Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat merajalela akibat dari suasana seakan- akan pemerintah sudah tidak mempunyai kewibawaan lagi.

3. Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Dua tahun setelah peraturan penguasa perang pusat tadi diberlakukan, lantas pemerintah memandang perlu untuk menggantinya dengan peraturan yang berbentuk undang-undang. Akan tetapi karena keadaan memaksa, dan tidak memungkinkan untuk membentuk sebuah undang-undang, maka instrument hukum yang dipergunakan untuk itu adalah dengan membentuk sebuah peraturan Pemerintah Pengganti Undnag-undang Perpepu. Atas dasar itu, maka pada tanggal 9 Juni 1960 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Pidana Korupsi, Lembaran Negara No. 72 Tahun 1960. Barulah kemudian pada tahun 1961 dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961, peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 itu dikukuhkan status hukumnya menjadi undang-undang, sehingga ia dikenal dengan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Lembaga Negara No. 72 Tahun 1960. Tindak pidana Korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Tahun 1960 ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang termuat dalam Peraturan Penguasa Perang Puasat tadi. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 dapat dikatakan telah menyerap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Universitas Sumatera Utara Peraturan Penguasa Perang Pusat. Hanya saja terdapat sedikit perubahan redaksional pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”, dan penggantian kata “perbuatan” dengan istilah “tindakan” pada rumusan korupsi kategori pertama. Di samping itu, undang-undang ini menarik lagi beberapa Pasal KUHP dari apa yang telah ditarik oleh peraturan penguasa perang tadi, sehingga semuanya meliputu Pasal-Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP. Mengenai rumusan korupsi yang bukan pidana dari peraturan penguasa perang pusat tidak diambil alih pengaturannya oleh Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960. Meskipun demikian, di dalam penjelasan undang-undang ini terdapat keterangan yang menegaskan, bahwa korupsi yang bukan pidana diadili oleh pengadilan tinggi atas gugatan Badan Koordinasi Penilik Harta Benda, sehingga harta benda hasil korupsi dapat dirampas. Sampai dengan berlakunya Undang-Undang Korupsi tahun 1960 ini saja sebenarnya sudah tergambar betapa hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan sedemikian rupa. Fakta ini dapat dilihat sebagai manifestasi dinamika hukum pidana itu sendiri dalam menanggapi perkembangan perilaku manusia yang dinamika korupsi, namun pada sisi lain, justru dengan adanya penggantian peraturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan pengaturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan hukum pidana yang ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Universitas Sumatera Utara Bambang Poernomo 38 Dari sudut pandang aparat penegak hukum sendiri, penyebabnya antara lain adalah karena ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan mengenai korupsi dirasakan kurang memadai untuk melakukan tindakan, baik secara represif maupun preventif. Kekurangan yang terdapat dalam undang-undang korupsi pada waktu itu, yang dirasakan sangat menghambat upaya penegak hukum, terutama sekali adalah mengenai rumusan tindak pidana korupsi yang di dalam undang-undang itu disyaratkan adanya pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran. Tanpa adanya unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka suatu perbuatan, meskipun bersifat koruptif, tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. dalam hubungan itu mengatakan bahwa pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai sasaran dibidang politik, ekonomi, keuangan dan sosial budaya. Meski telah beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus berlangsung dengan hebat. Artinya, selama kurun waktu tersebut sistem peradilan pidana tidak dapat berbuat banyak untuk mengahdapi pada koruptor ke pengadilan. 38 Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1984, hal. 65. Universitas Sumatera Utara Rumusan tentang tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 itu, hanya terdapat di dalam satu Pasal, yaitu Pasal 1. Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 berbunyi: Disebut tindak pidana korupsi ialah: a. Tindakan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat; b. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan, dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatyan atau kedudukan; c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai Pasal 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KHUP. Rumusan Pasal 1 huruf a dan huruf b tersebut di atas ternyata, bahwa untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi disyaratkan terlebih dahulu adanya suatu kejahatan atau yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran itu haruslah terlebih dahulu dibuktikan sebelum melangkah lebih lanjut pada pembuktian unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan dan seterusnya. Penjelasan Pasal 1 huruf a Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 memperjelas perlunya pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut. Sebagai hal yang diutamakan. Penegasan demikian tercermin dalam kesimpulan yang terdapat di dalam penjelasan Pasal tersebut, yang menyatakan: “…………yang dimaksud dengan perbuatan korupsi pidana apabila terjalin unsur-unsur kejahatan atau pelanggaran, sehingga berdasarkan itu Universitas Sumatera Utara dapat dipidana dengan hukuman badan danatau denda yang cukup berat di samping perampasan harta benda hasil korupsinya. Ternyata dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi berdasarkan undang- undang itu, dengan persyaratan yang demikian, tidak mendapatkan efektivitas yang memadai seperti harapan semula. Hal itu disebabkan karena sulit untuk membuktikan unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran. Akibat adanya persyaratan atau unsur yang demikian, banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang sesungguhnya bersifat korutif, sangat sukar dipidana berdasarkan undang-undang ini. Kesukaran itu adalah karena sulitnya memenuhi pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran terlebih dahulu. Di samping itu, ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 dirasakan pula kurang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi secara efektif, terutama sekali menyangkut ketentuan-ketentuan tentang pembuktian. 39 Kebijakan untukmelakukan pembaharuan terhadap undang-undang mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk undang- undang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960. Artinya, berhubung dengan perkembangan masyarakat, Undang- Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 dianggap kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan. atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, dan diperkuat dengan berbagai pendapat yang berkembang ditengah masyarakat, 39 Tentang kurang memadainya ketentuan undang-undang No. 24 Prp Tahun 1960 sebagai sarana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi tercermin dari adanya pengakuan legalitas sebagaimana dapat dilihat lebih lanjut dalam penjelasan Umum UUPTPK 1971. Universitas Sumatera Utara pemeritah memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960. Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana kporupsi. Kemudian untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam undang- undang korupsi. Untuk memenuhi maksud tersebut di atas, maka dengan Amanat Prsiden No. R. 07P.UVIII1970 tanggal 13 Agustus 1970, Pemerintah menyampaikan kepada dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPRGR sebuah rancangan undang-undang tersebut dimaksdukan untuk mencabut dan mengganti Undang- Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 dengan suatu undang-undang korupsi yang baru.

4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi