pH Air Oksigen Terlarut

besar lebih tahan terhadap suhu yang tinggi. Dengan ukuran karapas yang lebih besar maka proses penguapan cairan tubuh akan berlangsung lebih lama. 2,5.2. Salinitas Salinitas merupakan parameter lingkungan yang mempengaruhi proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi dan daya kelangsungan hidup biota air Kinne, 1964 dalam Sukarya, 1991. Perubahan yang terjadi pada salinitas air dapat mempengaruhi sifat fungsional dan struktural organisme yaitu melalui perubahan osmosis konsentrasi total, keseimbangan cairan tubuh, densitas dan viskositas. Setiap fase siklus hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas yang berbeda Clark, 1974. Diantara hewan golongan krusrasea, kepiting bakau memiliki pengaturan osmosis yang berkembang lebih baik dibanding jenis lainnya. Kombinasi antara permiabilitas tubuh yang sangat terbatas karena adanya kerangka luar menjadi penyebab biota ini dapat hidup di kawasan estuaria Nybakken, 1992.

2.5.3. pH Air

Derajat keasaman atau pH menggambarkan aktifitas potensial ion hirogen dalam perairan yang dinyakatan sebagai konsentrasi ion hidrogen molL pada suhu tertentu, atau pH = - log H+. Air murni mempunyai nilai pH = 7, dan dinyatakan netral, sedang pada air payau berkisar antara 7 – 9 Boyd, 1990. Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan yang asam cenderung menyebabkan kematian pada biota perairan umumnya, demikian juga pada pH yang mempunyai nilai kelewat basa. Hal ini disebabkan konsentrasi oksigen akan rendah sehingga aktifitas pernafasan tinggi dan berpengaruh terhadap menurunnya nafsu makan. Ghufron dan Kordi, 2005. Nilai pH air dipengaruhi oleh konsentrasi CO 2 . Pada siang hari karena terjadi fotosintesis maka konsentrasi CO 2 menurun sehingga pH airnya meningkat. Sebaliknya pada malam hari seluruh organisme dalam air melepaskan Universita Sumatera Utara CO 2 hasil respirasi sehingga pH air menurun. Namun demikian air payau cukup ter-buffer dengan baik sehinga pH airnya jarang turun mencapai nilai dibawah 6,5 atau meningkat hingga mencapai nilai 9, sehingga efek buruk pada biota air yang hidup di kawasan ini jarang terjadi Boyd, 1990. Proses penguraian bahan organik menjadi garam mineral, seperti amonia, nitrat dan fosfat akan lebih cepat jika kisaran pH berada pada kisaran basa Afrianto dan Liviawati, 1991. Pada pH diatas 7, amonia dalam molekul NH 3 akan lebih dominan dari ion NH 4 . Menurut Amir 1994 kepiting bakau mengalami pertumbuhan dengan baik pada kisaran pH 7,3 – 8,5.

2.5.4. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut dalam perairan berasal dari dua sumber utama yaitu dari proses difusi gas O 2 dari udara bebas saat ada perbedaan tekanan parsial di udara dan masuk ke dalam air, dan bersumber dari fotosintesa. Difusi gas ini dalam air dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Difusi akan menurun sejalan dengan meningkatnya salinitas dan suhu air. Pengaruh fotosintesa pada keberadaan oksigen dalam air tergantung pada kemelimpahan fitoplankton dan kekeruhan. Fitoplankton akan berpengaruh pada produksi dan konsumsi oksigen sedangkan kekeruhan lebih berpengaruh pada benyaknya produksi oksigen. Oksigen terlarut tidak saja digunakan untuk pernafasan biota dalam air tetapi juga untuk proses biologis lainnya. Jika oksigen terlarut dalam keadaan minim dapat menyebebkan stres dan meningkatkan peluang infeksi penyakit. Bila konsentrasi oksigen terlarut 3 mgL, maka nafsu makan biota akan berkurang dan tidak dapat berkembang dengan baik Boyd, 1990. Menurut Ramelan 1994 kepiting bakau bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dengan kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 4 mgL. Kepiting bakau akan mengalami stress bila kadar oksigen terlarut 3 mgL.

2.5.5. Substrat Dasar Perairan