bersifat Indonesia-sentris untuk menghapus paradigma Neerlando-sentris melalui penulisan buku pedoman Sejarah Nasional Indonesia. Salah satu
alasan utama pengerjaan buku ini adalah supaya bisa dijadikan acuan bagi penulisan buku-buku ajar sejarah di sekolah. Para sejarawan Indonesia saat itu
menyadari bahwa pengajaran sejarah merupakan dasar bagi pendidikan dalam masa pembangunan bangsa, terutama untuk menggembleng jiwa generasi
muda dengan membangkitkan pada mereka suatu kesadaran bahwa mereka adalah anggota dari suatu bangsa. Oleh karena itu, penulisan kembali sejarah
Indonesia pun memiliki beberapa syarat: a.
sejarah Indonesia yang wajar ialah sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam” di mana bangsa Indonesia sendiri memegang
peranan pokok; b.
proses perkembangan masyarakat Indonesia hanya dapat diterangkan sejelas-jelasnya dengan menguraikan faktor atau kekuatan yang
mempengaruhinya, baik ekonomis, sosial, maupun politik atau kulturil; c.
erat berhubungan dengan kedua pokok di atas perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya para
bangsawan atau ksatriya, tetapi juga dari kaum ulama dan petani serta golongan-golongan lainnya;
d. untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintese, di mana
digambarkan proses yang menunjukkan perkembangan ke arah kesatuan geo-politik maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk
mengukur seberapa jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
Meskipun demikian, ditekankan pula bahwa penulisan sejarah yang sifatnya Indonesia-sentris juga harus proporsial. Sejarah bangsa Indonesia
tidak boleh digambarkan dalam serba keagungan belaka hingga mengorbankan objektivitas. Sejarah Indonesia harus ditulis apa adanya,
lengkap dengan pasang surutnya kegiatannya, maju-mundurnya karya dan kebudayaannya,
timbul-tenggelamnya lembaga-lembaganya,
unggul- kalahnnya perjuangannya, yang semuanya diharapkan akan mempertinggi
kesadaran bangsa Indonesia sebagai suatu nasion. Melalui penggambaran seperti itu, diharapkan sejarah Indonesia bisa membangkitkan rasa
kebanggaan pada generasi muda, memantapkan kepribadian bangsa, serta identitasnya. Dengan demikian akan tercapai pula apa yang diharapkan dari
pelajaran Sejarah Nasional, tanpa mengurangi tuntutan-tuntutan ilmu sejarah.
17
2.7 Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi TIK dalam Pembelajaran Sejarah Indonesia
2.7.1 Prinsip Penggunaan TIK dalam Pembelajaran Sejarah
Pemanfaatan TIK
dalam pembelajaran
sejarah sebaiknya
mempertimbangkan tiga prinsip utama yaitu apakah penggunaan TIK mendukung praktik pembelajaran sejarah yang baik atau tidak,
17
Sartono Kartodirdjo et. al., Sejarah Nasional Indonesia 1, Depdikbud, Jakarta, 1975, tanpa no. halaman.
penggunaan TIK harus memfasilitasi pencapaian tujuan belajar, dan TIK yang digunakan harus membantu guru maupun siswa untuk mencapai
sebuah tujuan yang tidak bisa dicapai tanpa penggunaan teknologi tersebut serta membantu siswa untuk belajar dengan lebih efisien
18
. 2.7.2 Penggunaan Video dalam Bahan Ajar
Video dalam Kamus Merriam-Webster didefinisikan sebagai gambar-gambar bergerak yang dapat dilihat dalam sebuah rekaman atau
siaran. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia 2006 mendefinisikan video sebagai rekaman gambar hidup atau program televisi lewat tayangan
pesawat televisi. Dalam konteks bahan ajar, video termasuk dalam kategori bahan ajar audiovisual atau bahan ajar pandang-dengar. Bahan
ajar audiovisual merupakan bahan ajar yang mengombinasikan materi visual, yaitu materi yang merangsang indra penglihatan, dan materi audio,
yang merangsang indra pendengaran. Dengan kombinasi kedua materi ini, guru dapat menciptakan proses pembelajaran yang lebih berkualitas karena
komunikasi berlangsung secara lebih efektif
19
. Hasil survei dari Corporation for Public Broadcasting terhadap para
guru 2004 menunjukkan bahwa penggunaan tayangan video dalam aktivitas belajar di kelas memiliki dampak sebagai berikut:
20
1 menstimulasi diskusi kelas
18
Rob Phillips, Reflective Teaching of History 11-18, Continuum, London, 2002, hlm. 128.
19
Andi Prastowo, Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif, Diva Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 300-301
20
EDCs Center for Children and Technology, Television goes to school: The impact of video on student learning in formal education, Corporation for Public Broadcasting, Washington DC, 2004,
hlm.10
2 memperkuat materi ceramah dan bacaan, 3 memberikan pengetahuan dasar yang sama bagi semua siswa,
4 membantu guru mengajar dengan lebih efektif, 5 meningkatkan pemahaman dan diskusi siswa dalam materi terkait,
6 dapat mengakomodasi keragaman gaya belajar, 7 meningkatkan motivasi dan antusiasme siswa untuk belajar.
2.7.3 Video Fragmen Sidang PPKI 1945 Video yang digunakan sebagai media dalam modul pembelajaran yang
disusun dalam makalah ini adalah video sosio-drama Fragmen Sidang PPKI produksi Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada PSP
UGM, dengan melibatkan Teater Gamatua Keluarga Alumni UGM sebagai para pemeran tokoh sejarah di dalamnya. Penulisan naskah sosio-
drama ini didasarkan dari berbagai sumber, dengan sumber utama dari buku “Lahirnya Undang-undang Dasar 1945” karya A.B. Kusuma serta
wawancara langsung dengan A.B. Kusuma. Supervisi naskah juga dilakukan oleh Prof. Dr. Sutaryo selaku staf ahli PSP UGM.
21
Dalam video ini terdapat dua bagian besar. Bagian pertama berisi reka ulang peristiwa pembahasan rancangan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang dilakukan oleh Panitia Sembilan dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 22 Juni 1945 dalam teks
pengantar video terdapat kesalahan ketik menjadi 22 Juli 1945, seharusnya yang benar 22 Juni 1945, yang menghasilkan Piagam Jakarta. Sementara
21
Berdasarkan hasil korespondensi dengan Drs. Tri Kuntoro Priyambodo, M.Sc., dosen FMIPA UGM sekaligus anggota Seksi Kesenian Keluarga Alumni Gadjah Mada yang turut memprakarsai
pembuatan video ini.
bagian kedua berisi reka ulang peristiwa sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, dengan menekankan pada
bagian musyarawah di mana para Bapak Pendiri Bangsa melakukan pengubahan pada rumusan sila pertama Pancasila yang terkandung di
dalam teks Pembukaan Undang- undang Dasar 1945 dari “
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
” menjadi “
Ketuhanan Yang Maha Esa ”.
2.8 Kerangka Berpikir
Berdasarkan hasil wawancara guru, diketahui bahwa guru sudah menggunakan bahan ajar berbasis teknologi dengan sumber bahan ajar yang
juga beragam. Selain itu, guru juga sudah menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi dengan meminimalisasi ceramah dan menggiatkan aktivitas
presentasi siswa. Meski demikian, proses pembelajaran terkendala oleh keterbatasan akses siswa terhadap bahan ajar karena buku paket yang
menjadi pegangan hanya bisa digunakan di sekolah sehingga menjelang ulangan siswa biasanya hanya mengandalkan buku catatan sebagai sumber
belajar. Diungkapkan pula bahwa siswa mudah merasa bosan dan mengeluhkan bahwa materi pelajaran dirasa kurang relevan dengan
kehidupan mereka di masa kini. Sementara itu, dari angket kebutuhan siswa, diketahui bahwa siswa
menginginkan bahan ajar dengan bahasa yang mudah dimengerti dan disertai