MODIS mampu mendeteksi baik sebaran suhu permukaan SPL maupun sebaran klorofil-a sehingga dalam mendukung tulisan ini digunakan satelit Aqua MODIS.
CII 2007 juga mencatat distribusi spasial suhu permukaan laut SPL rata-rata bulanan di perairan Togean dengan menggunakan citra satelit Aqua
MODIS menunjukkan di perairan bagian utara lebih rendah dari perairan bagian selatan Kepulauan Togean, sedangkan rata-rata konsentrasi klorofil-a bervariasi
antara 0,1-0,2 mgm
P
3
P
.
2.3 Armada Perikanan
Armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah penangkapan fishing ground. DKP
2003 mendefinisikan suatu armada perikanan merupakan sekelompok kapal- kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama
seperti kegiatan penangkapan ikan. Monintja 2000 menyatakan armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan yang terdiri dari kapal,
alat tangkap dan nelayan. Kapal perikanan sebagaimana yang diartikan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 adalah kapal, perahu atau alat apung
lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, pelatihan dan
penelitian atau eksplorasi perikanan. Struktur armada penangkapan ikan yang terdapat di wilayah Kepulauan
Togean sangatlah bervariasi baik untuk perikanan pelagis maupun demersal. Sebagaimana halnya ciri perikanan di Indonesia pada umumnya yang didominasi
oleh perikanan rakyat yang berskala kecil, maka hal yang sama dijumpai pula di Kepulauan Togean. Struktur armada dan produksi perikanan demersal di
Kepulauan Togean kurun waktu 1998 – 2005 ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Struktur armada dan produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean 1998 – 2005.
Armada penangkapan Tahun
Tanpa motor Motor tempel Kapal motor
Produksi ton
1998 1242 547
3 1006.3
1999 1349 653
6 1030.5
2000 1493 812
8 1071.1
2001 1638 1018
5 917.6
2002 1627 1085
9 754.5
2003 1702 1067
8 734.7
2004 1744 1050
9 790.2
2005 1791 1071
6 825.2
Sumber : DKP Sulteng 2006 Berdasarkan informasi dari tabel di atas, maka jumlah armada penangkap-
an yang ada kurun waktu delapan tahun terakhir 1998 – 2005 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun, dari kategori besarnya usaha
penangkapan peningkatannya dapat dikatakan tetap kecuali kapal motor. Sedangkan, untuk produksi perikanan tangkap, secara rata-rata mengalami
penurunan hanya pada tahun 2000 dan 2005 saja yang terjadi peningkatan produksi. Struktur armada yang ada di provinsi Sulawesi Tengah didominasi oleh
perikanan skala kecil small scale fisheries sehingga, aktifitas pemafaatan sumber daya hanya berorientasi pada perairan terbatas dan alat tangkap yang digunakan
juga sangat sederhana. Alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap sumberdaya
demersal yaitu pancing, gillnet dan bubu DKP Sulteng 2006. Disamping itu masih ada pula beberapa alat tangkap lain yang juga dapat menangkap ikan
demersal seperti pukat pantai dan sero. Namun dari sejumlah alat tangkap tersebut, ketiga alat tangkap yang disebutkan lebih dahulu lebih efektif dan efisien
dari alat tangkap lainnya dalam memanfaatkan sumber daya demersal. Sehingga dalam penelitian ini hanya dikaji adalah ketiga alat tangkap tersebut pancing,
gillnet dasar dan bubu. Jenis, jumlah alat tangkap ikan demersal dan jumlah trip operasi di Kepulauan Togean ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis, jumlah alat tangkap ikan demersal dan trip oprasi di Kepulauan Togean tahun 2005
No. Jenis alat
Jumlah unit Jumlah trip
1. Pancing Dasar
896 138,383
2. Rawai tetap
8 2,709
3. Bubu 8
4,224 4. Jaring
insang dasar
102 16,463
5. Pukat pantai
1 605
6. Sero 1
- Sumber : DKP Sulteng 2006
Pancing dasar, bubu, dan jaring insang dasar merupakan alat tangkap yang
dominan digunakan, hal ini mengindikasikan bahwa perikanan tangkap yang berkembang di sana adalah alat tangkap yang sederhana, murah dan mudah dalam
pengoperasiannya. Bagian-bagian pokok dari suatu alat tangkap pancing dasar terdiri dari mata pancing, tali pancing, pemberat dan umpan Gabriel et al. 2005.
Dinyatakan pula bahwa alat tangkap ini sering dilengkapi dengan swivel dan umpan khusus.
Martasuganda 2003, mengungkapkan bahwa teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu banyak dilakukan di hampir seluruh dunia mulai
dari yang skala kecil, menengah sampai dengan yang skala besar. Untuk skala kecil dan menengah umumnya banyak dioperasikan diperairan pantai yang belum
maju sistem perikanannya, sedangkan untuk skala besar banyak dilakukan oleh negara yang telah maju sistem perikanannya. Perikanan bubu skala kecil
umumnya ditujukan untuk menangkap kepiting, udang dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu dalam, sedangkan untuk perikanan bubu skala menengah atau
skala besar biasanya dioperasikan di lepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan dasar, kepiting atau udang pada kedalaman
≥ 20 meter. Meskipun bubu dasar tergolong alat tangkap yang produktif untuk menangkap
ikan demersal namun dalam pengembangannya masih perlu dimodifikasi agar tingkat selektivitasnya meningkat. Modifikasi seperti yang dilakukan Purbayanto
et al . 2006 yakni alat tangkap bubu dilengkapi dengan celah pelolosan escaping
gap agar ikan yang belum layak tertangkap dapat lolos dengan mudah tanpa
terluka. Bubu yang umum digunakan di Kepulauan Togean adalah berbentuk setengah lingkaran bubu buton dan segi lima. Metode pengoperasian untuk
semua jenis bubu biasanya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang diperkirakan banyak ikan yang akan dijadikan target tangkapan.
Pemasangan bubu dapat dilakukan dengan sistem pemasangan tunggal dan juga yang dipasang sistem rawai.
Jaring insang adalah suatu jenis alat penangkap ikan yang berbentuk empat persegi panjang, dimana ukuran mata jaringnya sama, jumlah mata jaring ke arah
panjang mesh length jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah dalam mesh depth. Bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung
floats dan bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat sinkers sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan, maka jaring akan terbuka
saat dioperasikan Martasuganda 2002. Lebih jauh dikatakan bahwa berdasarkan cara pengoperasian, jaring insang dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu :
1 jaring insang tetap fixed gillnet atau set gillnet; 2 jaring insang hanyut drift gillnet;
3 jaring insang lingkar encircling gillnet; 4 jaring insang giring frightening gillnet atau drive gillnet;
5 jaring insang sapu rowed gillnet. Dari ke lima jenis tersebut, hanya jaring insang tetap yang dioperasikan di
dasar perairan bottom set gillnet yang dapat menangkap ikan demersal, sedangkan jenis yang lainnya ditujukan untuk menangkap ikan pelagis ataupun
ikan yang hidup kolom perairan antara dasar dan permukaan.
2.4 Perikanan dan Stok Sumber Daya Demersal