untuk meningkatkan pasokan makanan. Meningkatnya efisiensi pertanian mengurangi jumlah petani. Selain itu, dengan industrialisasi dan urbanisasi, semakin banyak
orang yang bertempat tinggal jauh dari tanah pertanian. Perubahan sosial ini mengakibatkan makin meningkatnya kebutuhan akan makanan olahan yang diangkut
dari daerah pertanian ke kota dengan tetap mempertahankan nilai gizi serta sifat organoleptiknya. Kebutuhan ini sebagian besar dapat dipenuhi oleh penambahan
bahan kimia yang dikenal sebagai zat tambahan makanan. Zat tambahan makanan menurut Komisi Codex Alimentarius adalah bahan
apa pun yang biasanya tidak dimakan sendiri sebagai suatu makanan dan biasanya tidak digunakan sebagai bahan-bahan khas untuk makanan, baik mempunyai nilai gizi
atau tidak, yang bila ditambahkan dengan sengaja pada makanan untuk tujuan teknologi termasuk organoleptik dalam pembuatan, pengolahan, penyiapan,
perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan, atau penanganan makanan akan mengakibatkan, atau dapat diharapkan berakibat secara langsung atau tak langsung
makanan itu atau hasil sampingannya menjadi bagian komponen makanan itu atau mempengaruhi ciri-ciri makanan itu. Istilah ini tidak mencakup “pencemar” atau zat-
zat yang ditambahkan pada makanan untuk mempertahankan atau memperbaiki mutu gizi Lu, 1994.
Zat tambahan makanan dapat diklasifikasikan menjadi: 1 zat tambahan makanan langsung, dan 2 zat tambahan makanan tidak langsung.
2.3.1. Zat Tambahan Makanan Langsung
Beberapa zat kimia ditambahkan pada makanan untuk meningkatkan keawetannya, untuk membuat makanan itu dapat diproduksi secara massal, atau
Universitas Sumatera Utara
untuk meningkatkan daya tarik bagi konsumennya dalam segi warna, rasa, bentuk, dan kemudahan. Bahan kimia ini dikelompokkan berdasarkan fungsi teknologinya.
Daftar yang rinci dari berbagai kelompok zat tambahan makanan dan penggunaannya diberikan dalam suatu terbitan NAS 1965 dan suatu dokumen Codex. Berikut ini
adalah beberapa contohnya Lu, 1994: 1.
Bahan pengawet ditambahkan untuk memperpanjang shelf-life makanan dengan mencegah atau menghambat pertumbuhan mikroba.
2. Antioksidan ditambahkan pada minyak untuk mencegah tengik yang merupakan
hasil perubahan oksidatif. Sebagian ditambahkan pada buah dan sayuran untuk mencegah pencokelatan enzimatik.
3. Zat pengemulsi, pemantap, dan pengental ditambahkan untuk memperbaiki
kehomogenan, stabilitas, dan “badan” dari berbagai jenis produk makanan. 4.
Zat warna digunakan untuk mempertinggi daya tarik visual produk makanan. 5.
Bumbu dan penyedap, merupakan kelompok terbanyak zat tambahan makanan. Umumnya zat tamabahan ini digunakan dalam jumlah sedikit dalam makanan.
6. Bahan pemanis buatan, mempunyai rasa manis yang kuat tetapi nilai kalorinya
sedikit atau tidak ada. 7.
Zat gizi, antara lain vitamin, mineral, dan asam amino esesensial. 8.
Kelompok lain-lain, mencakup a pengaturan keasaman asam dan basa yang digunakan untuk menyesuaikan pH minuman dari buah kalengan dan sayur-
sayuran kalengan; b zat anti-gumpal yang ditambahkan pada garam, gula, dll. untuk mempertahankan sifatnya yang dapat bergerak bebas; c zat anti-busa yang
ditambahkan pada cairan untuk mencegah busa; d zat pengolah tepung yang
Universitas Sumatera Utara
ditambahkan dalam tepung untuk memperbaiki mutu pemanggangannya; e zat pengilap; f propelan; dan g zat pengembang.
2.3.2. Zat Tambahan Makanan Tidak Langsung
Selain zat tambahan makanan langsung, ada sejumlah besar zat tambahan tidak langsung dan beberapa pencemar yang merupakan masalah toksikologi
makanan dan membutuhkan upaya pengendalian yang berbeda. Yang terpenting dari zat tambahan makanan tidak langsung ini adalah unsur dalam bahan pengemas yang
dapat berpindah ke dalam makanan yang bersentuhan dengannya Lu, 1994. Kemasan makanan merupakan bagian dari makanan yang sehari-hari kita
konsumsi. Bagi sebagian besar orang, kemasan makanan hanya sekadar bungkus makanan dan cenderung dianggap sebagai “pelindung” makanan. Namun sebenarnya
kemasan pada makanan juga mempunyai fungsi kesehatan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi, dan informasi. Ada begitu banyak bahan yang digunakan
sebagai pengemas primer pada makanan, yaitu kemasan yang bersentuhan langsung dengan makanan. Tetapi tidak semua bahan ini aman bagi makanan yang dikemasnya
Sulchan Endang, 2007. Beberapa zat dapat berpindah dari wadah makanan, pembungkus, dan lain-
lain ke dalam makanan yang dibungkus di dalamnya. Kebanyakan bahan kimia yang dapat berpindah dari bahan konvensional, misalnya kertas dan kayu dianggap aman
dan tercantum dalam GRAS Generally Recognized as Safe FDA. Tetapi belakangan ini banyak dipakai kemasan yang terbuat dari bahan polimer. Polimer sendiri
biasanya bersifat lambat, tetapi komponen-komponennya, yaitu monomer yang ada dalam jumlah tertentu, sisa reaktan, zat antara, bahan bantu pengolahan, pelarut, dan
Universitas Sumatera Utara
zat tambahan plastik, serta hasil reaksi sampingan dan degradasi kimia dapat berpindah ke dalam makanan yang bersentuhan dengannya Lu, 1994.
Sebagian besar polimer yang dipakai untuk mengemas atau kontak dengan bahan makanan adalah jenis termoplastik. Plastik ini dapat menjadi lunak jika
dipanaskan dan mengeras lagi setelah dingin. Contoh plastik yang banyak digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari adalah polietilena sebagai bahan pembungkus,
kantung plastik, mainan anak, dan botol, teflon sebagai pengganti logam, pelapis alat-alat masak, polivinilklorida untuk pipa, alat rumah tangga, cat, piringan hitam,
polistyrene bahan insulator listrik, pembungkus makanan, Styrofoam, dan mainan anak, dan lain-lain Hadi, 2007.