Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 memformulasikan tindak pidana korupsi hanya dalam satu Pasal, yaitu Pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub
ayat. Lengkapnya Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
1.a. Barangsiapa dengan melawan hukum dengan melakukan perbuatanmemperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu
badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau
patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuagan negara atau perekonomian negara;
a. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara;
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-Pasal
209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP;
d. Barang siapa member hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengikat sesuatu
kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh si pemberi hadiah atau kedudukan
itu;
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada
yang berwajib.
2. Barangsiapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk
melakuan tindak pidana tersebut dalam ayat 1 a, b, c, d, e Pasal ini.
Pada Pasal 1 ayat 1 huruf a UU-PTPK 1971 di atas terlihat adanya rumusan secara tegas mengenai unsur melawan hukum, yang secara tekstual
berlainan dengan unsur yang ada dalam undang-undang korupsi sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam undang-undang yang lama, diganti dengan unsur melawan hukum. Dengan adanya unsur melawan hukum itu
terkesan bahwa pembentuk undang-undang berusaha mengatasi kelemahan dan kesulitan pembuktian seperti ditunjukkan dalam penerapan undang-undang
sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat 1 huruf a UU-PTPK 1971 tersebut memuat pengertian yang luas sebagai pengganti unsur melakuikan
kejahatan atau pelanggaran.
40
Konsideran Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang-undang untuk memposisikan undang-
undang tersebut sebagai instrument hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi. Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa
perbuatan korupsi sangat merugikan keuanganperekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang
mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu diperlukan adanya langkah pembaharuan perundang-undangan pidana,
sehingga dengan demikian dapat diketahui betapa pentingnya keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam upaya penanggulangan masalah
korupsi. Unsur melawan hukum hukum dalam undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1971 itu mengandung pengertian formil dan materil.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam perkembangannya dirasakan memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti. Disamping tidak adanya
40
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tidak adanya ketentuan yang diterapkan terhadap korporasi sebagai subyek tindak
pidana korupsi corpotate criminal liability tercatat sebagai salah satu keleahan yang dimiliki oleh undang-unang No. Tahun 1971.
Kelemahan lain yang terdapat dalam UU-PTPK 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum duapuluh tahun
dan minimum umum satu hari, sehingga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum
itu. Kewenangan direksi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktek kasus korupsi yang
hanya dijatuhi pidana dibawah ini satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.
Disamping untuk memperluat landasan hukum bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, secara praktis kehadiran undang-undang
baru itu dapat pula dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan efek pencegaahn deterrent effect yang lebih besar bagi pelaku potensial. Hal ini paling tidak
terlihat dari adanya kebijakan menerapkan sistem minimum khusus dalam
pemindanaan yang sama sekali tidak dinekal dalam undang-undang sebelumnya. 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan. Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin
bertambah parah dan berkembang luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak
Universitas Sumatera Utara
paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tersebut
belum dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan undang-
undang baru. Undang-undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perjalanannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pun ternyata
menimbulkan permasalahan karena tidak ada Pasal yang mengatur tentang peraturan peralihan, sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan
undang-undang tersebut. Akibat dari tidak adanya Pasal tentang peraturan peralihan, maka pelaku korupsi pada Orde Baru, sebelum Undang-Undang ini
berlaku tidak bisa dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.
41
Melalui undang-undang yang baru tersebut, pemerintah diberikan amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang
Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 merupakan konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku korupsi di masa
lalu. Karena kelemahan itu, maka Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
41
Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005, hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
independent dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dasar hukum pembentukan lembaga independent itu adalah
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perjalanannya, dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11
tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disingkat TIMTASTIPIKOR untuk
mendukung pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi yang semakin parah.
Untuk mewujudkan tujuan nasional yang telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang meliputi melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka strategi yang digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi haruslah tepat. Adapun
strategi yang dimaksud adalah dilakukan dengan 3 tiga macam, yaitu:
42
a. Strategi persuasive, yaitu upaya menghilangkan penyebab korupsi dan peluang korupsi;
b. Strategi detektif, yaitu menampilkan dan mengidentifikasi tindak pidana korupsi dalam waktu sesingkat mungkin;
c. Strategi represif, yaitu upaya memproses tindak pidana korupsi yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan cara melalui proses penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan.
42
Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008, hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi merupkan lembaga pemerintah dalam menindak lanjuti kasus korupsi yang dibentuk dan bertanggung jawab
secara langsung terhadap presiden berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 2005. Adapun Timtaspikor ini keanggotaanya terdari dari Kejaksaan Republik
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Adapun tugas dan wewenang Timtastipikor adalah
1 melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus danatau indikasi tindak pidana korupsi,
2 mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset-asetnya dalam
rangka pengembalian keuangan negara secara optimal, yang berkaitan dengan tugas sebagaimana dimaksud pada huruf, 3 Melakukan kerjasama danatau
koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Ombudsman Nasional
dan instansi pemerintah lainnya dalam upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, 4
Melakukan hal-hal yang dianggap perlu guna memperoleh segala informasi yang diperlukan dari semua instansi Pemerintah Pusat maupun instansi Pemerintah
Daerah, BUMN, BUMD, serta pihak-pihak lain yang dipandang perlu, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun karena keberadaan
Timtastipikor dinilai kurang efektif dan tegas serta kewenangannya tumpang tindih dengan lambaga pemerintah lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK
Universitas Sumatera Utara
sehingga dikeluarkan Keppres No. 10 Tahun 2007 tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Korupsi.
6. Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Kerjasama antara Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Secara de facto saat ini sudah ada empat badan institusi negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang berhungan dengan upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia, yaitu: 1 kepolisian, 2 kejaksaan, 3 KPK Komisi Pembarantas Korupsi, 4 Timtastipikor Tim Pemberantas Tindak Pidana
Korupsi. Meskipun aturan dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2002 mengatur juga
kewenangan khusus yang dilakukan komisi pemberantasan korupsi terkait penyidikan dan penuntutan perkara korupsi namun undang-undang ini tidak
menghapuskan kewenangan pejabat penyidik dari pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan perkara korupsi. Ketentuan tentang penyidikan dan
penuntutan perkara korupsi tertuang dalam: Pasal 6 huruf a
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas koordinatif dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
Pasal 7 huruf a Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
Universitas Sumatera Utara
Prinsip koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dengan instasi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi ini salah satunya
dengan instansi kejaksaan sehingga dengan demikian tercipta sinergi antara kejaksaan dan KPK. Koordinasi ini diaktualisasikan melalui peraturan bersama
Jaksa Agung Republik Indonesia No.: KEP-347AJA12122005 dan ketua Komisis Pemberantasan Korupsi KPK, No. 11KPK-KEJAGUNGXII122005
tentang kerjasama antara komisi pemberantasan korupsi dengan kejaksaan republik indonesia dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.
Terkait dengan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi maka ada batasan dimana KPK melakukan penyidikan perkara
korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar Rp.1.000.000.000,00. Hal ini berbeda dengan kewenangan kejaksaan yang tidak
mengenal minimal atau batas kerugian negara dalam melakukan penanganan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi. Dengan
demikian kewenangan kejaksaan lebih luas dibandingkan kewenangan KPK.
B. Perkembangan Perundang-Undangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia