Model Pembelajaran Pedagogi Reflektif

mencari cara atau metode mengajar yang lain. Selain itu membantu juga untuk lebih memperhatikan tiap pelajar apakah memerlukan perbaikan dalam cara belajar mereka. Pedagogi Reflektif berusaha mendorong tidak hanya kemajuan akademik tetapi juga pertumbuhan siswa secara menyeluruh menjadi pribadi bagi sesamanya. Ada banyak cara untuk menilai perkembangan menyeluruh tersebut, dengan memperhitungkan umur, bakat, kemampuan, dan tingkat perkembangan masing-masing siswa. Pedagogi Reflektif memiliki tiga aspek khas dalam konteks evaluasinya yang sering disingkat menjadi 3C yaitu competence, conscience, dan compassion 14 . Competence kompetensi mencakup spektrum dari berbagai jenis kemampuan akademis, keterampilan teknis, apresiasi seni, olahraga, hiburan, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif. Dalam konteks Pedagogi Reflektif, competence secara khusus merujuk pada aspek pengetahuan dan keterampilan siswa kognitif dan psikomotorik. Penilaian aspek ini dilakukan melalui tes tertulis maupun tidak tertulis, yang menguji pemahaman dan keterampilan siswa. Conscience suara hati adalah kemampuan menggunakan kesadaran moral untuk membedakan mana yang benar dan baik, serta keberanian untuk melakukan hal yang berintegritas. Evaluasi aspek ini dapat dilakukan dengan merumuskan perilaku siswa yang dapat diobservasi dan diukur, misalnya menggunakan skala Likert. Perilaku yang menunjukkan 14 P3MP LPM USD, Pedoman Model Pembelajaran Berbasis Pedagogi Ignasian, Pusat Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pembelajaran, Yogyakarta, 2012, hlm. 38-42, 52-53. kualitas conscience adalah perilaku yang sifatnya intrapersonal, antara lain seperti kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, keberanian mengambil risiko, dan ketekunan. Compassion bela rasa adalah kemampuan untuk berbela rasa kepada orang lain dan lingkungan sekitar. Sama dengan conscience, penilaian aspek compassion juga dilakukan dengan dilakukan dengan merumuskan perilaku siswa yang dapat diobservasi dan diukur dengan skala Likert. Yang membedakan adalah perilaku yang diobservasi, yaitu perilaku yang sifatnya interpersonal. Contoh perilaku interpersonal tersebut antara lain kerja sama, kepedulian terhadap orang lain, keterlibatan dalam kelompok, dan penghargaan terhadap sesama.

2.5 Tahap Perkembangan Psikologis Siswa

2.5.1 Lima Sistem Pembelajaran yang Dikembangkan Otak Manusia Otak manusia mengembangkan lima sistem pembelajaran, yaitu sistem pembelajaran emosional, sosial, kognitif, fisik, dan reflektif. Pemahaman akan perkembangan kelima sistem ini dapat membantu guru membangun kegiatan belajar yang efektif dan menyenangkan bagi siswa 15 . Sistem pembelajaran emosional adalah sistem pembelajaran yang terkait dengan hasrat individu untuk belajar. Sistem pembelajaran ini bersifat pribadi, internal, dan berpusat pada diri individu. Untuk mengembangkan sistem pembelajaran emosional, guru harus menciptakan 15 Barbara K. Given, Brain-based Teaching, Penerbit Kaifa, Bandung, 2007, hlm. 58-66. iklim belajar yang kondusif, mendorong siswa untuk menanamkan hasrat belajar, serta menantang siswa untuk mengembangkan kemampuannya lebih jauh lagi. Sistem pembelajaran sosial merupakan sistem pembelajaran yang terkait dengan hasrat individu untuk untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok, untuk dihormati, dan untuk menikmati perhatian dari yang lain. Sistem pembelajaran sosial berpusat pada interaksi dengan orang lain dan pengalaman interpersonal. Untuk mengembangkannya, guru dituntut untuk mengelola sekolah sebagai komunitas pelajar tempat guru dan siswa bekerja sama secara setara sebagai mitra dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah dan meningkatkan toleransi serta pemahaman akan keberagaman. Sistem pembelajaran kognitif adalah sistem pembelajaran yang terkait dengan kemampuan siswa memproses dan memahami informasi dalam pengembangan kecakapan akademis. Sistem pembelajaran ini baru akan berkembang jika guru memberikan informasi dalam satuan pembelajaran bertema yang terkait kehidupan siswa. Guru memfokuskan diri sebagai fasilitator pembelajaran, sementara siswa menjadi pemecah masalah dan pengambil keputusan nyata dan dipenuhi kebutuhannya untuk mengetahui lebih banyak lagi informasi. Sistem pembelajaran fisik merupakan sistem pembelajaran yang terkait dengan keterlibatan aktif siswa dalam kegiatan belajar. Sistem pembelajaran fisik dapat diwujudkan dalam tugas akademis yang menantang, dengan guru melatih, mengilhami, dan mendukung partisipasi aktif siswa dalam proses belajar. Sistem pembelajaran reflektif sendiri adalah sistem pembelajaran yang melibatkan pertimbangan pribadi siswa terhadap hasil pembelajarannya melalui berbagai cara pembelajaran, di mana siswa dapat belajar membuat penilaian tentang kinerjanya sendiri. Secara biologis, sistem pembelajaran reflektif berkembang paling akhir dalam diri individu, namun merupakan sistem pembelajaran yang paling manusiawi dibanding yang lainnya dan bertindak sebagai organisator eksekutif dalam memadukan semua kerja otak yang dilakukan oleh keempat sistem pembelajaran lainnya. Apabila sistem pembelajaran reflektif siswa tidak dikembangkan, hasil dari keempat sistem pembelajaran yang telah berkembang sebelumnya tidak akan maksimal. Sistem pembelajaran reflektif membutuhkan instruksi eksplisit dalam pemantauan diri dan analisis kerja untuk bisa berkembang dengan baik. Dalam sistem pembelajaran reflektif, guru didorong untuk menjadi pencari bakat yang bisa mengenali kelebihan siswa dan membimbing siswa mengembangkan kelebihan tersebut. 2.5.2 Tahap Perkembangan Psikososial Siswa Psikolog Erik Erikson merumuskan tahap-tahap perkembangan kepribadian, atau dikenal juga dengan tahap perkembangan psikososial. Rumusan Erikson menemukan bahwa manusia memiliki dorongan bawaan untuk meraih sistem pembelajaran yang semakin kompleks seiring berjalannya usia. Siswa SMA di Indonesia pada umumnya berada pada rentang usia antara 15 – 18 tahun. Berdasarkan teori Erikson, maka mereka berada pada tahap perkembangan sebagai berikut 16 : Tahap Perkiraan Usia Kualitas yang terlibat Hasil Positif Aktivitas yang diasosiasikan dengan Tahap ini Remaja Usia 13-18 tahun Identitas vs. Pencampuradukan peran Kesetiaan Setia pada citra diri; mencapai identitas seksual; mencari nilai- nilai baru. Tabel 3: Tahap perkembangan psikososial remaja 13-18 tahun Dari rumusan tersebut dapat dilihat bahwa subyek penelitian yang berusia antara 16-17 tahun berada pada tahap fokus perkembangan “identitas diri versus pencampuradukan peran”. Tahapan perkembangan ini ditandai dengan beberapa hal, yaitu: - Siswa mulai berpikir dalam persepsi subyektif dan realitas obyektif, terutama terkait dengan identitas dirinya. Siswa sudah bisa memedakan perasaan dan emosi dalam dirinya dan orang lain, siswa bisa melihat dari sudut pandang orang lain, memahami makna simbolis, memerankan skenario “seandainya” berandai-andai, mengembangkan empati dan altruisme; - Siswa masih memiliki egosentrisme yang cukup besar, dan menunjukkan hal tersebut dengan mengimajinasikan keyakinan yang mendalam tentang 16 Ibid., hlm. 317-335 identitas pribadinya dan mengidentifikasi dirinya sesuai dengan imajinasi tersebut. - Siswa menginginkan afiliasi dan mengidentifikasi dirinya dalam kelompok teman sebaya dan cenderung setia ke dalam kelompoknya. Siswa jadi lebih peduli pada kata-kata teman sebayanya dibandingkan orang yang lebih tua seperti guru, kerabat, atau orang tua. Semakin siswa dikonfrontasi atau digurui, semakin negatif reaksi siswa. - Siswa sudah bisa menyadari, secara sadar memantau dan mengendalikan pikiran mereka sehingga siswa bisa memilih dan menentukan strategi belajar yang sesuai dengan kondisi dirinya. Melihat ciri-ciri tahapan perkembangan siswa ini, maka guru diharapkan mengembangkan kurikulum yang berfokus pada upaya membantu siswa memahami diri sendiri dan orang lain tanpa menggurui. Pada tahapan ini, guru bisa mengajar dengan cara yang implisit, tidak secara langsung memberikan informasi atau wejangan kepada siswa, tetapi lebih menggiring siswa untuk memahami dan memaknai informasi secara personal.

2.6 Konsep Historiografi Modern dalam Penulisan Bahan Ajar Sejarah Indonesia

Penyusunan bahan ajar sejarah Indonesia tidak lepas dari penulisan sejarah nasional Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1970-an, para sejarawan Indonesia telah merintis usaha penulisan sejarah nasional Indonesia yang bersifat Indonesia-sentris untuk menghapus paradigma Neerlando-sentris melalui penulisan buku pedoman Sejarah Nasional Indonesia. Salah satu alasan utama pengerjaan buku ini adalah supaya bisa dijadikan acuan bagi penulisan buku-buku ajar sejarah di sekolah. Para sejarawan Indonesia saat itu menyadari bahwa pengajaran sejarah merupakan dasar bagi pendidikan dalam masa pembangunan bangsa, terutama untuk menggembleng jiwa generasi muda dengan membangkitkan pada mereka suatu kesadaran bahwa mereka adalah anggota dari suatu bangsa. Oleh karena itu, penulisan kembali sejarah Indonesia pun memiliki beberapa syarat: a. sejarah Indonesia yang wajar ialah sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam” di mana bangsa Indonesia sendiri memegang peranan pokok; b. proses perkembangan masyarakat Indonesia hanya dapat diterangkan sejelas-jelasnya dengan menguraikan faktor atau kekuatan yang mempengaruhinya, baik ekonomis, sosial, maupun politik atau kulturil; c. erat berhubungan dengan kedua pokok di atas perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan atau ksatriya, tetapi juga dari kaum ulama dan petani serta golongan-golongan lainnya; d. untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintese, di mana digambarkan proses yang menunjukkan perkembangan ke arah kesatuan geo-politik maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk