53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pelaksanaan Penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini berlangsung di Medan, Sumatera Utara. Yakni mulai dari tanggal 3 Agustus hingga 2 September 2013. Sementara dalam proses wawancara
dengan tiap-tiap narasumber, dilakukan di beberapa lokasi yang berbeda sesuai kesepakatan antara narasumber dengan peneliti.
Narasumber pertama yang diwawancarai peneliti adalah Prof Hasyimsyah, yang berlangsung di kediaman pribadi beliau di Jalan Suluh. Dilanjutkan dengan Dalail Ahmad di
Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara di Jalan Sisingamangaraja. Sementara Mario Kasduri sebagai narasumber ketiga ditemui peneliti di Rumah Sakit
Muhammadiyah Sumatera Utara yang berada di Jalan Mandala By Pass. Berikutnya peneliti mewawancarai Shohibul Anshor Siregar di Kampus Pascasarjana Universitas Negeri Medan
UNIMED. Dan terakhir Sarwo Edi yang diwawancarai peneliti di rumah beliau di Jalan Kawat.
Untuk menemui masing-masing narasumber tersebut tidaklah mudah. Dikarenakan berbagai aktifitas dan kesibukan yang dijalani masing-masing narasumber, membuat mereka
tidak mudah meluangkan waktunya untuk wawancara. Narasumber yang rata-rata berprofesi sebagai dosen ini memang memiliki jadwal yang cukup padat dalam tanggung jawab
kesehariannya untuk mengajar dan menggerakkan organisasi Muhammadiyah. Meski begitu, Alhamdulillah mereka akhirnya dapat ditemui peneliti untuk melakukan wawancara yang
tentu saja di waktu yang berbeda-beda. Dalam proses wawancara dengan masing-masing narasumber ini, selain mengajukan
pertanyaan seputar permasalahan penelitian, peneliti juga berusaha untuk mengenal lebih jauh pribadi masing-masing narasumbernya. Terutama yang berkaitan dengan latar belakang
ke-Muhammadiyah-an narasumber, yakni sejarah bergabung dengan Muhammadiyah dan alasan keyakinannya terhadap ajaran dan pedoman Muhammadiyah. Selain untuk mengenal
pribadi, latar belakang ini diharapkan peneliti dapat memberi suatu garis korelasi antara persepsi, pandangan, dan pernyataan peneliti tentang topik permasalahan yang tengah
dibahas. Dan perlu diterangkan pula, bahwa selain mewawancarai kelima narasumber ini,
peneliti juga telah berdiskusi dengan Prof Asmuni Ketua PW Muhammadiyah dan Syah
54
Afandin Ketua DPW PAN Sumatera Utara di masa pra-penelitian pra-survei. Wawancara ini dimaksudkan peneliti untuk mengetahui gambaran awal kemungkinan topik permasalahan
untuk diteliti lebih jauh dan mendalam. Sebagai Sehingga memperkuat keyakinan sekaligus memperluas pandangan peneliti tentang permasalahan penelitian.
Dan akhirnya, tentu saja studi pustaka juga memberi kontribusi yang tak kalah besar dalam proses penelitian ini. Data-data dalam bentuk buku, arsip, berita, jurnal, dan lainnya
diperoleh peneliti lewat berbagai cara dan sumber. Yang keseluruhannya itu sangat penting artinya dalam memperkuat aspek aktualitas, faktualitas, validitas penelitian. Sebagai sebuah
tanggung jawab ilmiah bagi peneliti dalam menciptakan karyanya.
4.2 Analisis Hasil dan Pembahasan 4.2.1 Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Komunikasi Politik
Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional
Adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat kita telah terbangun sebuah pola pemikiran yang khas tentang hubungan di antara
Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional PAN. Yakni bahwasanya keduanya seolah identik satu dengan yang lain. Sehingga seringkali terdengar lontaran pernyataan dari
masyarakat yang meyakini PAN adalah “partainya warga” Muhammadiyah. Praktis dapat dikatakan bahwa pola pemikiran ini mulai terbangun dan berkembang
sejak 23 Agustus 1998, yang tak lain merupakan hari deklarasi berdirinya PAN. Dan hingga saat ini, memasuki usianya yang ke-15 tahun, identitas yang dilekatkan oleh masyarakat
tersebut sepertinya belum lagi dapat hilang seutuhnya. Meski dalam perjalanannya selama 15 tahun ini telah beberapa kali partai ini berganti nakhoda. Telah beberapa kali pula bertarung
dalam pemilihan umum. Dan telah berkali-kali ia menghadapi pasang surut masalah, baik internal maupun eksternal. Termasuk masalahnya dengan Muhammadiyah itu sendiri. Namun
dalam anggapan masyarakat, PAN tetap saja identik dengan Muhammadiyah. Dan keidentikkan yang dilekatkan tersebut tentu berdampak pada konsep dan proses
komunikasi politik yang dibangun keduanya. Dimana PAN sebagai partai politik jelas membutuhkan konstituen yang loyal dan dalam jumlah maksimal untuk dapat meraih
sebanyak-banyaknya kursi di pemerintahan. Dan Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat yang beranggotakan lebih kurang 30 juta jiwa, tentu memerlukan wadah dan
sarana politik untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi warganya. Hanya dengan
55
konsep dan proses komunikasi politik yang tepat yang dapat mewujudkan keinginan kedua belah pihak ini.
Namun, dalam membahas Muhammadiyah dan PAN tentu saja kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang hidup yang dapat berbuat satu hal dengan sendirinya.
Sebagai organisasi tentu keduanya bergerak karena ada pihak-pihak yang menggerakkan di dalamnya. Pihak-pihak yang merupakan individu-individu yang berinteraksi dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan bersama. Gabungan individu itu dipimpin oleh para pemimpinnya yang memiliki berbagai aspek kelebihan dan keutamaan dibanding anggota
yang lain. Yang biasa kita beri sebutan elite. Tak terkecuali di Muhammadiyah, para elite inilah sosok utama yang berperan besar
dalam menentukan arah dan jalannya organisasi. Dan yang memiliki kredibelitas dan kapabilitas yang lebih utama dalam merespon dan menanggapi berbagai persoalan
menyangkut organisasinya. Yang dalam hal ini persoalan tersebut adalah anggapan keidentikkan Muhammadiyah dan PAN dalam anggapan masyarakat.
Maka berangkat dari persoalan di atas, penulis akan memaparkan persepsi para elite Muhammadiyah Sumatera Utara mengenai hal ini. Yang dibagi dalam dua kategori, pertama
yakni persepsi elite mengenai hubungan dan dinamika komunikasi politik antara Muhammadiyah dan PAN, yang antara lain meliputikeidentikkannya dalam anggapan
masyarakat, juga konsep dan proses perjalanan hubungan komunikasi antara keduanya. Dan kedua,
penerimaan secara pribadi para elite tersebut terhadap komunikasi politik antara keduanya.
Hubungan dan Dinamika Komunikasi Politik Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional
Dalam membahas hubungan dan komunikasi politik antara Muhammadiyah dan PAN bagaimanapun kita tidak memungkiri untuk berangkat dari fakta sejarah sebagai titik tolak.
Keniscayaan sejarahlah yang menjadi pangkal bagi pertautan kedua pihak ini. Agar jelas dari mana hal ini berasal, bagaimana ia berjalan hingga sekarang, bahkan kemana arah yang
mungkin bakal ditujunya di masa depan. Urgensitas sejarah ini tampaknya dipahami betul oleh Shohibul Anshor Siregar saat
memberi pandangan terhadap hubungan dan dinamika komunikasi politik antara Muhammadiyah dan PAN. Persepsinya terhadap hal ini berangkat dari keadaan sosial politik
56
kehidupan bangsa sejak masa orde baru. Dengan semangat menggebu ia memulai argumennya :
“Historically, Amien Rais itu sejak tahun 1995 melakukan pemberontakan terhadap Negara, yang saat itu dipimpin oleh Pak Harto. Dia mau agar
ada sebuah perubahan besar, jangan sampai jadi kerajaan yang begitu sulit untuk mengekspresikan semua aspirasi rakyat dan perbaikan-
perbaikan yang diusulkan. Ada patronase barat yang memaksakan perubahan Indonesia yang tidak sesuai dengan keinginan kita, orang
Indonesia itu. Perubahan-perubahan sosial itu unplanned tidak direncanakan. Itu dipaksakan. Jadi apa yang menjadi wisdom kita di
timur dirusak habis semua dengan kapitalisme itu. Dengan dasar modernisasi. Modernisasi adalah kata kunci yang bisa bermakna ganda.
It’s mean maybe westernisasi. Ini yang bisa menjadi masalah kita itu. Lalu barat ini, kata pembangunan itu teorinya kan teori yang sifatnya
linear. Agregasi kapital dan sebagainya itu, dia menggunakan growth sebagai dasar filosofi. Dan trickle down effect itu dianggap menjadi
sesuatu yang niscaya. Nanti akan sejahtera kita. Sampai kiamat dunia itu tidak akan terjadi. Hal-hal seperti itulah yang membuat Pak Amien Rais
menjadi galau.”
Menurut Shohibul, cengkraman kapitalisme yang semakin menguat di bumi Indonesia pada masa orde baru merupakan akar dari permasalahan multidimensi yang dialami bangsa
ini. Alih-alih untuk memberi kesejahteraan bagi rakyat, kapitalisme dalam bungkusan modernisasi menurutnya adalah patronase barat dalam upaya westernisasi Indonesia. Dengan
mengusung konsep growth sebagai dasar filososfis, pembangunan yang selalu menjadi motto pemerintahan orde baru nyatanya tidak lebih dari sekedar perubahan unplanned berdampak
trickle down effect. Trickle down effect ini sejatinya hanya menguntungkan kelas elite
berkuasa, dengan semakin memperkaya mereka yang di sisi lain sembari membangun citra kejayaan pembangunan Indonesia yang berhasil dicapai. Akibatnya, aspirasi-aspirasi rakyat
dianggap nyanyian sumbang tak berkesan. Kenyataan inilah yang menurutnya membuat sosok Amien Rais, seorang cendikiawan-intelektual yang peduli pada nasib bangsanya galau.
Yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu dalam memperbaiki keadaan. Amien Rais, yang disebut shohibul “telah tercatat dan tak mungkin dilupakan sejarah
sebagai lokomotif reformasi” sejak awal tahun ’90-an memang telah mengambil peran sebagi oposisi bagi rezim orde baru. Kritik bahkan isu suksesi yang telah digulirkannya sejak tahun
1993 menempatkannya pada posisi melawan arus mainstream, saat mayoritas kaum intelektual hanya bisa diam atau bahkan berpihak pada kesewenangan rezim. Dan setelah
Amien Rais resmi terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah dari hasil Muktamar ke-43 tahun 1995 di Banda Aceh, peran oposisi ini kemudian tidak lagi sekedar oposisinya dalam
kapasitas individu. Kepemimpinannya di Muhammadiyah secara tidak langsung membawa
57
Muhammadiyah pada keadaan harus menentukan sikap dan pandangannya terhadap rezim. Dan sejarah akhirnya membukt ikan bahwa Muhammadiyah telah menentukan pilihan yang
tepat dengan mengubah pandangan dan sikap politiknya terhadap rezim orde baru, dari yang semula bersifat pragmatis-akomodatif menjdi idealis- kritis.
Dapat dikatakan Amien Rais menjadi pelopor sekaligus inspirator dalam mengalirkan arus kritik dan gerakan politik oposisi terhadap rezim. Persatuan berbagai elemen masyarakat
seperti mahasiswa, aktivis, organisasi kemasyarakatan termasuk Muhammadiyah saat itu terus menggumpal hingga akhirnya meledak di tahun 1998, saat krisis multidimensional
melanda negeri ini. Dalam situasi ini shohibul menerangkan langkah ijtihad politik yang diambil Amien Rais :
“Saat itu dia menjadi Ketua Muhammadiyah. Itu tentu tidak boleh, menurut rumusan Muhammadiyah. Karena itu diizinkanlah beliau
mengambil langkah yang baik menurut dia di bidang politik itu. Mau ciptakan partai,silahkan tapi kita harus menggantikan kepemimpinan Pak
Amien Rais. Bahkan inisiatif itu dari dia. Bayangkan bersihnya cara berpikir dia. Kalau orang lain mau direbutnya itu, supaya PAN is
Muhammadiyah, Muhammadiyah is PAN. Oleh karena itu, tidak mungkin kita abaikan pemikiran filosofis, kritik historis, dan latar belakang yang
membuat Muhammadiyah dan PAN itu semacam tidak bisa dipisahkan. Nah kita bisa melihat itu hasil pemilu 1999, itu all out Muhammadiyah ke
PAN itu. Dengan jumlah suara di Medan dia ada sekitar 15 kursi dia. Itu sudah terbukti bahwa Muhammadiyah is PAN. Tidak banyak yang
menyimpang itu, karena dianggap ini hope, harapan baru. Jadi kalau ditanya apa hubungan Muhammadiyah dengan PAN, organisatoris tidak
ada. Tapi historis dan filosofis ada. Dan mereka bertema perjuangan sama. Bahkan Muhammadiyah itu mungkin merasa harus ada institusi
politik resmi yang mengakomodasi kepentingan kita di politik praktis.” Sampai di sini Shohibul telah menegaskan realitas hubungan antara Muhammadiyah
dan PAN. Yakni tiadanya hubungan formal-organisatoris di antara keduanya. Namun, baginya tidak mungkin kita mengabaikan begitu saja pemikiran filosofis, kritik historis, dan
latar belakang yang membuat Muhammadiyah dan PAN itu semacam tidak bisa dipisahkan. Sehingga bagaimanapun secara historis dan filosofis Muhammadiyah dan PAN jelas
memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Dan hubungan filosofis-historis ini kenyataannya memang memberi dampak pada
perolehan suara PAN saat pemilu 1999 yang pertama kali diikutinya. PAN dalam pandangan shohibul merupakan harapan baru bagi rakyat, utamanya warga Muhammadiyah atas
kebobrokan rezim masa lalu. Bahkan shohibul berani mengeluarkan statementbahwa all out Muhammadiyah ke PAN. Meskipun statementini tidak sepenuhnya benar melihat dari
58
kenyataan perolehan suara PAN yang cuma berkisar di angka 7 juta-an., dibanding jumlah keseluruhan warga Muhammadiyah yang mencapai angka 30 juta.
Senada dengan shohibul, Prof. Hasyimsyah juga menegaskan posisi PAN terhadap Muhammadiyah dari sudut realitas khittah perjuangan Muhammadiyah. Dengan ditambahkan
pula keadaan geliat dinamika internal Muhammadiyah saat pertama kali PAN “dilahirkan dari rahim” Muhammadiyah. Ia menerangkan :
“Hubungan ini sebetulnya secara administrasi tidak ada. Secara ideologi ada tapi tidak banyak. Tapi secara historis, penggagas PAN itu kan Pak
Amien Rais, pada saat Pak Amien itu ketua pimpinan pusat, dia lepas jabatan pimpinan pusat itu dengan persetujuan Tanwir Muhammadiyah.
Jadi Tanwir itu adalah lembaga musyawarah kedua tertinggi setelah Muktamar. Jadi Pak Amien Rais dilepaslah untuk berdakwah melalui
jalur politik. Jadi tidak orang-orang Muhammadiyah karena dia ketuanya, kemudian ide-ide awal pendirian PAN itu, bahkan simbolnya, walaupun
tidak persis sama ada kemiripan. Jadi mungkin simbol itu menjadi dasar hubungan emosional selain historis. Tapi secara ideologi PAN itu ya tidak
sama, tapi tidak bertentangan dengan ideologi Muhammadiyah.” Dalam pernyataannya, Hasyimsyah menyinggung pula tentang Sidang Tanwir
Muhammadiyah Juli tahun 1998 di Semarang yang dapat dikatakan sebagai proses ijtihad politik Muhammadiyah untuk mendorong reformasi yang baru saja dimulai kea rah yang
terbaik. Dalam Sidang Tanwir tersebut sejumlah tokoh Muhammadiyah dari wilayah-wilayah se-Indonesia menghendaki Ketua PP Muhammadiyah yang waktu itu dijabat Amien Rais,
untuk mendirikan partai politik baru dan mendukungnya untuk menjadi Presiden RI ke-4. Dalam Sidang Tanwir itu keinginan para elite Muhammadiyah itu telah disepakati secara
bulat yang intinya memberikan amanat kepada PP Muhammadiyah agar melakukan ijtihad untuk membentuk partai politik baru.
Dan dalam perkembangan berikutnya setelah melalui berbagai proses politik yang berliku, akhirnya Amien Rais sampai pada ketetapan untuk mendirikan partai politik baru
yakni Partai Amanat Nasional. Karena itu pada Sidang Pleno PP Muhammadiyah pada 22 Agustus di Jakarta bersama diputuskanlah ketetapan untuk memberikan izin kepada Amien
Rais melepas jabatannya sebagai Ketua PP Muhammadiyah untuk selanjutnya memimpin Partai Amanat Nasional. Yang mana sebagai pengganti, Ketua PP Muhammadiyah kemudian
dijabat Syafii Ma’arif. Sedangkan Amien Rais masih tetap dalam kepengurusan sebagai anggota PP Muhammadiyah dan Ketua Majelis Hikmah PP Muhammadiyah. Mengenai hal
ini Sarwo Edi memaparkan : “Ya memang dilihat dari segi sejarahnya ya, posisi Amien Rais yang
mendirikan PAN itu kan sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang kemudian karena perkembangan perpolitikan di Indonesia, maka oleh
59
Tanwir diamanahin untuk melakukan ijtihad politik. maka kemudian Amien Rais melangkah untuk ke sana, dan dilepaskan dari posisi
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan digantikan oleh Prof. Dr. Syafii Ma’arif. Nah setelah itu beliau ber-ijtihad politik, mengagas partai politik
yang pertama itu diberi nama Partai Amanat Bangsa PAB. Tapi kemudian selanjutnya berubah menjadi Partai Amanat Nasional.”
Partai Amanat Nasional sendiri kemudian mengusung Nasionalisme sebagai ideologi gerakannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan Muhammadiyah yang jelas berideologikan
Islam. Perbedaan inilah yang kemudian banyak menimbulkan pro kontra di kalangan warga Muhammadiyah. Sebagian pihak merasa hanya partai Islam saja yang dapat mewadahi dan
memperjuangkan aspirasi warga Muhammadiyah sebagai sesame muslim. Maka dari itu, harusnya hanya partai Islam yang didukung Muhammadiyah. Pernyataan politik ini biasanya
berasal dari kalangan ulama kharismatik yang didukung para santrinya yang bersifat konservatif .
Sementara di sisi lain, pihak yang berasal dari kalangan intelektual-cendikiawan yang notabene lebih reformis menganggap Muhammadiyah sebaiknya lebih mengutamakan
substansi dalam berpolitik ketimbang sekedar simbol formal. Seperti pendapat Sarwo Edi sebagai seorang intelektual-cendikiawan yang reformis berikut :
“Nasionalis itu adalah bangsa. Dan bangsa itu berpulang pada pengisinya. Nasionalis itu kan sebutan yang tanpa bentuk dan tanpa
warna. Bentuk dan warnanya berpulang pada pengisinya. Kalau pengisinya orang yang mempunyai kualitas, kualifikasi Islamnya itu
bagus, maka PAN itu akan menjadi bagus. Tapi kalau kemudian yang mengisi tidak bagus, maka nasionalis itu sendiri tidak akan bagus. Maka
saya pikir tidak akanada benturannya antara Muhammadiyah dengan PAN walaupun memiliki azas yang berbeda.”
Bagi Sarwo Edi, manusia adalah unsur utama pembentuk nasionalis. Manusia yang mengisi nasionalis, dan manusia pula yang menentukan arahnya nasionalis. Dan agar dapat
mengisi sebaik mungkin, menentukan arah yang paling benar, maka faktor Islam merupakan kunci utamanya. Islam membangun kualitas individu ke tingkatan terbaik, untuk membagun
nasionalis yang terbaik pula. Keduanya berjalan linear bersamaan, maka tak perlu dan tak mungkin ada benturan ideologi.
Dan jika melihat realitas yang ada, sejak bergantinya tongkat estafet kepemimpinan Ketua PP Muhammadiyah dari KH. Ahmad Azhar Basyir ke Prof. Dr. Amien Rais di tahun
1995, mengubah pula konsep kepemimpinan di Muhammadiyah. Dari yang semula kepemimpinan dengan karakter ulama-kharismatik menjadi kepemimpina intelektual-
cendikiawan. Berubahnya karakter kapemimpinan di tingkat pusat ini ikut mengubah pula pada jajaran tingkat bawahnya, seperti di tingkat wilayah, cabang, dan ranting. Sehingga saat
60
ini kepemimpinan Muhammadiyah praktis notabene dikendalikan oleh mayoritas kalangan intelektual-cendikiawan.
Perubahan pola kepemimpinan ini sedikit banyak tentu mempengaruhi cara pandang para elite pemimpin terhadap konsep nasionalisme PAN. Tak berbeda jauh, rata-rata elite
memiliki pandangan serupa terhadap hal ini dengan pernyataan yang disampaikan Sarwo Edi di atas yang mentolerir perbedaan ideologi ini. Tolorensi terhadap ideologi ini lebih jauh
menarik banyak elite Muhammadiyah untuk kemudian ikut terjun masuk ke ranah politik, yang tentu saja melalui PAN sebagai kendaraannya. Realitas ini dibenarkan oleh Prof
Hasyimsyah yang mengungkapkan : “Kemudian juga kader-kader Muhammadiyah terutama di awal-awal
pertumbuhannya didorong bukan sekedar dilepas untuk menjadikan PAN sebagai perahu politiknya.Dan khusus Sumatera Utara, Ketua PAN
Sumatera Utara itu mantan ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara. Yaitu Pak Drs. Yamin Lubis, yang pernah jadi Rektor
UISU untuk sementara, dia Ketua PAN Sumatera Utara, mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara. Berikutnya Pak
Ibrahim Sakti, seorang aktivis. Mula-mula di Medan itu Pak Ibrahim Sakti ya, Pak Ibrahim Sakti itu bahkan pernah menjadi Sekretaris Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Medan, selain sebagai aktivis di IMM dan Pemuda Muhammadiyah. Dan di beberapa tempat, di kabupatenkota
yang lain, paling tidak pernah menjadi pengurus Muhammadiyah. Ada yang langsung, ada yang menjadi wakil. Itu contohnya terutama di Medan
la. Jadi, dekat sekali pengaruhnya, sampai sekarang.
Pengakuan Prof Hasyimsyah tentang bergabungnya para elite Muhammadiyah dalam kepengurusan PAN ini, khususnya di Sumatera Utara tentu menjadi bukti empiris yang
menarik dalam pembahasan mengenai komunikasi politik antara keduanya. Masuknya elite- elite Muhammadiyah ini tentu saja membuka lebar proses komunikasi politik di antara
keduanya. Para elite yang mempunyai wibawa dan pengaruh yang besar di kalangan warga Muhammadiyah memungkinkan mereka untuk membangun kepercayaan terhadap PAN.
Meyakinkan bahwa PAN merupakan wadah politik yang tepat dan terbaik bagi warga Muhammadiyah.
Dari uraian sebelumnya, telah kita pahami bahwa komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol
komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain, dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan
tingkah laku khalayak yang menjadi target politik. Dan faktor paling penting dalam komunikasi politik terletak pada isi pesan yang bermuatan politik. Sebab isi pesan yang sarat
dengan muatan nilai-nilai politik ini yangakan menentukan arah dan tujuan komunikasi
61
politik itu sendiri. Mulai dari sekadar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, pembentukan opini publik, dan bisa pula untuk mengendalikan pendapat atau tuduhan
lawan politik. Yang untuk mencapai hal itukomunikasi politik perlu melibatkan pembicaraan. Pembicaraan yang inklusif, yang mencakup segala proses pertukaran simbol, seperti kata-kata
yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai, hingga penampilan. Uraian defenisi ini penting untuk diketengahkan kembali demi mengingat kembali titik tolak
dan rujukan dalam proses analisis permasalahan yang tengah dibahas. Jika kita kaitkan teori di atas dengan fakta historis yang ada, kita akan dapat
memahami realitas hubungan dan dinamika komunikasi politik yang kemudian terbangun dari persinggungan dua organisasi ini. Yakni bahwa kedua pihak membangun dan
mengembangkan komunikasi politik yang saling menguntungkan simbiosis mutualisme satu sama lain. Komunikasi politik ini dapat dibangun utamanya berkat peran yang dimainkan
oleh para elite Muhammadiyah. Para elite Muhammadiyah banyak yang kemudian mengambil peran sebagai aktor dalam komunikasi politik. Apakah elite tersebut memang
mereka yang ikut terjun langsung menjadi pengurus PAN, atau mereka yang bukan pengurus namun simpati dan mau turut berjuang membesarkan PAN meski dari luar kepengurusan.
Mengenai hal ini Shohibul Anshor menceritakan : “Sejak tahun 1999 saya punya peluang untuk jadi anggota DPR-RI. Tapi
di antara kawan-kawan sebaya sesama elite Muhammadiyah saya berjanji, dengan teken tanda tangan, hanya sebagian orang yang masuk
di politik praktis, sebagian harus di luar. Yang di luar itu saya, Prof Hasyimsyah, Prof Asmuni, sesuai generasi saya. Selebihnya Ibrahim
Sakti, Parluhutan, Kamaluddin ya silahkan masuk PAN. Tapi karena kami berada di luar akan mengontrol terus…”
Utamanya sebagai komunikator, secara kontiniu dan konsisten para elite ini terlibat
dan berperan besar dalam proses pencapaian tujuan komunikasi politik. Wibawa dan pengaruh mereka menjadi modal penting dalam mempengaruhi pemikiran dan sikap khalayak
warga Muhammadiyah untuk membentuk citra positif PAN sebagai partai harapan baru. Bahkan lebih jauh untuk membangun opini publik bahwa PAN danMuhammadiyah satu
sama lain identik dalam kebersamaan, bahwa PAN adalah “partainya warga” Muhammadiyah. Maka sudah sepatutnyalah warga Muhammadiyah menjadi konstituen PAN
yang akan selalu memilihnya dalam tiap ajang kontestasi pemilu. Agar PAN dapat memperoleh suara sebanyak-banyaknya sebagai legitimasi mencapai tujuan politiknya. Hal
ini diakui Sarwo Edi berdasarkan pengalamannya yang pernah ikut berpartisipasi : “Tapi ketika orang bertanya, mana sih partai politik yang harus jadi
pilihan utama bagi orang Muhammadiyah? Ya kita tetap katakana,
62
sebaiknya PAN yang jadi partai utamanya orang Muhammadiyah. Kita arahkan ke situ. Bahkan dalam kebijakan lokal Sumatera Utara ketika
pemilihan umum tahun 2004, dimana posisi PAN layaknya partai Islam lain hampir kolaps, itu secara resmi kita sampaikan kepada warga
Muhammadiyah, sejelek apapun Partai Amanat Nasional itu , tolong warga Muhammadiyah bantu PAN. Itu kita resmi dan bahkan
menghabiskan budget dari organisasi PWM Sumut 700 juta pada waktu itu.”
Pertanyaan yang timbul kemudian, jika benar komunikasi politik yang dibangun keduanya bersifat simbiosis mutualisme, lalu apa yang diperoleh atau diharapkan
Muhammadiyah dari PAN? Sementara di sisi lain PAN jelas mengaharap dukungan konstituen loyal yang mau memberi hak pilihnya untuk mendongkrak perolehan suara PAN
dalam setiap ajang pemilu atau pilkada. Pendapat Sarwo Edi kiranya tepat untuk diketengahkan dalam menjawab pertanyaan ini :
“Ya paling tidak dalam menyampaikan aspirasi politik kita, itu ada orang-orang yang bisa kita minta. Katakanlah dalam porsi pembagian
APBD Sumatera Utara. Gak mungkinlah orang Muhammadiyah itu minta tolong sama orang PDIP, orang Demokrat, itu tidak mungkin. Pasti orang
Muhammadiyah itu jika cerita masalah kebijakan untuk mendapatkan porsi APBD ya kita menghubungi orang-orang Pan yang di legislatif.
Itulah keuntungan timbal balik yang kita harapkan. Kemudian di samping itu, ketika kita menggotong-royongkan sebuah amal usaha yang
membutuhkan dana besar dari warga-warga Muhammadiyah, ya tetap saja kita mengharapkan dari warga Muhammadiyah yang berada di PAN
dan sudah berhasil menjadi anggota legislatif yang dia punya kebijakan untuk mengkucurkan APBD dan lain sebagainya, itu kita mintai tolong.
Atau secara individu yang dia secara ekonomi sudah makmur, ya kita berharap dari anggota legislatif yang dari PAN itu lebih mungkin.
Pengalaman menyatakan bahwa ketika kita undang anggota legislatif yang itu walaupun ada anggota Muhammadiyah di partai lain, itu
biasanya partisipasinya lebih tinggi warga Muhammadiyah yang ada di PAN dibandingkan warga Muhammadiyah yang di luar PAN.”
Pernyataan Sarwo Edi ini kiranya dapat membuka wawasan kita tentang bagaimana konsep komunikasi politik keduanya dijalin. Apa tujuannya dan bagaimana keduanya
berperan dan saling membantu dalam mencapai cita-cita perjuangan masing-masing pihak. Usaha anggota legislatif dari partai PAN dalam membantu porsi pembagian APBD kepada
amal usaha milik Muhammadiyah menjadi salah satu motivasi dalam membangun komunikasi politik yang harmonis di antara keduanya.
Namun, mengenai komunikasi politik di antara kedua belah pihak ini, selain pandangan elite yang bersifat positif mendukung keharmonisan hubungan Muhammadiyah
dan PAN seperti yang telah dipaparkan di atas. Terdapat pula elite Muhammadiyah, yang
63
dalam hal ini khusus di tingkat PWM Sumut yang memberi pandangan berbeda dari rekan sesama elite yang lain. Dalail Ahmad misalnya, mantan Ketua PWM Sumut 2005-2010 ini
mengeluarkan statement yang cukup jauh berbeda. Ia dengan semangat mengatakan :
“PAN ini kan partai yang lahirnya dibidani Muhammadiyah. Ibarat anaknya la. Tapi dalam kenyataannya Muhammadiyah tidak merasa puas
dengan kehadiran partai-partai yang ada. Karena orang-orangnya setelah merasa besar kok tidak bekerja untuk “ayah bundanya” secara
maksimal.”
Pernyataan yang bernada kekecewaan ini memang cukup banyak mewarnai perjalanan PAN sebagai partai politik. Terutama dari sebagian kalangan elite
Muhammadiyah sendiri yang merasa aspirasi politiknya tidak didengarkan dan diperjuangkan oleh PAN itu sendiri. selain disebabkan hal tersebut, Dalail Ahmad juga punya
alasan tersendiri yang menurutnya membuat banyak elite Muhammadiyah kecewa dalam menjalin komunikasi politik dengan Muhammadiyah. Alasan tersebut yakni :
“…..Banyak yang tidak merasa puas dengan kinerja orang-orang yang di partai itu, termasuk yang di PAN itu. Ini dibuktikan antara lain ketika
PAN terjadi, kenapa bisa dipimpin oleh orang di luar Muhammadiyah? Tidak dipimpin oleh tokoh Muhammadiyah itu menunjukkan bahwa tokoh-
tokoh PAN yang anggota Muhammadiyah itu seperti belum bekerja maksimal untuk menjalankan misi Muhammadiyah. Tapi lebih kepada
kepentingan-kepentingan di luar kepentingan dakwah. Muhammadiyah ini kan organisasi dakwah.”
Selain itu Dalail juga menilai : “…….setelah berkembang lebih jauh, kenapa orang-orang PAN, orang-
orang Muhammadiyah yang diamanahi, memikul amanah di sisi partai tidak bekerja maksimal untuk kepentingan Muhammadiyah. Ngakunya sih
PAN ini kan bekerja untuk Muhammadiyah. Iya, tapi di pengajian- pengajian pun jarang mereka hadir, di pengajian Muhammadiyah. Partai
lebih penting. Ketidakpuasan tokoh-tokoh Muhammadiyah itu kepada orang-orang partai karena tidak meneruskan tradisi dakwah amar ma’ruf
nahi munkar sebagai jargonnya Muhammadiyah.”
Kekecewaan-kekecewaan yang timbul dari sebagian kalangan elite Muhammadiyah ini pula yang dalam perjalanannya membuat komunikasi politik yang dibangun kedua belah
pihak ini tidaklah selalu berjalan mulus. Berbagai masalah dan rintangan kerap datang layaknya ujian bagi kedua pihak dalam menjaga dan mempertahankan keharmonisan
hubungan komunikasi di antara mereka. Dan fakta sejarah membuktikan bahwa ketika
64
gelombang kekecewaan dalam proses komunikasi politik ini semakin besar, dan tidak mampu lagi dibendung, maka hal ini kemudian memberi dampak besar dan langsung pada
solidaritas PAN itu sendiri. mengenai hal ini Sarwo Edi berkomentar :
“……..Tapi kemudian dalam perjalanan ada juga kader Muhammadiyah yang kecewa dengan Partai Amanat Nasional itu, sehingga pada pemilu
yang lalu sempat muncul yang namanya Partai Matahari Bangsa PMB, yang simbolnya identik dengan simbolnya PAN. Hanya warnanya saja
merah. Dan memiliki cita-cita yang identik dengan cita-citanya Muhammadiyah karena diisi oleh kader-kader Muhammadiyah. Tapi sejak
awal sudah diberi peringatan oleh Pimpinan Pusat, janganlah dibentuknya Partai Matahari Bangsa ini hanya dilatarbelakangi oleh
sebuah kekecewaan. Tapi harus benar-benar ini dilator belakangi dengan sebuah ideologi yang baik dan benar.”
Perpecahan internal yang dialami PAN ini tentu saja kemudian merugikan hubungan kedua belah pihak dalam proses saling membantu mencapai tujuan masing-masing.
Menyadari hal ini PP Muhammadiyah akhirnya ikut turut campur mengatur konsep komunikasi kedua pihak agar tetap saling membantu namun tidak merugikan kedua pihak.
Dan bagi Muhammadiyah utamanya tidak melanggar khittahperjuangan Muhammadiyah itu sendiri. Aturan itu sendiri dijelaskan oleh Mario Kasduri sebagai berikut :
“…….Apalagi baru-baru ini keluar peraturan dari PP Muhammadiyah No.41, menegaskan tentang tidak dibenarkannya pimpinan
Muhammadiyah kalau dia ingin menjadi anggota legislatif atau menjadi apa jabatan politik, itu harus mengundurkan diri dari pimpinan. Tidak
non aktif, tapi mengundurkan diri dari pimpinan. Kalau dia anggota Muhammadiyah tetap, tapi dari pimpinan itu. Karena Muhammadiyah
tidak boleh rangkap jabatan dengan partai politik dan merangkap jabatan dengan organisasi yang sama gerakannya. Seperti contohnya, saya ketua
di Muhammadiyah dan saya juga ketua di Al-washliyah, itu juga tidak dibenarkan. Karena sama gerakannya. Itulah ke-independensi-annya
Muhammadiyah. “
Dari seluruh paparan hubungan dan dinamika komunikasi politik antara Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional ini, kiranya pernyataan Sarwo Edi ini dapat kita
jadikan kesimpulan yang menghubungkan keseluruhannya ;
“…….Dan mungkin walaupun banyak orang yang mengidentikkan bahwa antara PAN dan Muhammadiyah itu seakan-akan memiliki suatu
hubungan baik secara emosional maupun organisatoris, tapi tetap saja Muhammadiyah itu memposisikan PAN itu bkan partainya
Muhammadiyah. Dan Muhammadiyah tetap memposisikan sebagai ormas
65
yang netral. Dan orang Muhammadiyah bebas dimana-mana, tidak ada penekanan dari pimpinan Muhammadiyah agar orang Muhammadiyah itu
menjadikan PAN sebagai partainya. Tapi karena memang punya hubungan sejarah yang panjang, maka pada tahun 2001 Pak Din
Syamsuddin memberi istilah, “ya sudahlah, PAN itu dijadikan sebagai partai utamanya orang Muhammadiyah saja.”
Penerimaan Elite Muhammadiyah Sumatera UtaraTerhadap Komunikasi Politik Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional
Dalam menanggapi hubungan komunikasi politik yang terjalin antara Muhammadiyah dan PAN ini, para elite Muhammadiyah Sumatera Utara memiliki perbedaan pendapat dan
pandangan dalam menerimanya. Pendapat dan pandangan mereka dalam menerima atau tidak menerima hal ini didasari oleh pertimbangan yang hati-hati dari hasil pemikiran yang sarat
akan pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Yang mana tentu saja pengalaman dan pengetahuan di antara mereka berbeda satu sama lain.
Shohibul Anshor misalnya, ia menerimanya dengan positif dan optimisme yang besar terhadap komunikasi politik yang dijalin keduanya. Dengan semangat dan dan keyakinan
tinggai ia mengatakan :
“Ya saya setuju. Karena di Sumut misalnya, mereka mengadvokasi kepentingan Muhammadiyah. Orang frkasi PAN itu. dengan meminta data
mana sekolah, mana amal usaha dari Muhammadiyah itu yang perlu diperjuangkan. Diinvestigasikan mereka itu bangunannya. Diperjuangkan
masuk ke APBD diam-diam. Dan lolos walau tidak 100. Itu kan pertarungan penagmbilan kebijakan.”
Alasan bantuan finansial yang diperjuangkan kader PAN kepada Muhammadiyah menjadi dasar pertimbangan utama bagi Shohibul dalam menerima secara senang dan
terbuka hubungan komunikasi politik yang dijalin keduanya. Peran para kader PAN dianggap penting dan krusial dalam membantu keuangan amal-amal usaha Muhammadiyah. Maka
untuk itu komunikasi politik yang harmonis dan saling membantu satu sama lain harus terus dijalin. Yang artinya menurutnya memang sepatutnyalah warga Muhammadiyah menjadi
konstituen utama dari Partai Amanat Nasional.
Hampir senada dengan pendapat Shohibul, di lain pihak Sarwo Edi juga memberi pandangan yang positif dalam menerima hubungan komunikasi politik yang dijalin
Muhammadiyah dan PAN. Hanya saja ia memiliki dasar pertimbangan yang berbeda, yang memandang dari sudut yang lebih luas atas berbagai aspek, yang dipaparkan berikut :
66
“Karena kita tidak bisa memungkiri perjalanan sejarah itu, bahwa PAN didirikan oleh mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kemudian
PAN diinisiatifi oleh warga Muhammadiyah dalam pemenuhan struktrunya untuk kelanjutan. Maka kita tidak bolehlah bersikap apriori
terhadap PAN itu sendiri. Saya pikir saya lebih elegan saja, ya boleh saja kita menyatakan kecewa sih terhadap perjalanan PAN yang didirikan oleh
Pimpinan Muhammadiyah dan diisi oleh warga Muhammadiyah, kemudian di tengah perjalanannya sikap berpolitiknya warga PAN
hampir tidak bisa dibedakan dengan sikap berpolitiknya orang-orang berpolitik lainnya. Seharusnya PAN sebagai partai yang diinisiatifi oleh
orang Muhammadiyah itu harus menjunjung norma positif dibandingkan dengan partai-partai yang didirikan oleh orang bukan Muhammadiyah.”
Dari pernyataannya, dapat dilihat bahwa penerimaan Sarwo Edi lebih didasarkan atas pertimbangan fakta historis yang menghubungkan Muhammadiyah dengan PAN.
Keberadaan fakta historis ini menurutnya begitu penting, sehingga meskipun ada sebagian kalangan yang mungkin merasa kecewa terhadap perkembangan dan kinerja PAN, janganlah
sampai menimbulkan apriori terhadap PAN itu sendiri. Maka mengutip perkataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, sudah sepatutnyalah PAN dijadikan partai utama
bagi warga Muhammadiyah. Tentu saja penerimaan yang positif dengan terbuka ini tidak dapat digeneralisir di
seluruh kalangan elite Muhammadiyah. Prof Hasyimsyah misalnya, sedikit berbeda dengan pendapat dua rekannya di atas, ia lebih menilai secara hati-hati dengan mempertimbangkan
aspek analisis hitung-hitungan politiknya. Ia mengatakan :
“Bisa setuju, tapi tidak semua daerah. Ada daerah, umpamanya Sleman di Yogyakarta, ya bupatinya itu orang dari Muhammadiyah. Di beberapa
tempat ada yang seperti itu. Ada yang simbiosis mutualis ya, saling mendukung, tapi ada juga di beberapa tempat yang mungkin terjadi
benturan kecil-kecil. Tapi kalau disebut secara umum, masih lebih banyak yang saling mendukung dalam arti politik.”
Karakter sosial politik tiap daerah di Indonesia yang sangat beragam membuat ia tidak bisa menggeneralisir pendapatnya. Meskipun secara pribadi dosen yang melakukan
penelitian disertasi politik ini berkeyakinan bahwa lebih banyak daerah di Indonesia yang Muhammadiyah dan PAN-nya saling menjalin komunikasi politik satu sama lain, ketimbang
yang tidak.
Sementara di sisi lain, ada pula elite yang dengan terang-terangan menyatakan penolakannnya terhadap komunikasi politik yang dibangun Muhammadiyah dan PAN. Mario
67
Kasduri misalnya, ia menolak hal ini dan menganggapnya hanya sebagai isu saja. Dalam ucapannya ia menanggapi :
“Gak. Gak ada itu. dimana-mana kalau ada pendapat seperti itu, langsung kita jawab seperti itu tidak ada hubungan. Dimana-mana saya
nanggapinya gitu. Pokoknya tidak ada hubungan. Memang tanggapan orang banyak seperti itu. Karena di dalam khittah perjuangan
Muhammadiyah jelas itu. Gak boleh.”
Tidak hanya menolak, elite seperti Mario bahkan juga aktif menetralkan anggapan itu di kalangan grassroot. Ia menyebarkan pandangan politiknya pada warga Muhammadiyah
dengan mengusung netralitas yang dianut khittah Muhammadiyah. Perbedaan pendapat memang merupakan satu hal yang lumrah dalam diri tiap-tiap
manusia, termasuk kalangan elite Muhammadiyah Sumatera Utara ini sendiri. dengan mempertimbangkan berbagai aspek alasan masing-masing, setiap elite boleh saja menerima
atau tidak menerima komunikasi politik yang dibangun antara Muhammadiyah dan PAN. Namun yang jelas, berbagai pandangan elite tersebut tidak akan dapat mengubah fakta
historis yang membangun jalinan hubungan antara Muhammadiyah dan PAN. Bahwa PAN bagaimanapun adalah hasil dari ijtihad politik Muhammadiyah yang diprakarsai oleh sosok
negarawan sekelas Amien Rais.
4.2.2 Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera Dalam Bingkai Komunikasi Politik
Kita telah membahas dan menganalisis hubungan dan dinamika komunikasi politik yang terjalin antara Muhammadiyah dan PAN, dimana pembahasan dan analisis tersebut kita
lakukan dari sudut pandang para elite Muhammadiyah Sumatera. Dan dari sudut pandang yang sama tersebut pula, kita juga telah membahas dan menganalisis penerimaan para elite
tersebut tentang jalinan komunikasi yang telah terjalin cukup lama antara keduanya. Yakni sejak proses awal pembentukan PAN itu sendiri.
Kedua topik pembahasan tersebut seyogiyanya merupakan topik pengantar yang mengawali pembahasan dan analisis kita terhadap permasalahan utama yang diangkat dalam
tulisan ini. Sebagai pengantar, ia berperan menjadi wacana pembuka permasalahan utama agar tulisan ini tersusun secara logis, sistematis, dan komprehensif sebagaimana umumnya
sebuah tulisan ilmiah. Sebab ketiga faktor tersebut sangat menentukan dalam proses pencapaian tujuan tulisan yang diharapkan.
68
Maka dari itu, setelah kita melewati topik pengantar, selanjutnya kita akan masuk dalam permasalahan utama dari tulisan ini. Yakni fenomena relasi Partai Amanat Nasional
PAN dan Partai Damai Sejahtera PDS. Uraian lengkap mengenai kejadian fenomena ini telah penulis paparkan di bagian latar belakang masalah pada bab sebelumnya. Dan seperti
yang telah dipaparkan penulis pada bab sebelumnya, fenomenologi atau fenomenalisme secara harfiah dapat dikatakan sebagai aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme gejala adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau penampakan. Yakni hal-
hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya.Dalam tulisan ini, penggunaan teori fenomenologi dimaksudkan untuk menjadi suatu ilmu deskriptif dan secara sistematika yang
ketat rigorous dapat menjelaskan mengenai fenomena yang dikenal oleh kesadaran secara langsung. Maka untuk dapat menjelaskan secara nyata dan lengkap suatu fenomena,
keberadaan data dan informasi yang akurat, faktual, dan komprehensif sangatlah penting. Sehingga untuk keperluan itu penulis mengumpulkan informasi dan data mengenai fenomena
permasalahan ini dari berbagai sumber, yang sebagian besarnya adalah tulisan berita dari berbagai media di Indonesia.
Selanjutnya penulis akan membahas dan menganalisis fenomena tersebut berdasarkan persepsi dari para elite Muhammadiyah Sumatera Utara. Telah dijelaskan pula pada bagian
sebelumnya bahwa inti dari persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi sensory stimuli.
Atau dengan kata lainpersepsi dapat juga diartikan sebagai proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari
lingkungan, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku. Dalam hal ini proses pemaknaan ini dilakukan sepenuhnya oleh para elite Muhammadiyah Sumatera Utara. Dan hasil dari proses
pemaknaan merekalah yang kemudian akan kita bahas dan analisis sebagai data utama penelitian.
Yang mana analisis dan pembahasan persepsi tersebut akan dilakukan berdasarkan teori interaksionisme simbolik. Teori interaksionisme simbolik yang kita gunakan dalam
penelitian ini, dapatlah didefinisikan sebagai cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain. Teori
ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. Teori interaksi simbolik menggunakan paradigma individu sebagai
subjek utama dalam percaturan sosial, meletakkan individu sebagai pelaku aktif dan proaktif.
69
Selanjutnya berdasarkan kerangka analisis penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam membahas dan menganalisis data yang ada, yakni persepsi-persepsi para
elite Muhammadiyah yang terkait dengan fenomena akan dibagi ke dalam beberapa kategori. Kategorisasi ini dilakukan untuk memfokuskan analisis dan pembahasan sehingga lebih
memperdalam penelitian dan mendetailkan penjelasan dan atas permasalahan ini. Kategorisasi dipilih dan ditentukan berdasarkan hal-hal penting terkait fenomena relasi
politik PAN dan PDS yang dimuat dalam pemberitaan media massa. Namun tentu saja seluruh kategori tetap terkait satu sama lain dan tidak keluar dari fokus permasalahan. Dan
pembagian kategori tersebut adalah sebagai berikut :
Penerimaan Terhadap Fenomena Relasi Politik PAN dan PDS
Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Hubungan Komunikasi Politik Muhammadiyah dan PAN
Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Loyalitas
Politik Warga Muhammadiyah
Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Elektabilitas dan Citra PAN
Dampak Pemberitaan Fenomena Terhadap Proses Dakwah Amar Ma’ruf Nahi
Munkar Muhammadiyah
Pembicaraan seputar fenomena relasi PAN dan PDS di antara elite Muhammadiyah dan PAN
Penerimaan Terhadap Fenomena Relasi Politik PAN dan PDS
Telah kita bahas sebelumnya mengenai fenomena dijalinnya relasi politik antara Partai Amanat Nasional PAN dengan Partai Damai Sejahtera PDS. Relasi politik ini, yang
sebagian kalangan juga menyebutnya dengan koalisi politik atau merger politik bagaimanapun adalah suatu fenomena menarik yang menjadi salah satu gelombang kejutan
politik dalam menyongsong pemilihan umum 2014. Komunikasi politik yang dijalin keduanya mungkin memang bakal memberi efek simbiosis mutualisme pada masing-masing
pihak. Namun, dalam politik tentu berbagai aspek harus dipertimbangkan, lebih dari sekedar pragmatisme masing-masing pihak. Sebab sebagai partai politik keduanya harus pula
mempertimbangkan aspek persepsi yang terbangun dalam masyarakat, utamanya masyarakat yang notabene merupakan basis konstituen mereka. Apalagi selama ini kedua partai tersebut
dikenal memiliki basis konstituen tetap yang loyal dan terfokus. Yakni warga Muhammadiyah untuk PAN dan kalangan gereja Kristen untuk PDS.
70
Perpaduan keduanya tentu menimbulkan beragam pendapat di masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra. Dan lebih menarik lagi jika pendapat atau persepsi tersebut berasal
dari kalangan elite Muhammadiyah yang selama ini diketahui telah memiliki sejarah perjalanan yang cukup panjang dalam menjalin komunikasi politik dengan PAN seperti yang
telah kita uraikan di atas. Berbagai laporan pemberitaan mengenai hal ini yang mereka konsumsi dari media massa tentu membangun sikap dan pandangan pribadi mereka dalam
menanggapi hal ini. Yang mana hal itu diketahui peneliti melalui persepsi yang mereka sampaikan.
Persepsi para elite mengenai fenomena relasi politik PAN dan PDS ini dimulai dari pendapat dan sikap mereka dalam menerima hal ini. Penerimaan disini bukanlah dalam arti
yang sempit. Melainkan penerimaan dalam arti luas yang mencakup posisi yang mereka ambil terhadap fenomena ini, apakah posisi pro ataukan kontra. Selain itu, penerimaan disini
juga dapat berarti pandangan mereka secara langsung dalam menilai strategi kebijakan politik yang diambil PAN dalam hal ini. Bahkan lebih jauh penerimaan dalam hal ini juga mencakup
pandangan para elite mengenai keuntungan yang bisa diperoleh kedua belah pihak, yakni PAN dan PDS.
Sebagai seorang akademisi yang melek politik dan memang nasehat politiknya seringkali diminta oleh PAN, Sarwo Edi menanggapi fenomena ini melalui pernyataan dari
sudut pandang logi ka politik :
“Ya saya pikir karena itu namanya partai, dan PAN itu sebagai sebuah partai terbuka, namanya aliansi politik untuk menggabungkan aspirasi
politiknya, saya pikir itu tidak ada masalah. Karena ini persoalannya muamalah duniawiah. Tidak ada salahnya bekerja sama dengan Partai
Damai Sejahtera, kendatipun itu lahir dari Kristen dan diisi oleh warga Kristiani. Kalau saya memandang itu dengan kacamata yang lebih
pluralistik. Jadi tidak boleh kita itu memandang dengan kacamata yang bersifat sempit. Karena ini persoalannya persoalan partai. Jadi ya
silahkan saja menurut saya itu. tidak ada masalah.“
Merujuk pada azas PAN sebagai partai nasionalis yang inklusif, Sarwo Edi menilai kebijakan yang diambil PAN terkait fenomena tersebut sebagai suatu langkah politik yang
biasa. Aliansi politik yang dibentuk untuk menggabungkan berbagai aspirasi politik dipandangnya sebagi masalah muamalah duniawiyah yang tidak berkaitan sama sekali
dengan prinsip-prinsip politik formal-simbolis Islam yang bagi sebagian orang merupakan satu keniscayaan yang tidak bisa ditawar. Justru ia memandang berdasarkan nilai-nilai
pluralisme yang biasanya digunakan oleh kalangan yang lebih mengedepankan substansi
71
dalam berpolitik. Maka secara keseluruhan ia menyatakan sepakat dengan langkah yang diambil kedua belah pihak untuk menggabungkan diri.
Senada dengan pernyataan Sarwo Edi di atas, Shohibul Anshor di lain kesempatan melihat fenomena ini sebagai strategi politik cerdas yang dilakukan PAN dalam
membesarkan partai dan meraih dukungan suara sebanyak-banykanya dari masyarakat. Berdasarkan sifat pragmatis-akomodatif ia menilai, bahwa strategi ini berpeluang besar untuk
mendulang suara dari basis massa yang selama ini belum bisa diraih maksimal oleh PAN. Yakni di daerah-daerah yang notabene masyarakatnya beragama Kristen. Termasuk di
Sumatera Utara yang memiliki banyak daerah dengan masyarakat mayoritas beragama Kristen.
“Karena partai ini partai besar dan terbuka platformnya, tidak boleh tidak…..Jadi silahkan mereka ke gereja. Itu memang agamanya. Tapi
kebijakan kita kan ada yang sangat prinsipil ketika mendirikan partai ini.”
Kembali merujuk pada sifat nasionalis tebuka PAN, ia meyakinkan bahwa sama
sekali tidak ada yang salah dalam fenomena ini. Yang terpenting baginya adalah peluang ke depan yang dapat diambil PAN dari hasil penggabungan ini. Yakni membuka lahan
konstituen baru yang selama ini sulit untuk dijangkau PAN karena keidentikannya dengan partai Muhammadiyah di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, ia juga memberi komentar kritis terhadap PDS. Kritik logis yang menurutnya membuat PDS bernasib tidak baik seperti saat sekarang ini. nasib yang justru
membawa keuntungan politik bagi PAN.
“………Jadi kemana PDS pragmatis. Iya, jadi karena tidak bisa mempertahankan eksistensi, sebetulnya kolaps itu PDS itu. ada dua tiga
orang yang masih memiliki selera dan potensi politik itu mencari inisiatif. Tarik-menarik di antara kubu partai itu begitu kuat. Bukan hanya ke PAN
tapi juga ke Hanura. Tapi mungkin di wilayah-wilayah mayoritas Kristen seperti Taput dan Ekstaput semua ada situasi yang amat sangat
“menyejukkan” mereka kalau masuk ke PAN, ketimbang partai lain.” Senada dengan Shohibul Anshor, Prof Hasyimsyah juga melihat fenomena ini dengan
kacamata optimis dapat memberi keuntungan politik bagi PAN. Mendasarkan pendapatnya pada sistem demokrasi Indonesia yang mengutamakan aspek mayoritas untuk meraih
kekuasaan, maka PAN sebagai partai politik yang juga ingin meraih kekuasaan, terlebih lagi bila ingin menempatkan kadernya sebagai Presiden, tentu saja ia harus menghimpun
sebanyak-banyaknya dukungan dari berbagai kalangan masyarakat. Termasuk kalangan umat
72
Kristen. Dan azas nasionalis terbuka yang dianutnya memang memungkinkan ia untuk melakukan hal itu.
“Saya kira mendukung atau lebih tepat setuju…. Apalagi partai ini kan ingin kekuasaan, puncak kekuasaan itu kan presiden, kalau menjadi
presiden itu mesti banyak dukungan. Kemudian ya mana yang mayoritas di dalamnya, Karena sistem demokrasi tetap saja begitu. Jadi bukan
mendukung, tapi melihat ada benarnya begitulah mungkin bahasanya. Ada benarnya kalau PAN menerima PDS bergabung dengan dia.”
Jika Prof Hasyimsyah melihat azas nasionalis PAN sebagai suatu keuntungan dalam strategi politik, Mario Kasduri justru menilai sebaliknya. Meski secara pribadi ia menyetujui
langkah politik yang diambil PAN untuk bergabung dengan PDS, karena memang mengetahui azas nasionalis PAN. Dan ia juga menjunjung tinggi penghargaan terhadap
pluralitas. Namun di sisi lain ia justru mengkritik azas itu, yang menurutnya menjadi kesalahan founding fathers PAN dalam menentukan ideologi.
“……….Dan di situlah analisa saya, di situlah dulu salah satu kelemahan Pak Amien Rais menentukan partainya berbasis nasional. Sehingga
orang-orang yang fanatik keislamannya, maka banyak orang Muhammadiyah yang gak memilih PAN waktu itu. Karena nasional itu.
karena ada orang Kristennya, ada apanya non muslim. Itu salah satu kelemahannya.”
Azas nasionalis adalah boomerang bagi PAN, menurut Mario dalam usaha PAN untuk menarik simpati dan meraih dukungan maksimal dari warga Muhammadiyah. Hingga
PAN tidak pernah menang dalam pemilihan umum. Lain cerita jika ia berazaskan Islam. Sedikit berbeda dari rekannya sesame elite, Dalail Ahmad lebih menyoroti
keengganan PAN untuk lebih dekat dengan partai-partai Islam. Meski ia juga tidak menolak langkah politik yang diambil PAN, tapi dengan kritis ia menyayangkan ketimpangan PAN
dalam menjalin hubungan yang lebih dekat dengan partai yang sama dalam aqidah.
“Secara partai sih sah-sah saja, karena ideologi Muhammadiyah itu terbuka, artinya menjalin dengan golongan mana pun. Ya itu tadi.
Muhammadiyah sih sebenarnya terbuka, bekerja sama dengan golongan lain. Nah itu secara agama pun ya Islam itu kan membuka diri untuk
rahmatan lil alalmin. Tapi pertanyaan, mengapa tidak dibangun hubungan yang lebih mesra dengan partai-partai Islam yang lain? Yang
disana itu orangnya masih ber-syahadat, tauhid. Kok ujung-ujung dengan PDS? Kalau memang itu terjadi, nah ini sudah kayak “melacur”. Yang
mana-mana pun dikerjakan. Sementara dia tidak pandai membangun dengan partai-partai Islam yang jelas.”
73
Kritiknya cukup keras dalam menyoroti hal ini, penggunaan kata ”melacur” yang ia ucapkan seakan mewakili emosi yang terpendam dalam menilai fenomena ini. Sebab
bagaimanpun ia merasa PAN sebagai “anak” Muhammadiyah haruslah menuruti perkataan “ayah bundanya”.
Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Hubungan Komunikasi Politik Muhammadiyah dan PAN
Setiap fenomena biasanya selalu memberi dampak terhadap pihak-pihak yang terlibat di sekitarnya, atau setidaknya pihak yang memiliki hubungan tertentu dengannya. Begitu juga
dengan fenomena ini. Relasi politik yang dijalin PAN dengan PDS sedikit banyak tentu memberi pengaruh kepada Muhammadiyah yang telah memiliki hubungan kebersamaan yang
cukup panjang. Terlebih fenomena ini telah cukup ramai diberitakan oleh berbagai media massa yang sebagiannya merupakan media nasional. Sebab, sebagaimana yang telah kita
uraikan pada bagian terdahulu, hubungan komunikasi politik yang dijalin Muhammadiyah dan PAN kerap mengalami dinamika pasang surut, yang disebabkan oleh berbagai hal. Lalu
dengan adanya pemberitaan mengenai fenomena ini, bagaimana para elite Muhammadiyah Sumatera Utara memandangnya dari perspektif dampak atau pengaruh yang mungkin
ditimbulkannya terhadap komunikasi politik yang telah lama dijalin Muhammadiyah dan PAN? Dan apakah mungkin pemberitaan fenomena ini dapat menciptakan dinamika baru
dalam konteks komunikasi politik tersebut? Jika iya, apakah dinamika positif ataukah malah negatif yang diciptakannya? Persepsi-persepsi para elite berikut beserta analisis penulis akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam pandangannya, Sarwo Edi memperkirakan pemberitaan mengenai fenomena
ini tidak akan mengganggu hubungan komunikasi politik yang telah dijalin Muhammadiyah dengan PAN. Ia berpendapat bahwa :
“Saya pikir tidak akan terganggu komunikasi Muhammadiyah dengan PAN gara-gara hanya disebabkan berita itu, kerja sama dengan Kristen.
Karena bagi Muhammadiyah, Kristen itu bukan gerakan yang harus “dihempang”. Tapi bagi Muhammadiyah Kristen itu adalah suatu
gerakan yang harus diimbangi. Dan ketika cerita masalah untuk membesarkan partai itu sebenarnya satu hal yang sangat
menggembirakan. Jadi tidak ada mengganggu dari segi mana pun.”
Persepsi Sarwo Edi dalam hal ini, di satu sisi memang bersandar pada sifat pluralistik yang dianut Muhammadiyah itu sendiri. Sebagai organisasi Islam moderat, Muhammadiyah
74
memang dikenal menjunjug tinggai nilai-nilai keberagaman sebagai sebuah rahmatan lil alamin.
Dan gerakan intelektual yang menjadi identitas Muhammadiyah itu sendiri juga mengutamakan ijtihad dalam meng hadapi satu persoalan dibanding berpegang pada taqlid
yang terkadang tidak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. termasuk dalam memandang hubungan muslim dan non-muslim yang dijelaskan Sarwo Edi di sini.
Dalam pandangan Prof Hasyimsyah, equability atau keseimbangan menjadi indikator dalam memperkirakan dampak fenomena terhadap komunikasi politik Muhammadiyah dan
PAN. Terlalu dini bagi kita jika memperkirakan kemungkinan dampaknya sekarang. Belum bisa. Kita perlu melihat lebih dulu perimbangan kekuatan internal PAN pasca merger dengan
PDS ini. Fakta pihak mana yang bakal mendominasi kekuatan internal PAN ke depannya itu nanti yang akan mempengaruhi komunikasi politiknya dengan Muhammadiyah. Apakah
kader Muhammadiyah tetap yang akan mendominasi PAN, atau justru mereka disingkirkan oleh kader PDS.
“Itu dilihat ke depan. kalau dominan nanti keberadaan PDS atau paling tidak berimbang kekuataan PDS dan PAN, mungkin akan mengganggu.
Kalau di jajaran kepengurusannya. Apalagi ada calegnya yang jadi, mereka PDS yang jadi, nah tentu perhatiannya ke Muhammadiyah akan
berkurang. Pasti mengganggu. Tapi kalau di kepengurusannya mereka tidak seimbang, calegnya dari PDS tidak jadi, yang muslimnya yang
jadi, bahkan mungkin kader Muhammadiyah tetap terbina. Politik ini kan tergantung ‘cuaca’. Kalau cuacanya menguntungkan ya saya kira
Muhammadiyah bisa dekat. Jadi kalau dibilang Sumatera Utara apakah ini menguntungkan, tidak bisa kita sebut. Ya bisa menguntungkan bisa
tidak. Tergantung apakah PAN ke depan masih ada kader Muhammadiyah di dalamnya, dan bagaimana kedekatannya dengan persyerikatan
Muhammadiyah. Terutama warga-warganya kan, bisa begitu.”
Sebab jika yang mendominasinya ke depan adalah kader PDS, menurut Prof Hasyimsyah warga Muhammadiyah perlahan akan mulai mengundurkan diri dari PAN. Baik
sebagai kader aktif, maupun konstituen loyal. Maka dari itu, wajib bagi PAN untuk menjaga perimbangan kekuatan di internal mereka.
Pendapat lain dari elite Muhammadiyah yang memandang berbeda terkait dampak ini berasal dari Mario Kasduri yang cenderung melepaskan Muhammadiyah dalam
keterkaitannya terhadap masalah ini. Dengan cenderung sedikit apriori ia mengatakan : “Kalau secara organisatoris gak ada masalah. Karena memang gakada
hubungan apa-apa kan. Tapi secara pribadi, kalau saya pribadi ya cukup menyesal la. Berpasangan dengan apa PDS. Karena kita ketahui kalau
orang-orang itu kan, orang-orang non Islam ini kan tinggi apanya fanatiknya. Karena dalam Al-Qur’an sendiri dinyatakan bahwasanya
75
orang-orang kufar itu tidak akan berhenti, tidak akan senang untuk meng- apa mengganggu kita sebelum kita mengikuti millahnya. Millah itu
bukan agama, pemikirannya, apanya semua.”
Mario lebih memilih melihat hal ini dari kacamata prinsip fundamen Islam yang formal-simbolis. Ia dengan yakin mengatakan bahwa antara Muhammadiyah dan PAN
masing-masing berjalan sendiri, dan karena itu fenomena ini tidak akan memberi dampak pula pada satu sama lain.
Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Loyalitas Politik Warga Muhammadiyah
Telah diketahui bahwa warga Muhammadiyah merupakan basis konstituen utama dari Partai Amanat Nasional dalam mendulang suara di setiap pemilu maupun pilkada.
Keberadaan relasi historis dan pengaruh komunikasi politik antara Muhammadiyah dan PAN yang digerakkan oleh para elite sebagai aktornya berpengaruh kepada penentuan pilihan
politiknya warga Muhammadiyah. Meski dalam perkembangannya terdapat dinamika dalam hubungan komunikasi politik ini yang cukup berpengaruh pada raihan suara yang dapat
didulang PAN dari warga Muhammadiyah, namun hal itu tidaklah lantas serta merta menghilangkan kepercayaan seluruh warga Muhammadiyah kepada PAN.
Lalu setelah adanya pemberitaan mengenai fenomena ini, apakah warga Muhammadiyah tetap akan percaya terhadap kredibilitas PAN sebagai partai politik yang
dapat memperjuangkan aspirasi mereka? Terlebih setelah para elite Muhammadiyah sendiri telah mengambil sikap masing-masing dalam menyikap hal ini. Bagaimana kemudian
pandangan para elite tersebut tentang kemungkinan sikap warga Muhammadiyah dalam menerima dan menyikap fenomena ini?
Pengetahuan akan substansi permasalahan yang memadai dan menyeluruh merupakan kunci penting dalam membangun sikap penerimaan positif dari warga Muhammadiyah
terhadap fenomena ini. Demikian pendapat Shohibul Anshor. Dia mengakui bahwa ada kalangan warga Muhammadiyah yang menolak dan memandang negatif fenomena ini. namun
penolakannya tersebut, seyogiyanya adalah dikarenakan faktor ketidakmengertiannya akan substansi yang tersirat di balik fenomena ini. Maka warga Muhammadiyah perlu diberi
pengertian, terutama dari para elite yang mereka percayai kompetensi dan kredibilitasnya. Seperti juga halnya Shohibul, Prof Hasyimsyah juga memiliki cara pandang yang
sama :
76
“Mungkin mereka gak tahu juga. Karena itu yang mengikuti kan yang membaca koran. Dan di Sumatera Utara belum kelihatan gejala itu.
Kepengurusannya masih yang lama, caleg-calegnya itu masih yang lama. Kecuali terjadi perubahan seperti yang saya katakan tadi itu, dominan
mungkin nanti ada reaksi. Tapi ini kan belum. Mungkin diterima pada tingkat pusat dan untuk daerah tertentu barangkali ya. Tapi Sumatera
Utara kayaknya kepengurusannya masih begitu. Kepengurusan ini kan yang mengatur caleg itu, masih didominasi oleh kader muslim, terutama
Muhammadiyah.”
Secara pribadi, ia pesimis akan pengetahuan warga Muhammadiyah yang komprehensif mengenai fenomena ini. Dan lebih jauh ia menerangkan realitas permasalahan
untuk tingkat Sumatera Utara. Yang menurut pendapatnya, belum terlihat perubahan yang signifikan. Mulai dari pengurus hingga para calegnya masih merupakan orang-orang lama
yang memang notabene kader PAN itu sendiri. Belum terlihat orang-orang PDS di dalamnya. Maka sikap dan penerimaan warga Muhammadiyah pun juga masih menunjukkan hal yang
sama, tanpa perubahan. Kecuali jika dominasi internal PAN dapat berubah pihak yang menguasainya seperti analisisnya di atas, mungkin saja sikap dan penerimaan warga
Muhammadiyah akan berubah. Di sisi lain, nada optimis tersirat jelas dari pernyataan Sarwo Edi akan hal ini. Bahkan
keraguan akan pengetahuan warga Muhammadiyah mengenai fenomena yang dilontarkan Prof Hasyimsyah tidak berlaku dalam pandangan Sarwo Edi.
“Warga Muhammadiyah itu biasanya tingkat pemahaman keberagamaannya tinggi. Walaupun dia sampai ke tingkat grasroot itu
biasanya cukup baik. Saya walaupun ini mungkin belum survey, tapi saya pikir akan sepakat dengan apa yang saya sampaikan tadi. Biasanya
begitu. Kecuali kita memasuki kelompok-kelompok yang terasuki oleh pemikiran radikal dan memiliki pandangan eksklusif itu tadi. Tapi kalau
warga Muhammadiyah yang memiliki pemahaman bagaimana sih Muhammadiyah di dalam memandang sebuah partai politik itu biasanya
akan sepakat.”
Satu-satunya faktor yang mungkin menyebabkan warga Muhammadiyah tidak dapat menerima keberadaan fenomena ini adalah konsep pemikiran yang radikal dan eksklusif
yang bisa saja mempengaruhi mereka dari berbagai sumber lain selain dari Muhammadiyah. Pemikiran Islam seperti itu, yang menurut Sarwo Edi tidak sesuai dengan konsep ajaran
Muhammadiyah justru akan menjauhkan mereka dari Muhammadiyah itu sendiri. dan orang- orang yang menganut pemikiran seperti ini cenderung kemudian akan bergabung satu sama
lain membentuk kelompoknya yang eksklusif.
77
Dan tentu saja terdapat pula elite Muhammadiyah yang memandang pesimis penerimaan warga Muhammadiyah terhadap fenomena ini. Seperti pendapat Dalail Ahmad
berikut : “Menurut dugaan-dugaan saya, tambah jauh nanti. Karena begini,
mengapa tidak dibangun dengan partai-partai Islam, atau ormas-ormas Islam. Kok ini ditelantarkan? Sementara orang PDS ini punya jama’ah
tersendiri, punya cara tersendiri. Jangan-jangan dia akan menelikung PAN, memanfaatkan PAN. Bisa jadi. Seakan pimpinannya itu bisa umat
kita-kita Kristen gitu. Dia punya partai lain. Kan lebih dekat ke PDI, sama-sama partai sekuler. Ngapain pula di PAN yang memang orang
Muhammadiyah.”
Dalail justru memperkirakan bahwa warga Muhammadiyah tidak hanya menolak fenomena ini, bahkan ke depannya fenomena ini juga akan membuat warga Muhammadiyah
semakin menjauhi PAN. Kekecawaan akan timbul di kalangan warga Muhammadiyah, terlebih melihat kebijakan PAN yang seolah tidak seimbang dalam menjalin hubungan
dengan partai-partai atau ormas-ormas Islam lain. Sebagai partai, PDS tentu memiliki massanya sendiri, yakni masyarakat yang notabene berasal dari kalangan umat Kristen.
Dalail juga memiliki kekhawatiran sama dengan Hasyimsyah yang melihat kemungkinan bahwa PDS akan menguasai PAN nantinya, sehingga kader muslim PAN justru akan
tersingkir di rumah sendiri. Hingga akhirnya secara keseluruhan ia mengkritisi fenomena ini, yakni alangkah lebih tepatnya jika PDS memilih partai politik sekuler seperti PDI Perjuangan
misalnya, bukannya PAN yang berbasis massa dan memiliki tradisi Islam yang panjang.
Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Elektabilitas dan Citra PAN
Setiap langkah dan kebijakan politik yang diambil setiap partai tentu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan elektabilitas partai tersebut di masyarakat. Elektabilitas
yang tinggi berarti perolehan suara yang besar dapat diraih di ajang kontestasi pemilu atau pilkada. Maka elektabilitas ini yang mendorong pencapaian tujuan dari setiap partai politik,
yakni meraih kekuasaan yang sebesar-besarnya. Elektabilitas berkorelasi dengan citra yang dibangun dan melekat dengan partai
tersebut. Citra yang positif akan menumbuhkan kepercayaan publik untuk menjadi konstituen bahkan loyalis dari partai tersebut. Elektabilitas dan citra ibarat dua sisi mata uang yang tak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Keduanya saling terkait dan menyokong keberadaan di antara mereka.
78
Langkah dan kebijakan politik yang diambil PAN dalam menerima bergabungnya PDS tentu juga didasari pertimbangan politik untuk meningkatkan elektabilitas dan citra
secara bersamaan. Dan sekarang, setelah berbagai media memberitakan fenomena tersebut kepada khalayak luas, apakah elektabilitas dan citra tersebut benar-benar telah meningkat?
Pendapat para elite Muhammadiyah berikut akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut, yang ditarik dari perspektif efektifitas strategi politik partai kepada masyarakat.
Sarwo Edi dalam satu kesempatan menilai bahwa terjadinya fenomena tersebut adalah satu hal yang menggembirakan dalam usaha menjadikan PAN sebagai salah satu partai besar
di Indonesia. Dijalinnya relasi politik dengan PDS menurut Sarwo Edi adalah strategi politik yang tepat dan efektif dalam meningkatkan elektabilitas PAN. Pendapat ini didasari oleh
kekuatan politik PAN yang akan semakin bertambah dalam menjaring suara di daerah pemilihan yang notabene dihuni oleh mayoritas umat Kristen.
“Dan ketika cerita masalah untuk membesarkan partai itu sebenarnya satu hal yang sangat menggembirakan. Jadi tidak ada mengganggu dari
segi mana pun. Karena tidak mungkin daerah mayoritas muslim itu berani masuk calegnya yang Kristen, itu tidak akan berani. Tetapi
keuntungannya dimana? Ketika kemudian PDS itu dia merger ke PAN, dimana daerah yang mayoritas Kristiani, karena tahu PDS itu kadernya
mencaleg dari PAN, maka mayoritas Kristiani akan membesarkan daripada PAN itu sendiri. Maka jumlah perolehan kursi akan menjadi
bertambah. Kalau perolehan kursi bertambah, maka secara politik PAN itu akan memiliki suatu kekuatan di parlemen. Ketika memiliki kekuatan
yang lebih di dalam parlemen, maka kemudian PAN itu aspirasinya akan lebih didengar. Maka pemegang kebijakan berarti adalah dari PAN.
Tidak lagi ada istilahnyapemegang kebijakan itu adalah PAN yang karena PDS. Itu hilang. Itulah keuntungannya. Jadi saya pikir itu sudah cukup
dikatakan bijak.”
Citra PAN akan semakin baik di mata umat Kristen dengan adanya fenomena ini yang banyak diberitakan oleh media massa. PAN akan dianggap sebagai partai inklusif nasionalis
yang dapat menampung aspirasi seluruh umat beragama di Indonesia. Sehingga menurut Sarwo Edi PAN akan semakin kuat di parlemen dalam memegang otoritas kebijakan. Dan
jika PAN semakin kuat, menurutnya perlahan PDS akan ikut tenggelam dalam kebesaran PAN itu sendiri.
Pandangan Sarwo Edi mengenai dampak fenomena terhadap elektabilitas dan citra PAN tersebut juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Prof Hasyimsyah. Ia berpendapat :
“Karena tadi, Indonesia ini kan luas. Gak, bisa kita bikin satu hal yang sama secara politik. Mungkin secara ideologi bisa. Tapi secara politik
79
tidak mungkin. Ya bagaimana halnya di daerah-daerah yang mayoritas non muslim, di Minahasa, Indonesia Timur, tidak mungkin itu kan”
Pertimbangan kemajemukan Indonesia mejadi landasan Prof Hasyimsyah menilai apakah fenomena ini akan memberi dampak positif terhadap elektabilitas dan citra PAN di
masyarakat. Dan merujuk pada pendapatnya di atas, dapat dijelaskan bahwa ia memandang optimis pada elektabilitas dan citra PAN pasca fenomena ini. Keterbukaan dan inklusifitas
baginya merupakan satu keniscayaan dalam berpolitik di Indonesia yang beragam ini. Sebab ada begitu banyak daerah di Indonesia yang mayoritas agama penduduknya bukanlah Islam
seperi di daerah lain. Bahkan untuk Sumatera Utara sendiri keberagaman ini tak kalah besar.
“Karena sulit umpamanya di PAN, di Sumatera Utara di daerah yang bukan muslim seperti di Tapanuli Utara siapa yang jadi pimpinannya?
Tidak mungkin, sementara ada massanya di situ. Tapi kalau di daerah yang muslim, sebenarnya massa PDS juga mungkin tidak ada. Jadi
pertimbangan Indonesia yang luas itu saya kira. Tapi secara ideologi karena dia nasionalis bisa dipertemukan.”
Prof Hasyimsyah memandang bahwa masyarakat Sumatera Utara akan melihat citra PAN lebih positif pasca fenomena ini. terlebih di daerah mayoritas Kristen seperti Tapanuli
Utara dimana terdapat massa PAN dan tentunya juga massa PDS selama ini. Sehingga kedua basis massa tersebut dapat direbut melalui strategi ini.
Senada dengan Sarwo Edi dan Prof Hasyimsyah, Shohibul juga memperkirakan bahwa fenomena ini akan memberi dampak yang baik bagai eningkatan elektabilitas dan citra
PAN, terutama di daerah-daerah yang selama ini sulit untuk menguasai suara politik masyarakatnya.
“Dengan proporsi tertentu. Misalnya di Taput itu, ketuanya pun saya kira janganlah orang muslim ketua PAN itu. Gak akan menang-menang, yang
kita mau kan bagaimana aspirasi rakyat bisa terakomodasi dalam kebijakan. Bagaimana caranya, lejitkan orangmu sampai di legislatif itu,
atau eksekutif itu. Gak mungkin kalau partainya kecil. Maka besarkan partai itu.”
Fenomena ini dianggapnya sebagai pendorong untuk bisa membesarkan partai,
bahkan menguasai dewan legislatif dan eksekutif. Dengan jalan konstitusional mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu maupun pilkada.
80
Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Terhadap Proses Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang bergerak dalam bidang perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dakwah amar ma’ruf nahi munkardalam hal
ini dimaksudkan untuk memurnikan Islam di Indonesia dari praktik-praktik takhyul, bid’ah, khurafat, taqlid,
kemusyrikan, dan intervensi budaya lokal yang tidak Islami Dengan bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Lebih jauh dakwah ini juga bertujuan untuk
melahirkan piranti-piranti sosial yang membantu mengentaskan umat dari kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, maupun kejumudan pemikiran. Yang mana untuk mencapai
tujuan itu Muhammadiyah mendirikan berbagai amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dll.
Dalam proses dakwah itu, berbagai faktor baik eksternal maupun internal dapat mempengaruhi keberhasilan pencapaiannya. Termasuk dalam hal ini komunikasi politik yang
dijalin Muhammadiyah dengan PAN. PAN yang menurut sebagian elite seperti Sarwo Edi, ibarat amal usaha Muhammadiyah dalam bidang politik memberi peran yang signifikan
terhadap perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Salah satunya dalam bentuk dukungan dana dari hasil usaha politik kader-kader PAN kepada Muhammadiyah. Lalu
dengan adanya fenomena relasi politik PAN dan PDS ini, para elite Muhammadiyah Sumatera Utara memberi pandangannya tentang pengaruh yang mungkin ditimbulkan oleh
fenomena ini terhadap perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkarMuhammadiyah. Sarwo Edi memandang dengan kacamata plural permasalahan ini. Pluralisme dan
keterbukaan yang diperlihatkan Muhammadiyah dalam menghadapi fenomena ini, ke depannya dapat memberi dampak positif bagi dakwah Muhammadiyah. Meski mungkin
dampaknya tidak terlihat secara langsung, namun menurutnya opini publik yang terbentuk dengan adanya fenomena ini yang nantinya akan menguntungkan dakwah Muhammadiyah.
“Dilihat dari segi dakwah mungkin kurang menguntungkan. Tapi dilihat dari segi kacamata yang lebih luas, orang akan memandang
Muhammadiyah ini sebagai sebuah ormas Islam yang memiliki keterbukaan pada orang lain yang cukup baik. Jadi tidak ada untungnya
jika kita lihat dari segi dakwahnya. Tapi jika dilihat dari segi dakwah secara meluas menguntungkan. Karena memang bagi Muhammadiyah
membuka sebuah partai yang diisi oleh orang-orang Kristiani, itu bagi Muhammadiyah memang sudah terbiasa. Kalau saya pikir ijtihad yang
dihasilkan oleh orang Muhammadiyah, kemudian menghasilkan partai, saya pikir partai itu kita nisbahkan dengan sebuah amal usahanya
81
Muhammadiyah saja. Kalau amal usahanya Muhammadiyah itu diisi oleh orang Kristen, kita menyatakan itu tidak ada masalah, ya saya pikir partai
diisi oleh orang Kristen juga tidak ada masalah. Tetap saja dilihat dari segi keuntungan sikap keterbukaan Muhammadiyah dengan agama lain
itu akan mendapat pujian dan pada waktunya akan “menguntungkan” bagi Muhammadiyah.”
Dengan memandang PAN sebagai salah satu amal usaha Muhammadiyah layaknya amal usahanya yang lain, Sarwo Edi melihat adalah suatu kewajaran jika PAN dimasuki oleh
orang-orang Kristen, seperti halnya amal usaha Muhammadiyah lain yang terbuka untuk berbagai kalangan masyarakat. Bahkan lebih jauh, konsep keterbukaan ini dinilainya akan
membangun citra positif Muhammadiyah di mata masyarakat. Faktor inilah yang akan memberi keuntungan bagi Muhammadiyah. Lebih jauh ia berpendapat :
“Apakah kemudian nanti akan beruntung atau tidak ya terpulang daripada orang-orangnya itu. Masih paham gak dengan amar ma’ruf
nahi munkar? Kalau orang-orang yang berada di PAN itu sendiri identitas Muhammadiyah-nya tidak dipahami atau katakanlah ada orang-
orang di PAN itu yang Muhammadiyah yang buta misi Muhammadiyah, yang buta identitas Muhammadiyah nah itulah yang akan merugikan
Muhammadiyah…..Maka kuncinya itu tadi, orang-orang PAN yang notabene Muhammadiyah itu agamanya harus baik dan kuat. Kalau tidak
baik dan kuat, ya itu bisa merugikan dari segi dakwah. Tapi ketika kemudian orang Muhammadiyah itu beragamanya baik, perilakunya baik,
itu akan menarik hati dari orang-orang Kristiani, dan orang Kristiani itu saya pikir mereka dengan sukarela akan masuk ke dalam Islam.”
Tingkat ketaqwaan kader PAN dalam menganut dan mengamalkan ajaran Islam merupakan kunci sekaligus faktor penting lain yang mempengaruhi apakah fenomena ini
akan memberi dampak positif atau negatif terhadap Muhammadiyah. Menurut Sarwo Edi, bukan tidak mungkin orang Kristen bisa memeluk Islam jika melihat ketaqwaan dan
keteladanan muslim yang ditunjukkan kader-kader PAN yang berasal dari kalangan Muhammadiyah.
Prof Hasyimsyah lain lagi dalam mengomentari hal ini. Dia menyoroti dominasi dan influence
pengaruh yang merupakan karkater dari wajah politik sebagai faktor kunci dalam memperkirakan dampak fenomena kepada dakwah amar ma’ruf nahi munkar
Muhammadiyah.
“Sebenarnya bisa menguntungkan, bisa juga merugikan. Apalagi berpolitik ini kan, siapa yang lebih kuat mempengaruhi siapa. Politik itu
kan to influence, mempengaruhi salah satu kan. Jadi siapa yang lebih kuat
82
mempengaruhi siapa. Kalau lebih dominan disitu dakwah amar ma’ruf nahi munkar, tapi saya kira di politik tidak ada itu, apalagi di Indonesia.
Buktinya gak benar kan yang menyebut dirinya itu. Jadi bisa menguntungkan, bisa tidak. Kita lihat dulu ya di Muhammadiyah.”
Dengan mendasarkan pertimbangannya pada faktor dinamika politik, Prof Hasyimsyah ingin menyatakan bahwa dampak tersebut sebenarnya sangat spekulatif dan
unpredictable, sebagaimana layaknya sifat politik itu sendiri. Ia memprediksi jika kader PAN
yang berasal dari kader Muhammadiyah mampu memainkan peran sebagai tuan rumah di rumah sendiri, maka dakwah itu tidak mustahil semakin berkembang pesat dalam prosesnya.
Namun, jika sebaliknya yang terjadi, dimana justru kader PDS yang dominan, dakwah Muhammadiyah dapat larut oleh pluralisme itu sendiri.
Muhammadiyah sendiri sebenarnya memiliki konsep dakwahnya sendiri kepada umat non-muslim. Dakwah hijabiyah namanya. Dakwah kepada yang bukan Islam untuk
memperkenalkan Islam. Tapi, walaupun mungkin akhirnya orang tersebut tidak bisa masuk Islam, tapi paling tidak dia bisa toleran terhadap Islam. Itulah yang menjadi tujuan dakwah
hijabiyah. Jadi dalam dakwah Muhammadiyah itu, jika kita katakan dakwah kepada PDS ini
adalah dakwah hijabah, berarti sejalan dengan prinsip dakwah Muhammadiyah itu sendiri. Hanya saja dalam konteks politik, kalau dia besar dia akan mempengaruhi. Tapi kalau dia
kecil tidak bisa. Maka seberapa besar peran Muhammadiyah dapat ikut terlibat dalam dakwah ini, akan sangat ditentukan oleh kader-kader PAN dari Muhammadiyah itu nantinya. Maka
apakah menguntungkan atau tidak menguntungkan PDS bergabung dengan PAN itu sangat tergantung kepada bagaimana perkembangannya ke depan.
Namun, tentu saja dua pendapat di atas bukanlah satu kepastian yang baku dalam permasalahan ini. Terdapat juga pendapat yang berseberangan. Dalail misalnya, dengan yakin
ia mengatakan justru dampak kerugianlah yang di dapat Muhammadiyah. Sebab tidak akan ada kontribusi, peran, dan pengaruh positif yang disumbangkan oleh fenomena itu kepada
dakwahnya Muhammadiyah. Sembari ia mengkritik, ketidakseimbangan kebijakan politik yang diterapkan PAN dalam pergaulan eksternalnya. Ia mempertanyakan keganjilan PAN
yang justru tidak menjalin hubungan harmonis dengan partai-partai Islam ataupun ormas- ormasnya yang sebenarnya welcomedengan kebersamaan aqidah yang dimiliki. Namun
mengapa tidak ada usaha yang serisu untuk membangun hal ini. Prediksi negatif seperti ini juga dilontarkan Mario Kasduri :
“Saya pikir gak ada pengaruhnya. Kepada gerakan dakwah Muhammadiyah. Makanya Muhammadiyah ini mengharapkan orang-
83
orang Muhammadiyah yang dia terjun ke partai politik, kalau bisa membawa misi-misi Muhammadiyah ini. Tapi saya lihat belum ada yang
seperti ini. Kalau ada pun satu dua.”
Sebagai wadah kaderisasi umat Islam, Muhammadiyah sebenarnya mengharapakan kader-kadernya dapat selalu membawa misi perjuangan Muhammadiyah ke berbagai aspek
kehidupan umat. Tidak terkecuali politik, Agar dakwah Muhammadiyah itu dapat terus berjalan dan berkembang di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Namun, realitanya amatlah
minim kader yang melaksanakan hal itu saat ini. apalagi dalam fenomena ini, yang sudah barang tentu kader PDS tidak memahami misi Muhammadiyah itu. Kesulitan ini berimbas
lansung pada perkembangan dakwah Muhammadiyah ke depannya.
Pembicaraan seputar fenomena relasi PAN dan PDS di antara elite Muhammadiyah dan PAN
Di bagian sebelumnya, telah kita bahas dampak fenomena relasi politik PAN dan PDS ini terhadap hubungan komunikasi politik antara Muhammadiyah dan PAN. Dan telah kita
pahami bersama pula peranan elite dalam proses komunikasi politik keduanya. Selanjutnya kita akan mencoba mengetahui bentuk real komunikasi politik para elite tersebut dalam
membahas fenomena ini. Pernahkah mereka membicarakan fenomena ini dalam satu forum bersama? Bagaimana konsep dan isi pembicaraannya? Apakah terjadi silang pendapat di
antara mereka? Persepsi-persepsi para elite Muhammadiyah berikut ini akan menjadi acuan kita dalam membahas masalah ini.
Pengalaman Shohibul Anshor terkait hal ini cukup dapat menggambarkan konsep dan substansi pembicaraan antar elite kedua organisasi terkait fenomena ini.
“Informally ada. Saya kan punya kontak seperti yang saya katakan tadi. Mereka mengundang saya makan malam. Muhammadiyah merasa apa
gak dengan fenomena ini? Saya katakan kalau kau PAN taruh calon jadi di Medan, Sergai, Deli Serdang dari PDS itu bahaya. Oh begini bang
jawab Pihak PAN, kita kan punya peta wilayah Nias misalnya, gak mungkin calon muslim situ menang, susahlah. Di Taput, Ekstaput, gimana
coba? Nah itu baru politisi saya bilang. Jadi dia tahu wilayah-wilayah yang harus dikerjai.”
Berdasarkan pengalamannya, Shohibul mengisahkan diskusi informal antar elite yang berlangsung di kafe sembari menyantap hidangan dalam membahas fenomena ini. Dalam
diskusi itu para elite menyoroti keuntungan politik yang mungkin dapat diraih pasca terjadinya fenomena ini. Namun, keuntungan tersebut hanya akan dapat diraih jika PAN
84
menerapkan strategi politik yang tepat dalam menyikapi fenomena ini. Termasuk di antaranya dalam permasalahan proporsi pembagian daerah pemilihan dapil para caleg,
antara yang muslim Muhammadiyah dengan yang non-muslim yang berasal dari kader PDS. Pembagian dapil yang tepat ini yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan PAN
dalam mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu maupun pilkada. Shohibul menambahkan bahwa fenomena ini tidak membawa pengaruh dalam
keharmonisan hubungan antar elite Muhammadiyah dan PAN. Saat ditanya mengenai hal ini, dengan yakin ia mengatakan :
“Sangat harmonis malah. Ini untuk bukti lagi ya. Berapa itu anggota PAN yang sekaligus anggota pimpinan wilayah Muhammadiyah Sumatera
Utara. Di Muhammadiyah ikut dipilih gak ikut memilih dia. Tapi kita rekrut.”
Bahkan Shohibul mengakui keberadaan dualisme kepengurusan yang diduduki elite- elite tersebut. Meski telah dikeluarkannya peraturan resmi dari PP Muhammadiyah No.41
yang berisi larangan rangkap jabatan antaraMuhammadiyah dengan partai politik manapun. Dengan ringan saja ia mengomentari hal ini :
“Tak diindahkan itu dimana-mana. Dilawan itu. itu agak aneh itu. Kita diamkan saja. Aneh itu. Ngapain kau bermusuhan dengan PAN? Saya
Tanya ke Din Syamsuddin. Jangan mentang-mentang kau di Jakarta lebih tahu dari kita. Kalau hilang PAN dari Muhammadiyah, siapa lagi partai
kita di pemerintahan? Kan naïf itu. “
Pengalaman Shohibul berbeda dengan apa yang dialami Sarwo Edi. Secara pribadi ia merasa tidak pernah berdiskusi membicarakan hal ini dengan para elite PAN, meski dalam
situasi informal. Namun begitupu n, ia tidak menyalahkan hal itu dan tetap berpikir positif dengan menilainya sebagai suatu karakter independensi masing-masing pihak. Independensi
adalah suatu kewajaran yang tidak perlu disalahkan.
“Selalu saja kita lakukan evaluasi. Hubungan antara warga Muhammadiyah yang ada di PAN itu kan bisa masih kita selalu berdialog
asal ada pertemuan. Artinya yang namanya warga PAN itu masih bisa kita ajak untuk berpikir. Karena posisinya Muhammadiyah dengan PAN,
sama-sama memiliki satu independensi sendiri. Maka tidaklah harus PAN itu permisi kepada Muhammadiyah dalam menerima PDS itu. Karena
memang harus menjaga independensi masing-masing. Kalau PAN itu harus permisi sama Muhammadiyah ya itu cerminan sebuah independensi
yang cacat. Jadi kita tidak mau. Oleh karena itu, kendatipun kita paham bahwa PAN itu akan merger sama PDS, tetap saja kita tidak akan lakukan
teguran. Tapi itu tadi prinsipnya bahwa bagi Muhammadiyah PAN itu
85
seperti amal usahanya Muhammadiyah. Karena dibentuk oleh Muhammadiyah. Persoalan apakah amal usaha akan menghasilkan untuk
Muhammadiyah ya tidak selamanya”
Justru merupakan suatu keganjilan jika PAN harus lebih dahulu meminta izin Muhammadiyah jika ingin mengambil suatu langkah politik. Yang dalam versi Sarwo Edi
disebutnya sebagai “independensi yang cacat”. Meski begitu, Muhammadiyah sebagi “rahim” tempat lahirnya PAN, pemiliki amal usaha politik ini, selalu saja melakukan evaluasi
terhadap langkah dan strategi politik yang diambil PAN. Yang biasanya dilakukan dalam pertemuan antar elite, baik dalam forum formal maupun informal.
Di lain pihak, Dalail Ahmad menafsirkan berbeda ketiadaan pembicaraan elite PAN kepada elite Muhammadiyah mengenai hal ini. Ia menilai itu sebagai sebuah pelanggaran
terhadap nilai-nilai etika dalam menghormati dan menjunjug tinggi Muhammadiyah sebagai “orang tua” dari PAN itu sendiri.
“Tidak. Mengambil ijtihad sendiri saja. Mestinya datang kepada pimpinan wilayah. Bagaimana Pak kalu gini-gini? Ini gak ada. Kalau bisa
pun orang wilayah itu PWM dibayarnya, supaya jadi makmum sama dia. Gak boleh. Muhammadiyah itu imamnya. Ini sebenarnya yang
dirasakan oleh kami. Dan bukan hanya dirasakan, tapi dalam kenyataan pun.”
Kealpaan meminta izin dan pendapat para elite ini rupanya dikritik cukup keras oleh Dalail. Menurutnya PAN sebagai “anak kandung” Muhammadiyah sudah sepatutnya
meminta restu terlebih dahulu dalam setiap pengambilan keputusan atau penentuan langkah politiknya. Termasuk dalam fenomena ini, yang mana bukan tidak mungkin menurutnya PDS
justru akan memanfaatkan dan memeperalat PAN untuk kepentingan politik golongannya saja. Sehingga mengorbankan kader PAN yang Muhammadiyah itu sendiri sebagi tumbal
politik. Lebih jauh ia mengkritisi :
“Ya karena dia tidak meminta restu, tauziah dengan PW, akhirnya kita- kita ini melihat ya wait and see aja. Nampaknya sudah menjadi ajang
kehidupan duniawi ini. Dia tidak meminta tauziah kepada pimpinan Muhammadiyah. Untuk Muhammadiyah Sumatera Utara kan kami, kami
orangnya. Jangan dianggap bodoh gitu aja, karena gak punya duit dianggap bodoh? Tunggu dulu, tapi kita punya umat yang selalu ditanya
dari berbagai lini, gimana Pak gini-gini? Makanya kami mengatakan, boikot saja itu, kalau sudah begitu. Kan umat akan menjauhi PAN, kan
rugi dia.”
Seruan Dalail kepada warga Muhammadiyah untuk memboikot PAN ini, tentu akan sangat merugikan PAN yang mengandalkan mereka dalam mendulang suara selama ini. Dan
86
jika benar hal ini dilakukannya, jelas ini akan mengganggu hubungan komunikasi politik yang telah dijalin mesra dan lama antara Muhammadiyah dan PAN. Bahkan bukan tidak
mungkin juga mengganggu hubungan komunikasi antar sesame elite internal Muhammadiyah antara yang pro dengan pihak yang kontra dalam menilai permasalahan ini.
4.3 Intisari Pembahasan