2.3. HIPERTIROIDISME 2.3.1. Pengertian
Hipertiroidisme Tiroktosikosis merupakan keadaan kelebihan hormon tiroid yang berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang dijadi bila
suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Hipertiroid adalah keadaan abnormal kelenjar tiroid akibat meningkatnya
produksi hormon tiroid sehingga kadarnya meningkat dalam darah yang ditandai dengan penurunan berat badan, gelisah, tremor, berkeringat dan kelemahan otot
Batubara, 2010. Hipertiroid kongenital terjadi karena transfer TRSAb
s
TSH reseptor- stimulating antibodies dari ibu ke bayi melalui plasenta. Awitan klinis, berat, dan
perjalanan penyakitnya dipengaruhi oleh potensi TRSAb, lama dan derajat beratnya hipertiroid intrauterin, serta obat antitiroid yang dikonsumsi oleh ibu Batubara,
2010.
2.3.2. Epidemiologi
Sampai saat ini belum didapatkan angka yang pasti insiden dan prevalensi hipertiroid pada anak di Indonesia.Beberapa pustaka di luar negeri menyebutkan
insidennya pada masa anak secara keseluruhan diperkirakan 1100.000 anak per tahun Birrel, 2004. Mulai 0,1100.000 anak per tahun untuk anak 0-4 tahun, meningkat
sampai dengan 3100.000 anak pertahun pada usia remaja Levard, 1994. Secara keseluruhan insiden hipertiroid pada anak jumlahnya kecil sekali atau diperkirakan
hanya 5-6 dari keseluruhan jumlah penderita penyakit Graves segala umur Dallas,
1996.
Prevalensinya pada remaja wanita lebih besar 6-8 kali dibanding dengan remaja pria. Kebanyakan dari anak yang menderita penyakit Graves mempunyai
riwayat keluarga penyakit Addison, lupus sistemik, ITP, Myasthenia gravis, Rheumatoid arthritis, dan vitiligo. Penyakit Graves juga lebih sering terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
pasien dengan trisomi 21. Sedangkan penyakit Graves pada neonatus hanya terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu berpenyakit Graves dengan prevalensi 1: 70
kelahiran Fisher, 2002.
2.3.3. Etiologi
Lebih dari 95 kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit Graves, suatu penyakit tiroid autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk menghasilkan
hormon yang berlebihan William, 2002. Penyebab hipertiroid lainnya yang jarang selain penyakit Graves adalah:
Tabel 2.1. Penyebab Tirotoksikosis pada Anak Hipertiroidisme:
Penyakit Graves Nodul tiroid toksik Plummer disease
Adenoma toksik TSH-induced hyperthyroidism:
Tumor hipofisis diproduksi oleh TSH Resistensi hormon tiroid hipofisis
Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: Tiroiditis limfositik kronik tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis subakut bakteri Hormon tiroid berlebihan thyrotoxicosis factitia
McCune-Albright syndrome __________________________________________________________________
Sumber: Juliane, 2013
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Patofisiologi 2.3.4.1. Graves pada neonatus
Terdapat perbedaan yang mendasar patofisiologi penyakit Graves yang terjadi pada bayi dengan anak dan dewasa. Penyakit Graves pada bayi atau neonates
selalu transien atau bersifat sementara, sedangkan pada anak dan dewasa biasanya bersifat menahun Brown, 2005.
Neonatal graves hanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves dengan aktivitas antibodi stimulasi reseptor TSH TSH
receptor-stimulating antibodies, yang merupakan suatu TRAb-stimulasi yang kuat. Hal ini dikarenakan TRAb-stimulasi dari ibu sampai bayi melalui plasenta. TRAb-
stimulasi bisa terdapat dalam sirkulasi ibu hamil yang tidak dalam keadaan hipertiroid, oleh karena itu adanya riwayat penyakit Graves pada ibu harus menjadi
pertimbangan risiko terjadinya penyakit graves pada bayinya Fisher, 2002. Ibu dengan penyakit Graves dapat memiliki campuran antibodi dan
inhibisiblocking terhadap reseptor TSH TRAb-stimulasi dan TSH receptor-blocking antibodies atau disebut TRAb-inhibisi sekaligus. Jenis antibodi yang sampai kepada
bayi melalui plasenta akan mempengaruhi kelenjar tiroid bayi, bayi yang dilahirkan dapat hipertiroid, eutiroid atau hipotiroid, tergantung antibodi yang lebih dominan.
Potensi kondisi hipertiroid di dalam kandungan, serta obat-obatan anti-tiroid dari ibu merupakan faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada status tiroid bayi Fisher,
2002.
2.3.4.2. Graves pada anak dan remaja
Penyakit graves merupakan penyakit autoimun dengan adanya defek pada toleransi imun dengan penyebab yang belum jelas. Adanya autoantibodi yang bekerja
pada reseptor TSH di kelenjar tiroid TSH receptor-stimulating antiobodies atau disebut TRAb-stimulasi menyebabkan peningkatan sintesis dan sekresi hormon
tiroid secara otonom di luar jaras hipotalamus-hipofisis-tiroid. Antibodi tersebut merupakan lgG subklas lgG1, dengan target utama auto-antigen dari reseptor TSH,
Universitas Sumatera Utara
yang mirip dengan auto-antigen di jaringan subkutan dan otot-otot ekstraokuler Weetman, 2000.
Di samping itu penderita penyakit Graves juga memproduksi immunoglobulin yang mempunyai aktivitas menghambat reseptor TSH secara
langsung. Antibodi ini juga mempunyai target yang lain di kalenjar tiroid yakni tiroid peroksidase sebagi anti-TPO, dan juga tiroglobulin sebagai anti-Tg Brown, 2005.
Perbedaan aktivitas biologis kedua jenis auto-antibodi stimulasi dan inhibisi hanya dapat dilihat pada pemeriksaan in vitro dengan kultur menggunakan antibodi
penderita pada sel-sel yang mengekspresikan reseptor TSH. Antibodi stimulasi akan meningkatkan produksi cAMP pada kultur, sedangkan antibodi inhibisi akan
menghambat peningkatan cAMP Fisher, 2002.
2.3.5. Diagnosis 2.3.5.1. Manifestasi Klinis
Tabel 2.2. Gejala klinis penyakit graves pada neonatus.
Gejala klinis Graves neonatus Rewel Takikardia
Malas minum Hepatomegali Berat badan tidak naik Ikterus
Diare Kraniosinostosis Sulit tidur Gagal jantung
Struma Trombositopenia Proptosis Kematian
Sumber: Rossi, 2005 Tidak semua bayi yang lahir segera menunjukkan gejala klinis sebagai
hipertiroid.Apabila terdapat TRAb-inhibisi di dalam sirkulasi bayi, bayi dapat mengalami hipotiroid yang bersifat transient atau eutiroid.Demikian juga bila ibu
Universitas Sumatera Utara
mengkonsumsi obat-obatan anti-tiroid Brown, 2005. Gejala klinis penyakit Graves pada neonatus adalah seperti pada tabel 2.2.
Yang paling sering dikeluhkan terutama oleh anak prepubertas adalah penurunan berat badan yang nyata dan diare.Sedangkan tanda klinis klasik hipertiroid
seperti pada dewasa yang meliputi palpitasi, iritabilitas, tremor halus, dan intoleransi terhadap panas lebih menonjol terjadi pada anak remaja Lazar, 2000.
Pembesaran kelenjar tiroid goiter, walau hampir selalu ada, tetapi bukanlah hal yang utama menjadi keluhan, bahkan sering menjadi hal yang di luar perhatian
keluarga penderita, bahkan oleh tenaga kesehatan sekalipun, dikarenakan pembesaran sering kali ringan. Kalenjar tiroid yang membesar teraba lembut dan berbatas tidak
tegas diffuse, tidak rata, dan fleshy, sering juga terdengar bruit pada auskultasi Bhadada, 2006.
Beberapa penderita juga sering mengeluhkan adanya poliuria dan mengompol di malam hari, sebagai akibat peningkatan laju filtrasi glomerulus.Pada anak-anak
remaja sering terjadi gangguan pubertas.Pada remaja wanita yang telah menarche, seringkali terjadi amenore sekunder.Gangguan tidur yang menyertai seringkali
menyebabkan anak cepat lelah Brown, 2005. Secara keseluruhan gejala dan tanda klinis penyakit Graves dapat dilihat pada tabel 2.3.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Gejala klinis penyakit graves pada anak.
TANDA Jumlah
Struma Takikardia
Bruit pada tiroid Bising jantung
Peningkatan sensitivitas Peningkatan denyut nadi
Berkeringat banyak Tremor
Palpitasi Intoleransi terhadap panas
Peningkatan nafsu makan Hipertensi
Oftalmopati Peningkatan tinggi badan
Penurunan berat badan Diare
Hiperaktif Gangguan menstruasi
Gangguan tidur Lekas capai
Sakit kepala 98-99
82-95 20-84
10-84 80-82
77-80 41-78,6
51-78,2 34-76,8
27-76,8 47-73,2
71 58,9-71
71-71 50-54
13-48,2 44
33,3 22-30,4
5,4-16 15
hanya 62,5 termasuk sedang sampai besar Sumber: Bhadada, 2006
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4. Derajat Tanda Okular Berdasarkan Peningkatan Keparahan
Kelas Tanda
Tidak ada gejala atau tanda 1
Hanya tanda, yang mencakup retraksi kelopak mata atas, dengan atau tanpa lid
lag, atau proptosis sampai 22mm. Tidak ada gejala.
2 Keterlibatan jaringan lunak
3 Proptosis 22 mm
4 Keterlibatan jaringan lunak
5 Keterlibatan kornea
6 Kehilangan penglihatan akibat
keterlibatan saraf optikus Sumber: Warner, 1977
Tingkat 2 mewakili terkenanya jaringan lunak dengan edema periorbital; kongesti atau kemerahan konjungtiva dan pembengkakan konjungtiva
kemosis.Tingkat 3 mewakili proptosisi sebagaimana diukur dengan eksoftalmometer Hertel.Instrumen ini terdiri dari 2 prisma dengan skala dipasang
pada suatu batang.Prisma-prisma ini diletakkan pada tepi orbital lateral dan jarak dari tepi orbital ke kornea anterior diukur dengan skala Surks, 1990.
Tingkat 4 mewakili keterlibatan otot yang paling sering terkena adalah rektus inferior, yang merusak lirikan ke atas.Otot yang kedua paling sering terkena adalah
rektus medialis dengan gangguan lirikan ke lateral.Tingkat 5 mewakili keterlibatan kornea keratitis, dan tingkat 6 hilangnya penglihatan akibat terkenanya nervus
optikus Surks, 1990. Seperti disebutkan di atas, oftalmopatia disebabkan infiltrasi otot-otot
ekstraokular oleh limfosit dan cairan edema pada suatu reaksi inflamasi akut.Orbita berbentuk konus ditutupi oleh tulang; dan pembengkakan otot-otot ekstraokular
Universitas Sumatera Utara
karena ruang tertutup ini menyebabkan protopsis bola mata dan gangguan pergerakan otot, mengakibatkan diplopia Surks, 1990.
2.3.5.2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Inspeksi dilakukan kepada penderita dengan posisi duduk dan kepala sedikit diekstensi.Pemeriksa berada didepan penderita dan memperhatikan perubahan warna
kulit, ulkus, fistel, sekret, dan tentukan lokasi. Seterusnya, pemeriksa akan menentukan lokasi, jumlah dan bentuk pada benjolan. Bila benjolan berada di tengah
leher, penderita disuruh meneguk air dan perhatikan benjolan bergerak keatas Castro, 2004.
Palpasi Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,
kepala dalam posisi sedikit ekstensi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan, bagian volar distal digiti 2,3 dan 4 pada
tengkuk penderita. Bila terdapat benjolan dibagian tengah leher, dibawah kartilago tiroidea perhatikan lokasi, jumlah, konsistensi, permukaan, batas, pergerakan, nyeri
dan ukuran mm Castro, 2004. Nodul yang teraba biasanya mempunyai ukuran lebih dari 1.5 cm, namun hal
ini juga bergantung pada letak dan bentuk dari leher pasien.Dengan pemeriksaan fisik dapat juga untuk melihat pergerakan nodul saat menelan.memperkirakan adanya
pembesaran limfonodi di sekitar leher yaitu di daerah supraklavikular dan jugulocarotid, yang sering terjadi pada karsinoma papiliferum, juga dapat diketahui
melalui pemeriksaan daerah leher. Selain lokasi dan ukuran, palpasi juga dapat memperkirakan konsistensi dari nodul.Adanya konsistensi nodul yang padat dan
ireguler atau menempel pada jaringan sekitar Nadia, 2003.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5.3. Pemeriksaan Laboratorium pada Neonatus
Diagnosis hipertiroidisme pada neonatal Graves ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar T
4,
FT
4,
T
3,
dan FT
3
yang disertai supresi kadar TSH. Adanya titer TRAb yang tinggi pada ibu atau bayi merupakan konfirmasi penyebabnya Brown,
2005. Mengingat pentingnya diagnosis dan terapi yang segera, beberapa keadaan
seperti pada tabel 3 patut dipertimbangkan sebagai neonatal Graves untuk dilakukan pemeriksaan uji fungsi tiroid yang diperlukan Brown, 2005.
Tabel 2.5. Beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan sebagai neonatal Graves
Sumber: Brown, 2005
2.3.5.4. Pemeriksaan Laboratorium pada Anak
Pemeriksaan T
3
merupakan hal yang penting, sekitar 5 anak dengan penyakit Graves mempunyai kadar T
3
yang meningkat nyata, namun dengan kadar T
4
yang normal atau sedikit di atas normal. Keadaan ini dikenal sebagai T
3
toxicosis Fisher, 2005.TSH biasanya sangat rendah atau tidak terdeteksi. Peningkatan T4 atau
T3 tanpa disertai kadar TSH yang rendah tidak menyokong keadaan hipertiroid. Hal ini kemungkinan dapat diakibatkan karena kelebihan thyroxine-binding globulin atau
karena gangguan binding protein. Pada keadaan terakhir, kadar TBG di dalam serum 1.
Takikardia yang tidak jelas sebabnya, adanya goiter atau ‘store’. 2.
Peteki yang tidak jelas sebabnya, hiperbilirubinemia, atau hepatomegaly. 3.
Riwayat atau adanya TRAb yang tinggi selama kehamilan ibu. 4.
Riwayat atau adanya kebutuhan obat anti tiroid yang meningkat selama kehamilan ibu.
5. Riwayat terapi ablasi tiroid dari ibu.
6. Riwayat penyakit Graves pada keluarga.
Universitas Sumatera Utara
harus diperiksa juga. Kadar TSH yang rendah juga dapat menyingkirkan kemungkinan hipertiroid karena induksi TSH dan hipofisis yang resisten terhadap
hormon tiroid Brown, 2005. Antibodi terhadap tiroid anti-TG dan anti-TPO kadang juga positif pada
anak dengan penyakit Graves, yang sulit dibedakan dengan fase tirotoksik pada tiroiditis Hashimoto.Pada keadaan demikian, untuk membedakannya perlu
pemeriksaan TRAb-stimulasi Dallas, 1996.Namun demikian, pada keadaan yang sudah jelas terdapat tanda klinis penyakit Graves, semasa hipertiroid, goiter,
proptosis, maka pemeriksaan TRAb-stimulasi tidak diperlukan lagi mengingat mahalnya pemeriksaan ini Brown, 2005.
Tabel 2.6. Nilai rujukan untuk kadar T4 total, T3, T4 bebas, TSH
HORMON USIA
NILAI NORMAL T4 µgdL
Bayi prematur 26-30 minggu, hari ke 3-4 Bayi aterm
Usia 1-3 hari 1 minggu
1-12 bulan Prepubertas
1-3 tahun 3-10 tahun
Anak pubertas 11-18 tahun 2,6-14,0
8,2-19,9 6,0-15,9
6,1-14,9
6,8-13,5 5,5-12,8
4,9-13,0
FT4 µgdL Bayi prematur 26-30 minggu, hari ke 3-4
Bayi aterm Usia 1-3 hari
1-12 bulan Prepubertas
Anak pubertas 0,4-2,8
2,0-4,0 0,9-2,6
0,8-2,2 0,8-2,3
Universitas Sumatera Utara
T3 ngdL Bayi premature 26-30 minggu, hari ke 3-4
Bayi aterm Usia 1-3 hari
1 minggu 1-12 bulan
Prepubertas Anak pubertas 11-18 tahun
24-132
89-405 91-300
85-250 119-218
80-185 TSH
µUmL Bayi prematur 26-30 minggu, hari ke 3-4
Bayi aterm 4 hari
1-12 bulan Usia Prepubertas
Usia pubertas 0,8-6,9
1,3-16 0,9-7,7
0,6-5,5 0,5-4,8
Sumber: Mac Gillivray, 2004
2.3.5.5. Fine Needle Aspiration Biopsy FNAB
Pada prinsipnya FNAB bertujuan untuk memperoleh sampel sel-sel nodul tiroid yang teraspirasi melalui penusukan jarum ke jaringan nodul tiroid.Untuk itu
dibutuhkan jarum steril 23-25G serta semprit.Pertama kelenjar tiroid harus dipalpasi secara hati-hati dan nodul diidentifikasi dengan baik dan benar.Kemudian, pasien
ditempatkan pada posisi supinasi dengan leher hiperekstensi, untuk mempermudah tempatkan bantal pada bawah bahu.Pasien tidak diperbolehkan menelan, bertanya,
dan bergerak selama prosedur.Perlu diinformasikan juga kepada pasien bahwa prosedur ini memerlukan anestesi lokal Kini, 1987.
Setelah mengidentifikasi nodul yang akan diaspirasi, kulit tersebut dibersihkan dengan alkohol. Semprit 10cc dipasangkan ke syringe holder dan
dipegang dengan tangan kanan. Jari pertama dan kedua tangan kiri menekan dan memfiksasi nodul, sehingga dapat mempertahankan arah tusukan jarum oleh tangan
Universitas Sumatera Utara
lainnya yang dominan.Tangan kanan memegang jarum dan semprit tusukkan dengan tenang.Waktu jarum sudah berada dalam nodul, dibuat tarikan 2-3cc pada semprit
agar tercipta tekanan negatif.Jarum ditusukkan 10-15 kali tanpa mengubah arah, selama 5-10 detik. Pada saat jarum akan dicabut dari nodul, tekanan negatif
dihilangkan kembali Kini, 1987. Setelah jarum dicabut dari nodul, jarum dilepas dari sempritnya dan sel-sel
yang teraspirasi akan masih berada di dalam lubang jarum. Kemudian isi lubang ditumpahkan keatas gelas objek.Buat 6 sediaan hapus, 3 sediaan hapus difiksasi
basah dan dipulas dengan Papanicoulau.Sediaan lainnya dikeringkan di udara untuk dipulas dengan May Gruenwald GiemsaDiffQuick.Kemudian setelah dilakukan
FNAB daerah tusukan harus ditekan kira-kira 5 menit, apabila tidak ada hal-hal yang dikhawatirkan, daerah leher dibersihkan dan diberi small bandage Orell, 1986.
FNAB sangat aman, tidak ada komplikasi yang serius selain tumor seeding, kerusakan saraf, trauma jaringan, dan cedera vaskular.Mungkin komplikasi yang
paling sering terjadi adalah hematoma, ini disebabkan karena pasien melakukan gerakan menelan atau berbicara saaat tusukan.Komplikasi lainnya yang perlu
diperhatikan adalah vasovagal dan jarum menusuk trakea Orell, 1986. Tabel 2.7. Klasifikasi dari FNA Cytology
Sumber: Tom, 2006
Kategori FNAC Sitologi
THY 1 Bahan tidak cukup insufficient material
THY 2 Jinak tiroid nodul
benign nodular goiter THY 3
Curiga suatu tumorneoplasma folikular suspicious of neoplasma follicular
THY 4 Curiga keganasan
papilarimedularilimfoma suspicious of malignancy
papillarymedullarylymphoma
THY 5 Positif ganas definite malignancy
Universitas Sumatera Utara
2.3.6. Penatalaksanaan 2.3.6.1. Terapi pada Neonatus
Pada awal pengobatan perlu diingat bahwa neonatal Graves merupakan ‘self limiting disease’ sehingga bersifat sementara, dan pengobatan dilakukan dengan
prinsip titrasi untuk menjadikan bayi dalam keadaan eutiroid. Terapi yang diberikan adalah propylthiouracil PTU dengan dosis 5-10 mgkgBBhari atau methimazole
MMI dengan dosis 0,5-1 mgkgBBhari dalam dosis terbagi 3. Jika gejalanya sangat hebat bias ditambahkan larutan Lugol dengan dosis 1 tetes setiap 8 jam untuk
menghambat pelepasan hormon tiroid. Respon terap harus dilakukan dengan ketat selama 24-36 jam pertama Fisher, 2002.
Bila respons terapi kurang baik, dosis anti-tiroid bisa dinaikkan sampai 50 dan perlu ditambahkan propranolol untuk mengurangi gejala stimulasi simpatik yang
berlebihan, dengan dosis 2 mgkgBBhari. Prednison dengan dosis 2 mgkgBBhari juga ditambahkan untuk mengurangi sekresi hormon tiroid dan mengurangi konversi
T
4
menjaid T
3
di perifer.Penderita juga ditangani bersama dengan bagian kardiologi anak. ASI pada ibu yang mengkonsumsi antitiroid dapat tetap diberikan bila tidak
melebihi 400mghari untuk PTU, dan 40mghari untuk MMI Fisher, 2002.
2.3.6.2. Terapi pada Anak
Terdapat tiga pilihan metode terapi pada anak dengan penyakit Graves, yakni obat-obat antitiroid, abalasi dengan radioaktif yodium dan pembedahan.Tidak ada
satupun yang memuaskan secara keseluruhan Krassas, 2004. Pemilihan metode terapi harus disesuaikan dengan keadaan individu dan pertimbangan keluarga tentang
keuntungan dan kerugiannya. Dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya remisi yang signifikan pada anak, maka penggunaan obat-obat anti tiroid merupakan pilihan
pertama Brown, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Obat anti tiroid
Prophylthyouracil PTU dan methimazole MMI atau carbimazole diubah menjadi MMI merupakan obat-obatan yang paling banyak dipakai. Obat –obat ini
menghambat sintesis hormon tiroid dengan cara menghalangi coupling iodotirosin melalui penghambatan kerja enzim tiroperoksidase Cooper, 2005. Khusus PTU,
obat ini juga menghambat konversi T4 menjadi T
3
di perifer, hal ini merupakan keuntungan tersendiri pada keadaan yang memerlukan penurunan segera kadar
hormon tiroid aktif seperti yang terjadi pada keadaan krisis tiroid Styne, 2004. PTU dan MMI diabsorpsi secara cepat di saluran cerna, kadar puncak di
dalam serum terjadi 1-2 jam setelah obat diminum. Kadar obat di dalam serum akan menurun habis dalam 12-24 jam untuk PTU, dan lebih lama lagi untuk MMI. Hal ini
mempengaruhi lama kerja masing–masing obat.Dengan demikian MMI dapat diberikan 1 kali sehari, sedangkan PTU diberikan 2-3 kali sehari.Methimazol MMI
di dalam serum dalam bentuk bebas, sedangkan PTU 80-90 terikat pada albumin Cooper, 2005.
Pada awal terapi PTU dapat diberikan dengan dosis 5-10mgkgBBhari dalam dosis terbagi 3, dan MMI dapat diberikan 5-10 dari dosis PTU dalam dosis
terbagi 2 atau sekali sehari. Pada kasus-kasus yang berat, beta blocker Propanolol 0,5-2,0 mgkgBBhari dalam dosis terbagi 3 dapat diberikan untuk mengendalikan
aktivitas kardiovaskuler yang berlebihan sampai dicapai keadaan eutiroid Fisher, 1996. Follow-up uji fungsi tiroid harus dilakukan 4-6 minggu sampai kadar T
4
dan T
3
total dalam batas normal. Kadar TSH serum biasanya akan kembali normal dalam waktu beberapa bulan agak lama, sehingga pengukuran TSH akan lebih berarti
sebagai indikator terapi bila dilakukan setelah dalam keadaan eutiroid, bukan pada awal terapi Styne, 2004.
Setelah kadar T
4
dan T
3
kembali normal, dosis obat antitiroid dapat diturunkan secara bertahap 30-50 dari total harian. Alternatif yang lain adalah
dengan tidak merubah dosis antitiroid, melainkan menunggu kadar TSH meningkat sambil menambahkan dosis kecil L-thyroxine atau yang disebut regimen block-
Universitas Sumatera Utara
replacement, namun demikian menurut penelitian yang telah dilakukan, kombinasi terapi ini anti-tiroid dan L-T
4
tidak memperbaiki angka remisinya. Keadaan eutiroid biasanya tercapai dalam waktu 6-12 minggu.Selama masa rumatan PTU dapat
diberikan 2 kali sehari, dan MMI cukup 1 kali sehari.Biasanya penderita dapat difollow-up setiap 4-6 bulan Brown, 2005.
Lama terapi sangat individual, sampai saat ini tidak ada pedoman mengenai lama terapi yang optimal, rata-rata dapat mencapai 2-3 tahun Bhadada, 2006 Sekitar
50 dari anak-anak yang diterapi akan terjadi remisi dalam 4 tahun pertama terapi, dengan peningkatan angka remisi sebesar 25 setiap 2 tahunnya sampai tahun ke-6
terapi. Dikatakan remisi, bila 1 tahun setelah pengobatan dihentikan penderita masih dalam keadaan eutiroid Lazar, 2000.
Kecilnya dosis anti-tiroid yang diperlukan serta goiter yang mengecil merupakan indikator yang baik untuk menurunkan dosis anti-tiroid secara bertahap hingga
dihentikan. Rendahnya derajat hipertiroksinemia [T
4
20 gdL 257.4mmolL; rasio T
3
:T
4
20], indeks masa tubuh yang rendah, dan usia anak yang lebih tua mempunyai kecenderungan terjadi remisi yang permanen. Sedangkan kadar TRAb yang tinggi
mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya relaps Brown, 2005. Efek samping anti-tiroid dilaporkan sebesar 5-20, berupa rash eritema, atralgia,
urtikaria, granulositopenia bersifat transient 1500mm
3
. Jarang terjadi dan lebih berat: hepatitis, lupus like syndrome, trombositopenia, dan agranulositosis,
250mm
3
. Kebanyakan reaksi yang terjadi ringan, dan bukan merupakan kontraindikasi untuk diteruskan. Pada kasus yang berat, perlu dipertimbangkan terapi
dengan cara yang lain terapi ablasi menggunakan radioaktif atau pembedahan Rahman, 2003.
2.3.6.3. Ablasi Dengan Radioaktif Yodium
Yodium I
131
merupakan terapi pilihan pada pasien Graves yang relaps dengan pengobatan antitiroid jangka lama, pasien dengan penyakit tirokardiak berat,
pasien dengan multinodular toksik, dan pasien yang hipersensitif terhadap obat
Universitas Sumatera Utara
antitiroid. Terapi I
131
harus dihindari atau ditunda pada pasien Graves dengan
oftalmopati aktif terutama pasien adalah seorang perokok Batubara, 2010.
Dosis yang dipakai untuk terapi I
131
berkisar antara 185-555 MBq 5-15 mCi tergantung dari ukuran struma dengan besarnya ambilan I
131
sebelumnya.Pada struma nodular toksik dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai keadaan
eutiroid.Penggunaan obat antitiroid sebelum terapi I
131
sebetulnya tidak diperlukan kecuali pada kasus dengan hipertiroid berat.Metimazol hanya diberikan sebelum
pemberian I
131
pada pasien hipertiroid yang berat atau struma yang sangat besar untuk mencegah eksaserbasi hipertiroid karena tiroiditis sementara transien akibat radiasi
Batubara, 2010. Obat-obat antitiroid ini diberikan untuk mencapai eutiroid dan kemudian
dihentikan 3-5 hari sebelum pemberian I
131
.Pengobatan dengan radioaktif ini membutuhkan waktu 2-4 bulan.Setelah terapi biasanya pasien menjadi hipotiroid
sehinggga membutuhkan terapi substitusi dengan L-tiroksin L-T
4
.Kondisi pasien harus dipantau dan dilakukan pemeriksaan darah sekali sebulan untuk mengetahui
efektivitas pengobatan dan untuk memulai terapi hormon tiroid jika dibutuhkan.Terapi dengan I
131
mempunyai efektivitas 90-95, namun terkadang dibutuhkan dosis kedua Batubara, 2010.
2.3.6.4. Pembedahan Tiroidektomi
Tiroidektomi jarang direkomendasikan pada penyakit Graves.Indikasi spesifik meliputi pasien dengan struma yang sangat besar dan resisten dengan radioaktif, ibu
hamil dengan struma nodular yang alergi terhadap obat antitiroid, pasien alergi obat antitiroid dan tidak ingin diterapi dengan I
131
.Prosedur pembedahan harus dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman dan hanya dilakukan setelah pemberian obat-
obatan.Pasien harus mencapai keadaan eutiroid sebelum dioperasi untuk mencegah timbulnya krisis tiroid setelah operasi.PTU atau metimazol diberikan 7-10 hari
sebelum operasi dan ditambahkan yodium inorganik untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar tiroid.Jika pasien alergi dengan PTU atau metimazol dapat diberikan B-
Universitas Sumatera Utara
bloker dengan yodium inorganik. Pada pasien struma nodular toksik, yodium inorganik tidak dapat diberikan karena dapat menimbulkan eksaserbasi hipertiroid
Batubara, 2010. Komplikasi operasi yang dapat terjadi adalah hipoparatiroid dan kerusakan
nervus laringeus rekuren. Komplikasi tersebut jarang terjadi namun sering dijumpai hipotiroid permenen, oleh sebab itu pasien harus dievaluasi dalam satu bulan setelah
operasi, kemudian dalam interval beberapa bulan, dan selanjutnya setiap tahun dengan memantau kadar T
4
bebas dan tirotropin dalam serum Batubara, 2010.
2.3.7. Krisis tiroid
Krisis tiroid merupakan komplikasi yang berat, namun jarang terjadi pada anak-anak hipertiroid. Biasanya didahului faktor pencetus yakni: pembedahan, infeksi
dan KAD ketoasidosis diabetik. Hal ini juga terjadi pada saat pembedahan tiroidektomi maupun terapi ablasi menggunakan radioaktif Krassas, 2004.
Gejala klinisnya berupa hipertermi akut, berkeringat banyak, takikardia, dan penurunan kesadaran sampai dengan koma Krassas, 2004.
Terapi harus segera dilakukan, sebagai berikut: 1. Propanolol 2-3 mgkgBBhari dalam dosis terbagi setiap 6 jam untuk
mengendalikan gejala adrenergiknya. Propranolol dapat diberikan intravena dengan dosis 0,01-0,1 mgkgBB dengan dosis maksimal 5 mg
dalam 10-15 menit, mulai dengan dosis yang kecil. 2. Dexamethasone diberikan dengan dosis 1-2 mg setiap 6 jam dapat
mengurangi konversi T
4
menjadi T
3
. 3. NaI dengan dosis 1-2 ghari dapat menurunkan pelepasan hormon tiroid.
4. Larutan Lugol 5 tetes setiap 8 jam dapat diberikan peroral apabila penderita mulai sadar.
5. Kompres dingin dengan cooling blanket untuk mengendalikan hiperterminya.
Universitas Sumatera Utara
6. PTU sendiri tidak memberikan efek terapi sampai beberapa hari, tetapi dapat diberikan untuk jangka lamanya dengan dosis 6-10 mgkgBBhari
dalam dosis terbagi 6 jam dosis maksimal 200-300 mg 7. Kesimbangan cairan harus selalu terjaga.
8. Jika terdapat tanda-tanda gagal jantung, dapat dipertimbangkan digitalis.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Gambar 3.1. Kerangka konsep gambaran kejadian hipertiroid pada anak
3.2. Definisi Operasional
a. Hipertiroidisme adalah keadaan abnormal kelenjar tiroid akibat meningkatnya produksi hormon tiroid sehingga kadarnya meningkat dalam
darah yang ditandai dengan penurunan berat badan, gelisah, tremor, berkeringat dan kelemahan otot.
b. Usia adalah jumlah tahun hidup pasien penderita hipertiroid sejak lahir sampai ulang tahun terakhir yang sesuai dengan rekam medis. Perhitungan
berdasarkan kalendar Masehi dan dibagi menurut kelompok umur. c. Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan dua makhluk sebagai
betina dan jantan atau wanita dan pria KBBI, 2010. d. Etiologi adalah penyebab yang tersering kejadian hipertiroid pada anak.
e. Pemeriksaan laboratorium adalah pengukuran kadar hormon tiroid dalam darah pada anak untuk mengidentifikasi penyakit hipertiroid.
Kejadian Hipertiroid Pada Anak 1.
Usia 2.
Jenis Kelamin 3.
Etiologi 4.
Pemeriksaan laboratorium
Universitas Sumatera Utara