1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Komisi Pemilihan Umum KPU telah resmi menetapkan 12 partai nasional untuk mengikuti pemilihan umum 2014. Ketetapan ini secara langsung
membawa dampak pada sejumlah partai politik parpol dalam rangka berbenah mempersiapkan strategi mempromosikan diri pada masyarakat agar dapat
memenangkan pesta politik tahun depan. Hal ini memang satu keniscayaan politik jika kita merujuk pada pengertian partai politik itu sendiri. Bahwa partai politik
adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelakupolitik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkanperhatiannya pada menguasai
kekuasaan pemerintahan dan yang beraksi untukmemperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain lain yangmempunyai pandangan berbeda. Namun
tentu, dalam rangka menguasai kekuasaan itu tidaklah mudah bagi partai politik manapun. Termasuk Partai Amanat Nasional PAN yang telah menargetkan
perolehan suara pada Pemilihan Umum 2014 di angka 10 persen. Strategi dan langkah politik pun mulai disusun dan dijalankan PAN untuk
mencapai target tersebut. Antara lain dengan menerima bergabungnya beberapa partai politik yang dinyatakan tidak lolos verifikasi pemilu 2014 oleh KPU. Salah
satu dari partai politik tersebut ialah Partai Damai Sejahtera PDS. Partai Damai Sejahtera secara resmi dinyatakan tidak lolos seleksi verifikasi Pemilu 2014 pada
hari kamis tanggal 2 Mei yang lalu, yang ditandai dengan ditolaknya gugatan PDS oleh Mahkamah Agung.
Meskipun telah gagal mengikuti ajang kontestasi pemilu 2014 tahun depan, sebagai partai politik yang masih memiliki basis konstituen yang cukup
besar, PDS tetap berkomitmen ingin memberikan kontribusi pada pemilu legislatif yang akan digelar 9 April 2014. Maka dari itu, untuk tetap bisa menyalurkan
aspirasi politiknya, partai ini kemudian bergabung dengan PAN. Penggabungan ini sendiri secara resmi dilakukan pada hari Jum’at tanggal 3 Mei 2013 yang lalu.
Langkah politik yang diambil PAN dan PDS ini rupanya telah menarik perhatian banyak media untuk memberitakannya. Tak kurang berbagai media
2
besar Indonesia seperti seperti Republika, Tempo, Okezone, Tribun, dan lain-lain ramai memberitakannya kepada publik. Sebagai suatu bentuk berita politik yang memiliki arti
penting bagi masyarakat, khususnya konstituen masing-masing partai. Jajaran pimpinan dari kedua partai juga tak kalah gencar memberikan statement
kepada masyarakat melalui media-media tersebut. Sebagai bentuk komunikasi politik untuk mempromosikan sekaligus meningkatkan citra kedua partai ini secara bersamaan di mata
masyarakat. Hal ini sejalan dengan pengertian komunikasi politik itu sendiri yang dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol
komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain, dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan
tingkah laku khalayak yang menjadi target politik. Yang mana isi pesan dalam proses komunikasi, yang sarat dengan muatan nilai-nilai politik ini memberi andil besar dalam
menentukan arah dari beragam tujuan komunikasi politik itu sendiri. Mulai dari sekadar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, hingga pembentukan opini publik.
Hatta Rajasa misalnya, dalam satu sesi ia memberikan pernyataan politik bahwa sejak didirikan di masa-masa reformasi, PAN sesungguhnya telah menyatakan diri sebagai partai
yang terbuka inklusif dan bukan milik golongan, kelompok, atau agama tertentu.Itulah mengapa saat ini banyak tokoh PAN yang duduk di kursi legislatif yang berasal dari berbagai
latar belakang dan profesi. Mulai dari pegiat LSM, akademisi, ekonom, ulama, dan lain-lain. Selain itu ia juga kerap menyatakan bahwa PAN dan PDS memiliki pandangan yang sama
terkait garis perjuangan, yakni menjadikan partai untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sementara di lain pihak kubu PDS melalui Ketua Umumnya Denny Tewu juga turut
berkomentar mengenai bergabungnya partai yang dipimpinnya ini ke dalam barisan PAN. Ia berpendapat bahwa sikap resmi partainya menyalurkan aspirasi politik ke PAN dan
mendukung Hatta Rajasa sebagai capres dipastikan setelah keluarnya putusan bahwa PDS tidak dapat menjadi peserta Pemilu 2014. Dan PDS juga melihat Hatta Rajasa adalah sosok
pemimpin yang memiliki kapabilitas dan mampu membawa Indonesia lebih baik ke depan. Namun, saling lempar pujian bukanlah hal utama yang diharapkan kedua belah pihak
yang menjalin relasi ini.Seperti halnya setiap partai politik dukungan suara dalam pemilu dari masyrakat adalah tujuan yang ingin dicapai PAN dan PDS ini.yang semuanya itu demi
meraih sebanyak-banyaknya kursi di pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif. Dan dalam hal ini, pada Pemilu 2014 mendatang, PAN yang semakin besar dengan bergabungnya
PDS ini, menargetkan minimal meraih satu kursi di setiap daerah pemilihan dapil tingkat DPR RI. Dimana saat ini ada 77 dapil yang diperebutkan dalam pemilu mendatang.
3
Bergabungnya PDS kedalam PAN ini, tentu mengundang perhatian berbagai kalangan masyarakat. Termasuk kalangan umat Kristen dan Islam di Indonesia, khususnya warga
Muhammadiyah. Hal ini didasari perbedaan identitas yang dimiliki kedua partai tersebut. PAN selama ini merupakan sebuah partai nasionalis moral yang cukup besar di Indonesia,
dengan basis konstituen pemilih mayoritas dari kalangan muslim Muhammadyah. Bahkan PAN kerapkali dianggap masyarakat sebagai Partai Islam. Sementara di sisi lain, PDS adalah
partai dengan mayoritas pemilih kalangan krisitiani yang meski berideologi Pancasila, namun selama ini identik sebagai Partai Kristen di mata masyarakat.
Pernyataan-pernyataan klarifikasi pun ramai meluncur dari kubu PAN dalam menanggapi hal ini. Melalui kader-kadernya, seperti Viva Yoga Mauladi juga Bima Arya
kerapkali menyatakan pada media bahwa PAN merupakan partai inklusif yang menghargai pluralitas dengan tidak membedakan agama, suku, etnis, budaya, maupun jenis kelamin
sebagaimana tercantum dalam platform PAN. Namun, jika menilik kembali sejarah pembentukan dan perjalanan PAN hingga saat ini, sulit untuk melepaskan keberadaan partai
ini dengan Islam khususnya Organisasi Muhammadiyah. Sejak pertama kali dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998 di Jakarta, Partai
Amanat Nasional PAN yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Amien Rais ini segera mendapat banyak sambutan dan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan warga
Muhammadiyah. Bahkan lebih dari sekedar dukungan moral, berdirinya PAN dalam pentas perpolitikan nasional seketika menarik banyak anggota Muhammadiyah untuk turut serta
bergabung. Pada umumnya, warga dan elit Muhammadiyah di seluruh tingkatan mendukung dan terlibat dalam kepengurusan PAN. Hingga sulit untuk menghindari penilaian akan
adanya penghimpitan atau malah pengindetikan yang kelewat jauh antara Muhammadiyah dan PAN. Seolah PAN menjadi semacam “Partai -nya warga Muhammadiyah”.
Partai ini memang bisa dikatakan telah didirikan dan dipimpin oleh mantan ketua PP Muhammadiyah periode 1995-2000 hasil Muktamar ke-43 tahun 1995 di Banda Aceh. Yang
diakui beliau sebagai ijtihad politik untuk mengawal jalannya reformasi dan membangun demokrasi pasca jatuhnya kekuasaan otoriter orde baru. Namun bagaimanapun, PAN
bukanlah bagian dari Muhammadiyah, walau Amien Rais dalam melakukan ijtihad politiknya mendapat restu dari warga Muhammadiyah melalui Sidang Tanwir 5-7 Juli di Semarang dan
juga Sidang Pleno 22 Agustus di Jakarta yang diperluas dengan mengundang ketua-ketua pimpinan wilayah. Maka sejak itu Amien Rais berikhtiar dengan sepenuh hati demi
terlaksananya agenda reformasi total meninggalkan posisinya sebagai ketua PP Muhammadiyah dan menjadi pimpinan PAN.
4
Partisipasi politik warga dan elit Muhammadiyah yang demikian tinggi itu diakui memang merupakan hal penting dalam dinamika politik saat itu, karena reformasi menuntut
konsolidasi demokrasi yang konkret melalui perlibatan diri dalam kegiatan politik ketimbang melakukan uzlah politik. Tetapi disadari pula, bahwa fenomena PAN menjadi batu ujian bagi
Muhammadiyah, yakni antara tuntutan untuk tetap menjaga netralitas dengan kehendak memberi dukungan kepada partai pimpinan Amien Rais itu.
Dalam sejarahnya, sejak didirikan pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan, Muhammadiyah memang secara tegas telah mengikrarkan dirinya sebagai organisasi
kemasyarakatan dengan orientasi pergerakan pada bidang sosial keagamaan, dan bukan didesain untuk berpolitik praktis ria. Dan K.H Ahmad Dahlan sendiri memang dikenal tidak
memiliki ketertarikan untuk menjadi aktivis politik. Meski sangat akrab dengan tokoh-tokoh politik pada zamannya, seperti pemimpin Syarikat Islam H.O.S Cokroaminoto dan para
pimpinan tinggi Boedi Oetomo, ia tidak pernah merumuskan “ideologi politik” Muhammadiyah.
Adalah K.H Mas Mansur yang dapat dikatakan pertama kali memperkenalkan semacam “ideologi politik” Muhammadiyah yang sebelumnya tidak pernah terumuskan
secara tegas dan eksplisit. Melalui kongres ke-18 tahun 1930-an di Solo, Mas Mansur, Ketua PP Muhammadiyah waktu itu, merumuskan suatu pandangan yang kemudian dapat disebut
sebagai “ideologi politik” Muhammadiyah. Yakni bahwa Muhammadiyah berpendirian tidak mengutamakan salah satu partai politik di atas partai politik yang lain. Muhammadiyah
memberi hormat terhadap partai-partai yang ada, utamanya partai-partai Islam dengan kehormatan yang sepadan.
Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang disahkan Sidang Tanwir 1950 rumusan tersebut lebih diperjelas lagi secara tegas bahwa Muhammadiyah memilih dan
menempatkan dirinya berjuang dalam bidang kemasyarakatan dengan tiga fungsi utama, yakni dakwah ila’l khair mengajak kepada kebaikan, amar ma’ruf menjalankan kebaikan,
dan nahi munkar mencegah dan menjauhi keburukan. Strategi politik kenegaraan penting, dan karena itu harus dipentingkan, tetapi tidak dilakukan dan atau melalui Muhammadiyah.
Perjuangan politik harus dilakukan dengan alat perjuangan yang lain dan yang sama sekali berada “di luar” Muhammadiyah. Dan perjuangan ini-meski tidak berhubungan secara
organisasional dengan Muhammadiyah- tetap harus berjalan berdampingan dengan sikap saling pengertian Thohari, 2005:190-191.
Dalam rangka khittah semacam itulah maka Muhammadiyah tidak akan terjun dalam politik praktis, tidak akan menjadi partai politik, dan tidak akan memasuki lembaga-lembaga
5
kekaryaan politik. Sikap ini bukan disebabkan oleh pandangan dan negatif dan atau pesimis terhadap perjuangan politik, apalagi anti-politik atau apolitik, melainkan semata-mata karena
teori dan strategi perjuangan yang dipilih Muhammadiyah adalah gerakan dakwah dan sosial kemasyarakatan yang tidak kalah mulianya dibanding dengan perjuangan dalam bidang
politik. Lepas dari peredabatan internal itu, satu hal yang tampaknya tidak dapat dihapuskan
dari kenyataan sosiologis bahwa kendati PAN tidak lahir langsung dari rahim organisasi Muhammadiyah, namun keduanya memiliki keterikatan moral-politik dan historis satu sama
lain. Yang mana hal itu terkait langsung dengan hasil keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah yang memberikan amanat kepada pimpinan pusat Muhammadiyah untuk
melakukan dua hal; pertama, melakukan ijtihad politik guna mencapai kemaslahatan umat dan bangsa secara maksimal, yang senantiasa dilandasi semangat Islam amar ma’ruf nahi
munkar. Kedua, menyusun agenda reformasi konsep dan strategi reformasi Muhammadiyah
di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara menuju makin cepat terwujudnya masyarakat utama yang sejahtera.
Muhammadiyah sendiri cukup taktis dengan tetap berpijak pada Khittah Ujung Pandang 1971 yang menjaga jarak yang sama dengan organisasi politik manapun, sehingga
tidak mensubordinasikan diri dengan PAN dan relatif bebas dari kontaminasi politik yang keras dalam proses politik nasional. Secara de jure, tidak adanya hubungan organisasional
antara Muhammadiyah dan PAN memang telah diperkuat melalui Sidang Pleno PP Muhammadiyah tanggal 22 Agustus dan 27 September 1998 yang memutuskan
bahwa;pertama, antara keduanya tidak ada hubungan organisasional. Kedua, sesuai dengan ART Pasal 15, pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan yang akan merangkap jabatan
sebagai pimpinan partai politik, diharuskan mengajukan izin kepada pimpinan pusat. Dan ketiga
, dilarang menggunkan gedung dan fasilitas persyarikatan untuk kegiatan partai politik mana pun. Akan tetapi, secara de facto, sulit untuk menyembunyikan fakta bahwa mayoritas
elit pimpinan Muhammadiyah baik di tingkat pusat maupun di berbagai wilayah, daerah, cabang, organisasi-organisasi otonom, dan pimpinan amal-amal usaha, ikut terjun menjadi
pengurus PAN. Bertolak dari anatomi kepengurusan tersebut, tentu dapat diperkirakan telah terjalin
komunikasi politik di antara keduanya. Komunikasi yang berisi pesan-pesan politik antar dua lembaga tersebut, meski atas nama elit personal yang berusaha untuk membuka wawasan
berpikir serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik, yang dalam hal ini yakni warga Muhammadiyah yang menjadi basis pendukung utama partai
6
reformasi ini. Seluruh proses komunikasi politik yang dilakukan melibatkan berbagai aspek elemen penting yang menjadi ruang lingkupnya. Mulai dari relasi sosok elite kedua lembaga
yang berperan sebagai komunikator politik, lambang dan bahasa sebagai pesan politik untuk membentuk opini publik, persuasi dan propaganda politik untuk menarik simpati,
pemanfaatan media secara luas, hingga khalayak luas yang diharapkan akan menjadi simpatisan dan konstituen politik.
Sebagai partai yang memiliki keterikatan moral-politik dan historis dengan Muhammadiyah, tentu PAN berharap agar warga Muhammadiyah menjadi basis konstituen
utamanya. Demi mencapai hal itu, PAN perlu mendesain konsep janji politik mereka, agar sesuai dengan harapan mayoritas warga Muhammadiyah. Konsep yang sejalan dengan ajaran
dan gerakan tajdid Muhammadiyah di berbagai bidang sosial kemasyarakatan seperti pendidikan, ekonomi, dan juga politik.
Untuk mendukung hal tersebut, keberadaan, posisi, dan sikap elite Muhammadiyah terhadap janji politik menjadi penting dalam hal ini untuk membentuk opini publik warga
Muhammadiyah dan citra yang positif bagi PAN. Bahkan elite Muhammadiyah sebagai tokoh sentral dan panutan dapat menggiring warga Muhammadiyah agar mendukung PAN
sebagai konstituennya. Sebab elite sebagaimana yang diungkapkan Keller, adalah sekelompok kecil orang dalam masyarakat yang memegang posisi dan peranan penting.
Mereka menempati posisi di dalam masyarakat yang berada di puncak kekuasaan, untuk mempengaruhi proses politik dan memformulasikan kepentingannya. Bahkan menurut Robert
Michels yang sering juga menyebut elite sebagai pemimpin, bahwa terdapat kecenderungan kuat pemimpin elite memiliki banyak sumber daya seperti pengetahuan, pengalaman,
financial,dll yang sangat bermanfaat sehingga sulit tertandingi oleh anggota yang berusaha ikut ambil bagian mengambil kebijaksanaan. Hal ini didukung pula oleh realitas bahwa dalam
setiap kelompok kehadiran elite pemimpin merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak kelompoknya karena setiap warga masyarakat membutuhkan pemimpin yang menjadi
panutan bagi mereka dalam proses penciptaan keteraturan dan pola interaksi dalam kelompoknya. Karena itu, tentu saja dukungan para elite ini sangat diharapkan oleh PAN
sebagai partai yang ingin masuk dalam jajaran partai besar di Indonesia. Tapi jika melihat fenomena yang terjadi, dimana PDS telah merapat dengan PAN,
tentu hal ini akan membangun persepsi pribadi di kalangan elite Muhammadiyah dalam menanggapinya. Baik persepsi positif yang bersifat mendukung ataupun sebaliknya persepsi
negatif yang bersifat menolak realitas politik ini. Dan melalui kemampuan membentuk opini publik yang dimiliki para elite ini, tentu persepsi pribadi mereka menjadi penting artinya serta
7
memberi pengaruh yang besar terhadap PAN. Yakni dalam proses membangun dukungan warga Muhammadiyah terhadap partai berlogo matahari ini. Sebab jika persepsi elite
cenderung positif yang mendukung, maka opini publik yang dibentuknya kepada warga Muhammadiyah juga akan cenderung positif dalam meningkatkan elektabilitas PAN. Dan
sebaliknya, kemungkinan opini publik warga Muhammadiyah justru akan dibangun untuk cenderung menjatuhkan elektabilitas PAN jika persepsi elitenya menolak fenomena ini.
Jika melihat hasil dari tiga kali pemilu yang telah diikutinya, pencapaian elektabilitas PAN belum dapat dikatakan memuaskan. Dimana pada pemilu 1999 hanya meraih posisi 5
dengan 7,12 7.528.956 suara dengan jatah 34 kursi di DPR. Kemudian pada pemilu 2004 bertengger di peringkat 7 dengan 6,4 7.303.324 suara dengan 53 kursi DPR. Hingga di
pemilu 2009 lalu PAN kembali ke posisi 5 dengan 6,01 6.254.580 suara dengan jatah 46 kursi di DPR. Data ini membuktikan pada kita bahwa meski peringkat yang dicapainya
fluktuatif naik-turun, namun kenyataannya perolehan suara yang diraihnya cenderung turun dalam tiap pemilunya. Bertolak dari hal ini, menarik untuk mempertanyakan apakah strategi
politik PAN yang menjalin koalisi dengan PDS akan meningkatkan jumlah perolehan suaranya di pemilu 2014 mendatang? Termasuk bagaimana pula perolehan suaranya di
Sumatera Utara? Partai Amanat Nasional juga tentu mengharapkan warga Muhammadiyah Sumatera
Utara akan menjadi konstituennya, seperti halnya di daerah lain. Muhammadiyah Sumatera Utara dengan jumlah anggota resmi yang mendapat kartu anggota mencapai 17.910 orang,
merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Sumatera Utara yang sangat majemuk. Jumlah ini belum lagi termasuk warga Muhammadiyah Sumatera Utara seluruhnya yang
tidak menjadi pengurus organisasi secara resmi. Dan dengan jumlah cabang yang mencapai 129 dan 604 ranting kepengurusan, Muhammadiyah Sumatera Utara menjadi sebuah
kekuatan sosial yang harus diperhitungkan turut andilnya dalam gerak kehidupan masyarakat. Jumlah ini tentu diperhitungkan pula oleh elit PAN Sumatera Utara dalam proses meraih
suara mereka dalam pemilu. Persoalan ini menarik untuk diteliti lebih jauh secara akademis, khususnya pada
konteks relasi dalam komunikasi politik. Ketertarikan ini setidaknya, dibangun oleh beberapa faktor: pertama, dari seluruh sub studi komunikasi yang telah peneliti pelajari selama
menjalani masa akademis, peneliti memiliki minat yang cukup besar pada komunikasi politik khususnya dalam konteks pelaku atau komunikator politik yang dalam penelitian ini ialah
para elite Muhammadiyah Sumatera Utara. Dan isi pesan yang disampaikan dalam komunikasi politik tersebut, yang dalam hal ini yakni persepsi mereka mengenai fenomena
8
relasi politik yang dijalin PAN dan PDS. Kedua, terjadinya fenomena relasi politik yang dijalin PAN dan PDS menarik perhatian peneliti secara pribadi. Peneliti melihat fenomena ini
sebagai suatu dinamika politik Indonesia yang unik sekaligus menantang untuk digali lebih dalam. Karena secara tidak langsung melibatkan pemeluk dari dua agama besar di Indonesia.
Terlebih apabila fenomena ini ditelusuri dari perspektif para elite Muhammadiyah yang memiliki hubungan historis dengan PAN itu sendiri.
Sementara pemilihan daerah dan masalah penelitian yang ditetapkan peneliti, juga dilakukan berdasarkan faktor pertimbangan kedekatan geografis peneliti dengan objek dan
narasumber yang terkait, sehingga materi penelitian dapat digali lebih mendalam selain juga membantu memudahkan peneliti. Di sisi lain penetapan masalah penelitian, yakni deskripsi
persepsi elite ini Muhammadiyah terhadap fenomena relasi PAN dan PDS yang dijalin pada tahun 2013 ini, dirasa tepat oleh peneliti untuk melihat dan mengetahui pandangan serta citra
PAN dimata para elite ini menanggapi fenomena unik tersebut. Terutama menjelang pesta politik 2014 mendatang, persepsi para elite ini kemungkinan besar akan memberi pengaruh
pada perolehan suara PAN. Strategi ini akan membentuk image apakah PAN merupakan partai politik yang sesuai dengan kepribadian warga Muhammadiyah.
Peneliti menyadarai bahwa telah ada beberapa penelitian yang dilakukan terhadap Muhammadiyah dalam konteks gerakan politiknya. Antara lain oleh Alfian Muhammadiyah
The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, 1989 yang menekankan studinya pada aktivitas politik dan respons Muhammadiyah pada
zaman penjajahan Belanda. Syaifullah Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, 1997 yang membahas perilaku politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Haedar Nashir
Perilaku Politik Elite Muhammadiyah di Pekajangan, 1998 yang memfokuskan analisanya pada perkembangan Muhammadiyah di Pekajangan. Serta Syarifuddin Jurdi Elite
Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik yang memaparkan tingkah laku politik elite Muhammadiyah pasca orde baru di Bima Jurdi, 2004:6.
Kajian-kajian mengenai Muhammadiyah tersebut lebih banyak menggambarkan persoalan politik yang dihadapi oleh Muhammadiyah secara pribadi pada saat tertentu.
Namun, untuk penelitian dalam konteks politik Muhammadiyah yang langsung dan khusus dikaitkan dengan satu partai politik tertentu- dalam hal ini PAN- belum ada, setidaknya
dalam lingkup Sumatera Utara. Karena itulah studi ini penting diteliti agar fenomena relasi elit yang terjalin antara Muhammadiyah dan PAN dapat dijelaskan melalui persepsi
poitik elite tersebut dalam memandang strategi politik yang dijalankan PAN. Sehingga masyarakat
Sumatera Utara, khususnya warga Muhammadiyah dan simpatisan PAN dapat mengetahui
9
pergerakan organisasi tempat bernaungnya secara utuh demi pembentukan dan peneguhan
sikap, pandangan, dan perilaku politik yang sesuai idealisme pikiran dan hati nurani.
1.2 Fokus Masalah