagihan pajak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Untuk itu penulis melakukan observasi Tugas Akhir dengan judul “Mekanisme Penagihan Utang Pajak Dengan Surat Paksa Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam”.


(13)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian, maka perumusan masalah sebagai objek penelitian yaitu bagaimana mekanisme penagihan dan kegiatan pelaksanaan penagihan utang pajak melalui Surat Paksa di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1.Untuk mengetahui mekanisme penagihan utang pajak dengan Surat Paksa pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala ataupun masalah yang dihadapi serta solusinya pada mekanismepenagihan utang pajak dengan Surat Paksa di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang di lakukan yaitu: a)Bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam.

Penelitian ini memberikan saran yang menjadi masukan dan berguna bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam dalam hal meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak pada pencapaian target pajak tahunan. b) Bagi penulis


(14)

2) Mengetahui dan memahami bagaimana mekanisme penagihan utang pajak dengan Surat Paksa pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam.

3) Agar menerapakanteori-teori dan ilmu perpajakan yang didapat pada perkuliahan.

4) Untuk menambah wawasan mengenai perpajakan. c) Bagi pembaca

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah informasi dan wawasanmengenai perpajakan serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan ataupun acuan untuk penelitian selanjutnya.


(15)

BAB II

PROFIL INSTANSI

2.1Sejarah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam

Untuk mengimplementasikan konsep administrasi perpajakan modern yang berorientasi pada pelayanan dan pengawasan, maka struktur organisasi Direktorat Jendral Pajak perlu diubah, baik dilevel kantor pusat sebagai pembuat kebijakan maupun dilevel kantor operasional sebagai pelaksana implementasi kebijakan.

Sebagai langkah pertama untuk memudahkan Wajib Pajak, kantor pajak dibatasi atas 3 (tiga) jenis, yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan (Karipka), dilebur menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Struktur yang berbasis fungsi yang diterapkan pada KPP dengan sistem administrasi yang modern untuk dapat merealisasikan debirokratisasi pelayanan sekaligus melaksanakan pengawasan terhadap Wajib Pajak secara lebih sistematis berdasarkan analisis resiko unit vertikal Direktorat Jendral Pajak dibedakan berdasarkan segmentasi Wajib Pajak, yaitu KPP Wajib Pajak Besar, KPP Madya, dan KPP Pratama. Dengan pembagian seperti ini, diharapkan strategi dan pendekatan terhadap Wajib Pajak pun dapat disesuaikan dengan karakteristik Wajib Pajak yang ditangani, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih optimal. Pada tahap pertama, dibentuk Kantor Wilayah (Kanwil) dan dibentuk Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar pada bulan Juli Tahun 2002 untuk mengadministrasikan 300 Wajib Badan terbesar di seluruh Indonesia sebagai Pilot Project. Karena program modernisasi


(16)

yang ditetapkan pada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak ( KPPWP) Besar dianggap cukup berhasil maka konsep yang kurang lebih sama dicoba untuk diterapkan pada KPP lain secara bertahap. Dimana sampai akhir tahun 2007,22 kanwil dan 202 KPP (3 KPPWP Besar, 28 KPP Madya, 171 KPP Pratama) telah berhasil dimodernisasi. Pada akhir tahun 2006, struktur organisasi KPP Direktorat Jenderal Pajak disempurnakan bersamaan dengan penerapan administrasi modern. Pada tahun 2008, seluruh kantor diluar Jawa dan Bali akan dimodernisasi dengan dibentuknya 128 KPP Pratama untuk menggantikan seluruh kantor pajak yang ada di daerah tersebut. Perbedaan utama antara KPP Pratama dengan KPP Wajib Pajak Besar maupun Madya antara lain dengan adanya Seksi Ekstensifikasi pada KPP Pratama, sehingga dapat dikatakan pula KPP Pratama merupakan ujung tombak bagi Direktorat Jendral Pajak untuk menambah rasio perpajakan di Indonesia.

Kantor Pelayanan Pajak adalah Instansi Vertikal Direktorat Jendral Pajak yang berada di bawah ini dan bertanggung jawab langsung kepada kepala kantor. KPP Pratama akan melayani Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Selain itu KPP Pratama juga melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tetapi bukan sebagai lembaga yang memutuskan keberatan, struktur organisasi KPP Pratama berdasarkan fungsi pajak bukan jenis pajak.

Pada KPP Pratama terdapat Account Representative (AR) yang memiliki tugas antara lain memantau keadaan Wajib Pajak dan penghubung Wajib Pajak untuk berkonsultasi. Keberadaan AR di setiap KPP Pratama merupakan bentuk


(17)

peningkatan pelayanan Wajib Pajak. Dengan perubahan struktur organisasi baru, maka Wajib Pajak akan dilayani oleh AR yang telah ditunjuk sehingga akan terjalin saling keterbukaan.

Pembentukan KPP Pratama merupakan bagian program reformasi birokrasi perpajakan yang sifatnya komprehensif dan telah berjalan sejak tahun 2002 ditandai dengan terbentuknya Kantor Wilayah (Kanwil) dengan Kantor Pelayanan Pajak Besar. Terbentuknya KPP Pratama ini secara otomatis Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPBB) dan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan (Karipka) tidak ada lagi. Langkah ini diambil sebagai bagian dan usaha meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak untuk menemukan pelayanan yang lebih baik dan personal dalam pelaksanaa good governance.

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam didirikan pada tahun 2008 berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam adalah Kabupaten Deli Serdang yang terdiri dari 22 kecamatan. Sebelumnya wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam merupakan bagian wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tebing Tinggi dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Binjai. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada Wajib Pajak. Dengan berdirinya KPP Pratama Lubuk Pakam diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan bagi Wajib Pajak yang berdomisi atau berlokasi di Kabupaten Deli Serdang.


(18)

2.2Visi dan Misi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama a. Visi

Menjadi institusi pemerintahan yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi.

b. Misi

Menghimpun penerimaan Pajak Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui sistem administrasi perpajakan yang efisien dan efektif.

c. Visi dan Penjelasannya

Sebagaimana kebijakan yang telah dicanangkan oleh Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, visi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam adalah “Menjadi Model Pelayanan yang Dipercaya dan Dibanggakan Masyarakat”.

Visi tersebut merefleksikan cita-cita Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam untuk menjadi Public Service yang berstandar tinggi baik dan sisi kualitas aparat maupun manajemennya sehingga eksistensi dan kinerjanya mampu memenuhi harapan masyarakat sebagai institusi yang memiliki citra baik dan bersih.

d. Misi dan Penjelasannnya


(19)

1. Misi Fiskal, yaitu menghimpun penerimaan dalam negeri dari sektor pajak yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan Undang-Undang Perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi.

2. Misi Ekonomi, yaitu mendukung kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi permasalahan ekonomi bangsa dengan kebijakan perpajakan yang meminimalkan distorsi.

3. Misi Politik, yaitu mendukung proses demokratis bangsa.

4. Misi Kelembagaan, yaitu senantiasa memperbaharui diri, selaras dengan aspirasi masyarakat dan teknokrasi perpajakan serta administrasi perpajakan yang mutakhir.

Misi tersebut sebagai salah satu pernyataan tujuan keberadaan (eksistensi). Tugas, fungsi, peran, dan tanggung jawab Direktorat Jendral Pajak maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang dan peraturan serta kebijakan pemerintah dengan dijiwai prinsip-prinsip dan nilai-nilai strategis organisasi diberbagai bidang.

2.3Kebijakan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Demi tercapainya tujan dan sasaran berdasarkan visi dan misi yang telah ditetapkan, KPP Pratama Lubuk Pakam telah mengambil langkah-langkah sebagaimana tertuang dalam kebijakan yang dijadikan pedoman, petunjuk, atau pegangan bagi setiap usaha kegiatan yang dilaksanakan yaitu :


(20)

2. Mengamankan pencapaian rencana penerimaan pajak. 3. Terciptanya masyarakat sadar dan peduli pajak.

2.4Tugas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Kantor Pelayanan Pajak Pratama mempunyai tugas yaitu melaksanakan penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan wajib pajak di bidang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Tidak Langsung lainnya, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Permohonan Hak atas Tanah dan Bangunan(BPHTB) dalam wilayah wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.5Fungsi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Dalam melaksanakan tugas, KPP Pratama menyelenggarakan fungsi :

1) Pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data, pengamatan potensi perpajakan, penyajian informasi perpajakan, penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan.

2) Pengadministrasian dokumen dan berkas perpajaka, penerimaan dan pengolahan surat pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya.

3) Penyuluhan perpajakan.

4) Penatausahaan piutang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. 5) Pelaksanaan pemeriksaan pajak.

6) Pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. 7) Pelaksanaan konsultasi perpajakan.


(21)

8) Pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi. 9) Pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Pajak.

2.6Struktur Organisasi dan Deskripsi Tugas 2.6.1Struktur Organisasi

Struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi atau perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan. Struktur organisasi menggambarkan dengan jelas pemisahan kegiatan antara bagian yang satu dengan yang lain bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi dalam struktur organisasi yang baik harus menjelaskan hubungan wewenang siapa melapor kepada siapa. Berikut ini pada gambar 2.1 merupakan gambaran struktur orbanisasi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam.


(22)

Gambar 2.1

STRUKTUR ORGANISASI PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA LUBUK PAKAM

Sumber : Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam

Account Representative 8 Account Representative 6 Account Representative 4 Account Representative 2 Account Representative 1 Account Representative 3 Account Representative 5 Account

Representative 7 Pelaksana

Kepala Seksi Pengawasan & Konsultasi III

K.a Seksi Pelayan K.a Seksi Pengawasan & Konsultasi IV K.a Seksi Pengawasan& Konsultasi III K.a Seksi Fungsional

K.a Seksi Pengawasan & Konsultasi I K.a Seksi Pengawasan & Konsultasi II K.a Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal K.a Seksi Ekstensifika si Perpajakan K.a Seksi Penagihan

KEPALA KPP PRATAMA LUBUK PAKAM

KEPALA KANWIL DJP SUMUT

K.a Seksi Pengolahan Data dan Informasi K.a Sub Bagian Umum


(23)

2.6.2DeskripTugas

Adapun tugas dari masing-masing bagian adalah sebagai berikut:

a)Sub Bagian Umum

Sub bagian umum terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu:

1) Tata Usaha dan Kepegawaia

Tugasnya adalah menyelenggarakan tugas pelayanan di bidang tata usaha dan kepegawaian dengan cara melakukan pengurusan surat, pengetikan dan pengadaan, penataan berkas, penyusunan arsip, tata usaha kepegawain dan pengiriman laporan agar dapat menunjang kelancaran tugas kantor itu sendiri. 2) Keuangan

Tugasnya adalah menyususn anggaran dan administrasi keuangan untuk pembiayaan administrasi kantor dan penggajian para pegawai KPP Pratama Lubuk Pakam.

3) Bagian Rumah Tangga

Tugasnya adalah mengurusi segala keperluan rumah tangga dan keperluan perlengkapan KPP Pratama Lubuk Pakam agar dapat menunjang kelancaran tugas Kantor Pelayanan Pajak.

b) Seksi Pengolahan Data Dan Informasi

Seksi Pengolahan Data dan Informasi dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang bernama Parlagutan Simatupang. Adapun tugas dari seksi adalah mengkordinir urusan pengolahan data dan penyajian informasi, pembuatan monografi pajak, penggalian potensi perpajakan serta ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(24)

Seksi Pengolahan Data dan Informasi mempunyai tugas melakukan pengumpulan, pencarian, pengolahan data, penyajian informasi perpajakan, perekaman dokumen perpajakan, urusan tata usaha penerimaan perpajakan, pengalokasian Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pelayanan teknis Komputer, Pemantauan aplikasi elektronik, pengaplikasian Sistem Informasi Objek Pajak (SESMIOP), dan Sistem Informasi Geografi (SIG), serta penyajian laporan kinerja.

c)Seksi Pelayanan

Seksi pelayanan mempunyai fungsi atau tugas melakukan penetapan dan penertiban produk hukum perpajakan, pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan (SPT), serta penerimaan surat lainnya, penyuluhan perpajakan, pelaksanaan registrasi Wajib Pajak, serta melakukan kerjasama perpajakan.

d)Seksi Penagihan

Seksi penagihan mempunyai tugas melakukan urusan penatausahaan piutang pajak, penagihan aktif, usulan penghapusan piutang pajak, penundaan dan angsuran, tunggakan pajak, serta penyimpanan dokumen-dokumen penagihan.

e)Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal

Seksi pemeriksaan dan kepatuhan internal mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana pemeriksaan, pengawasan pelaksanaan aturan pemeriksaan, penerbitan dan penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak serta administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya.


(25)

f) Seksi Ekstensifikasi

Seksi Ekstensifikasi Perpajakan mempunyai tugas melakukan pengamatan potensi perpajakan, pendataan Wajib Pajak baru, pendapatan objek dan subjek pajak, penilaian objek-objek pajak dalam rangka ekstensifikasi.

g) Seksi Pengawasan Dan Konsultasi I, II, III, IV

Seksi Pengawasan dan Konsultasi terdiri dari 4(empat) kelompok bagian. Seksi ini masing-masing mempunyai tugas melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, bimbingan dan himbauan kepada Wajib Pajak serta sebagai tempat konsultasi teknis perpajakan, penyusunan profil Wajib Pajak, analisis kerja Wajib Pajak, melakukan rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka melakukan intensifikasi dan melakukan evaluasi hasil banding.

h) Kelompok Jabatan Fungsional

Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari Supervisor, Ketua Tim, dan Anggota Tim. Kantor Pelayan Pajak Pratama mempunyai 2 (dua) kelompok fungsional sesuai dengan bidang keahliannya. Setiap kelompok tersebut dikordinasikan oleh pejabat fungsional senior yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah. Atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Jumlah Jabatan Fungsional tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja.


(26)

2.7Kinerja Terkini

Bagi Direktorat Jendral Pajak (DJP), institusi yang bertanggung jawab dalam menopang pembiayaan kehidupan bernegara, “Perubahan” merupakan keniscayaan mengingat perkembangan masyarakat dan dunia usaha yang sangat dinamis dan semakin komplek. Sampai saat ini ada dua perubahan yang cukup fenomenal di DJP, yaitu perubahan sistem pemungutan pajak dari “Official Assessment” menjadi “Self Assessment” yang dilakukan pada tahun 1983 dan modernisasi administrasi perpajakan yang dilakukan pada tahun 2002 (dimulai dengan pembentukan Kanwil dan KPP Wajib Pajak (WP) Besar). Kedua perubahan tersebut telah berhasil mengubah pola pikir dan perilaku para

stakeholders terlebih pola pikir dan perilaku aparat perpajakan.

Sistem pemungutan pajak “Self Assessment” memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Perubahan ini telah berhasil mengubah aparat perpajakan yang sebelumnya “powerful” karena kewenangan penetapan besarnya pajak terutang berdasarkan penilaian secara langsung menjadi aparat perpajakan yang “akuntabel” dalam berinteraksi dengan Wajib Pajak. Awalnya cukup efektif untuk meredam perilaku-perilaku kolusi dan koruptif. Namun, seiring perjalanan waktu, akibat tidak efektifnya sistem pengendalian internal pada DJP ditambah dengan organisasi yang cukup toleran dengan perilaku-perilaku kolusi koruptif, maka budaya organisasi yang berkembang saat ini lebih cenderung ke arah budaya materialistis dan berdampak pada kurang baiknya citra DJP baik di mata masyarakat Indonesia maupun di dunia internasional. Dengan demikian banyak pegawai DJP sendiri yang merasa malu mengaku bekerja di


(27)

DJP. Momentum krisis ekonomi Indonesia tahun 1998, yang membawa angin perubahan untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih bersih dan transparan, dimanfaatkan dengan baik oleh para pemimpin DJP untuk menyusun suatu agenda reformasi di DJP yang bertujuan untuk membawa DJP menjadi suatu institusi yang akuntabel, dipercaya dan dibanggakan masyarakat. Agenda reformasi ini kemudian lebih dikenal dengan nama “ Modernisasi Administrasi Perpajakan”.

Secara umum, modernisasi perpajakan menyentuh 3 (tiga) hal utama, yaitu restrukturisasi organisasi, pengembangan proses bisnis yang berbasis Teknologi Informasi, dan penyelengaraan praktek “Good Governance” yang didukung oleh Manajemen Sumber Daya Manusia yang berbasis kompetensi.

Konsep restrukturisasi organisasi bertujuan untuk mengatasi permsalahan organisasi pada level operasional (unit vertikal) seperti adanya redundansi

duplikasi pengawasan dan pemeriksaan, tidak adanya pelayanan satu atap, struktur belum mendukung sepenuhnya praktek “Good Governance”, standar pelayanan yang belum proper memadai, dan sebagainya. Konsep ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Struktur organisasi KPP berdasarkan segmentasi Wajib Pajak Besar, Menengah, dan Kecil.

2. Struktur organisasi yang berbasiskan fungsi administrasi perpajakan. 3. Penggabungan KPP, Karipka, dan KPPBB.

4. Penerapan konsep Account Representative.

5. Pemindahan fungsi keberatan ke Kanwil.


(28)

Pengembangan proses bisnis yang berbasis teknologi informasi ditandai dengan penerapan sistem “workflow” dan “case management” dalam Sistem Informasi Direktorat Jendral Pajak (SIDJP). Dengan adanya kedua sistem tersebut, proses bisnis administrasi perpajakan menjadi semakin akuntabel karena penentu mulai dan berakhirnya suatu kasus di generate oleh sistem sehingga tidak dapat dimanipulasi oleh manusia. Dalam sistem tersebut juga dapat diketahui tahapan proses secara transparan, seingga apabila terjadi keterlambatan, sistem dengan mudah mendeteksi pihak-pihak yang bertanggungjawab.


(29)

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Teori Perpajakan Secara Umum 3.1.1 Pengertian Pajak

Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Zuraida, 2011:3).

Secara umum dapat dikatakan bahwa pajak adalah pungutan dari masyarakat kepada negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan (Siahaan, 2004 :5).

Dari defenisi pajak di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa ciri yang melekat pada pengertian pajak sebagai berikut:

1) Pajak dipungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2) Pembayaran pajak harus masuk kepada kas negara.

3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individu oleh pemerintah (tidak ada imbalan langsung yang diperoleh si pembayar pajak).


(30)

4) Penyelengaraan pemerintahan secara umum merupakan manifestasi kontra prestasi dari negara.

5) Pajak diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat kelebihan atau surplus, digunakan untuk tabungan publik (Public Saving).

6) Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.

3.1.2 Manfaat dan Fungsi Pajak

Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pajak yang dipungut dari masyarakat. Dana yang diperoleh dari pajak antara lain dapat digunakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara, alat pemerataan pendapatan, dan pendorong investasi. Fungsi pajak berkaitan erat dengan manfaat yang diperoleh dari pemungutan pajak, dimana ada dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend (regulasi) atau fungsi mengatur (Siahaan, 2004 :10).

a.Fungsi Budgetair/Penerimaan

Fungsi budgetair (penerimaan) yang disebut juga sebagai fungsi utama pajak atau fungsi fiskal (fiscal function) adalah suatu fungsi di mana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Maksud pengertian tersebut adalah:

1) Jangan sampai ada Wajib Pajak/Subjek Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya;


(31)

2) Jangan sampai ada objek pajak yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak kepada fiskus; dan

3) Jangan sampai ada objek pajak yang terlepas dari pengamatan atau penghitungan fiskus.

Dengan demikian, optimalisasi pemasukan dana ke kas negara tidak hanya tergantung kepada fiskus saja, akan tetapi kepada dua-duanya berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.

b. Fungsi Regulerend/Regulasi

Fungsi regulerend (regulasi) atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan, yaitu suatu fungsi dimana pajak digunakan pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagi pelengkap dari fungsi utama pajak, yaitu fungsi budgetair.

Fungsi regulasi atau fungsi mengatur juga berarti pajak digunakan untuk mengatur perekonomian guna mencapai pertumbuhan yang lebih cepat. Fungsi ini terlihat antara lain dalam bentuk:

1) Pemberian insentif perpajakan secara tepat guna bagi pengusaha sebagai cara untuk mendorong kegiatan investasi;

2) Penetapan tarif pajak yang tinggi terhadap barang-barang yang mengganggu kesehatan, seperti alkohol dan rokok demi mencegah dan mengurangi konsumsi atas barang-barang tersebut;

3) Serta pengenaan pajak atas barang mewah agar dapat membatasi kecenderungan pola hidup konsumtif dan membantu terlaksananya pola hidup sederhana.


(32)

3.1.3 Aspek Hukum Perpajakan

Pembagian hukum pajak dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum pajak materil dan hukum pajak formil. Hukum pajak materil adalah hukum pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Hukum pajak materiil diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1) UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

2) UU No.8 Tahun 1983 Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3) UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 4) UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

5) UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Hukum pajak formil ialah hukum pajak yang memuat peraturan-peraturan mengenai cara-cara hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Hukum ini memuat cara pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara pembukuan, cara-cara pemeriksaan, cara-cara-cara-cara penagihan, hak dan kewajiban wajib pajak, cara-cara-cara-cara penyidikan, macam-macam sanksi, dan lain-lain. Undang-undang pajak yang termasuk hukum pajak formil ialah sebagai berikut:


(33)

1) UU No.16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Secara garis besar penggolongan pajak di Indonesia dibagi 2 (dua), yaitu sebagai berikut:

1) Pajak negara/pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, penyelengaraannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara umumnya, misalnya Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan khusus Sektor Perkebunan, Pertanian, dan Kehutanan.

2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota untuk pembiayaan daerah rumah tangga daerahnya masing-masing, misalnya pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak parker, dan sebaginya.

Dengan demikian, Direktorat Jendaral Pajak adalah lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang untuk melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan dan penegakan hukum terhadap masyarakat Wajib Pajak dan menyelengarakan pemungutan pajak negara/pusat. Selanjutnya, pengelolaan pajak daerah maupun retribusi daerah dilakukan oleh daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota


(34)

sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku pada tanggal 1 Januari 2010 (Zuraida, 2011:9).

3.1.4 Sistem Pemungutan Pajak

Secara umum ada 3 (tiga) sistem pemungutan pajak yang digunakan: (Siahaan, 2004: 22)

a) Official Assessment System

Suatu sistem yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat pasif dan menunggu penetapan pajak oleh fiskus, kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan besarnya ketetapan pajak yang ditetapkan oleh fiskus.

b) Selft Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Dalam sistem ini, Wajib Pajak harus aktif, untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang, sedangkan fiskus hanya tertugas memberikan arahan, pembinaan, dan pengawasan kepada Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya.


(35)

c) Withholding System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Dalam sistem ini, pihak yang ditentukan sebgai pemungut atau pemotong pajak oleh Undang-Undang Pajak diberi kewenangan dan kewajiban untuk memotong atau memungut pajak yang terutang dari Wajib Pajak dan harus segera menyetorkannya ke kas negara sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila pihak ketiga tersebut melakukan kesalahan atau penyimpangan, kepadanya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

3.1.5 Jenis dan Pembagian Pajak

Adapun jenis dan pembagian pajak sebagai berikut: (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2011:7)

1) Menurut Golongan

a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan, misalnya Pajak Penghasilan (PPh).

b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

2)Menurut Sifatnya

a. Pajak Subsektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya, yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak, misalnya PPh.


(36)

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang didasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak, misalnya PPN dan PPnBM. 3) Menurut Pemungutannya

a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara, contohnya PPh, PPN, PPnBM, dan Materai.

b. Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintahan daerah dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara, contohnya PPh, PPN, PPnBM, dan Materai.

3.1.6 Utang Pajak

Dalam hukum pajak, terdapat 2 (dua) jenis kewajiban pajak yang menjadi dasar mengapa setiap orang (Wajib Pajak) harus membayar pajak yang terutang. Kedua kewajiban tersebut adalah: (Siahaan, 2004: 117)

1. Kewajiban Pajak Subjektif

Kewajiban pajak subjektif adalah kewajiban yang melekat pada subjeknya (subjek pajak). Pada umumnya setiap orang yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subjektif terhadap Indonesia.

Kewajiban pajak subjektif ini juga dapat dikembangkan terhadap orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tetapi memiliki hubungan ekonomis dengan Indonesia. Bagi orang yang berada di luar Indonesia (bertempat tinggal di luar Indonesia), kewajiban pajak subjektifnya terpenuhi jika beberapa syarat dipenuhi. Syarat tersebut antara lain yang bersangkutan mempunyai hubungan ekonomis tertentu dengan Indonesia sebagaimana ditentukan dalam


(37)

Undang-Undang Pajak di Indonesia. Misalnya memperoleh penghasilan yang bersumber di Indonesia, mempunyai perusahaan di Indonesia, dan lain-lain.

2. Kewajiban Pajak Objektif

Kewajiban pajak objektif adalah kewajiban yang melekat pada objeknya (objek pajak), seperti yang di tentukan dalam Undang-Undang Pajak, di mana kewajiban pajak objektif hanya timbul pada saat dipenuhinya taatbestand

(keadaan yang nyata). Seseorang memenuhi kewajiban pajak objektif jika melakukan perbuatan yang memenuhi syarat pengenaan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak di Indonesia.

Sebagaimana pada kewajiban subjektif, kewajiban objektif juga dapat diberlakukan terhadap orang pribadi atau badan yang berada di luar Indonesia (bukan merupakan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia). Orang atau badan yang bertempat tinggal di luar Indonesia memenuhi kewajiban pajak objektif jika memenuhi taatbestand sesuai dengan ketentuan perpajakan Indonesia. Misalnya, orang atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia memperoleh penghasilan dari sumber-sumber tertentu yang ada di Indonesia (melakukan pekerjaan bebas atau memiliki saham perusahaan yang berkedudukan di Indonesia). Dalam hal ini orang pribadi atau badan tersebut telah memiliki kewajiban pajak objektif yang dapat membuatnya dikenakan pajak oleh Indonesia.

3.1.7Timbulnya Utang Pajak

Secara umum utang pajak timbul digolongkan dalam ajaran material dan ajaran formal (Siahaan, 2004: 126).


(38)

1.Ajaran Material

Menurut ajaran material, utang pajak timbul karena adanya Undang-Undang Pajak dan peristiwa/ keadaan/ perbuatan tertentu (taatbestand), serta tidak menunggu dari tindakan pihak fiskus/ pemerintah. Utang pajak timbul karena bunyi undang-undang saja, tanpa diperlukan perbuatan manusia. Jadi, sekalipun tidak dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus, asalkan terdapat suatu

taatbestand sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak, maka telah

timbul utang pajak.

2. Ajaran Formal

Menurut ajaran formal, utang pajak timbul karena ada ketetapan dari pihak pemungut pajak yaitu pemerintah atau aparatur pajak (fiskus) sehingga pajak terutang pada saat diterbitkannya surat ketetapan pajak. Tanpa adanya surat ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus, maka tidak ada utang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Atau dengan kata lain, walaupun taatbestand

telah dipenuhi, akan tetapi apabila belum dikeluarkan surat ketetapan pajak, maka belum ada suatu utang pajak.

3.1.8Berakhirnya Utang Pajak

Berakhirnya utang pajak merupakan salah satu tujuan dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Dalam hukum pajak, ada beberapa cara berakhirnya utang pajak sebagai berikut (Siahaan, 2004: 134).

1. Pelunasan/ Pembayaran Pajak

Umumnya utang pajak berakhir dengan pembayaran ke kas negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh negara seperti bank-bank pemerintah, kantor pos dan giro, dan lain-lain. Pembayaran pajak yang mengakibatkan berkhirnya utang


(39)

pajak adalah pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak atas semua pajak yang terutang yang timbul akibat adanya taatbestand yang ditentukan oleh undang-undang, termasuk sanksi administrasi dan biaya penagihan pajak yang timbul dalam pelaksanaan pemungutan pajak yang dimaksud.

2. Kompensasi (Pengimbangan)

Dalam hukum pajak, kompensasi pembayaran dapat dilakukan jika Wajib Pajak untuk satu jenis pajak mempunyai kelebihan pembayaran pajak sedangkan untuk lain jenis terdapat kekurangan pembayaran pajak. Kelebihan pembayaran pajak untuk satu jenis pajak tersebut dapat digunakan untuk membayar kekurangan pembayaran atas jenis pajak lain (utang pajak lainnya) yang juga terutang olehnya.

3. Penghapusan Utang

Dalam hukum pajak dimungkinkan pula berakhirnya pajak melalui penghapusan terhadap kewajiban pajak karena Wajib Pajak mengalami kebangkrutan sehingga mengalami kesulitan keuangan. Untuk menentukan apakah seseorang pailit atau tidak diperlukan penyelidikan yang saksama oleh fiskus dengan tujuan nantinya tindakan fiskus dapat dipertanggungjawabkan.

4. Kadaluwarsa atau Lewat Waktu

Menurut Undang-Undang KUP, utang pajak akan kadaluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu, apabila telah lewat waktu 10 (sepuluh) tahun sejak pajak terutang atau berakhirnya masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak Wajib Pajak


(40)

belum membayar lunas pajaknya dan fiskus tidak melakukan tindakan penagihan pajak, secara hukum utang pajak tersebut telah berakhir dengan sendirinya.

5. Pembebasan

Pembebasan pajak merupakan pengakhiran utang pajak yang dilakukan oleh fiskus tanpa persetujuan pihak Wajib Pajak. Hal ini dilakukan jika ada permohonan atau keadaan ekonomi Wajib Pajak yang mengalami kemunduran keuangan. Pembebasan pajak menurut Undang-Undang Pajak umumnya hanya diberikan terhadap sanksi administrasinya saja.

6.Penundaan Penagihan

Dengan cara ini penagihan pajak terutang dapat ditunda dalam jangka waktu tertentu. Jika kemudian Wajib Pajak ternyata mampu lagi untuk melunasi utang pajaknya, maka barulah ditagih. Jika tidak dapat juga ditagih maka barulah dihapuskan pajaknya.

3.2 Penagihan Pajak

Berikut ini penjelasan mengenai dasar-dasar penagihan pajak (Zuraida, 2011:37).

3.2.1 Defenisi, Tujuan dan Fungsi Penagihan Pajak

Defenisi penagihan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000, penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan


(41)

sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. Berdasarkan defenisi tersebut, dapat disimpukan bahwa penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan dimulai dengan tindakan yang bersifat teguran atau peringatan, dan dilanjutkan dengan tindakan-tindakan yang lebih bersifat memaksa agar utang pajak dapat dilunasi.

Tujuan penagihan pajak adalah agar penanggung pajak melunasi utang pajaknya. Dengan demikian, jika utang pajak telah dilunasi, maka serangkaian tidakan tersebut tidak perlu dilanjutkan.

Fungsi penagihan pajak, yaitu pertama, sebagai tindakan penegakan hukum kepada Wajib Pajak atau penanggung pajak untuk mematuhi peraturan perundang-undangan. Kedua, sebagai tindakan pengamanan penerimaan pajak.

3.2.2 Penetapan Pajak sebagai Dasar Penagihan Pajak

Ruang lingkup pajak sebagaimana diatur dalam pasal 1 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, bahwa yang dimaksud dengan pajak dalam undang-undang tersebut adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk dan cukai dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, menurut undang-undang dan peraturan daerah. Dengan demikian, dasar penagihan untuk pajak pusat akan mengacu pada ketentuan UU No. 6 Tahun1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009. Sedangkan untuk pajak daerah, sehubungan telah dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) maka Undang-Undang Penagihan Pajak


(42)

dengan Surat Paksa (PPSP) merupakan juga landasan hukum bagi pemerintah daerah untuk melakukan penagihan pajak daerah.

3.2.3 Pelaksanaan Penagihan

Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak sesuai dengan ketentuan atau tidak membayar pajak sebagaimana mestinya (kurang bayar pajak), kepada Wajib Pajak dapat dilakukan tindakan penagihan oleh fiskus. Hal ini dimaksudkan agar wajib pajak membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penagihan aktif dan penagihan dengan Surat Paksa yang dilakukan kepada Wajib Pajak harus melalui tahapan yang ditentukan oleh undang-undang, mulai dari penerbitan surat teguran, surat paksa, surat sita, pengumuman lelang, sampai dengan pelaksanaan lelang atas harta milik Wajib Pajak atau penanggung pajak yang disita oleh fiskus. Berikut pada gambar 3.1 jadwal dan alur penagihan pajak.


(43)

Gambar 3.1

Jadwal dan Alur Tindakan Penagihan Pajak

Sumber: Zuraida, 2011

Tahapan pelaksanaa penagihan pajak dengan Surat Paksa saat ini dilakukan sebagai berikut (Siahaan, 2004: 356).

(1) Tindakan pelaksanaan penagihan diawali dengan penerbitan surat teguran atau surat lain yang sejenis oleh pejabat yang berwenang atas kuasa yang ditunjuk oleh pejabat tersebut sejak 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran. (2) Surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang telah disetujui

untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajasknya. SKP dan STP Jatuh Tempo Surat Teguran 7 Hari

21 H

ar

i

Surat Paksa 2 x 24 Jam

SPMP 14 Hari Penjualan Langsung/ pengumuman Lelang

10 H

ar

i

Pengumuman

II 14 Hari Pelaksanaan Lelang

Pencegahan Penyanderaan


(44)

(3) Apabila jumlah utang pajak masih harus dibayar tidak dilunasi penanggung pajak setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran, pejabat segera menerbitkan Surat Paksa.

(4) Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 2 kali 24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepadanya maka pejabat segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP).

(5) Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, pejabat yang berwenang segera melaksanakan pengumuman lelang.

(6) Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pengumuman lelang, pejabat yang berwenang segera melakukan penjualan barang sitaan milik penanggung pajak melalui Kantor Lelang Negara.

(7) Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak dilakukan penyitaan barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang, pejabat yang berwenang segera melakukan penjualan, penggunaan, ataupun pemindahbukuan barang sitaan milik penanggung pajak.

(8) Dalam keadaan tertentu Wajib Pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran pajak.


(45)

3.3 Penagihan Seketika dan Sekaligus

Pengertian penagihan seketika dan sekaligus adalah penagihan pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran terhadap seluruh utang pajak dan semua jenis pajak, Masa Pajak dan Tahun Pajak (Penj UU 19/00, KMK 561/00). Dalam hal ini diketahui oleh Juru Sita Pajak bahwa barang milik Penanggung Pajak akan disita oleh pihak ketiga atau terdapat kepailitan, atau penanggung

pajak akan membubarkan badan usahanya, memekarkan usaha,

memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, Juru Sita Pajak segera melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus dengan melaksanakan penyitaan terhadap sebagian besar barang milik Penanggung Pajak dimaksud setelah Surat Paksa diberitahukan (Rusjdi, 2007: 29).

Alasan dilakukan penagihan seketika dan sekaligus yang dilakukan pejabat apabila:

(a) Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;

(b) Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasinya;

(c) Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu;

(d) Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

(e) Terjadi penyitaan atas barang Penaggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.


(46)

Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan oleh pejabat (KMK 561/00):

a. Sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran; b. Tanpa didahului Surat Teguran;

c. Sebelum jangka waktu 21 hari sejak Surat Teguran diterbitkan; d. Sebelum penerbitan Surat Paksa (UU 19/00).

Surat Perintah Penagihan Seketika Dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak; b. Besarnya utang pajak

c. Perintah untuk membayar; dan d. Saat pelunasan uatng pajak.

3.3.1 Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus Pada Pajak Pusat

Berikut ini penjelasan penagihan seketika dan sekaligus pada pajak pusat dan pajak daerah (Siahaan, 2004: 361).

Sesuai dengan Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, jurusita pajak akan melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran pajak berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh pejabat yang berwewenang apabila:

a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;


(47)

b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimilki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;

d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

3.3.2 Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus Pada Pajak Daerah

Penagihan pajak seketika dan sekaligus terhadap utang pajak berdasarkan STP, SKPDKB, SKPDKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang mengakibatkan utang pajak bertambah dilakukan dalam hal:

a. Wajib Pajak akan meninggalkan daerah tempat dipungutnya pajak tersebut untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;

b. Wajib Pajak akan mengentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaannya atau pekerjaan yang dilakukannya di daerah tempat dipungutnya pajak tersebut ataupun memindahtangankan barang bergerak yang dimiliki atau yang dikuasainya;

c. Pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya dan pernyataan pailit; d. Terjadi penyitaan atas barang bergerak ataupun barang tidak bergerak.


(48)

3.4 Surat Paksa

Pengertian Surat Paksa telah diatur dalam pasal 1 sub 10 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 yang berbunyi: Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Berikut ini penjelasan dari karakteristik dan isi Surat Paksa (Siahaan, 2004: 392).

3.4.1 Karakteristik Surat Paksa

a. Surat Paksa berkepala “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

b. Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan gross akta dari putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada hakim atasan (pengadilan yang lebih tinggi).

c. Surat Paksa mempunyai fungsi ganda, yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak (biaya-biaya penagihan). Dengan demikian, yang dapat ditagih dengan Surat Paksa adalah semua jenis pajak pusat dan pajak daerah serta biaya penagihan pajak, yang terdiri dari:

- Pajak Pusat; - Pajak Daerah; - Kenaikan;

- Denda (bukan denda pidana); - Bunga; dan

- Biaya penagihan pajak.

d. Surat Paksa dilaksanakan oleh Jurusita Pajak, baik jurusita pajak pusat maupun Jurusita Pajak daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang


(49)

serta diberi tugas secara resmi untuk menyampikan Surat Paksa kepada Wajib Pajak.

e. Surat Paksa yang tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/ pencegahan oleh Jurusita Pajak yang berwenang.

3.4.2 Isi Surat Paksa

Surat Paksa berisi perintah kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak dan kepada Jurusita Pajak. Perintah kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak untuk segera membayar tunggakan pajak ke tempat pembayaran pajak yang ditetapkan ditambah dengan biaya penagihan yang dikeluarkan oleh fiskus dalam waktu 2 (dua) hari sejak pemberitahuan Surat Paksa diterima oleh Wajib Pajak/ Penanggung Pajak. Sedangkan perintah kepada Jurusita Pajak yang melaksanakan Surat Paksa adalah untuk melakukan penyitaan atas barang milik Wajib Pajak/Penanggung Pajak apabila dalam waktu 2 (dua) hari Surat Paksa tidak dipenuhi Wajib Pajak/Penanggung Pajak.

Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:

a. Nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak; b. Dasar penagihan;

c. Besarnya utang pajak; dan d. Perintah untuk membayar.

Berikut pada tabel 3.1 dijelaskan perbedaan antara wajib pajak dan penanggung pajak.


(50)

Tabel 3.1

Perbedaan antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak

Wajib Pajak Penanggung Pajak

1. Badan

2. Badan dalam pembubaran atau pailit

3. Warisan yang belum dibagi

4. Anak yang belum dewasa/ orang yang berada dalam pengampunan

1. Pengurus termasuk orang yang nyata-nyata berwenang ikut menentukan

kebijaksanakan/mengambil keputusan dalam perusahaan. 2. Orang/badan yang dibebani

dengan pemberesan 3. Salah seorang ahli waris

pelaksana wasiat/ yang

mengurus harta peninggalannya 4. Oleh wali atau

pengampunannya Sumber: Hadi, 2001

3.4.3 Penerbitan Surat Paksa

Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala KPP apabila :

a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.

b. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus.

c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagimana tercantumdalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Penerbitan surat paksa secara sah oleh pejabat berwewenangmerupakan modal utama bagi pelaksanaan penagihan pajak yang efektif, karena Surat Paksa memberikan kewenangan kepada petugas penagihan pajak untuk melakukan eksekusi langsung (parate executie) dalam penyitaan atas barang milik Penanggung Pajak dan melakukan penjualan langsung atau melalui lelang atas


(51)

barang-barang tersebut untuk pelunasan pajak terutang tanpa melalui prosedur di pengadilan terlebih dahulu.

3.4.4 Pemberitahuan Surat Paksa oleh Jurusita

Menurut pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak. Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan

gross akta, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa. Kemudian kedua belah pihak (Jurusita Pajak dan Wajib Pajak/Penanggung Pajak) menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan Surat Paksa diserahkan kepada Penanggung Pajak, sedangkan Surat Paksa yang asli disimpan di kantor pejabat yang berwenang melakukan penagihan pajak.

Pemberitahuan Surat Paksa dituangkan dalam berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:

a. Hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa; b. Nama Jurusita Pajak;

c. Nama yang menerima Surat Paksa; d. Tempat pemberitahuan Surat Paksa.


(52)

3.4.5Pelaksanaan Pemberitahuan Surat Paksa

Pelaksanaan pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh Jurusita Pajak dengan cara berikut ini (Hadi, 2001: 29).

1) Jurusita Pajak menandatangani tempat tinggal tempat kedudukan Wajib Pajak/Penanggung Pajak dengan memperlihatkan tanda pengenal diri. Jurusita Pajak mengemukakan maksud kedatangannya yaitu, memberitahukan Surat Paksa dengan pernyataan dan menyerahkan salinan Surat Paksa tersebut. 2) Jika Jurusita Pajak bertemu langsung dengan Wajib Pajak/Penanggung Pajak

minta agar WP/PP surat-surat keterangan pajak yang ada untuk diteliti:

- Apakah tunggakan pajak menurut ketetapan pajak cocok dengan jumlah tunggakan yang tercantum pada Surat Paksa.

- Apakah ada Surat Keputusan Pengurangan/Penghapusan.

- Apakah ada kelebihan pembayaran dari tahun/jenis pajak lainnya yang belum diperhitungkan.

3) Jika Jurusita Pajak tidak menjumpai Wajib Pajak/Penanggung Pajak maka salinan Surat Paksa tersebut dapat diserahkan kepada:

a.Keluarga Penanggung Pajak atau orang yang bertempat tinggal bersama Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang akilbaliq (dewasa dan sehat mental). b.Anggota Pengurus Komisaris atau para pesero dari Badan Usaha yang bersangkutan.

c.Pejabat Pemerintah setempat (Bupati/Walikota/Camat/Lurah) dalam hal mereka tersebut pada butir a dan b di atas juga tidak dijumpai.Pejebat- pejabat ini harus memberi tanda tangan pada Surat Paksa dan salinannya,


(53)

sebagai tanda diketahuinya dan menyampaikan salinannya kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang bersangkutan.

d.Jurusita Pajak yang telah melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa, harus membuat laporan pelaksanaa Surat Paksa (bentuk KP.RIKPA 4.9-97).

4) Kalau penanggung pajak tidak ditemukan di kantor, maka Jurusita Pajak dapat menyerahkan salinan SP kepada:

- Seseorang yang ada di kantornya (salah seorang pegawai),

- Seseorang yang ada di tempat tinggalnya (istri, anak atau pembantu rumahnya).

5) Kalau tunggakan berbeda, yaitu tunggakan menurut SP berbeda dengan tunggakan menurut SKP yang ada pada Wajib Pajak/Penanggung Pajak, maka Jurusita Pajak tidak boleh mengubah, apa yang tertulis pada SP ataupun mencoret dan menambahkan pembetulannya.

Jurusita Pajak mengembalikan SP tersebut kepada Kepala Seksi Penagihan dengan disertai laporan dan usul agar dikeluarkan SP yang baru dengan menggunakan nomor dan tanggal yang sama sesuai dengan data sebenarnya. 6) Kalau penaggung pajak menolak Surat Paksa, yaitu apabila alasan penilakan

adalah kesalahan SP itu sendiri, maka penyelesaiannya adalah seperti yang telah diuraikan pada butir 5 (lima) di atas. Apabila Jurusita setelah memberikan keterangan seperlunya Penanggung Pajak atau wakilnya tetap menilak maka salinan SP tersebut dapat ditinggalkan begitu saja pada tempat kediaman/ tempat kedudukan Penanggung Pajak atau wakilnya, dengan


(54)

demikian SP dianggap telah diberitahukan/disampaikan (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1997 pasal 10 ayat 11).

7) Biaya Penyampaian Surat Paksa a.Jumlah biaya

Menurut Kep.DJP.No.Kep-01/pj.75/1994 tgl 14-1-1994, besarnya biaya penyampaian Surat Paksa, sebagai berikut:

- Biaya Harian Jurusita = Rp 10.000,- - Biaya Perjalanan = Rp 15.000,-

b.Apabila seorang Jurusita Pajak telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka ia sepenuhnya menerima biaya penagihan tanpa dikaitkan apakah piutang pajak dan biaya penagihannya telah dilunasi oleh WP/PP atau belum, sebaliknya dalam hal ketentuan tersebut tidak sepenuhnya diikuti, maka biaya penagihan tersebut tidak dapat diberikan.

8) Surat Paksa yang telah dilaksanakan, diserahkan kepada Kasi Penagihan disertai Laporan Pelaksanaan Surat Paksa (KP. RIKPA 4.9-97) dan diteruskan kepada Kepala Seksi Penagihan untuk ditandatangani dan selanjutnya dimasukkan dalam berkas Penagihan WP/PP yang bersangkutan dengan terlebih dahulu dicatat tanggal pelaksanaan Surat Paksa dalam Buku Register Pengawasan Penagihan, Buku Register Tindakan Penagihan, dan Kartu Pengawasan Tunggakan Pajak.

9) Laporan Pelaksaan Surat Paksa (KP. RIKPA 4.9-97)

a.Atas pelaksanaan Surat Paksa dibuat laporan oleh Jurusita Pajak yang melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut.


(55)

b.Hal-hal yang mendapat perhatian untuk dilaporkan yaitu:

-Jenis, letak dan taksiran harga dari obyek sita dengan memperhatikan tunggakan pajak dan biaya pelaksanaan penagihan yang mungkin akan dikeluarkan.

-Dalam kesan dan usul hendaknya dilaporkan keadaan yang sebenarnya dari WP/PP, antara lain kemampuan bayar, itikad mau bayar dan pandangan terhadap penetapan/penagihan pajak dan sebagainya, sehingga Jurusita Pajak dapat mengajukan usul untuk tindakan penagihan selanjutnya.

10)Apabila Jurusita Pajak tidak dapat melaksanakan Surat Paksa secara langsung, maka Jurusita Pajak harus membuat laporan secara tertulis mengenai sebab-sebabnya dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam upaya melaksanakan Surat Paksa tersebut, antara lain menghubungi pejabat pemerintah setempat, polisi, dan sebagainya.

3.4.6Laporan Penyampaian Surat Paksa

Jurusita setelah melaksanakan pemberitahuan Surat Paksa wajib membuat laporan pelaksanaan Surat Paksa. Dalam laporan tersebut berisi hal-hal sebagai berikut (Zuraida, 2011:79).

1. Identitas Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.

Data identitas Wajib Pajak atau Penanggung Pajak adalah sama seperti identitas Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang terdapat dalam SKPKB/SKPKBT/SKBKB/SKBKBT/STP, Surat Keputusan atau Surat Ketetapan yang mendasari Penagihan Pajak.


(56)

2. Pelaksanaan Penyampaian Surat Paksa

Pelaksanaan penyampaian surat paksa meliputi tanggal Surat Paksa disampaikan, dilampiri dengan berita acara penyampaian Surat Paksa dan rincian utang pajak.

3. Data mengenai Tunggakan Pajak

Diuraikan data tunggakan, dan perkembangan upaya hukum terhadap sengketa yang dilakukan Wajib Pajak, yaitu data mengenai keberatan dan banding yang dilakukan oleh Wajib Pajak, serta besarnya tunggakan yang ada. 4. Informasi Mengenai Objek Sita

Pada saat penyampaian Surat Paksa, Jurusita Pajak sudah mulai mendata kemungkinan barang-barang yang dapat digunakan sebagai objek sita jika nantinya akan dilaksanakan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP). Barang tersebut dirinci jenis barang, letak barang, dan taksiran harga barang. 5. Kesan dan Usul Jurusita

Kesan dan usul Jurusita berisi tentang opini Jurusita terhadap kondisi Wajib Pajak, apakah Wajib Pajak mempunyai kemampuan untuk membayar utang pajak, apakah Wajib Pajak menyembunyikan harta kekayaannya, serta kemungkinan-kemungkinan dapat tidaknya utang pajak dilunasi oleh Wajib Pajak.

3.5 Kendala-kendala yang dihadapi KPP Pratama Lubuk Pakam

Seksi Penagihan merupakan salah satu seksi yang mempunyai peran penting dalam upaya melaksanakan penagihan tunggakan pajak, dimana sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak yang salah satunya denganmenggunakan


(57)

Surat Paksa yang dilaksanakan oleh Seksi Penagihan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam. Berikut ini beberapa kendala yang dapat menghambat jalannya proses pelaksanaan kegiatan penagihan.

a.Faktor Intern (KPP Pratama Lubuk Pakam)

1) Banyaknya alamat Wajib Pajak yang tidak ditemukan disebabkan kerena adanya Wajib Pajak pindah tempat tanpa memberikan pemberitahuan kepada KPP Pratama Lubuk Pakam, selain itu juga disebabkan karena adanya Jurusita tidak menguasai daerah-daerah di wilayah kerjanya dan apa yang terjadi di daerah-daerah tersebut, karena Jurusita tersebut bukan berasal dari daerah yang bersangkutan.

2) Terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki oleh KPP Pratama Lubuk Pakam di bagian Seksi Penagihan, sementara adanya Penanggung Pajak yang cukup banyak sehingga tidak dapat mencukupi untuk melakukan pelaksanaan penagihan dengan Surat Paksa dalam waktu yang ditentukan. 3) Banyaknya usaha Wajib Pajak yang tutup/bangkrut, sehingga tidak dapat lagi

dilakukan penagihan.

4) Adanya berkas-berkas penagihan pajak yang tidak lengkap, baik itu pada Surat Teguran, Surat Paksa, maupun Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP).

5) Adanya oknum yang tidak bertanggung jawab ataupun membekap Wajib Pajak.


(58)

b.Faktor Ekstern (Wajib Pajak)

1) Adanya kesulitanpencarian terhadap Wajib Pajak dikarenakan Wajib Pajak tersebut pindah alamat atau mempunyai tempat usaha tanpa memberikan keterangan terhadap pihak KPP Pratama Lubuk Pakam sehingga Jurusita kesulitan mencari objek sita. Selain itu, dalam penyampaian Surat Paksa maupun Surat Teguran sering tidak sampai kepada Wajib Pajak yang bersangkutan karena ketidakjelasan alamat yang dituju.

2) Rendahnya kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban

perpajakannya, serta banyaknya Wajib Pajak yang menghindar dari pemenuhan kewajiban perpajakannya karena berbagai alasan yang tidak jelas dan kurangnya respon positif dari Wajib Pajak terhadap pajak itu sendiri, sehingga dapat menghambat proses pencarian tunggakan pajak.

3) Banyaknya Wajib Pajak yang bersikap kurang kooperatif sehingga dapat menyulitkan pihak KPP Pratama Lubuk Pakam dengan cara selalu berpindah-pindah tempat atau selalu mengelak terhadap apa yang ditujukan kepadanya. Selain itu, adanya rasa takut dari Wajib Pajak terhadap penagih pajak sehingga Wajib Pajak selalu berusaha untuk menghindar.

4) Adanya Wajib Pajak yang meninggal dunia dengan tidak menyampaikan kepada KPP Pratama Lubuk Pakam pada hal Wajib Pajak tersebut masih memiliki tanggungan pajak yang cukup besar.


(59)

3.6 Analisis Pelaksanaan Kegiatan Penagihan dengan Surat Teguran dan Surat Paksa

Dalam pelaksanaan penagihan dengan menerbitkan Surat Paksa, sesuai dengan mekanismenya terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran. Dalam menerbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa terdapat target yang harus tercapai, yaitu pencairan Surat Teguran dan Surat Paksa sesuai dengan yang diterbitkan. Berikut realisasi penerbitanSurat Teguran dan Surat Paksa pada tabel 3.2.

Tabel 3.2

Realisasi Penerbitan Surat Teguran dan Surat Paksa No

Uraian Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014

OP Badan OP Badan OP Badan

1. Surat Teguran terbit (lbr) 42 378 149 937 148 1033

2. Surat Teguran terbit (Rp) 35.909.018 3.054.826.681 1.019.781.890 25.873.837.068 2.350.813.961 92.088.418.752

3. Surat Paksa terbit (lbr) 57 328 207 652 267 825

4. Surat Paksa terbit (Rp) 97.128.708 1.792.106.015 969.178.157 6.615.988.316 1.627.854.822 69.799.165.601

5. Pencairan dari ST (Rp) 2.411.018 1.414.412.433 306.826.865 1.535.351.738 193.629.100 9.556.387.400

6. Pencairan dari ST (lbr) 5 130 18 372 11 223

7. Pencairan dari SP (Rp) 4.784.456 366.078.033 288.794.919 352.660.270 5.603.133 5.540.121.048

8. Pencairan dari SP (lbr) 10 67 6 48 5 94

9. ST tidak bayar (lbr) 37 248 131 565 137 810

10. ST tidak bayar (Rp) 33.498.000 1.640.414.248 712.955.025 24.338.485.330 2.157.184.861 82.532.031.352

11. SP tidak bayar (Rp) 92.344.252 1.426.027.982 680.383.238 6.263.328.046 1.622.251.689 64.259.044.553

12. SP tidak bayar (lbr) 47 261 201 604 262 731


(60)

Pada pelaksanaan penagihan dengan surat paksa tindakan yang pertama dilakukan yaitu dengan menerbitkan surat teguran atau surat lain yang sejenis oleh pejabat yang berwenang sejak 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran. Apabila jumlah utang pajak yang harus dibayar tidak dilunasi penanggung pajak setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran, pejabat segera menerbitkan Surat Paksa.

Tabel 3.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2012jumlah Surat Teguran yang diterbitkan yaitu 420 lembar yang terdiri dari 42 lembar Wajib Pajak Orang Pribadi dan 378 lembar Wajib Pajak Badan. PencairanSurat Teguran pada Wajib Pajak Orang Pribadi terdapat 5 lembar dari 42 lembar dan Wajib Pajak Badan 130 lembar dari 378 lembar. Dan jumlah Surat Teguran yang tidak bayar yaitu 37 lembar Wajib Pajak Orang Pribadi dan 248 lembar Wajib Pajak Badan. Dari hal tersebut 65 % Surat Teguran Wajib Pajak Badan belum dicairkan atau yang terrealisasi 35 % dan 88 % Surat Teguran Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum dicairkan atau yang terrealisasi hanya 12 %.

Tahun2013 jumlah Surat Teguran yang diterbitkan semakin meningkat yaitu 1.086 lembar yang terdiri dari 149 lembar Wajib Pajak Orang Pribadi dan 937 lembar Wajib Pajak Badan. Dan Surat Teguran yang tidak bayar sejumlah 131 lembar Wajib Pajak Orang Pribadi dan 565 lembar pada Wajib Pajak Badan. Jumlah Surat Teguran yang telah dicairkan terdapat 18 lembar Wajib Pajak Orang Pribadi dan 372 lembar Wajib Pajak Badan. Dari hal tersebut dinyatakan 88 % Surat Teguran Wajib Pajak Orang Pribadi belum dicairkan atau yang terrealisasi hanya 12 %. Surat Teguran Wajib Pajak Badan yang belum dicairkan sebesar 60,3 % dan yang terrealisasi hanya mencapai 39,7 %.


(61)

Padatahun 2014 terdapat 1.181 lembar Surat Teguran diterbitkan yang terdiri dari 148 lembar Wajib Pajak Orang Pribadi dan 1.033 lembar Wajib Pajak Badan. Jumlah Surat Teguran yang telah dicairkan yaitu 11 lembar Surat Teguran Wajib Pajak Orang Pribadi dan 223 lembar Surat Teguran Wajib Pajak Badan.Surat Tagihan yang tidak bayar sebanyak 137 lembar Wajib Pajak Orang Pribadi dan 810 lembar Wajib Pajak Badan. Dinyatakan 92,5 % Surat Teguran Orang Pribadi belum dicairkan atau yang terrealisasi hanya 7,5%. Surat Teguran Wajib Pajak Badan yang belum dicairkan terdapat 78,4 % dan yang terrealisasi hanya mencapai 21,6 %.

Dapat dinyatakan bahwa Surat Teguran yang diterbitkan setiap tahunnya meningkat, walaupun di tahun 2014 pada Wajib Pajak Orang Pribadi mengalami penurunan 0,01%. Pencairan jumlah Surat Teguran Wajib Pajak tahun 2012, 2013, dan 2014 apabila digabungkan jumlahnya dan dibandingkan dengan jumlah Surat Teguran yang diterbitkan selama tiga tahun tersebut, maka rata-rata pencapaian target penerimaan melalui Surat Teguran yang belum tercapai sekitar 71,8 %atau yang tercapai hanya 28,2 % selama tiga tahun.

Pada tahun 2012 Surat Paksa yang diterbitkan sebanyak 385 lembar terdiri dari 57 lembar Surat Paksa Wajib Pajak Orang Pribadi dan 328 lembar Surat Paksa Wajib Pajak Badan. Dari sejumlah Surat Paksa yang diterbitkan, realisasi pencairannya hanya sejumlah 10 lembar Surat Paksa Wajib Pajak Orang Pribadi dan 67 lembar Surat Paksa Wajib Pajak Badan serta sisanya yang belum dicairkan merupakan Surat Paksa yang tidak bayar. Dari hal tersebut terdapat 82,4 % Surat Paksa Orang Pribadi yang belum dicairkan dan yang terrealisasi hanya 17,6 %.


(62)

Surat Paksa Badan yang belum dicairkan 79,6 % atau yang terrealisasi hanya 20,4 %.

Pada tahun 2013 Surat Paksa yang diterbitkan sebanyak 859 lembar yang terdiri dari 207 lembar Surat Paksa Orang Pribadi dan 652 lembar Surat Paksa Badan. Realisasi pencairan Surat Paksa yang diterbitkan yaitu 6 lembar Surat Paksa Orang Pribadi dan 48 lembar Surat Paksa Badan serta sisanya merupakan Surat Paksa yang belum dicairkan ataupun Surat Paksa yang tidak bayar. Dalam hal ini dinyatakan hanya 2,9 % Surat Paksa Orang Pribadi yang dicairkan atau 97,1 % yang belum dicairkan. Pada Surat Paksa Wajib Pajak Badan hanya 7,3 % yang dicairkan atau yang terrealisasi dan 92,7 % yang belum dicairkan.

Padatahun 2014 menunjukkan bahwa Surat Paksa yang diterbitkan semakin meningkat dari tahun sebelumnya. Dalam hal ini Surat Paksa yang diterbitkan terdapat 1.092 lembar yang terdiri dari 267 lembar Surat Paksa Orang Pribadi dan 825 lembar Surat Paksa Badan. Pencairan surat Paksa yang diterbitkan tidak sesuai dengan harapan dan semakin merosot. Dari 148 lembar Surat Paksa Orang Pribadi yang diterbitkan, hanya 11 lembar yang dapat dicairkan serta sisanya belum dicairkan atau tidak bayar. Pada Surat Paksa Wajib Pajak Badan yang diterbitkan 825 lembar, hanya 94 lembar yang dapat dicairkan dan sisanya Surat Paksa tidak bayar atau belum dicairkan. Dalam hal tersebut dinyatakan hanya 1,9 % Surat Paksa Orang Pribadi yang dapat dicairkan atau yang terrealisasi dan 98,1 % Surat Paksa Orang Pribadi yang tidak bayar atau belum dicairkan. Pada Surat Paksa Wajib Pajak Badan terdapat 11,4 % yang dapat dicairkan atau yang terrealisasi dan 88,6 % yang belum dicairkan.


(63)

Dari tabel 3.2 menyatakan bahwa Surat Paksa yang diterbitkan semakin meningkat setiap tahunnya dan realisasi pencairan Surat Paksa semakin menurun setiap tahunnya. Apabila digabungkan jumlah Surat Paksa yang diterbitkan dan dibandingkan dengan realisasi pencairan Surat Paksa pada tahun 2012, 2013, dan 2014 maka pencapaian target penerimaan melalui Surat Paksa yang belum tercapai sekitar 90,15 %atau yang tercapai hanya 9,85 % selama tiga tahun.

3.7 Jumlah Target dan Realisasi Penerimaan Pajak KPP Pratama Lubuk Pakam

Target penerimaan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam tidak selalu terrealisasi sesuai dengan harapan. Namun, rata-rata sekitar 50 % setiap tahunnya target penerimaan dapat terrealisasi. Berikut ini pada tabel 3.3 jumlah target penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam dan realisasi penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam pada tabel 3.4.

Tabel 3.3

Target penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam

Sumber: KPP Pratama Lubuk Pakam2015

Jenis Wajib Pajak

Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014

Orang Pribadi 8.920.090.000 10.188.768.000 9.306.050.000

Badan 57.373.919.082 44.615.471.663 70.315.695.929


(64)

Tabel 3.4

Realisasi Penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam

Tahun / Jenis WP

Rencana Penerimaan

Realisasi

Penerimaan %

2012 66.294.009.082 33.726.382.592 50,87 %

Badan 57.373.919.082 29.425.298.496 51,29 %

OP 8.920.090.000 4.301.084.096 48,22 %

2013 54.804.239.663 47.688.925.177 87,02 %

Badan 44.615.471.663 39.328.243.468 88,15 %

OP 10.188.768.000 8.360.681.709 82,06 %

2014 79.621.745.929 53.518.317.723 67,22 %

Badan 70.315.695.929 48.672.785.245 69,22 %

OP 9.306.050.000 4.845.532.478 52,07 %

Sumber: KPP Pratama Lubuk Pakam 2015

Dari tabel 3.3 dan tabel 3.4 menunjukkan bahwa target penerimaan pajak KPP Pratama Lubuk Pakam tahun 2012 Rp 66.294.009.082 tetapi realisasinya hanya mencapai Rp 33.726.382.592 atau 50,87 % dari jumlah yang ditargetkan. Jumlah target penerimaan pajak pada tahun 2012 yang belum terrealisasi 49,13 %. Pada tahun 2013 target penerimaan pajak KPP Pratama Lubuk Pakam sebesar Rp 54.804.239.663 dan realisasinya mencapai Rp 47.688.925.177 atau 87,02 % dari target penerimaan pajak dan yang belum terrealisasi sekitar 12,98 %. Jika dibandingkan persentase pencapaian target antara tahun 2012 dan 2013, persentase pencapaian target pada tahun 2013 lebih tinggi daripada pada tahun


(65)

2012. Pada tahun 2014 target penerimaan pajak yang direncanakan sebesar Rp 79.621.745.929 tetapi realisasinya hanya mencapai Rp 53.518.317.723 atau 67,22 % dari target penerimaan pajak yang direncanakan dan yang belum terrealisasi sebesar 32,78%. Dari hal tersebut pencapaian target penerimaan pajak yang paling tinggi terdapat pada tahun 2013.


(66)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.Kesimpulan

Setelah membahas berbagai hal yang terkait dengan mekanisme penagihan utang pajak dengan Surat Paksa dalam meningkatkan penerimaan pajak KPP Pratama Lubuk Pakam, maka penulis mencoba memberikan beberapa kesimpulan dan saran. Berdasarkan analisis dan pembahasan serta keterangan dari KPP Pratama Lubuk Pakam dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kurangnya pelaksanaan penagihan utang pajak dengan Surat Paksa akibat minimnya Sumber Daya Manusia dan Juru Sita Pajak yang tidak sebanding dengan banyaknya Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak.

2. Surat Teguran yang diterbitkan setiap tahunnya meningkat, walaupun di tahun 2014 pada Wajib Pajak Orang Pribadi mengalami penurunan 0,01%. Surat Paksa yang diterbitkan semakin meningkat setiap tahunnya dan realisasi pencairan Surat Paksa semakin menurun setiap tahunnya.

3. Pencapaian persentase target penerimaan pajak yang paling tinggi terdapat pada tahun 2013.

4.2 Saran

Dari kesimpulan yang telah diuraikan maka penulis mencoba memberikan beberapa saran sebagai berikut:


(1)

Dari tabel 3.2 menyatakan bahwa Surat Paksa yang diterbitkan semakin meningkat setiap tahunnya dan realisasi pencairan Surat Paksa semakin menurun setiap tahunnya. Apabila digabungkan jumlah Surat Paksa yang diterbitkan dan dibandingkan dengan realisasi pencairan Surat Paksa pada tahun 2012, 2013, dan 2014 maka pencapaian target penerimaan melalui Surat Paksa yang belum tercapai sekitar 90,15 %atau yang tercapai hanya 9,85 % selama tiga tahun.

3.7 Jumlah Target dan Realisasi Penerimaan Pajak KPP Pratama Lubuk Pakam

Target penerimaan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam tidak selalu terrealisasi sesuai dengan harapan. Namun, rata-rata sekitar 50 % setiap tahunnya target penerimaan dapat terrealisasi. Berikut ini pada tabel 3.3 jumlah target penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam dan realisasi penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam pada tabel 3.4.

Tabel 3.3

Target penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam

Sumber: KPP Pratama Lubuk Pakam2015 Jenis Wajib

Pajak

Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Orang Pribadi 8.920.090.000 10.188.768.000 9.306.050.000 Badan 57.373.919.082 44.615.471.663 70.315.695.929 Total 66.294.009.082 54.804.239.663 79.621.745.929


(2)

Tabel 3.4

Realisasi Penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam

Tahun / Jenis WP

Rencana Penerimaan

Realisasi

Penerimaan %

2012 66.294.009.082 33.726.382.592 50,87 % Badan 57.373.919.082 29.425.298.496 51,29 % OP 8.920.090.000 4.301.084.096 48,22 % 2013 54.804.239.663 47.688.925.177 87,02 % Badan 44.615.471.663 39.328.243.468 88,15 % OP 10.188.768.000 8.360.681.709 82,06 % 2014 79.621.745.929 53.518.317.723 67,22 % Badan 70.315.695.929 48.672.785.245 69,22 % OP 9.306.050.000 4.845.532.478 52,07 % Sumber: KPP Pratama Lubuk Pakam 2015

Dari tabel 3.3 dan tabel 3.4 menunjukkan bahwa target penerimaan pajak KPP Pratama Lubuk Pakam tahun 2012 Rp 66.294.009.082 tetapi realisasinya hanya mencapai Rp 33.726.382.592 atau 50,87 % dari jumlah yang ditargetkan. Jumlah target penerimaan pajak pada tahun 2012 yang belum terrealisasi 49,13 %. Pada tahun 2013 target penerimaan pajak KPP Pratama Lubuk Pakam sebesar Rp 54.804.239.663 dan realisasinya mencapai Rp 47.688.925.177 atau 87,02 % dari target penerimaan pajak dan yang belum terrealisasi sekitar 12,98 %. Jika dibandingkan persentase pencapaian target antara tahun 2012 dan 2013,


(3)

2012. Pada tahun 2014 target penerimaan pajak yang direncanakan sebesar Rp 79.621.745.929 tetapi realisasinya hanya mencapai Rp 53.518.317.723 atau 67,22 % dari target penerimaan pajak yang direncanakan dan yang belum terrealisasi sebesar 32,78%. Dari hal tersebut pencapaian target penerimaan pajak yang paling tinggi terdapat pada tahun 2013.


(4)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.Kesimpulan

Setelah membahas berbagai hal yang terkait dengan mekanisme penagihan utang pajak dengan Surat Paksa dalam meningkatkan penerimaan pajak KPP Pratama Lubuk Pakam, maka penulis mencoba memberikan beberapa kesimpulan dan saran. Berdasarkan analisis dan pembahasan serta keterangan dari KPP Pratama Lubuk Pakam dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kurangnya pelaksanaan penagihan utang pajak dengan Surat Paksa akibat minimnya Sumber Daya Manusia dan Juru Sita Pajak yang tidak sebanding dengan banyaknya Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak.

2. Surat Teguran yang diterbitkan setiap tahunnya meningkat, walaupun di tahun 2014 pada Wajib Pajak Orang Pribadi mengalami penurunan 0,01%. Surat Paksa yang diterbitkan semakin meningkat setiap tahunnya dan realisasi pencairan Surat Paksa semakin menurun setiap tahunnya.

3. Pencapaian persentase target penerimaan pajak yang paling tinggi terdapat pada tahun 2013.

4.2 Saran

Dari kesimpulan yang telah diuraikan maka penulis mencoba memberikan beberapa saran sebagai berikut:


(5)

1. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam sebaiknya menambah jumlah Sumber Daya Manusia terutama pada bagian Seksi Penagihan, agar proses penagihan pajak dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan. 2. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam sebaiknya melakukan

sosialisasi terhadap Wajib Pajak. Dengan melakukan sosialisasi terhadap Wajib Pajak maka instansi dapat memberikan masukan kepada Wajib Pajak secara langsung, sehingga dapat mengurangi penerbitan Surat Teguran dan Surat Paksa akibat tunggakan utang pajak.

3. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam sebaiknya melakukan penelitian ataupun melakukan analisis SWOT terhadap tidak tercapainya target penerimaan pajak pada tahun 2012 dan 2014. Dengan dilakukannya penelitian maka dapat diterapkan langkah yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya agar target penerimaan pajak dapat tercapai seperti pada tahun 2013 target penerimaan pajak mencapai 87,02 %.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, H. Moeljo, S.H. 2001.Dasar-dasar penagihan pajak dengan surat paksa oleh juru sita pajak pusat dan daerah.Jakarta: RajaGrafindo Persada. Ikatan Akuntansi Indonesia, Modul Pelatihan Pajak Terapan Brevet A dan B

Terpadu.

Rusjdi, Muhammad. 2007. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).Jakarta: PT Macanan Jaya Cemerlang.

Siahaan, Marihot P, S.E. 2004. Utang Pajak, Pemenuhan Kewajiban, dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.Jakarta: RajaGrafindo Persada. Zuraida, Ida dan L.Y. Hari Sih Advianto. 2011. Penagihan Pajak: Pajak Pusat