1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis harga nikel dan logam yang sedang terjadi di dunia membuat perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan mengalami kerugian.
Salah satu perusahaan tambang yang turut mengalami kondisi ini adalah PT. Vale Indonesia, Tbk yang berlokasi di Soroako, Luwu Timur,
Sulawesi Selatan. Dilansir dari laman market.bisnis.com pada tanggal 02 Februari 2016, harga nikel berada di level terendah dalam waktu dua
Minggu. Pada bulan Februari 2016 harga nikel turun sebesar 1,91 atau 163,75 poin hingga menjadi US8.428,25 per ton. Dilansir dari
bisnis.liputan6.com, rendahnya harga nikel dan besi dunia saat ini membuat PT. Vale Indonesia perlu melakukan evaluasi terhadap rencana
pembelanjaan modal serta memanfaatkan sumber daya manusia dan alam dengan sebaik-baiknya.
Menghadapi kondisi tersebut, perusahaan perlu melakukan strategi untuk dapat mengatasi krisis yang terjadi. Berdasarkan hasil wawancara
dengan salah satu karyawan yang bekerja di PT. Vale Indonesia, kebijakan yang telah dilakukan oleh perusahaan antara lain adalah tidak memberikan
bonus tahunan kepada karyawan, tidak memberikan promosi kenaikan pangkat dan kenaikan gaji tahunan, dan menawarkan pensiun dini kepada
karyawan perusahaan. Selain itu, beredar isu bahwa perusahaan akan “merumahkan” karyawan atau memberhentikan untuk sementara waktu
2
layoff dengan pembayaran gaji sebesar 50 dari gaji bulanan mereka. Isu mengenai pemutusan kerja PHK apabila kondisi perusahaan terus
memburuk juga beredar di perusahaan. Peneliti melakukan wawancara kepada beberapa karyawan untuk
mengetahui pendapat mereka mengenai krisis yang terjadi di perusahaan. Salah satu karyawan tetap PT. Vale Indonesia mengaku bahwa dirinya
merasa khawatir akan dirumahkan atau diberikan tawaran pensiun dini apabila perusahaan melakukan pengurangan karyawan. Menurut
pengalamannya, jika harga nikel terus menurun dan kondisi perusahaan semakin memburuk perusahaan akan merumahkan karyawan kemudian
menawarkan pensiun dini. Hal serupa juga dirasakan oleh salah satu karyawan outsourcing yang diwawancarai peneliti. Berdasarkan informasi
yang didapatkannya dari karyawan yang telah lama bekerja di perusahaan, harga nikel yang semakin rendah membuat perusahaan melakukan
pengurangan karyawan outsourcing dengan melakukan PHK sepihak karena tidak lagi dibutuhkan oleh perusahaan. Informasi ini membuat
dirinya merasa khawatir akan kehilangan pekerjaan apabila terjadi pengurangan karyawan outsourcing wawancara pribadi tanggal 15 April
dan 13 September 2016. Perubahan yang terjadi sebagai upaya mengatasi krisis di perusahaan
dapat mempengaruhi aktivitas organisasi, kesejahteraan maupun komitmen karyawan. Situasi ini dapat membuat karyawan merasa
pekerjaannya sedang terancam atau yang disebut sebagai job insecurity,
3
yaitu kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan dan ketidakpastian mengenai masa depan pekerjaan Coetzee De Villiers, 2010. Job
insecurity tidak hanya mengacu pada ketidakpastian mengenai kelanjutan
pekerjaan yang dirasakan oleh karyawan tapi juga mengenai kelanjutan aspek-aspek dalam pekerjaan tersebut, seperti kesempatan mendapat
promosi jabatan atau kemungkinan diberhentikan untuk sementara waktu oleh perusahaan Mauno Kinnunen, 2002. Sverke, Hellgren, dan
Naswal 2006 mengemukakan bahwa perubahan yang dilakukan perusahaan seperti pengurangan karyawan downsizing, pemberhentian
sementara layoff, dan tawaran pensiun dini menyebabkan job insecurity menjadi isu yang penting di lingkungan kerja karena menciptakan situasi
yang tidak aman bagi karyawan. Greenhalgh dan Rosenblatt 2010 mendefinisikan job insecurity
sebagai perasaan tidak berdaya dalam mempertahankan keinginan untuk terus bekerja pada situasi kerja yang terancam. Sejalan dengan definisi
yang diberikan, Greenhalgh dan Rosenblatt melibatkan kehilangan fitur pekerjaan yang dianggap penting dan perasaan tidak berdaya sebagai
bagian dari job insecurity. Menurut De Witte, De Cuyper, Elst, Vanbelle, dan Niesen 2012 job insecurity merupakan persepsi subjektif sehingga
tiap individu dapat merasakan job insecurity yang berbeda walaupun berada dalam situasi yang sama. Semakin besar kemungkinan individu
akan kehilangan pekerjaan atau merasakan beratnya konsekuensi dari
4
kehilangan pekerjaan, maka ia akan semakin merasakan job insecurity Klandermans, Hessenlink Van Vuuren, 2010.
Hadirnya job insecurity di lingkungan kerja memberikan dampak yang buruk pada karyawan maupun perusahaan. Job insecurity yang tinggi
dapat mempengaruhi karyawan dan menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan psikologis serta kesehatan karyawan. Selain itu, job
insecurity membuat kepuasan kerja pada karyawan menurun. Sementara
terhadap perusahaan, job insecurity dapat menyebabkan komitmen organisasi dan tingkat kepercayaan karyawan terhadap manajemen
menurun. Situasi ini dapat meningkatkan keinginan karyawan untuk meninggalkan perusahaan De Witte et al., 2012.
Keim, Landis, Pierce, dan Ernest 2014 membagi faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity menjadi dua, yaitu faktor subjektif dan
objektif. Faktor subjektif meliputi locus of control LOC, ambiguitas peran dan koflik peran, dan komunikasi organisasi. Sementara faktor
objektif meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, dan status karyawan. Sebagai salah satu produsen nikel terbesar di Indonesia, PT. Vale
Indonesia di Soroako menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi di Luwu Timur dan sebagian besar perusahaan outsourcing di Luwu Timur
mengandalkan perusahaan ini sebagai tempat untuk berusaha. Selain itu, kondisi krisis pun dialami oleh semua perusahaan sehingga sulit untuk
mendapatkan pekerjaan baru di tempat lain. PT. Vale Indonesia mempekerjakan kurang lebih 2.500 pekerja berstatus karyawan tetap dan
5
5.000 pekerja berstatus karyawan outsourcing. Status karyawan sebagai salah satu faktor job insecurity menjadi penting untuk diteliti khususnya
dalam situasi krisis yang saat ini sedang dialami oleh PT. Vale Indonesia dan beredarnya isu mengenai karyawan akan
“dirumahkan” atau di-PHK. Klandermans et al. 2010 menyatakan bahwa status karyawan yang
berbeda dapat merasakan job insecurity yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kelompok pekerja yang secara objektif memiliki
posisi yang kurang aman yaitu para pekerja dengan status temporer merasakan job insecurity yang tinggi daripada kelompok pekerja yang
memiliki posisi lebih aman di perusahaan. Karyawan tetap umumnya mendapat perlindungan dari Dinas Tenaga Kerja Disnaker sehingga
mereka tidak dapat diberhentikan tanpa izin dari pemerintah. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, karyawan tetap
terikat dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu PKWTT, yaitu perjanjian kerja antara pekerjaburuh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Berbeda dengan karyawan outsourcing atau alih daya yang merupakan suatu pendekatan
manajemen dengan memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk bertanggung jawab terhadap proses atau jasa yang sebelumnya menjadi
aktivitas perusahaan Wahyuni, Idrus, Zain Rahayu, 2011. Menurut Arubayi 2012 jasa karyawan outsourcing banyak digunakan oleh
perusahaan karena memberikan hasil yang baik dengan biaya murah, meningkatkan fleksibilitas dan kualitas, akses teknologi terbaru dan
6
kemampuan terbaik. Penggunaan outsourcing semakin berkembang seiring meningkatnya kebutuhan perusahaan untuk menjalin hubungan
kerja yang fleksibel sehingga memudahkan perusahaan untuk merekrut dan melakukan PHK. Oleh karena itu, pada umumnya perjanjian kerja
outsourcing menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu PKWT, yaitu
suatu perjanjian kerja antara pekerjaburuh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu yang diatur dalam Kep.
100MenVI2004 Budiartha, 2016. Terkait status karyawan sebagai salah satu faktor job insecurity,
Rigotti, De Cuyper, De Witte, Korek, dan Mohr 2009 menunjukkan bahwa karyawan dengan status temporer lebih merasakan job insecurity
daripada karyawan tetap. Hal ini disebabkan karyawan temporer kurang merasakan prospek kerja yang menjanjikan dimasa depan dibandingkan
karyawan tetap. Selain itu, karakteristik status yang dimiliki oleh karyawan temporer cenderung tidak terikat dengan perusahaan tempatnya
bekerja Keim et al., 2014. Oleh karena itu, karyawan temporer lebih merasakan job insecurity daripada karyawan tetap. Namun, hasil yang
berbeda ditemukan oleh De Witte dan teman-temannya De Cuyper De Witte, 2005, 2006, 2007; De Witte Naswall, 2003 yang
mengungkapkan bahwa karyawan tetap cenderung lebih merasakan job insecurity
daripada karyawan temporer. Penelitian yang dilakukan oleh De Witte dan De Cuyper 2005 memperlihatkan bahwa job insecurity lebih
mempengaruhi karyawan tetap daripada karyawan temporer. Hasil
7
menunjukkan bahwa job insecurity berhubungan negatif dengan kesejahteraan hidup karyawan, khususnya pada kepuasan kerja dan
komitmen organisasi pada karyawan tetap. Sementara pada karyawan temporer tidak terlihat dampak dari job insecurity. Menurut Klandermans
et al. 2010 perasaan job insecurity dirasakan oleh karyawan tetap ketika kondisi perusahaan sedang mengalami krisis seperti kemerosotan,
pengurangan karyawan downsizing, pindah ke tempat lain, penutupan departemen, atau bahkan melakukan penutupan perusahaan. Selain itu,
Hartley dan Jacobson dalam Klandemans, 2010 mengemukakan bahwa karyawan temporer yang memiliki kontrak kerja fleksibel menyadari
bahwa job insecurity merupakan salah satu karakteristik dari status pekerjaan mereka, sehingga mereka tidak begitu berharap dapat terus
bekerja di perusahaan yang sama. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut terlihat bahwa job insecurity dapat terjadi dan dirasakan oleh
kedua status karyawan, yaitu karyawan berstatus tetap dan berstatus temporer.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan job insecurity antara karyawan
tetap dan karyawan outsourcing PT. Vale Indonesia yang saat ini sedang berada dalam kondisi krisis.
B. Rumusan Masalah