2.  Industri barang jadi Industri  makanan  kue,  roti  cokelat,  industri  kosmetik  sabun,  lotion,
shampoo ,  industri  farmasi  vitamin  A  dan  E,  industri  pabrik  logam,  industri
karoseri, industri tinta cetak. Saat  ini  Indonesia  masih  tertinggal  oleh  Malaysia  dalam  industri  oleo-
kimia  yang  merupakan  produk  turunan  dari  CPO.  Indonesia  hanya  menguasai pasar  oleo-kimia  sebesar  12  persen  sedangkan  Malaysia  sebesar  18,6  persen.
Padahal  industri  oleo-kimia  adalah  industri  strategis  yang  memberikan  nilai tambah  lebih  dari  40  persen  dibanding  CPO.  Produk  turunan  CPO  diperkirakan
tak  kurang  dari  150  produk  turunan  baik  pangan  maupun  non  pangan  tetapi industri di Indonesia hanya mampu memproduksi 10 jenis produk turunan CPO.
2
2.1.2. Kebijakan Pemerintah dalam Perdagangan Komoditi CPO
Kebijakan  Pemerintah  pada  komoditi  CPO  dinilai  penting  karena  CPO merupakan  komoditi  yang  banyak  berkontribusi  bagi  perekonomian  Indonesia,
salah  satunya  melalui  devisa.  Selain  itu  CPO  merupakan  bahan  baku  dari beberapa  industri  hilir  yang  memproduksi  produk  pangan  maupun  non  pangan
Salah  satu  dari  produk  yang  menggunakan  CPO  sebagai  bahan  baku  adalah minyak  goreng. Sebagai  salah satu dari kebutuhan pokok, minyak  goreng sangat
dijaga  ketersediannya  sehingga  untuk  menjaga  ketersediannya  pemerintah menerapkan beberapa kebijakan fiskal.
2
Ka smudi,  ε. “Potret Buram Ekspor-Impor”. http: economy.okezone.comread20110217279
[20 Juni 2011].
Instrumen  kebijakan  populer  yang  dilakukan  pemerintah  pada  komoditi CPO  antara  lain  Harga  Patokan  Ekspor  HPE  dan  Pajak  atau  Pungutan  Ekspor
PE. Pajak ekspor mulai diterapkan pemerintah pada tahun 1994 seiring  dengan dikeluarkannya  Keputusan  Menteri  Keuangan  Nomor  439KMK.0171994
tentang  Pengenaan  Pajak  Ekspor  atas  Ekspor  CPO,  RBD  PO,  Crude  Olein,  dan RBD  Olein.  Kebijakan  tersebut  ditujukan  untuk  mengurangi  laju  ekspor  yang
diakibatkan  kenaikan  harga  CPO  di  pasar  internasional  sehingga  pasokan  CPO sebagai bahan baku industri dalam negeri, terutama untuk industri minyak goreng,
tetap terjamin dan harga minyak goreng terjaga kestabilannya. Selanjutnya, pajak ekspor  berganti  nama  menjadi  pungutan  ekspor  setelah  dikeluarkannya  Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak PNPB. Dalam  perkembangannya,  harga  minyak  kelapa  sawit  di  pasar
internasional  terus  meningkat  sehingga  pemerintah  pada  tahun  2007 mengeluarkan  Peraturan  Menteri  Keuangan  Nomor  94PMK.0112007  yang
kemudian  direvisi  tahun  2008  menjadi  Peraturan  Menteri  Keuangan  Nomor 09PMK.0112008  tentang  Penetapan  Jenis  Barang  Ekspor  Tertentu  dan  Besaran
Tarif  Pungutan  Ekspor. Isi  peraturan  tersebut  yaitu  penetapan  tarif  pungutan
ekspor  untuk  minyak  kelapa  sawit  dan  turunannya  ditentukan  berdasarkan  harga referensi  pada  harga  internasional  yang  berlaku.  Pungutan  Ekspor  dihitung  dari
hasil perkalian tarif PE, jumlah ekspor, HPE dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.  Besarnya  tarif  PE  ditetapkan  oleh  Menteri  Keuangan  sedangkan  nilai
HPE  ditetapkan  oleh  Menteri  Perdagangan  berdasarkan  rata-rata  harga internasional Hafizah, 2009.
Pemerintah  juga  mengeluarkan  instrumen  fiskal  lain  selain  pungutan ekspor.  Pemerintah  melalui  Peraturan  Menteri  Keuangan  No.67PMK.0112010
yang  dikeluarkan  tanggal  22  Maret  2010  mengatur  tentang  penetapan  barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, dengan besaran bervariasi
antara  0 –  25  persen  disesuaikan  dengan  harga  CPO  di  pasar  internasional.
Kebijakan  penetapan  Bea  Keluar  BK  ekspor  ini  sebenarnya  tidak  jauh  berbeda dengan  pajak  ekspor,  yang  juga  sudah  dilaksanakan  terlebih  dahulu.  Perbedaan
utama  hanya  terletak  pada  instansi  pengumpul  dana  penerimaan  negara,  yaitu Direktorat Jenderal Bea  dan Cukai untuk penerimaan  negara  yang diperoleh dari
Bea  keluar  BK  dan  Direktorat  Jenderal  Pajak  untuk  penerimaan  negara  yang diperoleh dari pajak ekspor
3
.
Kebijakan  pemerintah  tersebut  banyak  menimbulkan  pro  kontra  karena dinilai  merugikan  pelaku  sawit  di  sektor  hulu  terutama  petani.  Pungutan  ekspor
maupun  bea  keluar  yang  progresif  akan  membuat  petani  tidak  dapat  merasakan keuntungan  akibat  kenaikan  harga  internasional  CPO.  Pungutan  ekspor  dan  bea
keluar juga dapat mengurangi daya saing produk sawit Indonesia karena membuat harga sawit Indonesia di negara pengimpor semakin kurang kompetitif. Selain itu
hasil pungutan ekspor maupun bea keluar pun tidak terlalu dirasakan manfaatnya secara langsung oleh para pelaku usaha sawit. Oleh sebab itu banyak desakan dari
para pelaku sawit agar pemerintah meninjau ulang kebijakannya.
3
Arifin, B.
“εenggugat εanfaat
Bea Keluar
Ekspor CPO”,
http:metrotvnews.comreadanalisdetail20110117130Menggugat-Manfaat-Bea-Keluar- Ekspor-CPO  [23 Maret 2011].
2.1.3.   Perdagangan CPO Indonesia