Analisis stok dan fishing capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean,Sulawesi Tengah

(1)

SULAWESI TENGAH

ALFRET LUASUNAUNG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2 0 0 8


(2)

ANALISIS STOK DAN FISHING CAPACITY PERIKANAN

DEMERSAL DI KEPULAUAN TOGEAN,

SULAWESI TENGAH

ALFRET LUASUNAUNG

D

Diisseerrttaassii s

seebbaaggaaiissaallaahhssaattuussyyaarraattuunnttuukkmmeemmppeerroolleehhggeellaarr

D

Dookkttoorrppaaddaa D

DeeppaarrtteemmeennPPeemmaannffaaaattaannSSuummbbeerrddaayyaaPPeerriikkaannaann

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2 0 0 8


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Analisis Stok dan

Fishing Capacity Perikanan Demersal di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2008

Alfret LUASUNAUNG NIM. C561030111


(4)

ABSTRACT

Alfret Luasunaung. Stock and fishing capacity analysis for demersal fisheries in Togean Islands, Central Sulawesi. Supervised by: Indra Jaya, Daniel R. Monintja

and Bambang Sadhotomo.

The information on stock and fishing capacity in a particular fishing ground can be a useful information for the sustainable fisheries management in the area. Fishing capacity is one of the important indicator to assess the pressure on the use of marine resources.

There are two objectives of the study; to analyze the distribution, density, and abundance of demersal fish, and to analyze the efficiency of fishing capacity of the demersal fish in Togean Islands, Central Sulawesi. The study was conducted in two stages. The first stage was done by analysing the stock using split beam echosounder hidroacoustic to obtain the distribution, density and abundance of fish; and the second stage was done by analysing fishing capacity of demersal fish by using Data Envelop Analysis (DEA) method to estimate the efficiency level of the fishing vessels and gear in Togean Islands.

The results show that the distribution of target strength of single fish is dominated by the small fish of < 10 cm long. The average density of the fish in the waters around Togean Island is between 0.54 – 0.81 individual/m3. The total biomass of the demersal fish in an area of 1034 km2 is 30,04 tonnes. Excess fishing capacity in demersal fish occured in the Togean Island for the last eight years, except for 1999. The fishing gear that were found to be efficient, namely : bottom gillnet, bottom hand line and fish trap. However, there is a need to improve some input ( time of fishing operation, number of trip per month, length of nets, number of hooks, volume of traps and oil consumption) in three fishing gear (bottom gillnet, bottom hand line and fish trap) in order to obtain optimal output (catch).


(5)

Demersal di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh : INDRA JAYA, DANIEL R. MONINTJA DAN BAMBANG SADHOTOMO.

Sumberdaya perikanan yang melimpah merupakan aset bangsa yang strategis untuk dikembangkan dengan berbasis pada pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mengacuh pada pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab. Pemanfaatan sumberdaya perikanan selama ini hanya berorientasi pada bagaimana memperoleh keuntungan yang maksimal tanpa memperhatikan kelestarian lingkungannya, sehingga dampak yang ditimbulkan akibat dari kegiatan ini antara lain : kerusakan dan degradasi sumberdaya perikanan tersebut.

Perairan Kepulauan Togean dan sekitarnya (Teluk Tomini, Laut Maluku) memiliki sumber daya ikan yang cukup besar untuk mendukung perkenomian daerah dan devisa negara; beberapa jenis ikan ekonomis penting terdapat di wilayah ini. Ikan malalugis atau layang biru (Decapterus macarellus) memberikan kontribusi paling besar dalam hasil tangkapan ikan pelagis kecil (63-85 %), terutama diekspor untuk kepentingan perikanan tuna (sebagai ikan umpan), sebagai bahan baku industri ikan kaleng, bumbu masak (karabushi) dan untuk konsumsi lokal; tuna dan cakalang merupakan komoditi ekspor utama dari kelompok ikan pelagis besar dengan kontribusi 18 – 34 %; berbagai jenis ikan demersal (karang) juga potensial bagi pengembangan perikanan (Widodo 2004).

Salah satu komoditi perikanan yang belum banyak tersentuh di perairan Kepulauan Togean adalah ikan demersal. Komoditi ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena cita rasanya yang khas dan digemari masyarakat konsumen. Ikan demersal adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada di dekat dasar perairan sampai kedalaman lebih dari 250 m (Wootton 1992). Beberapa jenis ikan demersal pada masa mudanya hidup di daerah terumbu karang dan setelah dewasa atau pada ukuran tertentu pindah ke daerah perairan yang lebih dalam. Terumbu karang dari segi ekologi, berperan sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan mencari makan dari sebagian besar ikan ekonomis penting sehingga kerusakan karang akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan telah memberikan dampak negatif yang cukup nyata terhadap keberadaan dan kualitas sumber daya (Cesar 1998; Chou 2000).

Kajian tentang ikan demersal, terutama di daerah tropis seperti Kepulauan Togean sangat kompleks karena sifatnya yang multi spesies, ukuran yang beragam dan mendiami habitat dasar yang berbeda-beda. Potensi lestari sumberdaya demersal di Kepulauan Togean diperkirakan sebesar 77.285 ton/tahun dan baru dimanfaatkan sebesar 1.096 ton/tahun (DKP Sulteng 2006 ). Jadi, masih ada peluang untuk meningkatkan eksploitasi. Namun, sejak awal diterapkan prinsip pengelolaan sumberdaya demersal yang tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya. Oleh karena itu perlu kajian mendalam tentang sumberdaya tersebut dan kaitannya dengan

fishing capacity di daerah tersebut. Studi tentang keberadaan ikan demersal di perairan Indonesia masih sangat jarang dilakukan, termasuk disekitar Kepulauan Togean, sehingga seberapa besar potensi, penyebaran dan kompleksitasnya masih


(6)

belum diketahui dengan baik. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan ikan demersal di Kepulauan Togean secara berkelanjutan, maka diperlukan informasi ilmiah tentang penyebaran, densitas, kelimpahan dan potensi sumberdaya demersal serta habitat preferensi. Selain itu informasi tentang fishing capacity perlu diketahui agar dapat dijadikan dasar bagi penyusunan kebijakan pengelolaan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean.

Secara umum penelitian ini bertujuan menyusun suatu bahan masukkan bagi pengelolaan stok sumberdaya demersal yang ada di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah melalui kajian dengan metode hidroakustik dan kajian terhadap data hasil tangkapan yang didaratkan di PPI kepulauan Togean dan sekitarnya (Ampana, Poso dan Pagimana) yang meliputi aspek bio-ekologi perikanan demersal serta melalui kajian fishing capacity yang meliputi antara lain ukuran: kapal, mesin, alat tangkap. Secara khusus penelitian ini bertujuan :

(1) Menganalisis penyebaran, densitas dan kelimpahan ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan Togean;

(2) Menganalisis fishing capacity ikan demersal di perairan Kepulauan Togean. Lokasi dan waktu penelitian dilakukan di perairan sekitar Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah dengan menggunakan KM Napoleon milik Akademi Perikanan Bitung. Survei dengan menggunakan metode hidroakustik dan oseanografi ini dilakukan pada tanggal 25 – 28 Desember tahun 2004. Lokasi ini merupakan daerah penangkapan sumber daya demersal yang potensial karena secara ekologis penyebarannya dibatasi oleh isobath 200 m. Pengumpulan data penunjang (primer, sekunder) dari informasi nelayan kepulauan Togean dan dari dinas perikanan kabupaten serta propinsi dilaksanakan pada bulan Pebruari–Maret tahun 2005 dan Januari–Pebruari 2006.

Pengukuran data oseanografi dilakukan berdasarkan posisi stasiun pengamatan yang ditetapkan. Pengukuran dilakukan pada beberapa strata kedalaman standar, berturut-turut lapisan permukaan (0-5 m), 10 m, 20 m, 30m, 40 m, dan 50 m. Parameter yang diukur meliputi kedalaman perairan, arah dan kecepatan arus, suhu dan salinitas dengan menggunakan Valeport current meter tipe 308 CTD.

Pengambilan sampel plankton di masing-masing lokasi, dilakukan dengan menggunakan plankton net, sedangkan untuk larva/telor (ichtioplankton) menggunakan larva net (Bonggo net). Data oseanografi ini untuk menggambar-kan dinamika (bio-ekologi) sumberdaya perikanan demersal.

Data akustik diperoleh dengan menggunakan echo sounder SIMRAD EY 500 frekuensi 38 KHz yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sebaran densitas ikan secara spasial maupun vertikal. Transduser dengan sistem bim terbagi (split beam echosounder) dipasang pada sisi kanan luar kapal (system side mounted) pada kedalaman 1,5 m dari permukaan air. Data hasil tangkapan diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring insang dasar, pancing ikan dasar dan bubu diperoleh langsung dari nelayan masing-masing alat tangkap itu sendiri, dari tempat-tempat pendaratan ikan dan statistik perikanan tangkap dari dinas perikanan dan kelautan Kabupaten Tojo Una-una. Data hasil tangkapan ini berguna untuk menganalisis fishing capacity. Analisis fishing capacity menggunakan metode


(7)

fluktuasinya, akan tetapi juga menyangkut gradien horizontal dan vertikalnya, sebaran suhu di perairan sekitar Kepulauan Togean secara vertikal mempunyai nilai yang berkisar antara 30,63 0C dipermukaan sampai dengan 26,70 0C pada kedalaman 50 meter. Satuan dari salinitas menurut Komisi Internasional dari PBB (UNESCO) adalah psu (practicalsalinity unit). Secara garis besar sebaran salinitas di Kepulauan Togean berkisar antara 34,3 psu sampai dengan 34,95 psu. Nilai produktivitas plankton secara langsung banyak dipengaruhi oleh komposisi jenis fitoplankton, yang selanjutnya dapat menentukan besar/kecilnya daya dukung perairan terhadap kehidupan biota di dalamnya. Secara umum kondisi bio-ekologi di perairan sekitar Kepulauan Togean tergolong masih baik. Ukuran ikan yang dianalisis dalam tulisan ini adalah ikan demersal dengan nilai target strength – 51 dB sampai dengan – 33 dB. Secara keseluruhan jumlah ikan tunggal yang terdeteksi pada selang ini adalah sebesar 2650 ekor. Hasil kajian ini dugaan densitas ikan demersal adalah sebesar 180,07 ton/m2 atau 0,18 ton/km2 dari luasan sebesar 1034 km2, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa densitas ikan demersal cukup tinggi.

Sejak tahun 1998-2005 terjadi kecenderungan penurunan tingkat efisiensi kecuali tahun 1999, hal ini dimungkinkan karena jumlah effort yang meningkat dari tahun ke tahun. Hasil perhitungan efisiensi relatif perikanan demersal dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean dengan cara mengalikan effort aktual yang digunakan dengan efisiensi relatif sehingga diperoleh kapasitas target. Dari kelima alat tangkap ikan demersal yang ada di Kepulauan Togean, jaring insang, pancing dasar dan bubu merupakan alat tangkap yang efisien. Jumlah armada perikanan demersal yang efisien di Kepulauan Togean yaitu jaring insang dasar 30 persen, pancing ikan dasar 27 persen dan bubu 75 persen. Oleh karena itu untuk optimasi perikanan tangkap di rekomendasikan sebanyak 31 unit jaring insang dasar, 6 unit alat tangkap bubu dan sebanyak 302 unit pancing.


(8)

GLOSARI

DAFTAR ISTILAH

Acoustics = Ilmu tentang suara, sifat dan karakteristiknya di dalam (Akustik) suatu medium (air)

Backscattering = Jumlah energi per satuan waktu yang dipantulkan oleh (Hambur balik) target selama transmisi suara dari transducer

Backscattering = Perbandingan antara kekuatan intensitas suara yang

cross-section dipan tulkan dengan intensitas suara yang mengenai

target

Beam angle = Besarnya sudut yang dibentuk oleh titik-titik yang (Sudut sorot) menghasilkan respon setengah sudut sorot dari sumbu

utama transducer

Echo (Gema) = Gelombang suara/akustik yang dipantulkan oleh target

Echogram = Rekaman dari rangkaian gema (Rekaman)

Echo Integrator = Alat untuk mengintegrasi gema melalui selalng-selang

kedalaman perairan

Fishing Capacity = Kemampuan suatu armada penangkapan untuk (Kapasitas menangkap ikan

Penangkapan)

Gain = Pembesaran amplitudo sinyal pada echosounder (satuan dB)

Leg = Jalur pelayaran kapal survei antar stasiun pengamatan

Ping = Sebutan untuk setiap pulsa yang dipancarkan dari

transducer

Stock (Stok) = Besarnya sediaan sumberdaya ikan laut yang dapat dieksploitasi atau dimanfaatkan

Target strength = Rasio intensitas gema yang diukur pada jarak 1 meter (Kekuatan dari permukaan transducer dengan intensitas yang Target) datang (incidentintensity) mengenai target (satuan dB)


(9)

Threshold = batas ambang amplitude sinyal untuk tidak diproses, (Batas ambang) misalnya sebagai gema dari ikan tunggal

Transducer = Komponen dalam echosounder yang berfungsi untuk mengubah energi listrik menjadi energi suara/akustik dan sebaliknya mengubah energi suara/akustik

menjadi energi listrik

Upwelling = Proses terjadinya penaikan massa air dari lapisan dalam (Penaikan massa ke lapisan permukaan

air/Umbalan)

DAFTAR SINGKATAN

BT = Bujur Timur

CPUE = Catch per unit effort

CRS = Constant Return to Scale

CTD = Conductivity, Temperature, Depth

dB = desiBell

DEA = Data Envelopment Analysis

DEAP = Data Envelopment Analysis Programe

DMU = Decision Making Unit

DT = Data Threshold

EP = Echo Processing

ESDU = Elementary Sampling Distance Unit

FAO = Food and Agriculture Organization

FTP = File Transfer Protocol

GT = Gross Tonage

IPOA = International Plant of Action

L,B,D = Length, Breadth, Depth

LS = Lintang Selatan

MODIS = Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer

NASA = National Aeronautics and Space Administration

PSU = Practical Salinity Unit

SA = Backscattering Area

SeaDAS = SeaWiFS Data Analysis System

SPL = Suhu Permukaan Laut Sv = Backscattering Volume

TAC = Total Allowable Catch

TS = Target Strength

VRS = Varfiable Return to Scale


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xviii

DAFTAR GAMBAR ……… xx

DAFTAR LAMPIRAN ……… xxii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Perumusan Masalah ………. 4

1.3 Tujuan Penelitian ………. 8

1.4 Manfaat Penelitian ……….. 9

1.5 Hipotesis Penelitian ... 9

1.6 Kerangka Pemikiran ………... 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Oseanografi dan Ekosistem Pesisir Kepulauan Togean .... 12

2.2 Teknologi Satelit Penginderaan Jauh ... 16

2.3 Armada Perikanan ... 19

2.4 Perikanan dan Stok Sumber Daya Demersal ………... 22

2.5 Metode Hidroakustik ... 28

2.5.1 Echosounder split beam system... 29

2.5.2 Target strength, densitas ikan dan biomassa... 30

2.6 Fishing Capacity ... 33

2.7 Tinjauan Studi Terdahulu ... 37

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu penelitian ... 40

3.2 Desain Survei ………... 40

3.3 Peralatan Penelitian ………. 40

3.4 Metode Pengambilan Data ……... 42

3.4.1 Data oseanografi ... 42

3.4.2 Data citra satelit ... 42

3.4.3 Data akustik ... 43

3.4.4 Data hasil tangkapan ... 43

3.5 Analisis Data ... 45

3.5.1 Analisis oseanografi ... 45

3.5.2 Analisis citra satelit ... 46

3.5.3 Analisis stok ikan dengan hidroakustik ... 47

3.5.4 Analisis fishing capacity ... 49


(11)

4.1.1 Suhu ... 53

4.1.2 Salinitas ... 56

4.1.3 Kecerahan air ... 58

4.1.4 Arus ... 59

4.1.5 Kelimpahan plankton ... 62

4.1.6 Pembahasan ... 65

4.2 Sebaran dan Stok Ikan Demersal ... 75

4.2.1 Target strength ikan tunggal ... 75

4.2.2 Densitas kelompok ikan ... 77

4.2.3 Dugaan biomassa ikan demersal ... 78

4.2.4 Pembahasan ... 79

4.3 Analisis Fishing Capacity ... 82

4.3.1 Armada penangkapan ... 82

4.3.2 Alat tangkap ... 85

4.3.3 Penilaian efisiensi jangka panjang (antar waktu) ... 86

4.3.4 Penilaian efisiensi jangka pendek (antar armada) ... 89

4.3.5 Pembahasan ... 98

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 102

5.2 Saran Penelitian Lanjutan... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 104

LAMPIRAN ... 110


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Struktur armada dan produksi perikanan demersal di Kepulauan

Togean 1998-2005... 20

2 Jenis, jumlah alat tangkap ikan demersal dan trip operasi di

Kepulauan Togean tahun 2005 ... 21

3 Beberapa jenis ikan demersal, produksi dan prosentase di

Kepulauan Togean ... 27

4 Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Aqua MODIS ... 46

5 Arah dan kecepatan angin sesaat di perairan sekitar Kepulauan

Togean pada musim barat (Desember 2004) ... 59

6 Jumlah ikan tunggal (ekor) pada setiap trip serta persentasi

komposisinya ... 75

7 Leg, jumlah ESDU dan densitas ikan demersal (ikan/m3)

pada setiap leg ... 77

8 Panjang leg, biomassa ikan demersal dan persentase pada

tiap leg ... 78

9 Perkembangan jumlah nelayan, armada penangkap dan trip

periode 2001-2005 di Kepulauan Togean ... 83

10 Perkembangan armada penangkap di Kepulauan Togean selang

tahun 1998-2005 ... 83

11 Dimensi utama dari perahu/kapal penangkap ikan demersal ... 84

12 Perkembangan jumlah unit penangkapan ikan demersal di

Kepulauan Togean ... 85

13 Skor efisiensi, effort aktual, effort target dan excesscapacity

Perikanan demersal di Kepulauan Togean ……… 87

14 Proyeksi perbaikan kapal jaring insang dasar di Kepulauan

Togean ... 91


(13)

16 Proyeksi perbaikan kapal bubu di Kepulauan Togean ... 95

17 Proyeksi perbaikan kapal pancing dasar di Kepulauan

Togean ... 97


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean (1998-2005) 5

2 Jumlah armada perikanan demersal yang beroperasi di Kepulauan Togean (1998-2005) ……... 6

3 Produksi per upaya perikanan demersal di Kepulauan Togean

(1998-2005) ... 7

4 Kerangka pikir penyusunan pengelolaan perikanan demersal di

Kepulauan Togean ... 10

5 Alur tahapan penelitian ... 11

6 Echosounder split beam system ... 30

7 Diagram alir prosedur analisis biomassa dengan hidroakustik ….. 32

8 Peta lokasi, trek survei akustik di perairan sekitar Kepulauan

Togean ... 41

9 Lokasi stasiun sampling oseanografi (Desember 2004) ... 54

10 Hubungan suhu dan kedalaman perairan pada musim barat ... 55

11 Keadaan suhu perairan untuk masing-masing stasiun oseanografi

pada musim barat (Desember 2004) ... 55

12 Hubungan salinitas dan kedalaman perairan pada musim barat ... 56

13 Sebaran salinitas pada setiap stasiun pengamatan pada musim

barat ... 57

14 Kecerahan air untuk beberapa stasiun pengamatan ... 58

15 Arah dan kecepatan angin sesaat di lokasi penelitian ... 60

16 Kecepatan dan arah arus pada musim barat untuk masing-masing

kedalaman ... 61

17 Pola kecepatan arus berdasarkan kedalaman ... 62


(15)

19 Kelimpahan plankton (zoo dan fito) pada tiap stasiun

pengamatan ... 63

20 Hubungan suhu dan distribusi biomassa ikan demersal ... 67

21 Hubungan salinitas dan distribusi biomassa ikan demersal ... 68

22 Grafik fluktuasi konsentrasi rata-rata 8 harian klorofil-a dan SPL ... 74

23 Hubungan panjang berat ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) 76 24 Peta distribusi biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean ... 80

25 Peta prediksi daerah penangkapan ikan lokal ... 81

26 Nilai efisiensi perikanan demersal di Kepulauan Togean ... 86

27 Perbandingan effort aktual dan effort target ikan demersal di Kepulauan Togean ... 88

28 Efisiensi alat tangkap ikan demersal di Kepulauan Togean ... 89

29 Distribusi skor efisiensi kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean ... 90

30 Potensi perbaikan efisiensi kapal jaring insang dasar ... 91

31 Distribusi skor efisiensi rawai dasar tetap di Kepulauan Togean ... 92

32 Potensi perbaikan efisiensi kapal rawai tetap ... 93

33 Distribusi skor efisiensi kapal bubu di Kepulauan Togean ... 94

34 Potensi perbaikan efisiensi kapal bubu di Kepulauan Togean ... 95

35 Distribusi skor efisiensi kapal pancing dasar di Kepulauan Togean ... 96

36 Potensi perbaikan efisiensi kapal pancing dasar di Kepulauan Togean ... 97


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Distribusi suhu permukaan laut (SPL) di perairan Togean pada

musim barat dan timur ... 112

2 Distribusi klorofil-a di perairan Togean pada musim barat dan

timur ... 114

3 Perhitungan efisiensi dan kapasitas antar waktu menggunakan

program DEAP 2.1 ... 116

4 Perhitungan efisiensi dan kapasitas antar alat tangkap

menggunakan program DEAP 2.1 ... 118

5 Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal bubu di

Kepulauan Togean ... 120

6 Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal rawai dasar

di Kepulauan Togean ... 128

7 Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal jaring insang

dasar di Kepulauan Togean ... 130

8 Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal pancing ikan

dasar di Kepulauan Togean ... 132


(17)

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat besar dan beranekaragam. Sumberdaya alam (perikanan) yang melimpah merupakan aset bangsa yang strategis untuk dikembangkan dengan basis pada pemanfaatan sumberdaya perikanan itu sendiri yang senantiasa mengacuh pada pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab. Pemanfaatan sumberdaya perikanan selama ini hanya berorientasi pada bagaimana memperoleh keuntungan yang maksimal tanpa memperhatikan kelestarian lingkungannya. Sehingga dampak yang ditimbulkan akibat dari kegiatan ini antara lain : kerusakan dan degradasi sumberdaya perikanan tersebut.

Dalam kesatuan wilayah pengelolaan perikanan (WPP 716) Teluk Tomini-Laut Maluku-Tomini-Laut Seram, potensi sumber daya pelagis sekitar 486 ribu ton per tahun (83%) dimana 80 % diantaranya berupa ikan pelagis kecil, sedangkan potensi sumber daya demersal (karang) sekitar 96 ribu ton per tahun (16 %) (Nurhakim et al. 2007). Meskipun hasil estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumber daya di WPP 716 tersebut masih rendah (< 40 %) namun nilai ekonomis dari komoditi tersebut telah mendorong makin meningkatnya eksploitasi oleh kapal-kapal tradisional setempat (small scale fishery) maupun kemungkinan penangkapan/pencurian oleh kapal-kapal asing (illegal fishing). Penangkapan ilegal dengan cara pengeboman dan sianida merupakan gejala masyarakat Sulawesi Tengah yang merusak lingkungan. Disamping itu banyak hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported) bahkan tidak diketahui (lost production) karena hasil tangkapan dibawa ke luar negeri.

Perikanan tangkap merupakan aktivitas ekonomi yang unik bila dibandingkan dengan aktivitas lain. Hal ini berkaitan dengan kondisi sumber daya ikan dan laut itu sendiri yang sering dianggap sebagai common pool resources (Fauzi dan Anna 2005). Karakteristik ini sering menimbulkan masalah ekternalitas diantara nelayan sebagai akibat proses produksi yang


(18)

2

nelayan akan sangat tergantung pada tangkapan nelayan lain. Selain itu, hasil tangkapan dari nelayan juga akan sangat tergantung dari kondisi sumber daya ikan yang merupakan fungsi dari eksternalitas berbagai aktivitas nonproduksi lain, seperti kondisi kualitas perairan itu sendiri.

Perairan Kepulauan Togean dan sekitarnya (Teluk Tomini, Laut Maluku) memiliki sumber daya ikan yang cukup besar untuk mendukung perkenomian daerah dan devisa negara; beberapa jenis ikan ekonomis penting terdapat di wilayah ini. Ikan malalugis atau layang biru (Decapterus macarellus) memberikan kontribusi paling besar dalam hasil tangkapan ikan pelagis kecil (63-85 %), terutama diekspor untuk kepentingan perikanan tuna (sebagai ikan umpan), sebagai bahan baku industri ikan kaleng, bumbu masak (karabushi) dan untuk konsumsi lokal; tuna dan cakalang merupakan komoditi ekspor utama dari kelompok ikan pelagis besar dengan kontribusi 18 – 34 %; berbagai jenis ikan demersal (karang) juga potensial bagi pengembangan perikanan (Widodo 2004). Perikanan pelagis masih mendominasi hasil laut Kepulauan Togean, namun komoditi unggulan yang berorientasi ekspor di daerah ini sebagian besar bertumpu pada perikanan karang seperti: kerapu (groupers), ikan hias (aquarium fishes), ikan napoleon (wrasses), teripang dan lobster (Ditjen P3K 2004). Adapun negara tujuan ekspor antara lain adalah Jepang, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan. Permintaan pasar terhadap ikan-ikan karang terus meningkat, tetapi di lain pihak disadari bahwa ketersediaan sumberdaya tersebut di alam semakin terbatas dan terancam. Terlebih dengan adanya campur tangan pemodal dari luar kawasan yang hanya mengejar keuntungan finansial semata dalam jangka pendek, sehingga dampak akhir adalah kerusakan lingkungan dan kemiskinan masyarakat pesisir.

Salah satu komoditi perikanan yang belum banyak tersentuh di perairan Kepulauan Togean adalah ikan demersal. Komoditi ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena cita rasanya yang khas dan digemari masyarakat konsumen. Ikan demersal adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada di dekat dasar perairan sampai kedalaman lebih dari 250 m (Wootton 1992). Beberapa jenis ikan demersal pada masa mudanya hidup di daerah terumbu karang dan setelah dewasa atau pada ukuran tertentu pindah ke daerah perairan yang lebih dalam.


(19)

Terumbu karang dari segi ekologi, berperan sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan mencari makan dari sebagian besar ikan ekonomis penting sehingga kerusakan akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan telah memberikan dampak negatif yang cukup nyata terhadap keberadaan dan kualitas sumber daya (Cesar 1998; Chou 2000). Meskipun kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh faktor-faktor fisika, kimia dan biologi, namun secara umum, kerusakan terumbu karang dapat dibedakan menjadi : kerusakan karena kejadian alam dan kerusakan karena aktivitas manusia atau antropogenik (Salm, Clark and Siirika 2000). Lebih lanjut Cesar (1998) mengemukakan bahwa terdapat lima aktivitas manusia yang merupakan ancaman utama terhadap kerusakan terumbu karang di Indonesia, yaitu : penggunaan racun (cyanidefishing), penggunaan bom (blast fishing), penambangan koral (coral mining), sedimentasi dan polusi, serta kelebihan eksploitasi (overfishing).

Kajian tentang ikan demersal, terutama di daerah tropis seperti Kepulauan Togean sangat kompleks karena sifatnya yang multi spesies, ukuran yang beragam dan mendiami habitat dasar yang berbeda-beda. Potensi lestari sumberdaya demersal di Kepulauan Togean diperkirakan sebesar 77.285 ton/tahun dan baru dimanfaatkan sebesar 1.096 ton/tahun (DKP Sulteng 2006 ). Jadi, masih ada peluang untuk meningkatkan eksploitasi. Namun, sejak awal diterapkan prinsip pengelolaan sumberdaya demersal yang tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya. Oleh karena itu perlu kajian mendalam tentang sumberdaya tersebut dan kaitannya dengan fishing capacity di daerah tersebut. Penggunaan echo sounder dan echo integrator untuk keperluan eksplorasi sumber daya perikanan dewasa ini berkembang dengan pesat terutama di negara-negara maju dan pada beberapa lembaga penelitian. Peralatan echo integrator

digunakan untuk mendapatkan integrasi signal echo dari echo sounder bim tunggal, bim ganda maupun bim terbagi atau sonar konvensional, sehingga dapat digunakan sebagai penduga kelimpahan ikan disuatu perairan.

Fishing capacity merupakan hal penting yang selama ini masih luput dari pengamatan para pengambil kebijakan, khususnya dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan problem eksternalitas dalam perikanan dan tentu saja tujuan pembangunan perikanan yang berkelanjutan (Fauzi dan Anna 2005). Hal


(20)

4

ini tidak terlepas dari kondisi masih belum dipahaminya pengertian dan cara mengukur fishing capacity itu sendiri. Konsep dan pengukuran fishing capacity

ini pada dasarnya dapat dilihat dari sudut pandang teknik dan ekonomi (efisiensi). Studi tentang keberadaan ikan demersal di perairan Indonesia masih sangat jarang dilakukan, termasuk disekitar Kepulauan Togean, sehingga seberapa besar potensi, penyebaran dan kompleksitasnya masih belum diketahui dengan baik. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan ikan demersal di Kepulauan Togean secara berkelanjutan, maka diperlukan informasi ilmiah tentang penyebaran, densitas, kelimpahan dan potensi sumberdaya demersal serta habitat preferensi. Selain itu informasi tentang fishing capacity perlu diketahui agar dapat dijadikan dasar bagi penyusunan kebijakan pengelolaan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean.

1.2 Perumusan Masalah

Manajemen sumber daya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumber daya ikan, pengelolaan lingkungan, serta pengelolaan kegiatan manusia (Nikijuluw 2002). Manajemen perikanan menurut Cochrane (2002) adalah suatu proses terintegrasi antara pengumpulan informasi, melakukan analisis, konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumber daya dan formulasi serta implementasi. Menurut Murdiyanto (2004), untuk mencapai keberhasilan dalam manajemen perikanan, para pengelola perlu ditunjang dengan pengetahuan dan perangkat yang cukup memadai menyangkut ketersediaan informasi, personil pengelola, dana serta kesadaran dan partisipasi masyarakat yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha perikanan tersebut. Sehingga kunci sukses pengelolaan terletak pada sumber daya manusia yang memanfaatkannya. Perikanan yang tidak diatur menimbulkan konsekuensi tangkap lebih, kapasitas lebih dan konflik diantara pengguna sumber daya (Cartwright 1995). Tangkap lebih berkaitan dengan aspek biologi, sedangkan kapasitas lebih berkaitan dengan tidak efisien dalam penggunaan tenaga kerja.

Permasalahan yang berkaitan dengan degradasi sumberdaya perikanan dan lingkungannya dicirikan oleh sifat dari proses kerusakan dan ketersediaan sumberdaya perikanan yang semakin terbatas. Pada umumnya proses tersebut


(21)

berjalan relatif perlahan (lamban), namun dampak kebanyakan bersifat kumulatif, sehingga pada suatu saat terjadi krisis sumberdaya, penanggulangannya menjadi sulit dan sangat mahal untuk dilakukan. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif dan efisien adalah sistem pengelolaan yang didukung dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal.

Berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dan menjadi permasalahan yang umum dalam melaksanakan pengelolaan perikanan di daerah-daerah pantai (Murdiyanto 2004), seperti di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah adalah antara lain :

(1) Kurangnya informasi tentang perikanan demersal itu sendiri

Data ekologi, stok ikan, produksi atau pendaratan hasil tangkapan, jumlah alat tangkap, jumlah nelayan dan kurangnya data tentang perikanan subsisten merupakan informasi dasar yang diperlukan untuk memulai langkah proses pengelolaan, akan tetapi seringkali data yang diperoleh yang bersumber pada catatan statistik dari tempat pendaratan ikan diragukan akurasinya.

(2) Penurunan hasil tangkapan

Penurunan hasil tangkapan yang didaratkan di tempat-tempat pendaratan ikan dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah nelayan yang menangkap ikan ataupun oleh semakin kecilnya stok ikan atau semakin jarangnya terdapat ikan target tangkapan di daerah penangkapan. Seperti ditunjukkan pada grafik statistik produksi perikanan demersal (Gambar 1).

Gambar 1 Produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean (1998 – 2005)

0 200 400 600 800 1000 1200

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

P

r

o

duks

i (

to


(22)

6

(3) Dukungan pemerintah yang masih terbatas

Dukungan pemerintah kepada perikanan rakyat sebagai subsektor perikanan yang juga mempunyai kontribusi kepada negara dan sebagai sumber kesejahteraan masyarakat pantai sangat kecil.

Pengelolaan dan pengembangan perikanan demersal di perairan Kepulauan Togean khususnya, perlu dilakukan mengingat intensitas penangkapan dan jumlah armada yang beroperasi di perairan tersebut dari waktu ke waktu meningkat (Gambar 2). Pengelolaan dan pengembangan yang dimaksud adalah dengan mengkaji potensi sumberdaya perikanan yang ada diperairan Kepulauan Togean. Kemudian menentukan ataupun memprediksi berapa banyak unit penangkapan yang dapat beroperasi disana agar kelestarian sumberdaya terjaga.

Gambar 2 Jumlah armada perikanan demersal yang beroperasi di Kepulauan Togean (1998 – 2005)

Berdasarkan informasi yang ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2 di atas setelah digabungkan, maka diperoleh gambaran yang lebih spesifik seperti yang disajikan pada Gambar 3.

0 400 800 1200 1600 2000

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

Ju

m

lah

ar

m

ad

a (

u

n

it

)


(23)

0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

P

r

od

u

k

si

/U

p

aya (

ton

/u

n

it

)

Gambar 3 Produksi per upaya perikanan demersal di Kepulauan Togean (1998 – 2005)

Memperhatikan kecenderungan yang ditunjukkan pada Gambar 3 di atas bahwa produksi per upaya tangkap sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2005 secara umum menunjukkan pola yang menurun, meskipun pada tiga tahun terakhir (2003-2005) menunjukkan pola yang stabil. Hal ini berarti bahwa secara keseluruhan (8 tahun terakhir), keberadaan sumber daya perikanan di wilayah tersebut mulai berkurang dengan bertambahnya upaya tangkap. Sehingga pengelolaan perikanan tangkap di wilayah ini perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Secara khusus masalah-masalah yang dihadapi dalam usaha pengembangan perikanan demersal di Kepulauan Togean adalah :

(1) Tidak tersedianya informasi tentang jenis-jenis ikan demersal yang dominan dan bernilai ekonomis;

(2) Besarnya densitas, penyebaran dan kelimpahan ikan demersal;

(3) Belum diketahui apakah fishing capacity yang dialokasikan disana dalam keadaan over capacity, under capacity atau sudah efisien.

Peningkatan eksploitasi dapat mendorong ke arah turunnya sediaan ikan, penurunan hasil tangkapan dan perubahan dalam struktur dan fungsi populasi. Oleh karena itu, suatu sistem manajemen yang tepat sangat diperlukan bagi tercapainya hasil tangkapan yang optimal dan berkelanjutan (sustainable fisheries). Dalam jangka pendek sistem manajemen ditujukan untuk menghindari terjadinya tangkap lebih, sedangkan dalam jangka panjang ditekankan pada


(24)

8

perlindungan biodiversitas. Pengaturan ini sangat penting bagi pengembangan perikanan dimasa mendatang terutama dalam era otonomi daerah mengingat sumber daya ikan bersifat open access dan merupakan shared stocks bagi beberapa negara termasuk Indonesia. Juga berperan dalam memodifikasi manajemen perikanan yang telah ada karena adanya tuntutan untuk mengembangkan ekonomi dan kesejahteraan daerah yang secara nyata diwujudkan dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus menjaga keberlangsungan sumber daya perikanan yang menjadi hak dan tanggung jawabnya.

Berkaitan dengan pemecahan masalah yang ada, maka pertanyaan penelitian yang perlu dicarikan jawabannya, antara lain :

(1) Bagaimana mendeskripsikan dinamika suatu sumber daya perairan (jenis dan ukuran ikan demersal) yang dieksploitasi?

(2) Berapa besar tingkat pemanfaatan yang dapat dilakukan sehingga degradasi terhadap sumber daya tersebut dapat dihindari?

(3) Bagaimana mengukur dan berapa efisiensi fishing capacity berdasarkan ketersediaan stok?

Untuk menjawab permasalah di atas, maka diperlukan suatu kajian yang sistematis, rasional dan objektif terhadap semua unsur yang berkaitan dengan stok dan fishing capacity sumber daya demersal di Kepulauan Togean sehingga kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan terhadap sumber daya tersebut dapat diterapkan dengan baik.

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan menyusun suatu bahan masukkan bagi pengelolaan stok sumberdaya demersal yang ada di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah melalui kajian dengan metode hidroakustik dan kajian terhadap data hasil tangkapan yang didaratkan di PPI kepulauan Togean dan sekitarnya (Ampana, Poso dan Pagimana) yang meliputi aspek bio-ekologi perikanan demersal serta melalui kajian fishing capacity yang meliputi antara lain ukuran: kapal, mesin, alat tangkap. Secara khusus penelitian ini bertujuan :


(25)

(1) Menganalisis penyebaran, densitas dan kelimpahan ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan Togean;

(2) Menganalisis fishing capacity ikan demersal di perairan Kepulauan Togean.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan, maka diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan informasi yang dapat dipertimbangkan dalam rangka pengelolaan perikanan tangkap kedepan. Selain itu juga, sebagai bagian dari proses pembelajaran dengan menggunakan teknik dan metode yang diterapkan dalam studi ini diharapkan dapat berkontribusi baik dalam perbaikan maupun penerapan guna menelaah permasalahan perikanan yang berkelanjutan.

1.5 Hipotesis Penelitian

(1) Pemanfaatan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean sudah mengalami penurunan (degradasi)

(2) Jumlah alat tangkap ikan demersal yang beroperasi di perairan Kepulauan Togean sudah melebihi jumlah kapasitasnya.

1.6 Kerangka Pemikiran

Rincian tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini yakni diawali dengan penelusuran fakta, isu-isu dan pendapat tentang permasalahan yang ada. Kemudian mengadakan pengamatan dan identifikasi lapangan terhadap komposisi jenis dan ukuran ikan demersal, produksi dan daerah penangkapan ikan, jumlah dan jenis serta ukuran alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal. Disamping itu, informasi dari TPI sekitar Kepulauan Togean tentang produksi, komposisi, daerah penangkapan, kapal dan alat tangkap yang digunakan dengan maksud agar diperoleh informasi ikan-ikan hasil tangkapan dari Kepulauan Togean didaratkan. Apablia informasi ini telah cukup, maka selanjutnya diadakan survei akustik dan oseanografi yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang penyebaran, densitas dan kepadatan ikan demersal serta informasi tentang keadaan fisik lingkungan perairan dilokasi kajian. Survei hidroakustik ini dibarengi dengan kegiatan experimental fishing pada beberapa stasiun pengamatan dengan maksud agar diperoleh ikan sampel untuk


(26)

10

mengidentifikasi jenis ikan demersal sehingga hal ini dapat mendeskripsikan keadaan (bio-ekologi) sumber daya demersal disana. Selanjutnya, informasi yang diperoleh melalui pengukuran oseanografi diharapkan dapat menggambarkan keadaan suhu, salinitas dan juga kelimpahan fito-zoo plankton pada setiap stasiun pengamatan. Untuk mengetahui fishing capacity dilakukan pengukuran terhadap armada penangkapan yang meliputi jumlah dan dimensi utama (L, B, D) dari kapal, besarnya mesin, jumlah dan ukuran alat tangkap yang digunakan, hari operasi penangkapan dan keahlian dari anak buah kapal (ABK), disamping itu informasi tentang catch per unit effort (CPUE) juga diperlukan untuk menganalisis fishing capacity di daerah kajian. Dengan demikian, hasil yang diperoleh tersebut dapat dijadikan suatu konsep dalam penyusunan pengelolaan perikanan demersal di Kepulauan Togean secara bertanggung-jawab. Kerangka pikir dalam penyusunan pengelolaan perikanan di Kepulauan Togean disajikan pada Gambar 4 sedangkan alur tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 5.

Pengelolaan

Perikanan Demersal di Kepulauan Togean (masa kini)

Evaluasi Stok

Perikanan Demersal di Kepulauan Togean

Evaluasi Fishing Capacity

Perikanan Demersal di Kepulauan Togean

Rumusan Pengelolaan Perikanan Demersal di Kepulauan Togean

Permasalahan :

• Informasi kurang

• Produksi menurun

• Hasil tangkapan persatuan upaya menurun

• Potensi konflik meningkat

Gambar 4 Kerangka pikir penyusunan pengelolaan perikanan demersal di Kepulauan Togean


(27)

Mulai

Fakta, Isu-isu dan Pendapat

Pengamatan/Identifikasi : jenis dan ukuran ikan, produksi, daerah penangkapan ikan, jumlah dan jenis serta ukuran alat tangkap ikan demersal

Cukup

Survey akustik dan oseanografi serta eksperimentalfishing

Analisis penyebaran, densitas dan kelimpahan ikan demersal serta analisis oseanografi (keadaan fisik lingkungan perairan)

Analisis fishing capacity perikanan demersal

BAHAN PENYUSUNAN PENGELOLAAN PERIKANAN DEMERSAL YANG BERTANGGUNG-JAWAB DI

KEPULAUAN TOGEAN

Berhasil Cukup

Aplikatif

Selesai

Tidak

Tidak

Tidak

Ya Ya

Ya

Cakupan Disertasi


(28)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Oseanografi dan Ekosistem Pesisir Kepulauan Togean

Kepulauan Togean terletak pada posisi geografis diantara 121P

0

P

33’BT –

122P

0

P

23’ BT dan 0P

0

P

8’LS – 0P

0

P

45’LS. Kepulauan ini terletak di tengah Teluk Tomini arah timur laut dari Kota Poso. Sehingga secara administratif termasuk pada

kabupaten Tojo Una-una. Kawasan ini memiliki luas perairan sekitar 1.086,7 kmP

2

P

, dimana wilayah pesisirnya dikelilingi oleh ekosistem hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang. Gugusan Kepulauan Togean terdiri dari beberapa pulau yang mengelompok menjadi dua rangakian utama, yaitu : pertama, rangkaian Batudaka – Togean – Talatakoh di sebelah barat; kedua, rangkaian Walea di sebelah timur (Ditjen P3K 2004). Lebih lanjut dinyatakan bahwa jumlah penduduk yang mendiami Kepulauan Togean sekitar 29.347 jiwa yang tersebar pada rangkaian sebelah barat 19.226 jiwa dan rangkaian sebelah timur 10.121 jiwa.

Kepulauan Togean beriklim laut tropis dengan sifat iklim musiman. Berdasarkan catatan BAKOSURTANAL, musim kemarau terjadi antara bulan Agustus dan November, sedangkan musim hujan terjadi antara Desember dan Juli. Daerah sekitar Teluk Tomini memiliki bulan basah selama 7-9 bulan dengan bulan kering berlangsung selama 3 bulan. Curah hujan tidak merata dan berfluktuasi setiap bulan. Curah hujan yang tinggi umumnya terjadi antara bulan April-Juli dan Oktober-Nopember, curah hujan rendah terjadi pada bulan September dan Desember-Januari. Suhu udara berkisar antara 29,4º - 30ºC (BRPL 2005). Catatan 50 tahun yang dilakukan BMG Ampana yang diacu oleh BRPL (2005) di Una Una memperlihatkan rata-rata curah hujan 3246 mm per tahun; di Wakai rata-rata tercatat 2307 mm per tahun untuk selang waktu tahun 1987-1990; di Popolii 2354 mm pada tahun 1988-1991 dengan variasi tahunan yang cukup besar.

Suhu merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi keberadaan sumberdaya hayati di perairan. Distribusi spasial suhu permukaan laut (SPL) rata-rata bulanan yang diolah dari citra satelit MODIS menunjukkan bahwa secara umum SPL di perairan bagian utara lebih rendah dari bagian selatan


(29)

perairan Kepulauan Togean. Umumnya, SPL pada musim barat lebih tinggi dari

musim timur dengan perbedaan suhu sekitar 1 P

o

P

C. Analisis spektral data variasi SPL rata-rata bulanan selama 19 tahun yakni dari tahun 1986-2002 menunjukkan bahwa bahwa variasi SPL di perairan Togean dipengaruhi oleh perubahan musim dan perubahan iklim global seperti ENSO. Anomali positif dan negatif SPL juga terjadi di perairan Togean. Pada saat kejadian ENSO 1998 SPL meningkat hingga 2 P

o

P

C dari SPL rata-rata, sedangkan pada tahun 1991 SPL menurun hingga 3 P

o

P

C. Terjadinya anomali SPL diperkirakan akan menyebabkan gangguan terhadap

kondisi terumbu karang karena zooxantela yang bersimbiosis dengan terumbu

karang mengalami stress sehingga karang akan terlihat berwarna keputihan yang

biasa dikenal dengan istilah bleaching. Terjadinya perubahan suhu yang ≥ 2 P

o

P

C

SPL telah terbukti merusak terumbu karang seperti yang dilaporkan di Great

Barrier Reef. Distribusi vertikal suhu di perairan Togean menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu dari permukaan hingga kedalam 40 m dengan perbedaan

suhu sekitar 2 P

o

P

C. Pola perubahan suhu secara vertikal di 16 stasiun relatif sama. Hasil penyelaman di lapang menunjukkan bahwa terumbu karang masih banyak ditemukan di kedalaman sekitar 40 m (CII 2007).

Hasil penelitian BRPL tahun 2004, menunjukkan bahwa distribusi spasial salinitas diperairan Togean pada musim timur bervariasi antara 33.90-35.00 psu. Umumnya salinitas di bagian utara lebih rendah dibandingkan dengan bagian selatan perairan Togean. Secara spasial terlihat perbedaan, umumnya salinitas di wilayah yang lebih dekat dengan mulut sungai lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain, dengan perbedaan salinitas sekitar 0,3 psu. Pola distribusi vertikal salinitas menunjukkan bahwa salinitas semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman dimana pada kedalaman sekitar 40 meter mengalami peningkatan

sekitar 0,3 psu.

Hasil studi biologi terhadap ekosistem hutan bakau oleh Ditjen P3K (2004), dikawasan Togean ditemukan sekitar 33 spesies tanaman bakau yang

terdiri dari 19 spesies bakau sejati (true mangrove) dan 14 spesies bakau ikutan

(assosiate mangrove). Tanaman mangrove dari jenis api-api (Aviceenia sp.) dan

bakau (Rizophora mucronata) banyak mendominasi kawasan pesisir Togean.


(30)

14

bentuk spot kecil dengan daerah penyebaran terbanyak terdapat di bagian selatan dan timur. Di daratan utama bakau tumbuh dengan baik yang ditandai dengan hadirnya anakan dalam bentuk koloni dan semai yang menempati bagian depan berbatasan dengan laut.

Ekosistem lamun menempati areal luas di lingkungan perairan Togean. Daerah penyebarannya terutama di bagian selatan dan timur Pulau Togean. Ketebalan padang lamun di perairan umumnya kurang dari 20 meter. Keberadaan lamun di bagian timur perairan Togean dikarenakan pantai timur relatif terlindung.

Padang lamun yang terdapat di perairan Togean didominasi jenis Enhalus sp.,

Thalassia sp., Syringodium sp. dan Halaphila sp. kondisi tersebut disebabkan sistem perakaran yang kuat dibandingkan dengan jenis lainnya, disamping itu

ketahanan hidupnya juga cukup tinggi. Padang lamun merupakan salah satu

ekosisitem laut dangkal daerah tropis, termasuk perairan kepulauan Togean-Poso dengan susunan utama dari tumbuhan berbunga (Angiospermae). Susunan subtrat yang dapat mendukung biota ini adalah jenis-jenis liat sampai dengan berpasir dan hidup dengan lebat terutama pada lingkungan yang relatif dipengaruhi gelombang yang rendah. Organisme ini juga dapat pula tumbuh pada sela-sela lingkungan karang berpasir. Ekosistem ini mempunyai ciri sebagai lingkungan yang kaya akan zat hara sehingga mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga dapat menopang kehidupan berbagai jenis organisme yang hidup di dalamnya. Hal ini disebabkan karena lingkungan atau ekosistem bentukannya mampu menetralisir padatan tersuspensi bahkan terlarut untuk terserap pada muka daun.

Fungsi padang lamun adalah sebagai perangkap sedimen dan menstabilkan dasar perairan sehingga sedimen yang berasal dari daratan dapat bertahan dan tidak masuk ke ekosistem terumbu karang. Fungsi lainnya adalah sebagai tempat berpijah, berlindung, mencari makanan dan tempat asuhan atau pembesaran bagi

beberapa jenis ikan, udang, dan hewan invertebrata lainnya. Tanaman seagrasses

yang dapat hidup dengan ciri lingkungan fisik demikian, memberikan keuntungan-keuntungan internal terutama terkait dngan kebutuhan hidup fisiologisnya. Ini dapat dijelaskan bahwa partikel-partikel tersuplai dari darat merupakan material dengan campuran organik dan anorganik yang sangat kental.


(31)

Adanya terumbu karang, menyebabkan terhambatnya laju gelombang

menuju pantai. Terumbu karang (coral reefs) merupakan komunitas organisme

yang hidup di dasar perairan laut dangkal daerah tropis. Perlu dibedakan bahwa

binatang karang (reef coral) adalah sebagai individu organisme atau komponen

komunitas, sedangkan terumbu karang (coral reefs) adalah sebagai suatu

ekosistem yang di dalamnya termasuk organisme-organisme karang. Terdapat

dua tipe karang yaitu: karang yang membentuk bangunan kapur atau hermatypic

corals, dan karang yang tidak dapat membentuk bangunan kapur atau

ahermatypic corals (Supriharyono 2000). Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang sehingga sering dikenal sebagai

reef-building corals. Karang jenis ini bersimbiosis dengan algae zooxanthellae

untuk membentuk bangunan kapur, sehingga hanya terdapat di daerah tropis;

sedangkan jenis ahermatypic tidak bersimbiosis dengan zooxanthellae sehingga

dapat tersebar luas di seluruh dunia dan bersifat karnivor (Nybakken 1992).

Perairan Togean memiliki keunikan terumbu karang, yaitu dengan

dijumpainya 4 tipe terumbu karang, yakni : fringing reef, barrier reef, atol, dan

patch reef. Keempat tipe tersebut dijumpai pada areal yang berdekatan satu dengan lainnya. Terumbu karang pinggiran mengelilingi tepian pulau pulau atau semenanjung pulau utama. Terumbu karang tumpuk, melimpah dan tersebar luas di seluruh area, baik yang muncul di atas air atau dibawa permukaan dengan bentuk bervariasi. Terumbu karang tumpuk mini ditemukan di sebelah timur Togean antara Pulau Talatakoh dan Waleabahi. Pertumbuhan karang terbaik dan perluasan terumbu penghalang yang luas terdapat di sepanjang tepi utara Togean, sekitar 2-3 km dari pantai antara Pulau Malenge dan ujung barat Pulau Batudaka.

Beberapa jenis karang yang ditemukan di perairan Togean antara lain : Acropora

sp., Montipora sp., Porites, Fungia, Favona, Leptoseris, Lobophyllia, Echinopora,

Favia dan Pectina. Sebagai kawasan kepulauan, perairan Togean mempunyai potensi sumber daya ikan yang relatif besar. Potensi perikanan yang ada diantaranya ikan pelagis, ikan demersal dan ikan karang. Jenis ikan yang ditemui antara lain adalah ikan layang, kembung, tongkol, kakap merah, kerapu, lobster dan lain sebagainya (Ditjen P3K 2004). Sayangnya, akhir-akhir ini menurut Awad (2002) yang dilaporkan harian Republika, sedikitnya 15 gugusan karang di


(32)

16

Kepulauan Togean dengan luas total lebih dari 100 hektar rusak parah. Kerusakan ini menurutnya adalah dampak dari maraknya aksi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dalam 10 tahun terakhir.

2.2 Teknologi Satelit Penginderaan Jauh

Teknologi satelit penginderaan jauh adalah teknologi untuk mendapatkan data dari obyek, proses atau fenomena yang diukur melalui sensor tanpa mengenai atau bersentuhan dengan obyek tersebut (Jaya 2007; Lellisand and Kiefer 1987). Lebih jauh Jaya (2007) menyatakan bahwa sensor yang digunakan dapat berupa sensor aktif (memancarkan) maupun sensor pasif (menerima) dengan memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Selanjutnya, dari interaksi gelombang elektromagnetik yang diserap maupun dipantulkan oleh medium air dapat digunakan untuk memperoleh gambaran yang rinci maupun umum, tergantung resolusi (ketajaman) sensor yang digunakan, tentang objek atau daerah yang diamati.

Hendarti (2003) mengartikan, penginderaan jauh warna air laut adalah salah satu cara untuk mengetahui keadaan laut dan proses-proses yang terjadi di

dalamnya berdasarkan nilai konsentrasi dari water-leaving radiance yang

merupakan hasil interaksi antara radiasi sinar matahari dan perairan yang diterima oleh satelit. Selanjutnya Jerlov and Nielsen (1974) yang diacu dalam Hendarti (2003) mencatat bahwa sensor pada satelit menerima pantulan radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh atmosfer, dimana sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul udara dan

aerosol. Sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti fitoplankton,

sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow

subtances). Pada perairan dangkal, pantulan dari dasar perairan juga berpengaruh terhadap pantulan pada permukaan perairan. Pada saat mengirimkan informasi kembali ke satelit, juga akan dipengaruhi oleh atmosfer.


(33)

Perambatan (transmisi) warna-warna sinar di dalam air sangat dipengaruhi oleh sifat optik dan material-material yang terlarut di dalamnya (Basmi 1999). Untuk melakukan pengukuran kualitas air, Robinson (1985) membagi perairan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat optisnya yaitu perairan kasus satu dan perairan kasus dua. Perairan kasus satu adalah perairan yang sifat optisnya didominasi oleh fitoplankton. Perairan kasus kedua didominasi oleh sedimen

tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow subtances).

Perairan kasus satu menurut Gaol (1997) biasanya ditemukan di perairan lepas pantai yang tidak dipengaruhi oleh zona perairan dangkal dan sungai sedangkan perairan kasus dua biasanya ditemukan di perairan dangkal.

Spektrum sinar yang penting untuk tumbuhan laut adalah sinar tampak yang memiliki panjang gelombang 400 nm – 720 nm disebut juga sebagai

photosynthetically available radiation (PAR). Panjang gelombang spektrum ini

hampir sama dengan panjang gelombang spektrum cahaya tampak (visible light)

yaitu 360 nm – 780 nm (Parson et al. 1977 yang diacu dalam Gaol 1997).

Barnes and Hughes (1988) menyatakan bahwa kandungan klorofil-a yang terkandung dalam fitoplankton dapat dideteksi dari sensor satelit yang bekerja pada panjang gelombang sinar tampak. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa klorofil-a merupakan pigmen yang mampu melakukan fotosintesis. Jumlah klorofil-a yang ada di perairan laut umumnya dapat dilihat dari jumlah fitoplankton yang ada di perairan tersebut. Absorpsi cahaya maksimum menurut Lee (1980) oleh klorofil-a bersama pelarutnya terjadi pada panjang gelombang 430 nm dan 663 nm.

Banyak penelitian mengenai klorofil-a yang telah dilakukan oleh beberapa

peneliti dengan menggunakan data satelit, seperti yang dilaporkan oleh Prasasti et

al. (2003) yang menggunakan satelit Terra MODIS untuk menenetukan nilai

konsentrasi klorofil-a yang diekstraksi dari rasio kanal 9 dengan kanal 12. Kanal 9 (443 nm) bekerja pada daerah sinar biru, sedangkan kanal 12 (551 nm) bekerja pada sinar hijau. Penyerapan energi oleh klorofil-a pada kanal 9 adalah tinggi yang mengakibatkan pantulan pada kanal ini rendah. Oleh karena itu, jika ratio antara reflektansi panjang gelombang 443 nm dengan 551 nm rendah, maka konsentrasi klorofilnya tinggi. Amri (2002) menggunakan citra satelit SeaWiFS


(34)

18

(Sea viewing Wide Field of view Sensor) untuk menentukan sebaran klorofil-a di perairan Selat Sunda.

Suhu permukaan laut (SPL) banyak mendapat perhatian dalam kajian kelautan karena data suhu ini dapat dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala

fisika di dalam laut seperti keberadaan thermal front, upwelling ataupun dalam

kaitannya dengan kehidupan hewan dan tumbuhan (Nontji 2002). Secara alami, lapisan air di permukaan laut akan lebih hangat karena menerima radiasi matahari pada siang hari. Lapisan ini memiliki ketebalan tertentu sebelum mencapai lapisan yang lebih dingin di bawahnya. Suhu air di lapisan ini dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. Oleh karena itu, suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman.

Suhu permukaan laut adalah salah satu parameter oseanografi yang sangat penting. Dari pola distribusi citra suhu permukaan laut dapat dilihat fenomena

oseanografi seperti upwelling, front dan pola arus permukaan. Daerah yang

mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan yang subur tersebut maka daerah penangkapan ikan dapat diketahui. Penentuan suhu permukaan laut dari satelit dilakukan dengan radiasi infra merah pada panjang gelombang 3 μm – 14 μm. Pengukuran spektrum infra merah yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan sampaikedalaman 0,1 mm (Robinson 1985).

Penelitian tentang sebaran suhu permukaan laut pada awalnya

menggunakan kanal infra merah jauh dari satelit NOAA-AVHRR (National

Oceanic Athmosphere and Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer) yang terdiri dari 5 kanal. Namun dengan diluncurkannya satelit baru,

yakni satelit Aqua yang membawa sensor multi spektral MODIS (Moderate

Resolution Imaging Spektroradiometer), pengamatan untuk perairan Teluk Tomini pada musim barat dan timur menggunakan citra Aqua MODIS.

Satelit NOAA hanya mendeteksi sebaran suhu permukaan laut (SPL), satelit SeaWiFS hanya mendeteksi sebaran klorofil-a, sedangkan satelit Aqua


(35)

MODIS mampu mendeteksi baik sebaran suhu permukaan (SPL) maupun sebaran klorofil-a sehingga dalam mendukung tulisan ini digunakan satelit Aqua MODIS.

CII (2007) juga mencatat distribusi spasial suhu permukaan laut (SPL) rata-rata bulanan di perairan Togean dengan menggunakan citra satelit Aqua MODIS menunjukkan di perairan bagian utara lebih rendah dari perairan bagian selatan Kepulauan Togean, sedangkan rata-rata konsentrasi klorofil-a bervariasi

antara 0,1-0,2 mg/mP

3

P

.

2.3 Armada Perikanan

Armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan

kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah penangkapan (fishing ground). DKP

(2003) mendefinisikan suatu armada perikanan merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan. Monintja (2000) menyatakan armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Kapal perikanan sebagaimana yang diartikan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 adalah kapal, perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, pelatihan dan penelitian atau eksplorasi perikanan.

Struktur armada penangkapan ikan yang terdapat di wilayah Kepulauan Togean sangatlah bervariasi baik untuk perikanan pelagis maupun demersal. Sebagaimana halnya ciri perikanan di Indonesia pada umumnya yang didominasi oleh perikanan rakyat yang berskala kecil, maka hal yang sama dijumpai pula di Kepulauan Togean. Struktur armada dan produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean kurun waktu 1998 – 2005 ditunjukkan pada Tabel 1.


(36)

20

Tabel 1 Struktur armada dan produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean 1998 – 2005.

Armada penangkapan

Tahun Tanpa motor Motor tempel Kapal motor Produksi (ton)

1998 1242 547 3 1006.3

1999 1349 653 6 1030.5

2000 1493 812 8 1071.1

2001 1638 1018 5 917.6

2002 1627 1085 9 754.5

2003 1702 1067 8 734.7

2004 1744 1050 9 790.2

2005 1791 1071 6 825.2

Sumber : DKP Sulteng 2006

Berdasarkan informasi dari tabel di atas, maka jumlah armada penangkap-an ypenangkap-ang ada kurun waktu delappenangkap-an tahun terakhir (1998 – 2005) mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun, dari kategori besarnya usaha penangkapan peningkatannya dapat dikatakan tetap kecuali kapal motor. Sedangkan, untuk produksi perikanan tangkap, secara rata-rata mengalami penurunan hanya pada tahun 2000 dan 2005 saja yang terjadi peningkatan produksi. Struktur armada yang ada di provinsi Sulawesi Tengah didominasi oleh

perikanan skala kecil (small scale fisheries) sehingga, aktifitas pemafaatan sumber

daya hanya berorientasi pada perairan terbatas dan alat tangkap yang digunakan juga sangat sederhana.

Alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap sumberdaya demersal yaitu pancing, gillnet dan bubu (DKP Sulteng 2006). Disamping itu masih ada pula beberapa alat tangkap lain yang juga dapat menangkap ikan demersal seperti pukat pantai dan sero. Namun dari sejumlah alat tangkap tersebut, ketiga alat tangkap yang disebutkan lebih dahulu lebih efektif dan efisien dari alat tangkap lainnya dalam memanfaatkan sumber daya demersal. Sehingga dalam penelitian ini hanya dikaji adalah ketiga alat tangkap tersebut (pancing, gillnet dasar dan bubu). Jenis, jumlah alat tangkap ikan demersal dan jumlah trip operasi di Kepulauan Togean ditunjukkan pada Tabel 2.


(37)

Tabel 2 Jenis, jumlah alat tangkap ikan demersal dan trip oprasi di Kepulauan Togean tahun 2005

No. Jenis alat Jumlah (unit) Jumlah trip

1. Pancing Dasar 896 138,383

2. Rawai tetap 8 2,709

3. Bubu 8 4,224

4. Jaring insang dasar 102 16,463

5. Pukat pantai 1 605

6. Sero 1 -

Sumber : DKP Sulteng 2006

Pancing dasar, bubu, dan jaring insang dasar merupakan alat tangkap yang

dominan digunakan, hal ini mengindikasikan bahwa perikanan tangkap yang berkembang di sana adalah alat tangkap yang sederhana, murah dan mudah dalam pengoperasiannya. Bagian-bagian pokok dari suatu alat tangkap pancing dasar

terdiri dari mata pancing, tali pancing, pemberat dan umpan (Gabriel et al. 2005).

Dinyatakan pula bahwa alat tangkap ini sering dilengkapi dengan swivel dan

umpan khusus.

Martasuganda (2003), mengungkapkan bahwa teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu banyak dilakukan di hampir seluruh dunia mulai dari yang skala kecil, menengah sampai dengan yang skala besar. Untuk skala kecil dan menengah umumnya banyak dioperasikan diperairan pantai yang belum maju sistem perikanannya, sedangkan untuk skala besar banyak dilakukan oleh negara yang telah maju sistem perikanannya. Perikanan bubu skala kecil umumnya ditujukan untuk menangkap kepiting, udang dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu dalam, sedangkan untuk perikanan bubu skala menengah atau skala besar biasanya dioperasikan di lepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan dasar, kepiting atau udang pada kedalaman ≥ 20 meter. Meskipun bubu dasar tergolong alat tangkap yang produktif untuk menangkap ikan demersal namun dalam pengembangannya masih perlu dimodifikasi agar tingkat selektivitasnya meningkat. Modifikasi seperti yang dilakukan Purbayanto

et al. (2006) yakni alat tangkap bubu dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping

gap) agar ikan yang belum layak tertangkap dapat lolos dengan mudah tanpa

terluka. Bubu yang umum digunakan di Kepulauan Togean adalah berbentuk


(38)

22

semua jenis bubu biasanya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang diperkirakan banyak ikan yang akan dijadikan target tangkapan. Pemasangan bubu dapat dilakukan dengan sistem pemasangan tunggal dan juga yang dipasang sistem rawai.

Jaring insang adalah suatu jenis alat penangkap ikan yang berbentuk empat persegi panjang, dimana ukuran mata jaringnya sama, jumlah mata jaring ke arah

panjang (mesh length) jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah

dalam (mesh depth). Bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung

(floats) dan bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan, maka jaring akan terbuka saat dioperasikan (Martasuganda 2002). Lebih jauh dikatakan bahwa berdasarkan cara pengoperasian, jaring insang dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu :

(1) jaring insang tetap (fixed gillnet atau set gillnet);

(2) jaring insang hanyut (drift gillnet);

(3) jaring insang lingkar (encircling gillnet);

(4) jaring insang giring (frightening gillnet atau drive gillnet);

(5) jaring insang sapu (rowed gillnet).

Dari ke lima jenis tersebut, hanya jaring insang tetap yang dioperasikan di

dasar perairan (bottom set gillnet) yang dapat menangkap ikan demersal,

sedangkan jenis yang lainnya ditujukan untuk menangkap ikan pelagis ataupun ikan yang hidup kolom perairan (antara dasar dan permukaan).

2.4 Perikanan dan Stok Sumber Daya Demersal

Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan mendefinisikan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Undang-undang tersebut juga merinci tentang pengelolaan perikanan itu sendiri yakni semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang


(39)

dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Sumberdaya ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat dengan dasar perairan. Ciri utama sumberdaya ikan demersal tersebut (Aoyama 1973) antara lain : memiliki aktivitas yang relatif rendah, gerak ruaya yang tidak jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga penyebarannya relatif lebih merata dibandingkan dengan ikan pelagis. Karena aktivitasnya yang rendah dan gerak ruaya yang tidak jauh, maka daya tahan terhadap tekanan penangkapan relatif rendah sehingga apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali misalnya, maka mortalitas penangkapannya pun akan meningkat dua kali.

Menurut Badrudin dan Tampubolon (1997), perikanan demersal Indonesia merupakan tipe perikanan multi-jenis yang dieksploitasi dengan menggunakan

berbagai jenis alat tangkap (multigear). Hasil tangkapan ikan demersal biasanya

terdiri dari berbagai jenis yang jumlah dari masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar (DKP Sulteng 2005). Badruddin dan Sumiono (2004) menginformasikan bahwa berbagai jenis ikan demersal yang umum seperti kakap merah, bawal putih, manyung, kuniran, gulamah, layur dan peperek biasanya ditangkap dengan alat tangkap yang dioperasikan di dasar perairan seperti rawai dasar, jaring insang dasar, jaring klitik (trammel net) dan bubu serta pancing dasar. Ukuran dari suatu stok ikan dalam suatu perairan dapat dinyatakan dalam

jumlah atau berat total individu. Baik jumlah maupun berat (biomassa) suatu stok

ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh sebab itu dalam menduga ukuran stok ikan sering digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai

densitas atau kelimpahan (Widodo et al. 1997). Dengan densitas atau kelimpahan,

umumnya diartikan sebagai jumlah atau berat individu per satuan area atau per satuan upaya penangkapan, sedangkan satuan yang sering digunakan ialah hasil

tangkapan per unit upaya (catch per unit effort, CPUE) dari suatu alat tangkap

atau alat sampling tertentu.

Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam hal lingkungan, proses rekruitmen, pertumbuhan, kegiatan penangkapan,


(40)

24

populasi organisme mangsa (prey), pemangsa (predator) atau persaingan

(competitor). Selanjutnya perubahan ukuran stok atau ukuran beberapa bagian tertentu dari stok dalam kurun waktu tertentu, dapat digunakan sebagai data statistik kasar untuk mengestimasi laju kematian atau laju kelangsungan hidup (survival rate) dari stok yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam menganalisis sumber daya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan dan perumusan strategi pengelolaannya.

Menurut RAMM (1995) yang diacu oleh Badruddin dan Tampubolon (1997), perairan dangkal dengan kondisi dasar rata, dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir sampai dengan kedalaman sekitar 100 meter, merupakan daerah penangkapan sumber daya demersal yang potensial. Daerah penangkapan ikan demersal dengan kedalaman lebih dari 100 meter biasanya dihuni oleh beberapa jenis ikan demersal laut dalam seperti kakap merah atau kurisi besar (Pristipomoides spp., Etelis spp., Aprion spp., dan Glabrilutjanus spp).

Stok merupakan konsep dasar dalam mendeskripsikan dinamika suatu sumber daya perairan yang dieksploitasi. Sparre and Venema (1998) menyatakan bahwa suatu stok adalah sub gugus dari suatu “spesies” yang umumnya dianggap sebagai unit taksonomi dasar. Lebih jauh dinyatakan bahwa stok diartikan sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama, dan menghuni suatu wilayah geografis tertentu. Terhadap definisi ini dapat kita tambahkan bahwa stok adalah kelompok hewan yang terpisah yang menunjukkan sedikit percampuran dengan kelompok sekelilingnya. Salah satu sifat utamanya adalah bahwa parameter pertumbuhan dan mortalitas tetap konstan untuk seluruh wilayah sebaran stok tersebut, sehingga kita dapat menggunakannya untuk melakukan kajian stok. Prasyarat untuk identifikasi stok adalah kemampuan untuk memisahkan spesies yang berbeda.

Cushing (1968) mendefinisikan stok sebagai sesuatu yang memiliki daerah pemijahan tunggal dimana hewan dewasanya akan kembali dari tahun ke tahun. Larkin (1972) mendefinisikan stok sebagai suatu populasi organisme yang


(41)

memiliki kemampuan gen yang sama, cukup terpisah yang menjamin pertimbangan sebagai suatu sistem mandiri yang kekal yang dapat dikelola.

Ihssen et al. (1981) mendefinisikan stok sebagai suatu kelompok interspesific dari

individu-individu yang berhubungan secara acak dalam kesatuan menyeluruh menurut waktu dan ruang.

Ricker (1975) mendefinisikan stok sebagai bagian dari suatu populasi ikan yang berada dibawah pertimbangan pandangan dalam pemanfaatannya baik secara aktual maupun potensial. Definisi tersebut mencerminkan suatu kompleksitas pendekatan yang berbeda terhadap konsep stok. Barangkali definisi yang paling cocok dalam konteks pengkajian stok adalah yang dikemukakan oleh Gulland (1983) yang menyatakan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, definisi suatu stok merupakan masalah operasional, yakni suatu sub kelompok dari satu spesies dapat diperlakukan sebagai satu stok jika perbedaan-perbedaan dalam kelompok tersebut dan pencampuran dengan kelompok lain mungkin dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang tidak absah.

Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan dimana kita dapat memprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian hewan, yakni jumlah kematian per unit waktu. Parameter mortalitas yang dimaksud adalah mortalitas penangkapan yang mencerminkan kematian yang dikarenakan oleh penangkapan, sedangkan mortalitas alami yang merupakan kematian karena sebab-sebab lain (pemangsaan, penyakit dll).

Sifat utama suatu stok adalah jika parameter pertumbuhan dan mortalitas tetap konstan di seluruh wilayah penyebarannya. Sebagai contoh, kita coba pisahkan suatu wilayah menjadi dua, subwilayah A dan B sebagai berikut :

Sub Wilayah Sub Wilayah A B

Parameter pertumbuhan dan mortalitas di sub wilayah A dan B harus sama, atau dengan kata lain memiliki syarat sebagai berikut : (1) ikan di subwilayah A harus mempunyai laju pertumbuhan yang sama dengan ikan yang ada di subwilayah B; (2) ikan di subwilayah A harus mempunyai peluang kematian yang sama dengan


(42)

26

ikan yang ada di subwilayah B. Jika penangkapan hanya berlangsung di subwilayah A, maka dianggap bahwa tiap individu ikan dalam stok mempunyai peluang yang sama untuk ditemukan di subwilayah B dan karenannya mempunyai peluang yang sama untuk tertangkap. Individu-individu tersebut harus dapat bergerak bebas antara kedua subwilayah tersebut.

Untuk menentukan bahwa suatu spesies membentuk satu atau lebih stok, maka kita harus mengetahui daerah pemijahan, parameter pertumbuhan serta mortalitas dan sifat-sifat morfologi dari genetiknya. Kita juga harus memban-dingkan pola penangkapan diberbagai wilayah dan melakukan studi penandaan (Sparre and Venema 1998). Prosesnya memang rumit dan sering dengan pengetahuan yang ada tidak mungkin dapat menentukan apakah terdapat beberapa stok dari spesies tersebut atau tidak. Ada dua alasan pokok yang menyebabkan tidak tepatnya penentuan suatu stok :

(1) Wilayah sebaran stok secara keseluruhan tidak diliputi dan hanya sebagian dari stok yang diteliti, atau sebaliknya

(2) Beberapa stok yang terpisah digabungkan, misalnya karena wilayah sebarannya tumpang tindih.

Tersedianya data dan informasi secara spasial dan temporal merupakan

salah satu faktor pendukung keberhasilan dalam usaha penangkapan dan

pengelolaan sumberdaya ikan. Informasi sebaran ikan secara spasial bisa

diartikan sebagai keberadaan ikan di suatu perairan tertentu, sedangkan informasi

temporal diartikan sebagai keberadaan ikan pada waktu tertentu. Dengan demikian, informasi tentang sumberdaya ikan secara spasial dan temporal adalah informasi yang menjelaskan keberadaan sumberdaya ikan pada suatu perairan

tertentu dan waktu atau musim tertentu (Merta et al. 2004).

Keberadaan populasi ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh dua faktor,

yaitu faktor internal dan eksternal. Dalam konsep biologi ikan, Merta et al.

(2004) mengemukakan bahwa faktor-faktor tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu faktor yang bersifat biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi proses biologi yang terjadi akibat pengaruh dari dalam tubuh ikan, sebagai respons terhadap perubahan lingkungan dimana ikan tersebut berada, dan pengaruh dari luar. Respon ikan terhadap pengaruh dari luar terjadi dalam bentuk


(43)

interaksi antar organisme yang menghuni perairan tempat populai ikan berada (habitat). Interaksi tersebut bisa terjadi dalam bentuk hubungan pemangsaan (predator-prey) atau persaingan makanan (food competition). Faktor abiotik adalah faktor-faktor lingkungan perairan yang lebih bersifat fisik dan kimia seperti klimatologi, arus, ketersediaan unsur hara, oksigen, nitrat, fospat dan salinitas. Kedua faktor (biotik dan abiotik) perairan tersebut merupakan unsur

utama yang menentukan tinggi-rendahnya kelimpahan (abundance) suatu

populasi atau stok sumberdaya ikan di suatu perairan.

Sebagian besar nelayan selalu memperhatikan cuaca dan unsur-unsur terkait lainnya yang berhubungan dengan keberadaan ikan di suatu lokasi serta kedalaman perairan tertentu. Selanjutnya, nelayan akan menyesuaikan cara penangkapan sesuai dengan kondisi cuaca suatu perairan dengan tujuan memperoleh hasil tangkapan yang lebih baik. Pengetahuan praktis tentang

perilaku pengelompokan ikan dan ketersediaannya (availability) untuk ditangkap

meliputi lokasi, jenis (spesies), musim dan alat tangkap yang digunakan. Berdasarkan data statistik perikanan Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2006 jenis, produksi dan prosentase beberapa komoditas perikanan demersal ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Beberapa jenis ikan demersal, produksi dan prosentase di Kepulauan Togean tahun 2006

No. Jenis ikan *) Produksi (ton) Prosentase

1. Biji nangka (Upeneus sp.) 51.5 6.24

2. Bambangan (Lethrinus sp.) 79.8 9.67

3. Kerapu (Epinephelus spp.) 87.9 10.65

4. Lencam (Gymnocranius sp.) 63.3 7.67

5. Kakap (Lutjanus sp.) 82.5 10.00

6. Kurisi (Nemipterus sp.) 28.3 3.43

7. Swanggi (Priacanthus sp.) 27.4 3.32

8. Ekor kuning (Caesio sp.) 210.6 25.52

9. Gulama (Etelis spp.) 25.2 3.05

10. Cucut (Eugomphodus sp.) 10.9 1.32

11. Pari (Dasyatis sp.) 13.7 1.66

12. Bawal hitam (Formio sp.) 12.6 1.53

13. Bawal putih (Pampus sp.) 20 2.42

14. Alu-alu (Spyraena spp.) 29.7 3.60

15. Kuwe (Caranx spp.) 81.8 9.91

Sumber : DKP Sulteng 2006 (diolah)


(44)

28

Persentase terbesar dari lima belas jenis ikan demersal (Tabel 3) yang

diproduksi di Kepulauan Togean adalah ekor kuning (Caesio sp.), kerapu

(Epinephelus sp.), kakap (Lutjanus sp.), kuwe (Caranx spp.) dan bambangan (Lethrinus sp.). Kelima sumber daya demersal ini tergolong ikan ekonomis penting yang sering tertangkap (Peristiwady 2006). Mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi karena cita rasanya yang khas dan digemari masyarakat konsumen.

2.5 Metode Hidroakustik

Peralatan hidroakustik yang digunakan untuk pendeteksian ikan pertama kali dilakukan oleh nelayan Norwegia. Pengetahuan hidroakustik ini mengalami perkembangan yang luar biasa selama Perang Dunia II sebagai alat pendeteksi kapal selam. Setelah perang perang berakhir, pengetahuan tentang hidroakustik diaplikasikan untuk mendeteksi ikan secara intensif meskipun hasilnya belum

terwujudkan secara kuantitatif. Nelayan saat itu hanya menterjemahkan echogram

dari hasil echosounder ke dalam estimasi hasil tangkapan (Widodo 1997).

Setelah ditemukannya integrator gema (echo-integrator) secara digital

yang mampu mengkuantifikasikan hasil pengamatan akustik, maka hidroakustik dapat diaplikasikan untuk pendugaan stok ikan (Johanneson and Mitson 1983). Selanjutnya dinyatakan bahwa metoda akustik dapat digunakan untuk menduga keberadaan ikan, baik ikan pelagis maupun demersal. Di Indonesia pemanfaatan metode hidroakustik untuk pengkajian stok sumberdaya ikan dimulai sejak tahun 1972 dengan menggunakan kapal penelitian lemuru milik FAO bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perikanan Laut dan Direktorat Jenderal Perikanan (Venema 1996 diacu dalam Wudianto 2001).

Meskipun penggunaan metode hidroakustik untuk pendugaan stok

sumberdaya perikanan secara digital hasilnya mampu dikuantifikasikan dengan ditemukannya integrator gema, namun terdapat kelebihan dan kekurangannya. Thorne (1983) yang dikutip Wudianto (2001) mengungkapkan beberapa kelebihan metode hidroakustik dibanding dengan metode lain, yaitu antara lain : (1) dengan metode hidroakustik tidak tergantung pada ketersediaan data statistik perikanan seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan, (2) memiliki skala waktu yang lebih baik, (3) biaya operasional relatif rendah, (4) hasilnya memiliki ragam


(1)

Kapal 33 0.95

Hasil tangkapan (Kg) 25.00 26.28 1.28 5.12

Lama panangkapan (jam) 3.00 3.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 20.00 18.84 -1.16 -5.80

BBM per trip (liter) 12.00 7.07 -4.93 -41.08 Jumlah mata pancing (buah) 5.00 3.62 -1.38 -27.60 Biaya operasional (Rp) 165000.00 165000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 497500.00 497500.00 0.00 0.00 Kapal 34 1.00

Hasil tangkapan (Kg) 23.00 23.00 0.00 0.00

Lama panangkapan (jam) 3.00 3.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 22.00 22.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 6.00 6.00 0.00 0.00

Jumlah mata pancing (buah) 3.00 3.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 125000.00 125000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 680000.00 680000.00 0.00 0.00 Kapal 35 0.83

Hasil tangkapan (Kg) 25.00 30.00 5.00 20.00

Lama panangkapan (jam) 5.00 3.00 -2.00 -40.00

Jumlah trip/bulan 20.00 18.00 -2.00 -10.00

BBM per trip (liter) 11.50 8.00 -3.50 -30.43 Jumlah mata pancing (buah) 5.00 4.00 -1.00 -20.00 Biaya operasional (Rp) 250000.00 210000.00 -40000.00 -16.00 Keuntungan (Rp) 540000.00 540000.00 0.00 0.00 Kapal 36 1.00

Hasil tangkapan (Kg) 24.00 24.00 0.00 0.00

Lama panangkapan (jam) 4.00 4.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 20.00 20.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 6.50 6.50 0.00 0.00

Jumlah mata pancing (buah) 4.00 4.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 100000.00 100000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 752000.00 752000.00 0.00 0.00


(2)

Kapal 37 0.66

Hasil tangkapan (Kg) 15.00 22.62 7.62 50.80

Lama panangkapan (jam) 6.00 3.00 -3.00 -50.00

Jumlah trip/bulan 26.00 23.15 -2.85 -10.96

BBM per trip (liter) 14.00 12.94 -1.06 -7.57 Jumlah mata pancing (buah) 7.00 3.01 -3.99 -57.00 Biaya operasional (Rp) 110000.00 110000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 535000.00 535000.00 0.00 0.00 Kapal 38 0.57

Hasil tangkapan (Kg) 12.00 21.25 9.25 77.08

Lama panangkapan (jam) 4.00 3.00 -1.00 -25.00

Jumlah trip/bulan 25.00 19.75 -5.25 -21.00

BBM per trip (liter) 12.00 5.38 -6.62 -55.17 Jumlah mata pancing (buah) 5.00 3.13 -1.87 -37.40 Biaya operasional (Rp) 105000.00 105000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 435000.00 435000.00 0.00 0.00 Kapal 39 0.62

Hasil tangkapan (Kg) 15.00 24.20 9.20 61.33

Lama panangkapan (jam) 5.00 3.00 -2.00 -40.00

Jumlah trip/bulan 25.00 20.90 -4.10 -16.40

BBM per trip (liter) 15.00 9.65 -5.35 -35.67 Jumlah mata pancing (buah) 5.00 3.30 -1.70 -34.00 Biaya operasional (Rp) 135000.00 135000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 510000.00 510000.00 0.00 0.00 Kapal 40 0.90

Hasil tangkapan (Kg) 22.00 24.39 2.39 10.86

Lama panangkapan (jam) 3.00 3.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 20.00 19.00 -1.00 -5.00

BBM per trip (liter) 8.00 8.00 0.00 0.00

Jumlah mata pancing (buah) 4.00 3.38 -0.62 -15.50 Biaya operasional (Rp) 140000.00 140000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 493500.00 493500.00 0.00 0.00


(3)

Kapal 41 1.00

Hasil tangkapan (Kg) 30.00 30.00 0.00 0.00

Lama panangkapan (jam) 3.00 3.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 18.00 18.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 8.00 8.00 0.00 0.00

Jumlah mata pancing (buah) 4.00 4.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 210000.00 210000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 540000.00 540000.00 0.00 0.00 Kapal 42 0.88

Hasil tangkapan (Kg) 18.00 20.50 2.50 13.89

Lama panangkapan (jam) 4.00 3.11 -0.89 -22.25

Jumlah trip/bulan 20.00 20.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 6.00 5.39 -0.61 -10.17

Jumlah mata pancing (buah) 3.00 3.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 145000.00 101000.00 -44000.00 -30.34 Keuntungan (Rp) 512000.00 512000.00 0.00 0.00 Kapal 43 0.80

Hasil tangkapan (Kg) 16.00 20.00 4.00 25.00

Lama panangkapan (jam) 3.00 3.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 21.00 20.00 -1.00 -4.76

BBM per trip (liter) 7.00 5.00 -2.00 -28.57

Jumlah mata pancing (buah) 4.00 3.00 -1.00 -25.00 Biaya operasional (Rp) 90000.00 90000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 420000.00 420000.00 0.00 0.00 Kapal 44 0.83

Hasil tangkapan (Kg) 19.00 23.01 4.01 21.11

Lama panangkapan (jam) 6.00 3.00 -3.00 -50.00

Jumlah trip/bulan 25.00 19.75 -5.25 -21.00

BBM per trip (liter) 15.50 6.58 -8.92 -57.55 Jumlah mata pancing (buah) 7.00 3.28 -3.72 -53.14 Biaya operasional (Rp) 125000.00 125000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 464000.00 464000.00 0.00 0.00


(4)

Kapal 45 1.00

Hasil tangkapan (Kg) 20.00 20.00 0.00 0.00

Lama panangkapan (jam) 6.00 6.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 26.00 26.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 14.00 14.00 0.00 0.00

Jumlah mata pancing (buah) 5.00 5.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 132000.00 132000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 408000.00 408000.00 0.00 0.00 Kapal 46 1.00

Hasil tangkapan (Kg) 20.00 20.00 0.00 0.00

Lama panangkapan (jam) 3.00 3.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 20.00 20.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 5.00 5.00 0.00 0.00

Jumlah mata pancing (buah) 3.00 3.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 90000.00 90000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 420000.00 420000.00 0.00 0.00 Kapal 47 0.77

Hasil tangkapan (Kg) 18.00 23.33 5.33 29.61

Lama panangkapan (jam) 5.00 3.00 -2.00 -40.00

Jumlah trip/bulan 24.00 20.92 -3.08 -12.83

BBM per trip (liter) 16.00 9.09 -6.91 -43.19 Jumlah mata pancing (buah) 7.00 3.22 -3.78 -54.00 Biaya operasional (Rp) 125000.00 125000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 496000.00 496000.00 0.00 0.00 Kapal 48 0.85

Hasil tangkapan (Kg) 25.00 29.46 4.46 17.84

Lama panangkapan (jam) 5.00 3.09 -1.91 -38.20

Jumlah trip/bulan 23.00 18.18 -4.18 -18.17

BBM per trip (liter) 16.50 7.86 -8.64 -52.36 Jumlah mata pancing (buah) 7.00 3.00 -4.00 -57.14 Biaya operasional (Rp) 200000.00 200000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 559000.00 559000.00 0.00 0.00


(5)

Kapal 49 0.91

Hasil tangkapan (Kg) 18.00 19.74 1.74 9.67

Lama panangkapan (jam) 4.00 3.28 -0.72 -18.00

Jumlah trip/bulan 19.00 19.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 10.00 5.46 -4.54 -45.40 Jumlah mata pancing (buah) 3.00 3.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 110000.00 99350.00 -10650.00 -9.68 Keuntungan (Rp) 520000.00 520000.00 0.00 0.00 Kapal 50 0.86

Hasil tangkapan (Kg) 19.00 22.20 3.20 16.84

Lama panangkapan (jam) 3.00 3.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 20.00 20.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 12.00 6.52 -5.48 -45.67 Jumlah mata pancing (buah) 4.00 3.19 -0.81 -20.25 Biaya operasional (Rp) 115000.00 115000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 456000.00 456000.00 0.00 0.00 Kapal 51 0.80

Hasil tangkapan (Kg) 24.00 30.00 6.00 25.00

Lama panangkapan (jam) 8.00 3.00 -5.00 -62.50

Jumlah trip/bulan 26.00 18.00 -8.00 -30.77

BBM per trip (liter) 17.00 8.00 -9.00 -52.94 Jumlah mata pancing (buah) 5.00 4.00 -1.00 -20.00 Biaya operasional (Rp) 215000.00 210000.00 -5000.00 -2.33 Keuntungan (Rp) 540000.00 540000.00 0.00 0.00 Kapal 52 0.67

Hasil tangkapan (Kg) 20.00 29.73 9.73 48.65

Lama panangkapan (jam) 6.00 3.05 -2.95 -49.17

Jumlah trip/bulan 24.00 18.09 -5.91 -24.63

BBM per trip (liter) 13.50 7.93 -5.57 -41.26 Jumlah mata pancing (buah) 5.00 4.00 -1.00 -20.00 Biaya operasional (Rp) 205000.00 205000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 549000.00 549000.00 0.00 0.00


(6)

Kapal 53 1.00

Hasil tangkapan (Kg) 15.00 15.00 0.00 0.00

Lama panangkapan (jam) 3.00 3.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 15.00 15.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 5.00 5.00 0.00 0.00

Jumlah mata pancing (buah) 3.00 3.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 100000.00 100000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 515000.00 515000.00 0.00 0.00 Kapal 54 1.00

Hasil tangkapan (Kg) 17.00 17.00 0.00 0.00

Lama panangkapan (jam) 4.00 4.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 15.00 15.00 0.00 0.00

BBM per trip (liter) 6.00 6.00 0.00 0.00

Jumlah mata pancing (buah) 3.00 3.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 100000.00 100000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 605500.00 605500.00 0.00 0.00 Kapal 55 0.84

Hasil tangkapan (Kg) 19.00 22.50 3.50 18.42

Lama panangkapan (jam) 3.00 3.00 0.00 0.00

Jumlah trip/bulan 20.00 19.50 -0.50 -2.50

BBM per trip (liter) 11.00 5.75 -5.25 -47.73 Jumlah mata pancing (buah) 4.00 4.00 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 120000.00 120000.00 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 450000.00 450000.00 0.00 0.00