Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tuhan menciptakan manusia dengan segala keunikannya. Tuhan menciptakan manusia dengan dua perbedaan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki dan anak perempuan diciptakan berlainan. Hal ini yang menyebabkan beberapa hal menjadi berbeda, seperti cara berpakaian, gaya rambut, dan cara buang air kecil. Perbedaan anak laki-laki dan perempuan juga akan nampak ketika mereka sudah memasuki masa remaja. Masa anak-anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadi perubahan dalam banyak aspek perkembangan. Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan berkesinambungan dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati. Perubahan- perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik jasmaniah maupun psikis rohaniah Yusuf, 2009: 15. Terjadinya perubahan dalam aspek fisik anak menuju remaja awal diawali dengan pubertas, adalah masa kematangan fisik yang sangat cepat, yang meliputi aspek hormonal dan perubahan fisik. Perubahan fisik pada anak laki-laki meliputi suara berkembang dan menjadi lebih berat, berat dan tinggi badan bertambah secara signifikan, penis mulai membesar, testis mulai tumbuh, rambut di sekitar kemaluan mulai tumbuh, kelenjar minyak lebih aktif dan keringat lebih banyak, dan tumbuh rambut di daerah wajah dan ketiak. Sedangkan pada anak perempuan ditandai dengan mulainya menstruasi, payudara mulai tumbuh, berat dan tinggi badan mulai bertambah secara signifikan, mulai tumbuh rambut di wilayah kemaluan, kelenjar minyak lebih aktif dan keringat lebih banyak, mulai tumbuh rambut di ketiak Wuryani, 2008: 87. Dalam upaya mendidik atau membimbing anak agar mereka dapat mengembangkan potensi dirinya seoptimal mungkin seorang guru ditantang agar lebih sabar, lebih perhatian, lebih mengasihi, dan lebih rendah hati terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi pada anak. Sebagian masyarakat salah paham bahwa pendidikan seks membahas hubungan badan. Ini merupakan pandangan yang salah. Dari asal katanya, seks adalah jenis kelamin yang membedakan laki-laki dengan perempuan. Pendidikan seks lebih berkaitan dengan pengetahuan tentang alat reproduksi laki-laki dan perempuan, pembuahan, kehamilan dan kelahiran, perilaku seksual, dan hubungan seksual. Jadi, tidak tepat jika ada yang berpendapat bahwa anak yang memasuki masa remaja tidak perlu mendapatkan wawasan ini karena khawatir akan melakukan hubungan badan sebelum saatnya. Sebaliknya, anak menuju remaja perlu diberi pengetahuan yang benar sedini mungkin, sehingga mereka bisa bersikap dengan bertindak dengan cara yang benar Farida, 2014: 125. “Sedia payung sebelum hujan”. Peribahasa ini pas untuk menggambarkan pentingnya pendidikan seks sejak dini. Pendidikan seks perlu diberikan kepada anak sedini mungkin. Hal ini karena supaya mereka memiliki dasar pengetahuan yang kuat mengenai seks, sehingga dapat mengetahui baik-buruk tindakan- tindakan yang berhubungan dengan seks. Pendidikan seks sangat perlu untuk anak usia dini karena perubahan zaman yang begitu pesat akibat globalisasi, media, film, kemiskinan, tipisnya etika moral, kehancuran rumah tangga, dan kurangnya pendidikan seks dari orang tua. Kurangnya pengetahuan anak tentang seks, maka itu akan menyudutkan anak sebagai korban pelecehan seksual. Anak memiliki rasa ingin tahu yang amat tinggi, hal ini sering dimanfaatkan oleh beberapa orang dewasa untuk melakukan pelecehan seksua Sarwono, 1986: V. Maka dari itu kita harus melakukan pendidikan seks ketika anak dirasa sudah mampu mengerti arti seks. Tujuan pendidikan seks yaitu pencegahan sanggama sebelum pernikahan dan menghindari pelecehan-pelecehan seks lainnya terutama pada remaja putri. Anak perempuan yang menjadi korban penyiksaan seksual jumlahnya lebih banyak daripada anak laki-laki. Gadis kecil dan remaja sangat rentan terhadap penyiksaan seksual oleh laki-laki. Sangat penting pendidikan seks dimulai sedini mungkin, bahkan sejak anak itu masih berusia balita dibawah lima tahun, pada masa anak-anak belum menganggap seks sebagai suatu yang serius, apalagi yang porno. Mulyadi Pratiwi, 2010 menambahkan bahwa melalui pendidikan seks yang sehat, anak akan mendapatkan pemenuhan psikoseksualnya secara tepat dan benar sehingga anak juga akan memiliki sikap serta tingkah laku seksual yang bertanggung jawab, dan anak akan tahu apa yang dilakukan serta tahu apa akibat dari perbuatannya. Indonesia merupakan negara yang menghadapi kekerasan terhadap anak cukup kompleks dan meningkat setiap tahunnya mulai dari bentuk fisik, psikis, hingga seksual. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang sig nifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus KPAI.go.id. Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI menilai, peningkatan laporan ini karena kurangnya pencegahan KPAI.go.id. Kekerasan terhadap fisik, psikis, hingga seksual terhadap anak ini perlu dihentikan khususnya kekerasan seksual terhadap anak. Pendidikan seks harus diberikan sejak dini di Sekolah Dasar sebagai langkah pencegahan terhadap kekerasan seksual karena ini menyangkut anak generasi penerus bangsa dan masa depan bangsa. Praktik pendidikan perlu diperkuat untuk menumbuhkan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 yaitu dengan Gerakan Literasi Sekolah GLS. GLS perlu ditingkatkan karena berdasarkan fakta bahwa hasil survey internasional PIRLS 2011, PISA 2009 2012 yang mengukur keterampilan membaca peserta didik, Indonesia menduduki peringkat bawah. Salah satu kegiatan di dalam Gerakan Literasi Sekolah adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik Muhammad, 2016. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan pada hari Senin, 17 November 2016 di SD Negeri Banaran III terhadap guru kelas 6 terkait tentang pendidikan seks, banyak anak yang sudah mulai suka sama suka terhadap lawan jenis. Anak sudah menirukan gaya seperti remaja yang sudah dewasa seperti yang ada di acara televisi. Akibat pengaruh teknologi yang semakin canggih ini menjadi kekhawatiran para guru. Anak sudah bebas mengakses internet lewat gadget mereka tanpa pengawasan dari orang tua, sementara entah potitif atau negatif yang pasti banyak sisi negatifnya yang menarik anak untuk bermain gadget. Dari hasil wawancara terhadap guru kelas 6 di SD Negeri Banaran III sangat minim sekali pendidikan yang mengajarkan seksualitas sejak dini dan yang menjadi kekhawatiran yaitu banyaknya kasus pelecehan seksual terhadap remaja putri. Sekolah dihadapkan dengan dilema tentang bagaimana menempatkan seksualitas dalam kurikulum, dan pelayanan atau dukungan apa yang harus diberikan untuk siswa. Sekolah belum sepenuhnya melakukan praktik kegiatan membaca non pelajaran tentang pendidikan seks usia dini karena memang belum ada media. Guru merasa kesulitan jika harus mengajar tentang pendidikan seks untuk usia dini tanpa menggunakan media namun harus bagaimana lagi karena kondisi sekolah memang berada di tengah pedesaan dan terpencil jadi kurang memperhatikan penggunaan media dalam pendidikan seks anak usia dini. Guru hanya sering menyinggung saja saat pembelajaran dan itupun jarang-jarang misalnya cara merawat tubuh dan ciri-ciri anak laki-laki dan perempuan menuju remaja. Di perpustakaan sekolahpun belum ada buku cerita anak yang mendukung terkait pendidikan seks anak usia dini. Bila permasalahan di atas tidak segera diatasi, maka akan terjadi perkembangan seksual anak yang kurang kontrol baik dari sekolah maupun orang tua yang nantinya akan menambah kasus-kasus pelecehan seksual terhadap remaja putri jika pendidikan seks sejak usia dini tidak segera diajarkan. Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti memberikan solusi alternatif dalam menyelesaikan masalah tersebut dengan mengembangkan buku literasi dalam bentuk buku cerita anak berbasis pendidikan seks untuk membantu guru dalam memberikan pendidikan seks kepada siswa karena memang sekolah tersebut membutuhkan media untuk mengajarkan pendidikan seks. Supaya yang menjadi dilema sekolah juga dapat teratasi dengan buku ini dan juga meningkatkan gerakan literasi sekolah. Dengan demikian peneliti mengambil judul “Pengembangan Buku Cerita Anak Berbasis Pendidikan Seks Untuk Anak SD Kelas Atas ”.

1.2 Rumusan Masalah