3. Postterm infant atau bayi lebih bulan adalah bayi yang lahir pada umur kehamilan sesudah 42 minggu
Wilkinson et al. 2002;
Penyebab terjadinya kelahiran bayi dengan BBLR, yaitu: Purnami 2010.
a. Faktor ibu: hipertensi dan penyakit ginjal yang kronik, perokok, penderita diabetes melitus yang berat, pre-
eklampsia, eklampsia, hipoksia ibu, hemoglobinopati, penyakit paru kronik, gizi buruk, drug abuse, peminum
alkohol. b. Faktor uterus dan plasenta: kelainan pembuluh darah
haemangioma, insersi tali pusat yang tidak normal, infark plasenta, kehamilan ganda, pelepasan plasenta sebagian,
plasenta kecil, gangguan sirkulasi ibu dan janin. c. Faktor janin: kehamilan ganda, kelainan kromosom, cacat
bawaan, infeksi dalam kandungan toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes, sifilis, TORCH
d. Faktor penyebab lain yaitu keadaan sosial ekonomi yang rendah dan tidak diketahui Budhi Rujito 2007; Suwoyo,
Antono Triagusanik 2011.
2.2. Gangguan Pendengaran Pada Bayi Berat Lahir Rendah BBLR
Bayi berat lahir rendah BBLR disebut bayi beresiko tinggi dengan adanya patofisiologi yang menyertai, prognosis BBLR akan lebih buruk
terutama pada periode awal setelah lahir dibandingkan dengan bayi normal. Komplikasi langsung dapat terjadi pada BBLR, berbagai masalah
jangka panjang mungkin timbul antara lain gangguan perkembangan, gangguan pertumbuhan, retinopati, gangguan pendengaran, penyakit paru
kronis, dan kelainan bawaan Suwoyo, Antono Triagusanik 2011. Hubungan antara BBLR dengan gangguan pendengaran kurang
diketahui, walaupun pengetahuan dasar mengenai penyebab gangguan pendengaran telah berkembang namun sulit untuk mengetahui secara
Universitas Sumatera Utara
menyeluruh mengenai mekanisme yang menyebabkan gangguan pendengaran pada BBLR Cristobal Oghalai 2008.
Pemeriksaan audiometri dan radiologi juga tidak memberikan perincian yang jelas mengenai perubahan pada sistem auditori. Proses
pendengaran pada manusia normal memerlukan fungsi telinga luar, telinga tengah, telinga dalam koklea dan jaras batang otak yang baik
Cristobal Oghalai 2008. Saat ini, terdapat dua metode skrining pendengaran neonatus, yaitu
OAE dan ABR. Yang paling sering dipakai adalah OAE karena murah dan mudah dioperasikan pada skrining massal. Mesin OAE mendeteksi bunyi
yang dihasilkan oleh proses biokemikal yang berasal dari sel rambut luar koklea. Hal ini menyebabkan OAE sangat sensitif untuk mendeteksi
disfungsi sel rambut luar. Evaluasi dengan OAE tidak dapat mendeteksi disfungsi neural saraf ke delapan atau jaras batang otak. Penggunaan
OAE dalam skrining pendengaran pada populasi yang banyak menderita tuli sensorineural dapat menyebabkan tidak terdeteksinya gangguan
pendengaran. Namun beberapa peneliti melaporkan bahwa OAE dapat mendeteksi tuli sensorineural, karena OAEs merupakan respon akustik
yang berhubungan dengan proses pendengaran normal dan OAEs tidak ada bila terdapat gangguan pendengaran lebih dari 30 dBHL. Bila
pemeriksaan telah selesai, hasilnya akan tertampil pada layar dengan “pass” bila terdapat respon dan “refer” bila tidak ada respon terhadap
stimulus Boo, Rohani Asma 2008. Pemeriksaan dengan ABR merefleksikan aktivitas koklea, saraf auditori
dan auditory brainstem pathway, sehingga ABR dapat mendeteksi neuropati auditori atau gangguan konduksi neural Boo, Rohani Asma
2008. Hasil pemeriksaan dianggap normal bila terdapat respon bilateral pada 35 dB dan terganggu bila tidak ada respon pada 35 dB minimal pada
satu telinga Taghdiri et al. 2008.
Sensitivitas OAE sebesar 100 dan spesifisitasnya 82-87, sedangkan sensitivitas ABR 100 dan spesifisitasnya 97-98. Bila OAE
Universitas Sumatera Utara
dilanjutkan dengan AABR dalam 2 tahapan skrining sensitivitasnya menjadi 100 dan spesifisitas 99 Rundjan et al. 2005.
Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusun kebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi.
Tujuan skrining pendengaran adalah menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir agar dapat segera dilakukan habilitasi
pendegaran yang optimal. Departemen Kesehatan RI telah menetapkan alur skrining pendengaran bayi baru lahir di Indonesia seperti yang terlihat
pada gambar 2.1. HTA Indonesia 2010. Faktor yang merusak pada bayi baru lahir meliputi paparan terhadap
toksin, infeksi serebral, iskemia, ketidakseimbangan hormonal yang dapat menyebabkan keterlambatan proses mielinisasi, yang diekspresikan
sebagai immaturitas atau disfungsi Psarommatis et al. 2010. BBLR tiga kali lebih sering mengalami komplikasi neurodevelopmental
dan abnormalitas kongenital. BBLR preterm 32 minggu kebanyakan mengalami komplikasi yang disebabkan imaturitas anatomik dan
fisiologikal. BBLR
berisiko mengalami komplikasi yang dapat meninggalkan sekuele permanen Singh, Chouhan Sidhu 2009.
Gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh karena kegagalan perkembangan satu atau lebih dari bagian sistem
auditori atau terhentinya proses perkembangan pada tahap tertentu. Selain itu, terdapat juga beberapa faktor yang dapat menyebabkan
degenerasi mekanisme perkembangan pendengaran Arpino et al. 2010. Tahap perkembangan otak yang berkesinambungan merupakan faktor
yang sangat penting. Otak bayi yang cukup bulan sangat berbeda dengan otak bayi preterm dimana maturasi otak terhenti pada tahap kritis
perkembangan sarafnya. Kelahiran premature menyebabkan bayi kemungkinan mengalami dampak gangguan perkembangan otak yang
selanjutnya mengganggu fungsi psikologikal selama hidup Arpino et al.
2010.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Alur skrining pendengaran bayi baru lahir di Indonesia HTA Indonesia 2010.
Lebih dari 3 bayi yang lahir 28 minggu umur kehamilan menunjukkan gangguan pendengaran yang bervariasi antara tuli konduktif
dan tuli sensorineural. Gangguan pendengaran tersebut 25 kali lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi gangguan pendengaran yang didapat
Universitas Sumatera Utara
pada populasi pediatrik. Suatu penelitian nested case-control
menunjukkan pada umur kehamilan 20-23 minggu terdapat prevalensi gangguan pedengaran sebesar 1,435, 0,63 pada 24-28 minggu,
0,19 pada 29-32 minggu dan 0,1 pada 33-36 minggu Arpino et al. 2010.
Faktor perinatal dapat menyebabkan persalinan preterm dan komplikasi perinatalneonatal dapat merusak fungsi auditori dan
perkembangan dininya. Faktor yang meningkatkan risiko gangguan pendengaran pada bayi sangat bervariasi, seperti hipoksia,
hiperbilirubinemia, penggunaan inkubator yang bising, dan paparan antibiotik yang potensial ototoksik untuk pengobatan infeksi yang
mengancam jiwa Arpino et al. 2010.
Hipoksiaiskemia dan infeksiinflamasi membran plasenta pada bayi preterm tampaknya memegang peran utama terhadap gangguan
neurologikal yang terjadi, disamping adanya faktor prenatal, perinatal dan postnatal Arpino et al. 2010.
Seiring dengan kurangnya umur kehamilan, didapati peningkatan risiko kerusakan otak kerusakan white matter, perdarahan intraventrikular
dan kerusakan kortikal dan deep gray matter, sehingga akan mengakibatkan gangguan klinis selanjutnya. Persalinan dini mengganggu
perkembangan otak dan waktu proses neurobiologikal. Proses ini meliputi migrasi neuronal dan differensiasi, sprouting akson dan dendrit, formasi
sinaps, myelination, programmed cell death dan struktur transien yang persisten. Proporsi pertumbuhan otak yang signifikan, perkembangan dan
networking ditemui kira-kira dalam 6 minggu terakhir masa gestasi Arpino et al. 2010.
Spektrum gangguan klinis pada anak yang preterm meliputi cerebral palsy CP, developmental coordination disorder DCD, gangguan
neurosensoris, termasuk pendengaran perifer dan sentral, gangguan visual dan gangguan psikiatri Arpino et al. 2010.
Universitas Sumatera Utara
Seiring dengan tingkat imaturitas dan rendahnya berat badan lahir, maka lebih besar pula defisit intelektual dan neurologis yang akan terjadi,
sebanyak 50 bayi dengan berat 500-750 gram mengalami gangguan perkembangan neurologis yaitu kebutaan, tuli, retardasi mental dan
cerebral palsy Stoll Adams-Chapman 2007. Lebih kurang 50 kasus gangguan pendengaran pada neonatus
diperkirakan disebabkan defek genetik. Aminoglikosida dan loop diuretik telah lama diketahui memiliki efek ototoksik sehingga penggunaannya
harus sesuai standar, faktor risiko lain adalah paparan bising, infeksi cytomegalovirus, hipoksia dan hiperbilirubinemia Cristobal Oghalai
2008; Herwanto 2012. Anak dengan berat lahir rendah berisiko tinggi menderita gangguan
pendengaran sensorineural. Kemungkinan penyebabnya adalah bahwa telinga tidak sepenuhnya berkembang jika janin tumbuh lebih lambat dari
normal dalam rahim Prematuritas dan BBLR berhubungan dengan peningkatan risiko tuli
sensorineural. Lebih dari 27 bayi prematur dengan berat lahir sangat rendah diketahui mengalami peningkatan latensi ABR dan interval pada
umur aterm cukup bulan, yang menunjukkan gangguan pendengaran perifer danatau sentral Reiman et al. 2009. Pada tuli sensorineural
terdapat pemanjangan latensi gelombang V terhadap stimulus click intensitas rendah Donohoe 1988.
Folkehelseinstituttet 2008.
ABR merupakan metode yang efektif untuk mendeteksi defisit kecil dalam konduksi impuls jaras auditori. Sebagai contoh, keterlambatan pada
mielinasi tidak harus menyebabkan gangguan pendengaran secara klinis, tetapi masih dapat menyebabkan perlambatan konduksi impuls yang
terlihat sebagai prolongasi latensi ABR dan interpeak intervals. Pada bayi dengan ambang pedengaran normal, perlambatan latensi gelombang V
dan interval I–III dan I–V pada rekaman ABR berhubungan dengan besarnya variasi komplikasi perinatal, seperti perdarahan intraventrikular
derajat III sampai IV, periventrikular leukomalasia, severe
Universitas Sumatera Utara
hyperbilirubinaemia, meningitis bakterial, severe respiratory distress syndrome dan pneumonia Reiman et al. 2009.
Pada bayi prematur, gangguan pendengaran berhubungan dengan lesi otak dan volume batang otak yang kecil. Selain itu, abnormalitas dalam
migrasi dan mielinisasi yang telihat pada MRI konvensional telah dihubungkan dengan tuli sensorineural. Perubahan kecil pada struktur
white-matter otak dapat dicitrakan dengan menggunakan diffusion tensor imaging DTI, dimana ditemui white-matter pada neonatus membesar
seiring dengan pertambahan umur dan pada bayi preterm meningkat sesuai dengan umur kehamilan. Sebagai tambahan, kurangnya white-
matter telah dihubungkan dengan perinatal white-matter injury. Pada penelitian yang menggunakan DTI terhadap pasien dengan gangguan
pendengaran sensorineural didapati kolikulus inferior yang merupakan lokasi utama pada konvergensi bypassing tracts, adalah area yang sangat
sensitif terhadap kerusakan neuronal pada jaras auditori Reiman et al. 2009.
Mekanisme patofisiologi dari gangguan pendengaran sensorineural yang reversibel belum diketahui. Maturasi Susunan Saraf Pusat yang
berkembang lambat dan dalam periode yang lama dapat dikatakan bertanggung jawab terhadap membaiknya hasil ABR Psarommatis et al.
2010.
2.3. Fisiologi Pendengaran