Makanan dan Kebiasaan Makan Deskripsi Hutan Mangrove

molting tubuh kepiting akan bertambah besar sekitar sepertiga kali dari sebelumnya dan panjang karapas meningkat 5-10 mm seitar 2 kali dari ukuran semula. Kepiting dewasa umur 12 bulan memiliki panjang karapas 170 mm dan berat sektar 200 gekor Gufron dan Kordi, 2000.

2.4. Makanan dan Kebiasaan Makan

Kepiting bakau merupakan organisme pemakan bangkai omnivorous- scavenger dan pemakan sesama jenis kanibal. Kepiting bakau dewasa juga merupakan organisme pemakan bentik atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropoda dan krustase Hutching dan Sesanger, 1987. Snedaker dan Getter 1985 menyatakan kepiting bakau adalah organisme yang memakan serasah mangrove, dimana habitatnya adalah perairan intertidal dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Di alam, biasanya kepiting bakau berukuran lebih besar akan menyerang kepiting yang lebih kecil dan melumpuhkannya dengan merusak umbai-umbai kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan selanjutnya mengambil bagian- bagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan. Tangan dan sapit kepiting yang besar memungkinkannya menyerang musuh dengan ganas atau merobek makanannya. Sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut menggunakan kedua sapitnya Arriola, 1940 dalam Moosa et al., 1985. Waktu makan kepiting bakau tidak beraturan tetapi malam hari lebih aktif dibanding siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan nokturnal yang aktif makan di malam hari Queensland Department of Primary Industries, 1989. 2.5. Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat Kepiting Bakau 2.5.1. Suhu Perairan Suhu air mempengaruhi proses molting, aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau Hill, 1982. Menururt Fealder dan Heasman 1978 perairan yang memiliki suhu tinggi cenderung akan menaikkan tingkat pertumbuhan kepiting bakau dan waktu untuk mencapai dewasa menjadi lebih singkat. Kepiting bakau berukuran Universita Sumatera Utara besar lebih tahan terhadap suhu yang tinggi. Dengan ukuran karapas yang lebih besar maka proses penguapan cairan tubuh akan berlangsung lebih lama. 2,5.2. Salinitas Salinitas merupakan parameter lingkungan yang mempengaruhi proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi dan daya kelangsungan hidup biota air Kinne, 1964 dalam Sukarya, 1991. Perubahan yang terjadi pada salinitas air dapat mempengaruhi sifat fungsional dan struktural organisme yaitu melalui perubahan osmosis konsentrasi total, keseimbangan cairan tubuh, densitas dan viskositas. Setiap fase siklus hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas yang berbeda Clark, 1974. Diantara hewan golongan krusrasea, kepiting bakau memiliki pengaturan osmosis yang berkembang lebih baik dibanding jenis lainnya. Kombinasi antara permiabilitas tubuh yang sangat terbatas karena adanya kerangka luar menjadi penyebab biota ini dapat hidup di kawasan estuaria Nybakken, 1992.

2.5.3. pH Air

Derajat keasaman atau pH menggambarkan aktifitas potensial ion hirogen dalam perairan yang dinyakatan sebagai konsentrasi ion hidrogen molL pada suhu tertentu, atau pH = - log H+. Air murni mempunyai nilai pH = 7, dan dinyatakan netral, sedang pada air payau berkisar antara 7 – 9 Boyd, 1990. Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan yang asam cenderung menyebabkan kematian pada biota perairan umumnya, demikian juga pada pH yang mempunyai nilai kelewat basa. Hal ini disebabkan konsentrasi oksigen akan rendah sehingga aktifitas pernafasan tinggi dan berpengaruh terhadap menurunnya nafsu makan. Ghufron dan Kordi, 2005. Nilai pH air dipengaruhi oleh konsentrasi CO 2 . Pada siang hari karena terjadi fotosintesis maka konsentrasi CO 2 menurun sehingga pH airnya meningkat. Sebaliknya pada malam hari seluruh organisme dalam air melepaskan Universita Sumatera Utara CO 2 hasil respirasi sehingga pH air menurun. Namun demikian air payau cukup ter-buffer dengan baik sehinga pH airnya jarang turun mencapai nilai dibawah 6,5 atau meningkat hingga mencapai nilai 9, sehingga efek buruk pada biota air yang hidup di kawasan ini jarang terjadi Boyd, 1990. Proses penguraian bahan organik menjadi garam mineral, seperti amonia, nitrat dan fosfat akan lebih cepat jika kisaran pH berada pada kisaran basa Afrianto dan Liviawati, 1991. Pada pH diatas 7, amonia dalam molekul NH 3 akan lebih dominan dari ion NH 4 . Menurut Amir 1994 kepiting bakau mengalami pertumbuhan dengan baik pada kisaran pH 7,3 – 8,5.

2.5.4. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut dalam perairan berasal dari dua sumber utama yaitu dari proses difusi gas O 2 dari udara bebas saat ada perbedaan tekanan parsial di udara dan masuk ke dalam air, dan bersumber dari fotosintesa. Difusi gas ini dalam air dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Difusi akan menurun sejalan dengan meningkatnya salinitas dan suhu air. Pengaruh fotosintesa pada keberadaan oksigen dalam air tergantung pada kemelimpahan fitoplankton dan kekeruhan. Fitoplankton akan berpengaruh pada produksi dan konsumsi oksigen sedangkan kekeruhan lebih berpengaruh pada benyaknya produksi oksigen. Oksigen terlarut tidak saja digunakan untuk pernafasan biota dalam air tetapi juga untuk proses biologis lainnya. Jika oksigen terlarut dalam keadaan minim dapat menyebebkan stres dan meningkatkan peluang infeksi penyakit. Bila konsentrasi oksigen terlarut 3 mgL, maka nafsu makan biota akan berkurang dan tidak dapat berkembang dengan baik Boyd, 1990. Menurut Ramelan 1994 kepiting bakau bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dengan kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 4 mgL. Kepiting bakau akan mengalami stress bila kadar oksigen terlarut 3 mgL.

2.5.5. Substrat Dasar Perairan

Substrat dasar di perairan ekosistem mangrove umumnya terdiri dari lumpur dan liat. Hal ini sangat memungkinkan karena partikel lumpur dan liat Universita Sumatera Utara dapat mengendap dengan cepat disebabkan perairan di sekitar ekosistem mangrove relatif tenang atau terlindung. Dalam kaitannya dengan kehidupan dan sebaran kepiting bakau, substrat dasar perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting Moosa et al., 1985.

2.6. Deskripsi Hutan Mangrove

Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis ya.itu mangue dan bahasa Inggris yaitu grove McNae, 1968. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan baik untuk komunitas pepohonan atau rerumputan, atau semak belukar yang tumbuh di daerah pesisir, maupun untuk jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi dengannya. Kata mangrove dalam Bahasa Portugis digunakan untuk jenis tumbuhan, dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas jenis mangrove tersebut. Menurut UU Nomor 5 tahun 1967, kata mangrove menunjukkan vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, dan dapat juga tumbuh pada pantai karang atau dataran koral mati, yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau lumpur, atau pada pantai berlumpur Darsidi, 1986.

2.7. Komposisi Jenis dan Parameter Lingkungan Mangrove