Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Insecurity

12 b. Threat atau ancaman. Karyawan merasa bahwa situasi tertentu berpotensi untuk menganggu kelanjutan pekerjaan mereka sehingga menimbulkan ketidakamanan kerja walaupun ancaman tersebut belum tentu terjadi atau hanya sekedar rumor. c. Job features at risk atau ancaman terhadap fitur pekerjaan. Karyawan merasa khawatir mengenai perubahan di perusahaan yang mengakibatkan mereka kehilangan fitur pekerjaan yang dianggap penting. d. Powerlessness atau perasaan tidak berdaya. Karyawan yang merasa pekerjaannya terancam namun tidak mampu melakukan strategi untuk melawan ancaman tersebut. Akibatnya karyawan merasa rentan terhadap situasi yang mengancam. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti menggunakan konsep multi-dimensional dan dimensi job insecurity yang dikemukakan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt sebagai acuan untuk memahami job insecurity .

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Insecurity

Keim et al. 2014 membagi faktor-faktor job insecurity menjadi dua, yaitu faktor subjektif dan faktor objektif. Faktor subjektif berkaitan dengan kontrol individu di tempat kerja. Adanya ancaman yang membuat individu merasa tidak memiliki kontrol dapat 13 mempengaruhi individu untuk merasakan job insecurity. Sementara faktor objektif mengarah pada hal-hal yang bersifat demografik atau karakteristik objektif individu. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut: a. Faktor Subjektif 1 Locus of Control Beberapa studi menemukan bahwa locus of control memiliki hubungan yang signifikan dengan job insecurity. Karyawan dengan locus of control internal yang tinggi kurang merasakan job insecurity karena merasa dirinya mampu menghadapi situasi yang sedang terjadi Raja, Johns Ntalianis; Ashford, Lee Bobko dalam Keim et al., 2014. 2 Ambiguitas dan Konflik Peran Ambiguitas peran terjadi ketika karyawan tidak mengetahui tanggung jawab dan tujuan dari pekerjaannya. Sementara konflik peran disebabkan banyaknya tuntutan dari berbagai sumber yang meningkatkan ketidakpastian. Ambiguitas dan konflik peran dapat membuat karyawan merasakan job insecurity . Situasi ini dapat meningkatkan kecemasan karyawan karena tidak mengetahui dengan jelas cara untuk menjalankan tugasnya dengan baik Keim et al., 2014. 14 3 Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi yang buruk dapat dikaitkan dengan munculnya perasaan job insecurity. Kemudahan dalam mendapatkan informasi serta kualitas komunikasi organisasi yang baik dapat mengurangi job insecurity yang dirasakan oleh karyawan Kinunnen Natti; Parker, Axtell Turner dalam Keim et al., 2014. b. Faktor Objektif 1 Usia Usia dapat mempengaruhi job insecurity yang dirasakan oleh individu. Karyawan yang berusia 30 sampai 40an cenderung merasakan job insecurity yang lebih tinggi daripada karyawan dengan usia lebih muda. Hal ini disebabkan adanya tanggung jawab keluarga untuk merawat dan membesarkan anak dan kemungkinan kemungkinan sulitnya untuk mendapatkan pekerjaan baru Sverke et al., 2006. Selain itu, rendahnya mobilitas pekerjaan dan kondisi perekonomian membuat karyawan yang lebih tua cenderung bergantung pada pekerjaannya Cheng Chan, 2008. Sebaliknya, Fullerton dan Wallace 2007 menemukan bahwa karyawan berusia muda dan tua merasa pekerjaannya berada di posisi yang aman dibandingkan karyawan yang berusia setengah tua middle- aged yang merasa pekerjaannya kurang aman. 15 2 Jenis Kelamin Beberapa studi menunjukkan bahwa karyawan laki-laki cenderung merasakan job insecurity daripada karyawan perempuan. Hal ini disebabkan karena laki-laki lebih peka terhadap kondisi perekonomian dan adanya kekhawatiran terhadap konsekuensi negatif sebagai akibat dari kehilangan pekerjaan Cheng Chan, 2008. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Mauno dan Kinnunen 2002 menemukan hasil sebaliknya. Dalam penelitiannya, perempuan lebih merasakan ketidakpastian mengenai kelanjutan pekerjaannya daripada laki-laki. 3 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi job insecurity. Karyawan dengan tingkat pendidikan yang tinggi merasa pekerjaan mereka lebih aman daripada yang berpendidikan rendah. Sverke et al. 2006 menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah memiliki sedikit peluang untuk menemukan alternatif pekerjaan di tempat lain sehingga membuat individu menjadi lebih bergantung pada pekerjaannya. 4 Status Karyawan Status karyawan yang berbeda dapat mempersepsikan job insecurity yang berbeda. Beberapa studi menemukan bahwa 16 karyawan yang memiliki batas waktu cenderung lebih merasakan job insecurity daripada karyawan tetap. Rigotti et al. 2009 menemukan bahwa karyawan dengan status temporer lebih merasakan job insecurity daripada karyawan tetap. Hal ini disebabkan karyawan temporer kurang merasakan prospek kerja yang menjanjikan dimasa depan dibandingkan karyawan tetap. Selain itu, mungkin disebabkan karyawan berstatus temporer tidak begitu terikat dan dilindungi oleh perusahaan yang bersangkutan Keim et al., 2014. Sementara karyawan dengan status tetap menganggap dirinya sebagai bagian dari perusahaan sehingga apabila akan dilakukan pengurangan karyawan, maka karyawan yang tidak terikat dengan perusahaan akan terlebih dulu diberhentikan Sverke et al., 2006. Disisi lain, penelitian yang dilakukan oleh De Witte dan rekannya De Cuyper De Witte, 2005, 2006, 2007; De Witte Naswall, 2003 yang menemukan bahwa karyawan tetap cenderung lebih merasakan job insecurity daripada karyawan temporer. Hasil menunjukkan bahwa karyawan tetap merasakan job insecurity pada aspek kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Sementara pada karyawan temporer tidak terlihat dampaknya. 17

B. Karyawan Tetap dan Karyawan Outsourcing