Dampak Penangkapan Ikan terhadap Keseimbangan Trofik Level pada Habitat Lamun di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta

(1)

RISTIANI, C44080013. Dampak Penangkapan Ikan terhadap Keseimbangan Trofik Level pada Habitat Lamun di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh AM AZBAS TAURUSMAN dan ROZA YUSFIANDAYANI. Dampak pengoperasian alat tangkap skala kecil pada habitat lamun di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta diukur berdasarkan indikator struktur ekologis dan trofik level (TL). Trofik level hasil tangkapan nelayan diteliti selama periode Oktober 2011 sampai dengan April 2012. Metode yang digunakan adalah

experimental fishing menggunakan set gillnet untuk pengambilan sampel dan untuk analisis isi perut serta untuk kebiasaan makan ikan menggunakan metode jumlah, volumetrik dan frekuensi kejadian dengan analisis data berupa Indeks Relatif Penting dan Indeks Bagian Terbesar. Trofik level dianalisis berdasarkan tiga kasus yang ditemui. Hasil penelitian menunjukkan hasil tangkapan dominan berasal dari famili Holocentridae, yaitu ikan swanggi (Sargocentron rubrum) dan Belonidae, yaitu ikan cendro (Tylosurus strongylura) dengan proporsi masing-masing 26 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan berikutnya adalah ikan serak (Scolopsis lineata) dengan proporsi 14,5 % dari total hasil tangkapan. Ukuran rata-rata panjang total jenis ikan hasil tangkapan yang dominan, yakni ikan cendro (65,9 ± 21,7 cm), ikan serak (17,4 ± 1,4 cm) dan ikan swanggi (16,5 ± 1,6 cm). Berat rata-rata hasil tangkapan utama masing-masing jenis ikan tersebut adalah ikan cendro (584 ± 245 gr), ikan swanggi (87 ± 30 gr) dan ikan serak (77 ± 19 gr). Hasil tangkapan nelayan didominasi oleh ikan dengan kebiasaan makan (feeding guilds) yang bersifat herbivorous dan demersal feeders. Dominannya hasil tangkapan nelayan pada TL2 berpotensi menyebabkan ketidakseimbangan trofik level di daerah penangkapan ikan pada padang lamun tersebut.


(2)

RISTIANI, C44080013. (Fishing Impacts on the Balance of Trophic Level in Seagrass Habitat in Seribu Islands, DKI Jakarta Province). Supervised by AM AZBAS TAURUSMAN and ROZA YUSFIANDAYANI.

Fishing impacts of small-scale gears operating on seagrass habitat at Seribu Islands, DKI Jakarta Province, was quantified based on a widely accepted ecosystem measure and the ecology structure and the trophic level (TL) indicators. Trophic level of captured fish was evaluated during period October 2011 to April 2012. Fish samples were taken by means of experimental fishing using a set gillnet. In order to evaluate feeding habit a stomach content analysis that consist of quantity, volumetric and frequency of occurrence methods was conducted. The feeding habit data was analyzed by means of Relative Importance and Preponderance Indexes. Trophic level was analyzed base on three cases which found. Result showed that dominant of captured fish came from Holocentridae, that was redcoat (Sargocentron rubrum) and Belonidae that was spottail needlefish (Tylosurus strongylura) with each proportion 26 % of samples. The further dominant of captured fish fish was striped monocle bream (Scolopsis lineata) with proportion 14,5 % of samples. Size of the mean length of dominant captured fish were spottail needlefish (65,9 ± 21,7 cm), striped monocle bream (17,4 ± 1,4 cm) and redcoat (16,5 ± 1,6 cm). Size of the mean weight of dominant captured fish were spottail needlefish (584 ± 245 gr), redcoat (87 ± 30 gr) and striped monocle bream (77 ± 19 gr). Fish in the study area was dominated by herbivorous and demersal feeders. Many fishes that were captured on TL2 had potential to cause unbalanced trophic level in that fishing ground.


(3)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang terdapat didalamnya (Simbolon 2006).

Pertimbangan tiga aspek utama, yaitu aspek sumberdaya ikan, lingkungan perairan sebagai habitat sumberdaya ikan dan teknologi alat penangkapan ikan merupakan salah satu langkah dalam proses optimasi penentuan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan menguntungkan.

Lingkungan perairan mempunyai peran yang sangat besar dalam menunjang produktivitas perikanan. Ekosistem pesisir yang meliputi estuaria, laguna, padang lamun, terumbu karang dan laut dangkal merupakan beberapa daerah penangkapan ikan yang potensial untuk perikanan tangkap skala kecil. Penelitian tentang habitat ikan pada mangrove dan terumbu karang di Indonesia telah cukup banyak dilakukan. Namun, penelitian aspek perikanan tangkap pada padang lamun masih sangat terbatas. Terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik, komponen tumbuhan dan komponen hewan di dalam ekosistem lamun sebagai satu sistem ekologi (Hutomo 2009) serta terdapat fungsi ekologis yang sangat penting sebagai habitat dan pelindung sumberdaya ikan. Menurut Fortes (1990) ekosistem yang berasosiasi dengan terumbu karang ini diduga menyumbang sekitar 12 % hasil tangkapan dunia atau mampu menyediakan lebih dari 1/5 perikanan tangkap di negara-negara berkembang.

Indikasi ikan-ikan berkumpul di daerah penangkapan ikan antara lain disebabkan oleh adanya sumber makanan sehingga terbentuk rantai makanan dan jaring-jaring makanan, misalnya berkumpulnya ikan di sekitar rumpon (Yusfiandayani 2004). Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001) rantai makanan dalam ekosistem lamun tersusun dari tingkat-tingkat trofik yang mencangkup proses dan distribusi detritus organik dari ekosistem lamun ke konsumen. Supriharyono (2007) juga menyebutkan bahwa produktivitas primer yang berasal dari ekosistem padang lamun, selain bersumber dari tumbuhan lamun


(4)

itu sendiri juga berasal dari alga dan organisme fitoplankton yang menempel di daun lamun (epiphyte) atau di sekitar perairan tersebut.

Salah satu ekosistem padang lamun terdapat di sekitar Pulau Pramuka, dimana berbagai kegiatan manusia termasuk penangkapan ikan dilakukan di perairan pesisir (padang lamun). Beberapa penelitian tentang keterkaitan ekosistem lamun dengan sumberdaya ikan di Indonesia telah dilakukan baru-baru ini oleh Liu (2008) dan Unsworth (2009). Penelitian tersebut menjadi informasi bahwa fungsi lamun memberikan nilai lebih sebagai habitat ikan sehingga sangat penting untuk menunjang daerah penangkapan ikan (fishing ground). Pertumbuhan manusia yang cepat akan memengaruhi intensitas penangkapan. Intensitas penangkapan yang meningkat dapat mengubah struktur trofik habitat dan menyebabkan penurunan ukuran ikan serta dalam jangka panjang dapat mengakibatkan punahnya spesies tertentu.

Ningrum (2011) dan Aprilia (2011) telah melakukan penelitian mengenai dampak penggunaan alat tangkap terhadap habitat di suatu daerah penangkapan ikan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang cenderung lebih mengeksploitasi ikan pelagis kecil seperti kasus di Serang, berpotensi merusak keseimbangan ekosistem (jaring makanan). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian terkait dengan menganalisis trofik level hasil tangkapan nelayan di daerah penangkapan ikan pada habitat padang lamun. Hal yang diteliti terkait dengan indikator ekologis ikan dengan tujuan melihat keseimbangan populasi ikan di suatu perairan terutama di daerah penangkapan ikan, sehingga kegiatan penangkapan ikan harus selaras dengan prinsip-prinsip keseimbangan ekologis walaupun mengusahakan hasil tangkapan yang paling menguntungkan, demi keberlanjutan dan kelestarian potensi perikanan di daerah tersebut.

Penangkapan ikan memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap ekosistem laut, termasuk padang lamun. Dampak ini diidentifikasi pada skala waktu dan level yang berbeda pada organisasi biologis, yaitu populasi, komunitas dan ekosistem. Menurut Froese dan Pauly (2000) pada dasarnya trofik level adalah posisi suatu organisme dalam jaring makanan. Perubahan rata-rata trofik level merupakan salah satu indikator keberlanjutan suatu daerah penangkapan


(5)

ikan. Kerangka pemikiran ini secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1. Oleh karena itu, penelitian mengenai trofik level ini perlu dilakukan untuk mengetahui struktur ekologis hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun. Selain itu dengan dilakukannya penelitian ini, dapat dianalisis dan ditentukan trofik level hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Gambar 2 menjelaskan lebih lanjut mengenai tahapan pelaksanaan penelitian.

1.2 Permasalahan

Aktivitas penangkapan ikan akan memengaruhi habitat di daerah penangkapan ikan tersebut. Intensitas penangkapan yang meningkat dapat mengubah struktur trofik habitat dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan punahnya spesies tertentu. Perubahan tingkat trofik dalam rantai makanan pada habitat padang lamun dapat menjadi salah satu indikator yang penting bagi keberlanjutan kegiatan penangkapan pada suatu daerah penangkapan ikan, khususnya di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini, yaitu untuk:

1) Mengetahui struktur ekologis hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta; 2) Menganalisis dan menentukan trofik level hasil tangkapan nelayan pada habitat

padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Memberikan informasi ilmiah tentang struktur ekologis dan trofik level hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta;

2) Memberikan informasi kepada nelayan dan pemerintah atau pengelola sumberdaya ikan tentang status pemanfaatan sumberdaya ikan pada habitat


(6)

padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Latar Belakang Permasalahan Input Proses Output Tujuan

Gambar 1 Kerangka pemikiran pendekatan penelitian Padang lamun Produsen primer Habitat biota laut Penunjang sumberdaya perikanan Pendaur zat hara Stabilisator sedimen

Intensitas penangkapan yang meningkat dapat memengaruhi struktur trofik habitat dan menyebabkan penurunan ukuran ikan

Habitat lamun Habitat bukan

lamun

Indikator ekologis perikanan di habitat lamun

Trofik level

Status pemanfaatan SDI pada penelitian Struktur

ekologis

Keberlanjutan fishing ground

Analisis isi perut ikan Analisis feeding guilds Analisis panjang-berat ikan


(7)

Ya

Ya

Ya

Ya Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Gambar 2 Tahap-tahap pelaksanaan penelitian

Mulai

Isu-isu mengenai intensitas penangkapan yang meningkat dapat mengubah struktur trofik habitat dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan

punahnya spesies tertentu

Pengisian kuesioner: wawancara nelayan

Cukup

Cukup

Analisis isi perut ikan: komposisi makanan dan feeding guilds

Cukup

Struktur ekologis dan trofik level

Aplikatif

Selesai


(8)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Padang Lamun

Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat, lamun mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang efektif untuk berkembang biak. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Lamun juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara.

Kuriandewa (2009) menyebutkan sekitar tiga belas jenis lamun telah dilaporkan terdapat di perairan Indonesia. Terdapat dua jenis yakni Halophila beccari dan Ruppia maritima yang dipercaya terdapat di Indonesia, meskipun keberadaan keduanya hanya diketahui dari herbarium lama yang tersimpan di Herbarium Bogor. Jenis-jenis lamun tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia adalah sebagai berikut:

Divisi : Magnoliophyta (sebelumnya masuk divisi Spermatophyta) Kelas : Liliopsida

Famili : Cymodoceaceae Hydrocharitaceae

I CYMODOCEACEAE 1) Halodule pinifolia (Hp)

2) Halodule uninervis (Hu)

3) Cymodocea rotundata (Cr)

4) Cymodocea serrulata (Cs)

5) Syringodium isoetifolium (Si)

6) Thalassodendron ciliatum (Tc)

II HYDROCHARITACEAE 1) Enhalus acoroides (Ea)


(9)

3) Halophila decipiens (Hd)

4) Halophila ovalis (Ho)

5) Halodule spinulosa (Hs)

6) Halodule minor (Hm)

7) Halodule Sulawesi (Hsu) (ditemukan oleh Kuo tahun 2007)

Halophila beccarii *

Ruppia maritima*

*) Hanya terdapat specimennya saja di Kebun Raya Bogor

Sumber: Kuriandewa 2009

Gambar 3 Jenis tumbuhan lamun di Indonesia

Hutomo dan Azkab (1987) menambahkan bahwa padang lamun mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai berikut:


(10)

1) Produsen primer, lamun menjadi sumber makanan alami bagi ikan herbivora seperti dugong. Proses dekomposisi daun lamun dapat dikonsumsi langsung oleh hewan pemakan serasah;

2) Habitat biota, padang lamun memberikan perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuhan. Lamun dapat juga berfungsi sebagai daerah perlindungan;

3) Tempat perkembangbiakan (spawning grounds), pengasuhan (nursery grounds), serta tempat mencari makanan (feeding grounds) bagi biota-biota perairan (Kiswara 2009);

4) Penangkap sedimen, komunitas lamun yang lebat dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak, yang menyebabkan perairan mangrove tenang, maka dapat disimpulkan ekosistem lamun bertindak sebagai pencegah erosi dan penangkap sedimen. Rimpang dan akar lamun menangkap dan menggabungkan sedimen di padang lamun sehingga meningkatkan stabilitas permukaan di bawahnya dan menjadikan air lebih jernih;

5) Pendaur zat hara, lamun memegang peranan yang penting dalam mendaur ulang material organik dan elemen-elemen langka di lingkungan laut;

6) Makanan dan kebutuhan lain, lamun dapat dipergunakan sebagai makanan yang dikonsumsi secara langsung. Buah Enhalus di Kepulauan Seribu sering dicampur dengan kelapa atau di Australia sering dimakan setelah dimasak. Beberapa jenis lamun dapat dipergunakan sebagai makanan tetap di Papua Nugini. Zostera dalam beberapa percobaan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas;

7) Penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan (Nybakken 1988). Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan padang lamun menurut Nybakken (1988) yaitu perairan laut dangkal berlumpur dan mengandung pasir, kedalamannya tidak lebih dari 10 m agar cahaya dapat menembus, suhu antara 20-30 oC, kadar garam antara 25-35 ‰/mil serta kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10-45 ‰ dan umumnya lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4-29 % untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11 % (Hemminga dan Duarte 2000).


(11)

Mengingat bahwa padang lamun merupakan sumberdaya alam yang mempunyai berbagai fungsi dan peningkatan aktivitas manusia dapat menyebabkan kerusakan padang lamun, maka pada tahun 2004 Menteri Negara Lingkungan Hidup menetapkan keputusan tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. KEPMEN LH (2004) ini menyebutkan bahwa status padang lamun adalah tingkatan kondisi padang lamun pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan padang lamun dengan menggunakan persentase luas tutupan lamun dan area kerusakan.

Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang lamun (KEPMEN LH 2004) adalah metode transek dan petak contoh (transect plot). Metode transek dan petak contoh adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Status padang lamun dinilai baik dengan kondisi kaya/sehat apabila persentase penutupan ≥ 60 %, namun untuk kondisi kurang kaya/kurang sehat (30-59,9 %) dan pada kondisi miskin (≤ 29,9 %) status padang lamunnya dinilai rusak. Luas area kerusakan ≥ 50 % menunjukkan tingkat kerusakan tinggi, 30-49,9 % menunjukkan tingkat kerusakan sedang dan ≤ 29,9 % menunjukkan tingkat kerusakan rendah.

2.2 Ekologi Plankton

Plankton adalah hewan dan tumbuhan yang memiliki daya renang yang sangat lemah sehingga tidak kuat untuk melawan arus laut (Nybakken 1988). Plankton yang terdiri dari organisme berklorofil dan mampu melakukan fotosintesis dinamakan fitoplankton, sedangkan plankton yang tidak mampu melakukan fotosintesis dinamakan zooplankton. Selanjutnya dinyatakan bahwa secara vertikal, konsentrasi fitoplankton bukan berada di permukaan air tetapi terletak beberapa meter di bawah permukaan air. Hal ini diperkirakan karena adaptasi fitoplankton terhadap pengaruh cahaya yang terlalu kuat di permukaan air, yang dapat menyebabkan kerusakan sel fitoplankton.

Nybakken (1988) jmengemukakan tentang penggolongan kelompok plankton berdasarkan daur hidup dan ukuran tubuhnya. Holoplankton dan


(12)

meroplankton merupakan penggolongan plankton berdasarkan daur hidupnya. Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya sebagai plankton, sedangkan meroplankton adalah organisme plankton yang sebagian saja dari daur hidupnya sebagai plankton. Contoh meroplankton yaitu larva udang, larva ikan dan berbagai larva makhluk hidup di mana pada saat larva, organisme ini bersifat sebagai plankton dan setelah dewasa berubah bentuk serta sifat hidup sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai plankton.

Penggolongan plankton berdasarkan ukuran tubuhnya tidak membedakan fitoplankton dan zooplankton. Penggolongan plankton ini dijelaskan pula oleh Nybakken (1988), yaitu sebagai berikut:

1) Megaplankton: plankton yang ukuran tubuhnya di atas 2,0 mm; 2) Makroplankton: plankton yang ukuran tubuhnya 0,2-2 mm; 3) Mikroplankton: plankton yang ukuran tubuhnya 20-0,2 µm; 4) Nanoplankton: plankton yang ukuran tubuhnya 2-20 µm;

5) Ultraplankton: plankton yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari 2 µm.

2.3 Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun

Lestari (2010) mengemukakan bahwa ikan merupakan salah satu organisme yang berasosiasi dengan padang lamun. Peranan lamun dalam kehidupan ikan yaitu sebagai daerah asuhan dan perlindungan (nursery grounds), sebagai makanan ikan dan sebagai padang penggembalaan atau tempat mencari makan (feeding grounds). Keanekaragaman dan kelimpahan kumpulan ikan berubah sesuai dengan perubahan kondisi struktur lamun, sebab perubahan dalam indeks luas daun akan mengubah laju pemangsaan yang memengaruhi kelimpahan juvenil ikan dan distribusi ikan predator besar. Rantai makanan pada padang lamun dapat dijelaskan oleh Gambar 4.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa ada empat kategori utama asosiasi ikan dengan padang lamun di perairan Indonesia (Tomascik et al.1997), yaitu sebagai berikut:

1)Penghuni tetap yang memijah dan menghabiskan kebanyakan hidupnya di padang lamun (full-time residents), misalnya: Apogon margaritophorus.


(13)

2)Penghuni yang menghabiskan hidupnya, tetapi memijah di luar padang lamun, misalnya: Halichoeres leparensis, Pranaesus duodecimatis, Paramia quiquelineata, Gerres macrosoma, Monacanthus tomemtosus, Monachantus hajam, Hemigliphidodon plagiumetopon dan Sygnathoides biacukeatus.

3)Penghuni yang ada di padang lamun hanya selama tahapan juvenilnya, misalnya: Siganus canaliculatus, Siganus virgatus, Siganus chrysospilos, Lethrinus sp., Scarus sp., Abudefduf sp., Monachantus mylii, Mulloides samoenis, Pelates quadrilineatus dan Upeneus tragula.

4)Penghuni berkala atau transit yang mengunjungi padang lamun untuk berlindung atau mencari makan (occasional residents).

Sumber: Fortes 1990

Gambar 4 Rantai makanan pada ekosistem lamun

Lebih lanjut Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa habitat padang lamun yang berdekatan dengan terumbu karang atau terkadang bersatu dengan terumbu karang membentuk suatu komunitas lamun yang homogen dan beberapa diantaranya membentuk komunitas yang terdiri dari dua sampai tiga spesies lamun. Ikan yang banyak ditemukan di perairan ini adalah dari famili Siganidae, Lethrinidae dan Labridae.


(14)

2.3.1 Famili Siganidae

Siganidae diklasifikasikan sebagai berikut (Linnaeus 1758): Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Sub kelas : Teleostei Ordo : Percimorfes Famili : Siganidae

Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)

Gambar 5 Famili Siganidae

Ciri-ciri morfologis Siganidae yaitu: panjang maksimum 40 cm, sirip perut memiliki 3 duri yang terletak di antara bagian dalam dan luar tulang belakang, sirip punggung terdiri dari 13 duri keras dan 10 duri lunak, sirip ekor memiliki 7 duri keras dan 9 duri lunak. Duri-duri ini beracun. Siganidae hidup bergerombol di Indo-Pasifik dan Mediterania Timur. Ciri-ciri ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Siganidae di Indonesia kurang lebih dua belas jenis. Selain dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi, Siganidae juga banyak dipelihara sebagai ikan hias, bahkan sudah dapat dibudidayakan. Siganidae dapat digunakan sebagai kontrol alga dan disebut juga ikan kelinci karena memiliki gigi yang menonjol keluar. Pola warna tubuh Siganidae beragam, ada yang berbintik-bintik misalnya pada

Siganus corallinus, Siganus canaliculatus dan Siganus guttatus. Ada pula yang memiliki garis menyerupai selempang dari punggung ke arah kepala, misalnya

Siganus virgattus sementara, pola yang rumit penuh dengan garis kelok-kelok terdapat pada Siganus vermiculatus dan Siganus puellus (Kuncoro 2008).

Kuncoro (2008) juga mengemukakan bahwa Siganidae atau sering disebut golongan ikan baronang memiliki tubuh yang lebar dan pipih. Tubuhnya tertutup


(15)

sisik-sisik yang halus, dengan warna dan pola yang bervariasi. Mulutnya kecil dan digunakan untuk memakan tumbuhan laut (bersifat herbivora). Hal ini menyebabkan Siganidae sering terdapat di daerah padang lamun maupun tempat yang banyak ditumbuhi rumput lautnya. Makanan pokok Siganidae berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Daftar makanan Siganidae

Makanan 1 Makanan 2 Makanan 3 Tingkat Predator

tumbuhan tumbuhan lainnya alga, rumput laut juvenil/dewasa zooplankton plankton,

avertebrata lainnya

plankton,

avertebrata lainnya

juvenil/dewasa zoobentos cacing, crustacea,

serangga

polychaeta, isopoda, serangga

juvenil/dewasa

Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)

2.3.2 Famili Lethrinidae

Lethrinidae diklasifikasikan sebagai berikut (Valenciennes 1830): Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Sub kelas : Teleostei Ordo : Percimorfes Famili : Lethrinidae

Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)

Gambar 6 Famili Lethrinidae

Ciri-ciri morfologis Lethrinidae yaitu: sirip punggung terdiri dari 10 duri keras dan 9-10 duri lunak, sirip ekor memiliki 3 duri keras dan 8-10 duri lunak. Duri-duri ini beracun. Lethrinidae memiliki keel dan gigi molariform untuk menghancurkan makanan yang keras. Ciri-ciri ini dapat dilihat pada Gambar 6.


(16)

Lethrinidae hidup soliter atau bergerombol dan tidak tampak secara teritorial. Mereka sering membentuk agregasi besar ketika melakukan pemijahan. Ikan ini tersebar di perairan tropis Indo-Pasifik di wilayah pesisir mulai dari daerah yang berdekatan dengan terumbu karang. Kebiasaan makannya bersifat karnivora dan mencari makan pada malam hari di dasar perairan. Makanan pokok Siganidae berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Daftar makanan Lethrinidae

Makanan 1 Makanan 2 Makanan 3 Tingkat Predator

zoobentos bentos, crustacea kepiting juvenil/dewasa

nekton finfish finfish lainnya dewasa

zoobentos bentos, avertebrata lainnya

bentos, avertebrata lainnya

dewasa

Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)

2.3.3 Famili Labridae

Labridae diklasifikasikan sebagai berikut (Bloch 1791): Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Sub kelas : Teleostei Ordo : Percimorfes Famili : Labridae

Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)

Gambar 7 Famili Labridae

Ciri-ciri morfologis Labridae yaitu: panjang maksimum 2-3 m, banyak yang kurang dari 15 cm dan panjang minimum 4,5 cm, gigi biasanya menonjol ke luar


(17)

dan bentuknya jarang-jarang, sirip punggung terdiri dari 8-21 duri, sirip ekor memiliki 4-6 duri keras dan 7-18 duri lunak. Sebagian besar spesies ini dapat berubah warna dan jenis kelamin sesuai dengan pertumbuhan. Labridae tersebar di Atlantik, Hindia dan Pasifik. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.

Labridae atau ikan Wrasses (orang Jawa menyebutnya sebagai ikan Bayeman), merupakan famili ikan yang bertubuh kecil walau ada yang berukuran raksasa, yaitu Coris formosa. Warna tubuhnya menarik dan memiliki gigi yang kuat untuk memecah karang, lobster dan beberapa Moluska. Ikan ini masuk ke dalam pasir pada malam hari dan akan keluar lagi pada pagi hari (Kuncoro 2008).

Jonna (2003) juga mengemukakan bahwa Labridae merupakan ikan yang paling banyak dan mencolok di terumbu tropis seluruh dunia. Ikan ini adalah keluarga kedua terbesar ikan laut dan keluarga terbesar ketiga di Perciformes, dengan sekitar 60 genus dan sekitar 500 spesies. Umumnya, Labridae berperan sebagai penggali pasir, karnivora terhadap avertebrata dasar, planktivor dan sebagian kecil adalah ektoparasit pada ikan-ikan yang lebih besar. Makanan pokok Labridae berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Daftar makanan Labridae

Makanan 1 Makanan 2 Makanan 3 Tingkat Predator

zoobentos moluska bivalvia juvenil/dewasa

zoobentos bentos, crustacea kepiting juvenil/dewasa

zoobentos cacing polychaeta juvenil

zoobentos bentos, crustacea amphipoda juvenil

zoobentos moluska gastropoda juvenil/dewasa

zoobentos bentos, crustacea bentos, crustacea juvenil

zoobentos bentos, crustacea bentos, crustacea juvenil/dewasa

zoobentos moluska bentos, moluska juvenil/dewasa

zoobentos echinodermata bulu babi juvenil/dewasa

Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)

2.4 Trofik Level

Trofik level adalah posisi suatu organisme dalam jaring makanan (Froese dan Pauly 2000). Stergiou et al. (2007) menjelaskan bahwa trofik level menunjukkan keberadaan ikan dan organisme lainnya yang masing-masing berperan dalam jaring makanan. Struktur trofik adalah perpindahan energi makanan melalui sederetan makhluk hidup. Suatu spesies tertentu dapat


(18)

menghuni lebih dari satu tingkatan trofik. Mengenai penentuan trofik level suatu spesies, perlu dipertimbangkan kebiasaaan makan (feeding guilds) dari spesies tersebut. Tabel 4 menjelaskan rincian feeding guilds menurut (Elliott dan Hemingway 2002).

Tabel 4 Kebiasaan makan spesies estuarine

Kebiasaan Makan Deskripsi

Phytoplanktonic Memakan diatom dan dinoflagelata di kolom perairan, tetapi juga memakan suspensi mikrofitobentos

Zooplanktonic (copepoda, mysids) Makan dengan menyeleksi zooplankton, khususnya copepoda calanoid dan cyclopoid dan komponen yang lebih besar seperti mysids: pada musim tertentu memakan meroplankton (larva atau organisme bentik) daripada holoplankton

Herbivorous (makro tumbuhan) Merumput alga atau daun

Detritivores dan scavengers Memakan hancuran organisme dan sisa hewan Benthophagous (infauna) Memakan avertebrata bentik, yaitu infauna Benthophagous (epifauna yang

menetap)

Memakan avertebrata di substrat yang kasar

Demersal feeders (epifauna yang bergerak/demersal)

Memakan avertebrata yang bergerak atau tepat di atas substrat, didominasi oleh crustacea kecil (udang/kepiting) Piscivorous Predator terhadap ikan, baik dari spesies yang sama

(bersifat kanibal) maupun spesies yang berbeda

Parasites Ikan bersifat ektoparasit, memakan jaringan atau cairan tubuh tanpa membunuh

Sumber: Elliott dan Hemingway 2002

Elliott dan Hemingway (2002) menambahkan faktor-faktor yang memengaruhi trofik level suatu jenis ikan, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor ekstrinsik, yaitu faktor lingkungan (non-biological)

Perubahan lingkungan dapat berdampak pada perpindahan makan-memakan spesies yang berbeda. Faktor lingkungan yang memengaruhi, yaitu:

(1) Perubahan geografis pada faktor lingkungan seperti suhu dapat memengaruhi tingkah laku makan-memakan ikan. Perubahan ini berkaitan dengan posisi dan peristiwa termoklin pada sebagian stratifikasi estuari;


(19)

(2) Pedoman hidrografi pada faktor lingkungan seperti tingginya pasang surut memengaruhi ukuran populasi ikan. Kadar salinitas dan oksigen terlarut juga memengaruhi perilaku makan-memakan ikan;

(3) Lokasi yang dikhususkan atau substratum pada faktor lingkungan seperti daerah pasang surut, dikenal sebagai feeding ground juvenile ikan.

2) Faktor biologi (intrinsik), yaitu:

(1) Tingkat hidup, termasuk umur dan ukuran yang berbeda. Ukuran tubuh merupakan salah satu bagian penting organisme dari sudut pandang ekologi dan evolusioner. Ukuran memiliki pengaruh yang sangat besar pada tingkat kebutuhan energi hewan dan berpotensi sebagai sumber eksploitasi, serta memberi pengaruh pada musuh alami;

(2) Jenis kelamin. Ikan gobies jantan dari jenis spesies terakhir menunjukkan perubahan dalam diet makanannya selama musim bertelur karena setelah mengkonsumsi sejumlah telur Pomatoschistus, diperkirakan seekor pejantan secara agresif menguasai wilayah tersebut;

(3) Ecotrophomorphology yang menduga bahwa morfologi berkaitan erat dengan hidup, sehingga dijadikan prediksi model hidup. Bahan makanan dapat diduga dari morfologi ikan, khususnya dari sifat morfologis tentang makan-memakan seperti ukuran mulut, bentuk rahang dan pertumbuhan gigi;

(4) Tingkah laku ikan terkait dengan teori waktu mencari makan yang optimal atau Optimal Foraging Theory (OFT). Teori ini menduga bahwa ikan akan mencari makanan, memilih bahan-bahan makanan jika diberi pilihan dan berhenti makan pada perkiraan waktu pengambilan energi yang maksimal untuk memperkecil energi yang digunakan. Hasilnya, ikan akan memaksimalkan kesehatannya sehingga reproduksi kehidupannya berlangsung baik;

(5) Kompetisi intraspesies dan interspesies terjadi saat kebutuhan dari dua atau lebih individu terhadap sumberdaya tertentu melebihi ketersediaan sumberdaya tersebut di wilayah tempat mereka tinggal atau jika permintaannya tidak dapat melebihi penawaran, mereka saling memengaruhi satu sama lain dalam upaya memperoleh sumberdaya;


(20)

(6) Pembagian sumberdaya dapat terjadi pada tiga level, yaitu: waktu yang bersifat temporal, wilayah dan bahan makanan. Oleh karena itu, dalam penentuan ekosistem perlu dianalisis interaksi pola makan antar anggota yang berbeda dalam satu perkumpulan;

(7) Mikroparasit meliputi virus, bakteri, jamur serta protozoa dicirikan oleh ukuran yang kecil, masa hidup yang pendek dan kemampuan menggandakan diri dalam inang yang terinfeksi. Organisme tersebut sering berpindah secara langsung, sehingga ikan yang hidup di wilayah padat dan dangkal sangat mudah dimasuki oleh patogen-patogen ini.

2.5 Pendekatan Ekosistem

Pendekatan ekosistem adalah suatu pendekatan yang mengacu pada aplikasi dari berbagai metode ilmiah yang berfokus pada tingkat tatanan kehidupan yang melibatkan struktur, proses, fungsi dan interaksi antar organisme dengan lingkungannya (Aryani 2010). Yulianto (2010) menambahkan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendekatan ekosistem, yaitu kelestarian ekosistem, kesejahteraan masyarakat dan kemampuan untuk mencapai tujuan. Menurut FAO (2005) terdapat dua belas prinsip pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, yaitu sebagai berikut:

1) Sasaran dari pengelolaan ini adalah pilihan dari masyarakat; 2) Pengelolaan harus terdesentralisasi pada tingkat yang rendah;

3) Pengelolaan harus mempertimbangkan dampak setiap aktivitas terhadap ekosistem lainnya;

4) Dibutuhkan pemahaman dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dalam konteks ekonomi dengan mempertimbangkan dampak positif dari pengelolaan tersebut. Pengelolaan tersebut antara lain:

(1) Mengurangi pengaruh pasar yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati;

(2) Mempromosikan konservasi sumberdaya dan pemanfaatan yang lestari dengan pemberian insentif;


(21)

5) Konservasi fungsi dan struktur ekosistem dalam rangka menjaga manfaat ekosistem, dimana yang dikonservasi merupakan lokasi prioritas;

6) Pengelolaan ekosistem harus mempertimbangkan daya dukung;

7) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan komponen spasial dan temporal;

8) Pengelolaan ekosistem harus mengacu pada pengelolaan jangka panjang; 9) Pengelolaan harus adaptif terhadap perubahan;

10) Pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan; 11) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan beberapa informasi ilmiah,

adat istiadat, inovasi dan pengalaman;

12) Pendekatan ekosistem harus melibatkan para pihak dan lintas ilmu.

FAO (2005) juga menyebutkan dalam dokumen tentang implementasi pendekatan ekosistem pengelolaan perikanan mengenai beberapa opsi yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan ekosistem. Opsi-opsi yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut:

1) Pengaturan secara teknis

Pengaturan secara teknis dapat dilakukan pada pengaturan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Pengaturan secara teknis ini dapat dilakukan dengan:

(1) Pengaturan jumlah alat tangkap dan ukuran mata jaring; (2) Pengurangan ikan hasil tangkapan sampingan (by-catch);

(3) Penyesuaian metode dan operasi penangkapan untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem dan spesies yang dilindungi;

(4) Mengedepankan pendekatan pencegahan atau kehati-hatian (precautionary approach).

2) Pengaturan secara spasial dan temporal

Pengaturan secara spasial merupakan pengaturan daerah penangkapan ikan. Pengaturan secara spasial ini dapat diimplementasikan dalam bentuk pengembangan kawasan konservasi laut. Pengaturan secara temporal merupakan pengaturan pelarangan penangkapan pada waktu tertentu.

3) Pengaturan input dan output

Pengaturan input penangkapan dapat dilakukan dengan pengendalian kapasitas penangkapan dan usaha penangkapan nelayan. Pengaturan output dapat


(22)

dilakukan dengan pengendalian hasil dan jenis tangkapan. Salah satu tujuan pengaturan ini adalah untuk menurunkan kematian akibat penangkapan (fishing mortality).

4) Manipulasi ekosistem

Manipulasi ekosistem dapat dilakukan dengan mencegah degradasi habitat, merehabilitasi habitat, pengembangan habitat buatan dan penebaran benih (restocking) ikan.

2.6 Daerah Penangkapan Ikan

Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang terdapat didalamnya (Simbolon 2006). Keberhasilan operasi penangkapan ikan dapat ditingkatkan dengan memenuhi paling sedikit persyaratan berikut:

1) Alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna pada daerah penangkapan ikan tersebut;

2) Daerah penangkapan ikan dapat dijangkau oleh kapal ikan;

3) Daerah penangkapan ikan mengandung sumberdaya ikan yang banyak dan bernilai ekonomis penting.

Salah satu langkah dalam proses optimasi penentuan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan menguntungkan, yaitu perlu mempertimbangkan tiga aspek utama sebagai berikut:

1) Aspek sumberdaya ikan;

2) Lingkungan perairan sebagai habitat sumberdaya ikan; 3) Teknologi alat penangkapan ikan.

2.7 Alat Tangkap Jaring Insang Tetap (Set Gillnet)

Jaring insang tetap (set gillnet) yaitu alat penangkap ikan yang khusus dikonstruksikan untuk menangkap ikan dengan menjerat insang, dioperasikan secara pasif dan menetap di perairan. Jaring insang tetap dioperasikan di danau dan perairan pesisir untuk menangkap ikan-ikan komersial. Jaring insang tetap diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring insang (gillnet) (von Brandt 2005).


(23)

Jaring insang biasanya dioperasikan dengan menghadang arah migrasi ikan, sehingga ikan-ikan harus melewati mata jaring pada jaring insang. Jaring insang tetap di dasar perairan dioperasikan untuk menangkap ikan demersal. Perairan tempat jaring insang tetap digunakan merupakan perairan jernih, arusnya tidak terlalu kuat dan tidak ada tumbuh-tumbuhan terapung.

2.8 Hubungan Panjang dan Berat Ikan

Panjang ikan dapat diukur dengan menggunakan sistem metrik (Effendie 1979). Ada tiga macam pengukuran, yaitu:

1) Panjang total atau panjang mutlak, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya;

2) Panjang cagak atau fork length, ialah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor;

3) Panjang standar atau panjang baku, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya. Ujung tersebut letaknya sebelum pangkal jari-jari sirip ekor.

Menurut Effendie (1979) alat pengukur panjang ikan yang baik digunakan di lapangan adalah alat pengukur yang terbuat dari kayu. Bentuk yang perlu diperhatikan dari alat ini adalah bagian depannya, yaitu tempat menempel dari bagian depan ikan harus bertepatan dengan angka nol. Alat penimbangan diusahakan yang praktis dan tidak mudah rusak tetapi ketelitiannya cukup tinggi.

Hasil studi hubungan panjang dan berat ikan memungkinkan nilai panjang ikan berubah ke harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya dan hubungan panjang-berat ini hampir mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan persamaan: W = aL3 (W adalah berat ikan, L adalah panjang ikan dan a adalah konstanta). Hal tersebut disertai dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya tetapi karena ikan itu tumbuh, dimana bentuk tubuh, panjang dan beratnya selalu berubah, maka menurut Hile (1936) vide Effendie (1979), persamaan umumnya adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta). Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L yang menunjukkan hubungan linier (Effendie 1979).


(24)

3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011-April 2012 yang meliputi survei, pengambilan data dan analisis di laboratorium. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari dan Maret 2012 di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Lampiran 2). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Ekobiologi dan Konservasi Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan snorkeling,

underwater camera,alat tangkap set gillnet, alat bedah, botol sampel, kertas label, mikroskop binokuler, cawan petri, pipet tetes, gelas objek dan peralatan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu: kamera digital, timbangan digital, ember, box, papan pengukur panjang ikan (measuring board), spidol permanen dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah bahan pengawet (formalin 10 %) dan aquades.

3.3 Metode Pengambilan Data

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan data primer berupa struktur ekologis dan trofik level hasil tangkapan nelayan. Selain itu, data primer yang dikumpulkan diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan atau hasil pengisian kuesioner oleh responden. Data ini digunakan untuk melihat komposisi hasil tangkapan nelayan yang tertangkap pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka.

Data sekunder dikumpulkan dari instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian, yaitu Pemerintahah Administrasi Kepulauan Seribu, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta literatur yang relevan. Data yang dikumpulkan antara lain kondisi perikanan daerah penelitian, jumlah dan jenis unit penangkapan ikan yang ada di daerah penelitian, kondisi lamun, komposisi dan


(25)

kelimpahan plankton di sekitar padang lamun serta informasi lain yang dapat menunjang penelitian ini. Selengkapnya metode dan teknik pengumpulan datanya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis data dan metode pengumpulannya

No. Jenis Data Metode Pengumpulan Alat dan Bahan Keterangan 1 Unit penangkapan

ikan

Snowball sampling Kuesioner, alat tulis, kamera

Data primer 2 Hasil tangkapan

nelayan

Experimental fishing dan wawancara

Alat tangkap set gillnet, kuesioner, alat tulis, kamera

Data primer

3 Panjang dan berat ikan

Pengukuran Papan ukur dan timbangan digital

Data primer 4 Isi perut ikan Jumlah, gravimetrik,

volumetrik dan frekuensi kejadian

Alat bedah, mikroskop binokuler, cawan petri, pipet tetes, gelas objek, formalin 10 % dan aquades

Data primer

5 Keadaan umum daerah penelitian

Pengumpulan dari instansi

Alat tulis Data sekunder 6 Kondisi lamun Pengumpulan dari

pustaka

Alat tulis Data sekunder 7 Komposisi plankton Pengumpulan dari

pustaka

Alat tulis Data sekunder

3.3.1 Pengisian kuesioner

Pengisian kuesioner dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap nelayan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah snowball sampling. Metode snowball sampling yaitu teknik pengambilan sampel dari populasi yang tidak jelas keberadaaan anggotanya dan tidak pasti jumlahnya, dilakukan dengan cara menemukan satu sampel, untuk kemudian dari sampel tersebut dicari (digali) keterangan mengenai keberadaan sampel-sampel lain, terus demikian secara berantai. Metode ini digunakan karena kurangnya informasi mengenai populasi nelayan yang menjadi tujuan wawancara.

3.3.2 Penelitian ikan 1) Pengambilan sampel

Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan metode experimental fishing, yaitu berupa operasi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring insang tetap (set gillnet). Jaring dipasang (setting) pukul 14.00 WIB sebanyak tujuh


(26)

piece, kemudian dilakukan perendaman jaring (soaking) dan dalam proses ini jaring insang tetap dioperasikan secara menetap di perairan dengan menggunakan jangkar berupa kayu dan didirikan secara tegak lurus. Pukul 06.00 WIB keesokan harinya, jaring diangkat (hauling) kemudian ikan hasil tangkapan dilepaskan dari jaring dan disimpan di dalam perahu.

2)Pengumpulan data dan pengawetan sampel

Ikan-ikan yang tertangkap diukur panjang totalnya dan ditimbang beratnya serta diidentifikasi dengan mengacu pada buku identifikasi: Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan Jilid 2 (Saanin 1984). Tahap selanjutnya yaitu ikan dibedah dengan cara menggunting bagian perut ikan dimulai dari anus sampai ke tutup insang, kemudian diambil ususnya. Masing-masing ujung usus diikat dengan benang agar makanan dalam usus tidak keluar, lalu dimasukkan ke dalam botol sampel dan diawetkan menggunakan formalin 10 % untuk keperluan perhitungan analisis makanan yang dilakukan di laboratorium. Botol sampel diberi kertas label yang ditempelkan di dinding luar. Kertas label tersebut bertuliskan: tanggal dan waktu pengambilan, nama ikan, nomor ikan, panjang ikan serta berat ikan.

3)Analisis isi perut ikan (stomach content analysis)

Sampel usus ikan satu persatu dikeluarkan dari botol sampel dan dibersihkan dari formalin ketika telah sampai di laboratorium. Metode yang digunakan dalam mengamati isi perut ikan-ikan herbivora dan pemakan plankton (plankton feeders) adalah metode volumetrik dan frekuensi kejadian. Metode ini menganalisis volume makanan ikan yang dinyatakan dalam persentase volume dari seluruh volume makanan seekor ikan. Isi usus dipisahkan dari daging usus dengan cara menekan daging usus sampai semua isinya keluar, diencerkan dengan aquades sebanyak 3-5 ml dan diaduk-aduk sehingga tidak terjadi penumpukan isi usus di suatu wilayah. Pengamatan 1 tetes pengenceran menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran minimum terlebih dahulu dan pengambilan 5 lapang pandang setiap 1 kali pengamatan. Pengamatan diulang sebanyak 3 kali sehingga akan didapatkan data dari 15 lapang pandang. Apabila jenis organisme yang didapat adalah plankton, maka selanjutnya diidentifikasi dengan mengacu pada buku identifikasi: Illustration of the Marine Plankton of Japan (Yamaji 1976).


(27)

Buku Avertebrata Air Jilid 1 dan Jilid 2 (Suwignyo et al. 2005) juga digunakan yaitu untuk mengidentifikasi avertebrata air yang ditemukan di dalam perut ikan. Masing-masing organisme dapat diambil rata-ratanya dengan jumlah keseluruhan menjadi 100 % untuk semua sampel ikan yang diteliti. Metode frekuensi kejadian menghitung masing-masing organisme yang ditemukan sebagai bahan makanan di lambung ikan yang diteliti, namun tidak meliputi lambung yang kosong. Persentase frekuensi kejadian suatu organisme yang dimakan oleh ikan contoh dengan demikian dapat dilihat secara langsung.

Metode yang digunakan dalam mengamati isi perut ikan-ikan selain herbivora dan plankton feeders adalah metode jumlah, gravimetrik dan frekuensi kejadian. Metode jumlah menunjukkan semua organisme serta benda-benda lain yang dihitung satu persatu dan dipisahkan spesies demi spesies. Apabila masing-masing jumlahnya sudah diketahui, maka dapat dibandingkan yang satu dengan yang lainnya dan dapat ditarik kesimpulan dari macam-macam isi yang terdapat di dalam lambung ikan. Prinsipnya metode gravimetrik sama dengan metode volumetrik, tetapi makanan ikan bukan diukur volumenya melainkan diukur beratnya. Demikian pula untuk masing-masing organismenya. Hasilnya juga dinyatakan dalam persentase berat dari makanan ikan yang sedang diteliti.

3.4 Metode Analisis Data 3.4.1 Analisis kuesioner

Analisis kuesioner dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan unit penangkapan ikan pada habitat padang lamun. Unit penangkapan ikan yang dianalisis yaitu kapal, alat tangkap dan nelayan.

3.4.2 Analisis panjang dan berat ikan

Model pertumbuhan dengan analisis hubungan panjang dan berat ikan digunakan untuk mengetahui kondisi morfometrik ikan yang tertangkap secara temporal. Persamaan umum yang digunakan adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta). Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L dengan dasar perhitungannya berdasarkan regresi. Nilai a dan b harus ditentukan dari persamaan tersebut, sedangkan nilai W (berat ikan) dan L (panjang ikan)


(28)

diperoleh dari hasil pengukuran (Effendie 1979). Analisis panjang dan berat ikan ini dilakukan menggunakan Solver pada Microsoft Excel. Nilai b sebagai penduga kedekatan hubungan antara panjang dan berat dihitung dengan kriteria: 1) Nilai b = 3, merupakan hubungan yang isometrik (pertambahan berat seimbang

dengan pertambahan panjang);

2) Nilai b > 3, merupakan hubungan alometrik positif (pertambahan berat relatif lebih besar dari pertambahan panjang);

3) Nilai b < 3, merupakan hubungan alometrik negatif (pertambahan berat relatif lebih kecil dari pertambahan panjang)

3.4.3 Analisis perbandingan hasil tangkapan

Data jumlah hasil tangkapan diuji kenormalannya dengan menggunakan Uji Mann-Whitney U test pada software SPSS Package (Santoso 1999). Uji Mann-Whitney U test merupakan uji non-parametrik yang digunakan untuk membandingkan dua mean populasi yang berasal dari populasi yang sama. Apabila data yang didapat menyebar secara normal, maka akan dilakukan analisis data menggunakan Uji-F untuk mengetahui perbandingan jumlah hasil tangkapan setiap pengambilan data. Bila data tidak menyebar normal, maka akan dilakukan analisis data non parametrik menggunakan uji Kruskall Wallis. Hipotesis untuk Uji Mann-Whitney U test yaitu:

H0: Jumlah hasil tangkapan menyebar normal; H1: Jumlah hasil tangkapan tidak menyebar normal. Dasar pengambilan keputusan:

Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima; Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak.

3.4.4 Analisis isi perut ikan (stomach content analysis)

Analisis yang digunakan dalam mengevaluasi hubungan bermacam-macam makanan ikan pada penelitian ini ada dua macam, yaitu Indeks Bagian Terbesar atau Index of Preponderance yang dikemukakan oleh Natarajan dan Jhingran (1961) vide Effendie (1979) dan Indeks Relatif Penting (IRP) atau Index of Relative Importance yang telah dikembangkan oleh Pinkas et al. (1971) vide


(29)

Effendie (1979). Index of Preponderance digunakan untuk menganalisis makanan golongan ikan herbivora dan plankton feeders dengan cara menggabungkan metode volumetrik dan frekuensi kejadian yang ditunjukkan oleh persamaan (1).

………... (1)

Keterangan:

Ii = Index of Preponderance

Vi = persentase volume satu macam makanan

Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan ∑(Vi x Oi) = jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan

Index of Relative Importance digunakan untuk menganalisis makanan golongan ikan karnivora dengan cara menggabungkan metode jumlah, volumetrik atau gravimetrik dan frekuensi kejadian yang ditunjukkan oleh persamaan (2).

IRP = (N + V) F……….. (2)

Keterangan:

IRP = Index of Relative Importance

N = persentase jumlah satu macam makanan V = persentase volume satu macam makanan

F = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan

3.4.5 Analisis trofik level hasil tangkapan

Trofik level suatu jenis ikan ditentukan berdasarkan komposisi makanan dan trofik level masing-masing fraksi makanannya (food items) yang diperoleh dari hasil analisis isi perut (Froese dan Pauly 2000). Deskripsi kebiasaan makan dilakukan untuk mengestimasi trofik level yang meliputi tiga kasus, yaitu sebagai berikut:

Kasus 1: semua makanan adalah tumbuhan atau detritus, maka trofik levelnya = 2 dan kuadrat frekuensi kejadiannya = 0;

Kasus 2: hanya ada satu makanan dan tidak ada satupun tumbuhan atau detritus, maka trofik levelnya = 1 + trofik level makanan dan kuadrat frekuensi kejadiannya = kuadrat frekuensi kejadian makanan;

Kasus 3: terdapat beberapa macam makanan dan paling sedikit bukan tumbuhan atau detritus, maka trofik levelnya ditentukan dengan persamaan (3).


(30)

………... (3) Keterangan:

= rata-rata trofik level

Pi = fraksi makanan ke-i

trofiki = trofik level makanan ke-i

Perhitungan trofik level ini mengacu pada konvensi Internasional Program Biologi pada tahun 60-an yang menyepakati produser primer (fitoplankton) dan detritus (termasuk bakteri) dikategorikan dalam trofik level satu (TL1), sementara zooplankton dalam trofik level dua (TL2).


(31)

4

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki luas wilayah daratan 565,90 ha dan luas wilayah perairan 3.554,25 km2. Pemerintahan dan pemukiman Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki tiga wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Kelapa.

Luas wilayah Kelurahan Pulau Panggang 62,10 ha dengan batas-batasnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1986/2000 tanggal 21 Juli 2000, tentang Pemecahan, Pembentukan, Penetapan Batas dan Nama Kelurahan di Kecamatan Kepulauan Seribu Wilayah Kotamadya Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta sebagai berikut:

1) Sebelah Utara : 05o41’41” – 05o45’45” LS; 2) Sebelah Selatan : 106o44’50” BT; 3) Sebelah Barat : 106o19’30” BT;

4) Sebelah Timur : 05o47’00” – 05o45’14” LS.

Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 3 RW dan 21 RT, semuanya merupakan tempat pemukiman penduduk. Pulau Pramuka sendiri terdiri atas 2 RW dan 8 RT, serta terdapat kantor kabupaten, sekolah dan perkantoran lainnya. Penduduk Pulau Pramuka mayoritas bermatapencaharian sebagai pedagang, perkantoran dan persewaan dari pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Keadaan RT/RW tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Keadaan RT/RW di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka

RW Jumlah RT Keterangan

01 7 Pulau Panggang bagian barat, lingkungan pemukiman penduduk 02 7 Pulau Panggang bagian tengah, lingkungan pemukiman penduduk,

sekolah dan puskesmas

03 7 Pulau Panggang bagian timur, lingkungan pemukiman penduduk, sekolah dan rumah dinas guru

04 4 Pulau Pramuka bagian utara, lingkungan pemukiman penduduk, gedung balai warga, rumah dinas, rumah sakit, penginapan, TPI serta perlindungan hutan dan pelestarian alam

05 4 Pulau Pramuka bagian selatan, lingkungan pemukiman penduduk, kabupaten, sekolah, asrama, gedung serba guna, penginapan, perhubungan dan DEPAG


(32)

Kelurahan Pulau Panggang merupakan gugusan pulau-pulau yang terdiri dari 13 pulau, dimana 2 pulau diperuntukan sebagai pemukiman penduduk, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka dan 6 pulau diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan; sisanya untuk pariwisata, perlindungan hutan dan pelestarian alam, perkantoran, tempat pemakaman umum dan mercusuar. Masing-masing pulau beserta peruntukkan dan luas wilayahnya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Luas pulau beserta peruntukkan di Kelurahan Pulau Panggang

No. Nama Pulau Peruntukan Luas (ha) Persentase ( %)

1 Pulau Opak Kecil Peristirahatan 1,10 1,77

2 Pulau Karang Bongkok Peristirahatan 0,50 0,81 3 Pulau Kotok Kecil Perlindungan hutan

umum 1,30 2,09

4 Pulau Kotok Besar Pariwisata 20,75 33,41

5 Pulau Karang Congkak Peristirahatan 0,60 0,97

6 Pulau Gosong Pandan Peristirahatan 0,00 0,00

7 Pulau Semak Daun Perlindungan hutan dan pelestarian alam

0,75 1,21

8 Pulau Panggang Pemukiman 9,00 14,49

9 Pulau Karya Perkantoran 6,00 9,66

10 Pulau Pramuka Pemukiman 16,00 25,77

11 Pulau Gosong Sekati Peristirahatan 0,20 0,32

12 Pulau Air Peristirahatan 2,90 4,67

13 Pulau Peniki Mercusuar 3,00 4,83

Total 62,10 100,00

Sumber: Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang 2011

Kedalaman laut di Kepulauan Seribu pada umumnya bervariasi antara 0-40 meter. Pulau Pramuka memiliki ketinggian 1 meter di atas permukaan laut dan suhu udara berkisar antara 27-32 oC. Arus permukaan laut pada Musim Barat dan Musim Timur memiliki kecepatan relatif sama, dengan kecepatan maksimum 0,5 m/detik. Gelombang laut pada Musim Barat berkisar antara 0,5-1,75 meter dan Musim Timur 0,5-1,0 meter. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh ITB Bandung pada tahun 2001, kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan sebagai harian tunggal. Kedudukan air tertinggi dan terendah adalah 0,6 dan 0,5 meter. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani adalah 0,9 meter dan rata-rata tunggang air pada pasang mati adalah 0,2 meter (Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu 2011). Kondisi lingkungan perairan sangat memengaruhi kelangsungan hidup biota perairan tersebut. Berikut (Tabel 8) merupakan parameter fisika dan kimia perairan di Pulau Pramuka berdasarkan


(33)

hasil studi terakhir yang dilakukan antara lain oleh Andono (2004), Dwindaru (2010) dan Apramilda (2011).

Tabel 8 Kondisi parameter fisika-kimia perairan Pulau Pramuka

Tahun penelitian 2004 2010 2011

Parameter Fisika

Suhu (oC) 29-31 29 29-31

Kedalaman (cm) - 55-102 31-95

Kecerahan (%) - 100 100

Parameter Kimia

Salinitas (PSU) 30-31 28-31 27-30

pH 7,2-7,6 8 7,5-8,0

DO (mg/l) 6,90-7,40 9,33-10,55 9,64

Nitrat (mg/l) 0,072-0,092 0,031-0,072 0,088-0,249

Orthofosfat (mg/l) 0,002-0,006 < 0,001 0,018-0,041

Sumber: Andono (2004), Dwindaru (2010) dan Apramilda (2011) Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka

4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap

Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan dengan luas laut sebesar 11,8 km2, menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu (2011) melaporkan bahwa armada (1.367 kapal perikanan) yang dipergunakan masih sederhana dengan ukuran relatif kecil dan perlengkapan sederhana, misalnya alat tangkap jaring (1.394 buah) dengan jumlah nelayan tangkap sebanyak 4.880 orang. Rumah singgah ikan (fish shelter) disediakan sebanyak 527 buah agar ikan berkumpul di tempat yang ditentukan. Keadaan umum perikanan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Keadaan umum perikanan Kepulauan Seribu

No. Uraian 2009 2010 2011

1 Nelayan budidaya ikan laut dan

rumput laut (orang) 632 521 250

2 Nelayan penangkap ikan laut (orang) - 4.880 4.880

3 Jumlah fish shelter (buah) 362 362 527

4 Jumlah kapal perikanan (kapal) - 1.367 1.367

5 Alat tangkap jaring (buah) - 1.354 1.394

6 Rata-rata terumbu karang (persen) 33,40 33,60 40,00

7 Transplantasi karang (unit) - 5.476 8.119

Sumber: Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu 2011 Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka


(34)

Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menambahkan data statistik mengenai alat tangkap. Total alat tangkap yang terdata di Provinsi DKI Jakarta adalah 11 jenis, 5 diantaranya ditemukan pula di Kepulauan Seribu. Namun dari 5 alat tangkap tersebut, hanya 1 yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, yaitu jenis jaring insang yang disebut jaring tangsi. Statistik alat tangkap ini disajikan lebih jelas pada Tabel 10.

Tabel 10 Statistik alat tangkap Provinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu

No. Alat Tangkap

DKI Jakarta Kepulauan Seribu

1 Payang (termasuk lampara) Payang

2 Dogol (termasuk lampara dasar, cantrang) -

3 Pukat cincin -

4 Jaring insang hanyut Jaring insang

5 Bagan perahu/rakit Bagan

6 Rawai tuna -

7 Pancing cumi -

8 Pancing lainnya Pancing lainnya

9 Bubu (termasuk bubu ambal) Bubu

10 Muroami Muroami

11 Garpu, tombak dan lain-lain Garpu, tombak dan lain-lain

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010 Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka

Data jenis sumberdaya ikan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukkan bahwa di Provinsi DKI Jakarta terdapat 105 jenis ikan, baik pelagis maupun demersal. Namun, hanya 27 jenis ikan yang produksinya tercatat pada tahun 2010 di Kepulauan Seribu dan 4 jenis khususnya pada habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka, yaitu ikan cendro, lencam, baronang dan kerapu (Lampiran 4). Pemerintah administrasi Kepulauan Seribu (2011) menjelaskan bahwa pada tahun 2010 hasil produksi perikanan yang berasal dari tangkapan ikan laut di Kepulauan Seribu sebanyak 964 ton dan dari budidaya ikan laut sebesar 1.041 ton. Produksi ikan laut perlu lebih ditingkatkan terutama dari hasil budidaya. Hal ini dapat dicapai karena meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengembangan produk perikanan dan kelautan. Hasil sampingan dari penangkapan ikan laut yaitu ikan hias laut sebanyak 631.219 ekor. Sayangnya produksi budidaya rumput laut semakin menurun, hingga di tahun


(35)

2010 menjadi 370,32 ton kering. Kondisi ini disebabkan oleh kurang baiknya pengelolaannya dan kualitas air laut yang semakin rendah karena sering tercemar buangan limbah. Salah satu kendala pengembangan potensi sektor perikanan laut yaitu minimnya pelabuhan pendaratan ikan (PPI) dan hanya ada satu tempat pelelangan ikan di Pulau Pramuka, sehingga nelayan lebih memilih mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Muara Angke.

4.3 Unit Penangkapan Ikan pada Habitat Padang Lamun

Padang lamun dapat ditemukan di sebagian besar perairan pulau dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seperti Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Padang lamun yang ditemukan di Pulau Pramuka tersebar di beberapa transek (Lampiran 1) berdasarkan pengukuran Laboratorium Hidrologi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Transek-transek tersebut yaitu transek I pada koordinat 05º44'45,4" LS dan 106º36'55,1" BT dengan arah kompas 102º (Timur-Selatan) serta transek II pada koordinat 05º44'39" LS dan 106º36'57,3" dengan arah kompas 102º (Timur-Selatan).

Data unit penangkapan ikan pada padang lamun di perairan Pulau Pramuka didapatkan melalui kuesioner, yaitu wawancara terhadap nelayan yang melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut. Responden yang terkumpul sebanyak 13 orang nelayan, 3 orang dari Pulau Pramuka dan 10 orang lainnya dari Pulau Panggang. Nelayan Pulau Panggang juga dijadikan responden karena mereka melakukan penangkapan pada padang lamun di Pulau Pramuka. Alat tangkap yang dapat digunakan di padang lamun yaitu jaring insang, bubu, pukat udang berangka (beam trawl), jermal bahkan di Pulau Panggang ada yang menggunakan tombak (speargun). Namun, hasil wawancara menunjukkan bahwa semua nelayan menggunakan alat tangkap gillnet dan dominan kapal motor untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan pada habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka. Penelitian ini dilakukan bersama salah satu nelayan pemilik alat tangkap set gillnet dan status nelayannya adalah nelayan utama (Gambar 8).


(36)

Gambar 8 Nelayan yang menangkap ikan di lokasi penelitian

Kapal yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kapal kayu berbentuk sampan dengan panjang 3 meter, lebar 1 meter dan dalamnya 0,5 meter serta tenaga penggerak berupa dayung. Kapal sebagai alat transportasi menuju daerah penangkapan ikan (fishing ground) tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kapal yang digunakan pada penelitian

Alat tangkap yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jaring insang tetap (set gillnet). Konstruksi alat tangkap ini dapat dilihat pada Gambar 10.


(37)

Gambar 10 Konstruksi alat tangkap set gillnet

Alat tangkap set gillnet yang sebenarnya memiliki panjang per piece 15 meter, lebar 1 meter dan ukuran mesh size 1,5 inci serta bahan pembuatan jaring adalah nilon 8 lbs 0,30 mm. Alat tangkap tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Alat tangkap yang digunakan pada penelitian

4.4 Keadaan Lamun di Pulau Pramuka

Penelitian Apramilda (2011) pada perairan Pulau Pramuka menemukan 6 spesies lamun yang termasuk dalam 2 famili, yaitu Hydrocharitaceae dan


(38)

Cymodoceae. Keenam spesies tersebut adalah Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis dan

Halodule pinifolia. Nilai persentase penutupan lamun dari transek garis 1 sampai transek garis 3 memiliki nilai yang berbeda-beda. Thalassia hemprichii

merupakan jenis yang memiliki nilai persentase penutupan yang paling besar dari semua jenis yang teramati di Pulau Pramuka. Berikut merupakan persentase penutupan lamun di Pulau Pramuka (Tabel 11).

Tabel 11 Rata-rata persentase penutupan setiap jenis lamun di Pulau Pramuka

No. Jenis Lamun LT1 ( %) LT2 ( %) LT3 ( %)

1 Thalassia hemprichii 18,68 11,07 11,43

2 Cymodocea rotundata 3,02 2,16 1,82

3 Cymodocea serrulata 13,50 7,61 9,70

4 Enhalus acoroides 2,43 3,93 6,67

5 Halodule uninervis - 1,02 -

6 Halodule pinifolia 2,00 2,05 1,97

Total 39,64 27,84 31,58

Sumber: Apramilda 2011

Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka

Keberadaan keenam spesies tersebut tidak merata dan tidak semuanya terdapat pada setiap transek garis. Ada 5 spesies lamun yang dapat ditemukan di semua stasiun pengamatan yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata,

Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides dan Halodule pinifolia sedangkan spesies lamun Halodule uninervis hanya ditemukan pada transek garis 2. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Apramilda (2011) menunjukkan terdapat perbedaan komposisi jenis lamun pada ketiga transek garis yang ditandai dengan penyebaran jenis lamun yang tidak merata. Dwindaru (2010) menambahkan secara umum komposisi komunitas lamun di Pulau Pramuka termasuk kriteria miskin dengan rata-rata penutupan 22,38 % serta komposisi jenis dan frekuensi terbesar yaitu Thalassia hemprichii sebesar 7,27 %. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti kandungan nutrien pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik-titik tertentu, kemudian arah dan kecepatan arus memengaruhi keberadaan beberapa jenis lamun.


(39)

4.5 Struktur Komunitas Plankton di Perairan Pulau Pramuka

Komposisi fitoplankton yang dijumpai di perairan Pulau Pramuka pada pengamatan bulan Oktober, November dan Desember 2004 yang dilakukan oleh Asmara (2005) terdiri dari 3 kelas, yaitu Bacillariophyceae (25 jenis), Dinophyceae (5 jenis) dan Cyanophyceae (1 jenis). Kelas Baciilariophyceae yang sering dijumpai pada setiap pengamatan memiliki kelimpahan yang relatif tinggi adalah Nitzschia sp. dan Fragillaria sp. Kelas Dinophyceae yang sering dijumpai adalah dari jenis Peridinium sp. dan dari kelas Cyanophyceae yang sering dijumpai adalah dari jenis Tricodesmium sp. Tabel 12 menunjukkan kelimpahan fitoplankton pada masing-masing stasiun.

Tabel 12 Kelimpahan fitoplankton (sel/m3) di perairan Pulau Pramuka

Stasiun

Oktober November Desember

Jumlah

Jenis Kelimpahan

Jumlah

Jenis Kelimpahan

Jumlah

Jenis Kelimpahan

1 15 17100 20 74700 14 104400

2 17 305100 10 51900 16 137700

3 17 65700 17 116400 16 180600

4 12 70200 12 27000 9 51300

5 20 46500 17 21000 14 40500

6 17 102600 14 64500 12 90900

Sumber: Asmara 2005

Komposisi zooplankton yang dijumpai terdiri dari 5 kelas, yaitu Ciliata (4 jenis), Crustacea (4 jenis), Sagittoidea (1 jenis), Sarcodina (1 jenis) dan Polychaeta (1 jenis). Semua jenis zooplankton ditemukan merata di tiap kelasnya seperti yang disajikan dalam Tabel 13.

Tabel 13 Kelimpahan zooplankton (ind/m3) di perairan Pulau Pramuka

Stasiun

Oktober November Desember

Jumlah

Jenis Kelimpahan

Jumlah

Jenis Kelimpahan

Jumlah

Jenis Kelimpahan

1 3 2100 4 2700 6 8400

2 5 3300 5 1800 5 5400

3 6 5400 5 3600 5 3300

4 3 2700 4 8700 3 1800

5 4 4500 6 3600 3 2700

6 6 5700 6 5100 6 10800


(40)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

Ikan yang tertangkap selama penelitian di bulan Januari dan Maret 2012 berjumlah 69 ekor yang terdiri dari 12 spesies (10 famili). Frekuensi tertinggi hasil tangkapan terdapat pada bulan Maret 2012 yaitu berjumlah 41 ekor yang terdiri dari 11 spesies (9 famili) jika dibandingkan dengan hasil tangkapan pada bulan Januari 2012 dengan jumlah 28 ekor yang terdiri dari 8 spesies (10 famili). Berat total hasil tangkapan mencapai 15413 gr atau 15,413 kg. Perbandingan frekuensi hasil tangkapan ini dapat dilihat pada histogram berikut (Gambar 12).

Gambar 12 Jumlah hasil tangkapan pada bulan Januari dan bulan Maret 2012

Hasil tangkapan pada bulan Maret 2012 lebih banyak daripada bulan Januari 2012 karena berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, bulan Januari-Februari adalah musim paceklik dan bulan Maret adalah musim biasa dimana pasang lebih tinggi, sehingga ikan lebih banyak tertangkap. Hal ini dihubungkan dengan pendapat Elliott dan Hemingway (2002) yang menyatakan bahwa tingginya pasang surut memengaruhi ukuran populasi ikan. Data hasil tangkapan diuji dengan metode statistik non parametrik menggunakan Uji Mann-Whitney U test dan hasilnya menunjukkan bahwa nilai asymp. Sig/asymptotic significance yaitu


(41)

0,276 atau probabilitas di atas 0,05 (0,276 > 0,05) maka berdasarkan hipotesis, dapat disebutkan bahwa distribusi hasil tangkapan menyebar normal. Analisis data dengan metode parametrik menggunakan Uji-F (ANOVA) juga digunakan untuk mengetahui perbandingan hasil tangkapan setiap bulan dan hasilnya menunjukkan nilai P-value yaitu 0,427 atau lebih besar di atas 0,05 (0,427 > 0,05). Jadi, dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk jumlah hasil tangkapan pada bulan Januari dan bulan Maret 2012.

Hasil wawancara dengan nelayan menjelaskan bahwa 61 % responden menyebutkan hasil tangkapan utama di padang lamun yaitu ikan baronang dari famili Siganidae; kemudian 23 % responden menyebutkan ikan lingkis yang masih satu famili dengan ikan baronang sebagai hasil tangkapan utama. Sisanya yaitu ikan cendro dari famili Belonidae. Menurut data statistik perikanan Provinsi DKI Jakarta tahun 2010, jenis ikan yang terhitung nilai produksinya di Kepulauan Seribu dan juga terdapat di padang lamun adalah ikan cendro (Belonidae), lencam (Lethrinidae), kerapu lumpur/sunu (Serranidae) dan baronang (Siganidae). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa famili Holocentridae dan Belonidae merupakan hasil tangkapan utama. Perbedaan ini disebabkan oleh waktu dan metode penangkapan ikan yang berbeda.

Tabel 14 Komposisi hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

No. Nama Umum Spesies Famili Jumlah

(ekor)

Panjang Total ± SD (cm)

Berat ± SD (gr)

1 Baronang Siganus guttatus Siganidae 1 18,0 109

2 Belanak Mugil cephalus Mugilidae 1 28,5 232

3 Cendro Tylosurus strongylura Belonidae 18 65,9 ± 21,7 584 ± 245 4 Jarang gigi Choerodon anchorago Labridae 5 16,9 ± 4,6 106 ± 78 5 Kalam pute Leiognathus nuchalis Leiognathidae 1 14,1 37 6 Kerapu koko Epinephelus quoyanus Serranidae 2 20,9 ± 3,3 147 ± 76 7 Lencam Lethrinus reticulatus Lethrinidae 4 17,8 ± 0,6 71 ± 29 8 Lingkis Siganus canaliculatus Siganidae 5 18,1 ± 0,8 81 ± 19 9 Pasir Pentapodus trivittatus Nemipteridae 1 18,1 73 10 Serak Scolopsis lineata Nemipteridae 10 17,4 ± 1,4 77 ± 19 11 Swanggi Sargocentron rubrum Holocentridae 18 16,5 ± 1,6 87 ± 30 12 Tanda-tanda Lutjanus ehrenbergii Lutjanidae 3 24,3 ± 1,4 103 ± 30

Tabel 14 menunjukkan komposisi hasil tangkapan secara detail. Spesies dominan yang tertangkap adalah ikan swanggi (Sargocentron rubrum) dengan jumlah 18 ekor atau setara dengan 1,574 kg. Selain ikan swanggi, hasil tangkapan


(42)

dengan jumlah dan proporsi yang sama dari total hasil tangkapan, yaitu cendro (Tylosurus strongylura). Jumlah cendro yang tertangkap setara dengan 10,507 kg, merupakan penyumbang terbesar bagi berat total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan berikutnya adalah ikan serak (Scolopsis lineata). Ikan serak berjumlah 10 ekor yang setara dengan 0,770 kg.

Famili Holocentridae dengan proporsi 26 % dari total hasil tangkapan merupakan hasil tangkapan dominan. Selain Holocentridae, hasil tangkapan dengan proporsi yang sama dari total hasil tangkapan yaitu famili Belonidae. Hasil tangkapan dominan berikutnya adalah famili Nemipteridae dengan proporsi 15,9 % dari total hasil tangkapan yang terdiri dari 2 spesies, yaitu ikan pasir (Pentapodus trivittatus) dan ikan serak (Scolopsis lineata). Bentuk grafik proporsi spesies yang tertangkap dikelompokkan dalam kategori famili dan ditampilkan secara detail pada Gambar 13.

Gambar 13 Persentase hasil tangkapan total selama penelitian

Menurut Tomascik et al. (1997), ikan yang banyak ditemukan di padang lamun Indonesia adalah dari famili Siganidae, Lethrinidae dan Labridae. Ketiga spesies ini termasuk dalam komunitas lamun yang terbentuk pada habitat padang lamun yang berdekatan dengan terumbu karang atau terkadang bersatu dengan terumbu karang. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies terbanyak


(43)

yang tertangkap berasal dari famili Holocentridae dan Belonidae. Hal ini disebabkan Holocentridae menggunakan padang lamun sebagai tempat untuk mencari makan, sehingga Holocentridae termasuk penghuni berkala yang menggunakan padang lamun sebagai tempat untuk mencari makan (occasional residents) berdasarkan pengelompokan Tomascik et al. (1997). Metadata

FishBase (Froese dan Pauly 2012) mendukung pendapat ini dengan mengemukakan bahwa habitat Holocentridae adalah di padang lamun. Pernyataan Setipermana (1996) vide Andriana et al. (2011) yang menyebutkan bahwa Holocentridae termasuk ikan nokturnal (aktif pada malam hari) juga dapat dijadikan penyebab banyaknya Holocentridae yang tertangkap karena alat tangkap nelayan (set gillnet) dioperasikan dari pukul 14.00-06.00 WIB.

Famili Belonidae juga banyak tertangkap karena menggunakan padang lamun sebagai tempat pengasuhan (nursery grounds). Banyak ditemukan juvenil Belonidae di daerah lamun yang berdekatan dengan mangrove. Hal ini juga didukung oleh ditemukannya telur-telur Belonidae pada waktu ikan tersebut dibedah. Jumlah Belonidae yang tertangkap adalah 18 ekor, namun 12 lambung diantaranya ditemukan dalam keadaan kosong. Hal ini berarti Belonidae ke daerah lamun memang bukan untuk mencari makan. Selanjutnya, famili Nemipteridae yang bersifat diurnal dan pada malam hari beristirahat di antara karang (Andriana et al. 2011) banyak tertangkap di padang lamun karena sedang mencari makan.

Famili Siganidae, Labridae dan Lethrinidae yang tertangkap merupakan spesies lamun yang termasuk penghuni yang ada di padang lamun hanya selama tahapan juvenilnya (Tomascik et al. 1997), terutama Siganidae yang dijelaskan oleh Kuncoro (2008) yaitu bersifat herbivora (memakan tumbuhan laut), sehingga sering terdapat di daerah padang lamun maupun tempat yang banyak ditumbuhi rumput lautnya. Namun, ketiga spesies ini tertangkap dalam jumlah yang sedikit. Effendie (1997) menjelaskan alasan yang dapat menjawab hal ini, yaitu mengenai besarnya populasi ikan dalam suatu perairan itu antara lain ditentukan oleh jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan dan lama masa pengambilan makanan ikan. Khusus untuk jenis ikan yang berasosiasi dengan padang lamun, Lestari (2010) mengungkapkan bahwa keanekaragaman dan


(1)

No. Famili Nama Latin Nama Umum Panjang

Total (cm) Berat (gr)

34. Siganidae Siganus canaliculatus Lingkis 18,9 82 35. Siganidae Siganus canaliculatus Lingkis 16,7 65 36. Siganidae Siganus canaliculatus Lingkis 18,3 75 37. Siganidae Siganus canaliculatus Lingkis 17,9 72 38. Nemipteridae Pentapodus trivittatus Pasir 18,1 73 39. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 18 88 40. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 17,7 71 41. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 18,3 87 42. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 16,8 90 43. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 18,6 97 44. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 18,8 98 45. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 16,6 76 46. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 17,6 66 47. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 17,6 60 48. Nemipteridae Scolopsis lineata Serak 14 37 49. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 19 133 50. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 17,4 94 51. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 15,4 61 52. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 16,7 100 53. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 18,2 120 54. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 17,3 100 55. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 17,5 137 56. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 18 106 57. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 19,4 129 58. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 14,4 52 59. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 15,3 64 60. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 14,5 51 61. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 13,9 52 62. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 15,3 61 63. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 16,5 81 64. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 17,5 102 65. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 15,1 59 66. Holocentridae Sargocentron rubrum Swanggi 16,1 72 67. Lutjanidae Lutjanus ehrenbergii Tanda-tanda 23,5 196 68. Lutjanidae Lutjanus ehrenbergii Tanda-tanda 23,4 190 69. Lutjanidae Lutjanus ehrenbergii Tanda-tanda 25,9 210


(2)

Organisme Ulangan Vi Oi Vi x Oi IP 1 2 3 Total

Zygnema pectinatum (Chlorophyceae) 60 90 85 235 52 100 5246 52

Oedocladium (Chlorophyceae) 67 80 66 213 48 100 4754 48

448 10000

IP ikan baronang (

Siganus guttatus

)

Organisme Ulangan Vi Oi Vi x Oi IP

1 2 3 Total

Caulerpa sp. 60 81 81 222 72 100 7161 72

Detritus 50 19 19 88 28 100 2839 28

310 10000

IP ikan belanak (

Mugil cephalus

)

Organisme % Jumlah % Massa % Kejadian IRP

Phasmida (Nematoda) 33 1,3561 33 1156,3153

Enhalus acoroides (Hydr charitaceae) 17 0,0883 17 279,2495 Sisik dan duri Pisces (Chordata) 33 98,4105 33 4391,4610

Potongan Moluska 17 0,1451 17 280,1957

IRP ikan cendro (

Tylosurus strongylura

)

Organisme % Jumlah % Massa % Kejadian IRP

Copepoda (Crustacea) 50 95,5953 100 14559,5293

Nematoda 50 4,4047 100 5440,4707

IRP ikan jarang gigi (

Choerodon anchorago

)

Organisme % Jumlah % Massa % Kejadian IRP

Potongan Crustacea 100 100,0000 100 20000,0000

IRP ikan kalam pute (

Leiognathus nuchalis

)

Organisme % Jumlah % Massa % Kejadian IRP

Pisces (Chordata) 100 100,0000 100 20000,0000

IRP ikan kerapu koko (

Epinephelus quoyanus

)

Organisme % Jumlah % Massa % Kejadian IRP

Potongan Malacostraca (Crustacea) 75 98,4160 100 17341,6020 Sisik dan duri Pisces (Chordata) 25 1,5840 33 886,1327


(3)

Lampiran 7 (Lanjutan)

Organisme Ulangan Vi Oi Vi x Oi IP

1 2 3 Total

Enteromorpha sp. (Chlorophyceae) 198 30 0 228 17 67 1160 14

Hancuran lamun 107 220 102 429 33 100 3283 39

Enhalus acoroides (Liliopsida) 55 126 216 397 30 100 3039 36

Halodule uninervis (Liliopsida) 43 0 0 43 3 33 111 1

Gracilaria (Rhodophyceae) 20 0 30 50 4 67 255 3

Hydroides elegans (Polychaeta) 0 70 0 70 5 33 179 2

Eucheuma sp. (Rhodophyceae) 0 20 40 60 5 67 306 3

Caulerpa sp. (Chlorophyceae) 0 10 0 10 1 33 26 1

Thalassia hemprichii (Liliopsida) 0 0 20 20 2 33 51 1

1307 8408

IP ikan lingkis (

Siganus canaliculatus

)

Organisme % Jumlah % Massa % Kejadian IRP

Potongan Polychaeta (Anelida) 50 73,4566 100 12345,6581 Potongan Cephalopoda (Moluska) 50 26,5434 100 7654,3419

IRP ikan pasir (

Pentapodus trivittatus

)

Organisme % Jumlah % Massa % Kejadian IRP

Potongan Holothuria 10 12,9237 14 327,4809

Pterygota (Uniramia) 10 10,3688 14 290,9836

Potongan Gastropoda (Moluska) 30 41,5590 43 3066,8140

Potongan Crustacea 20 17,4437 29 1069,8206

Potongan Polychaeta (Anelida) 20 15,8319 29 1023,7694 Sisik dan duri Pisces (Chordata) 10 1,8728 14 169,6121

IRP ikan serak (

Scolopsis lineata

)

Organisme % Jumlah % Massa % Kejadian IRP

Potongan Malacostraca (Crustacea) 83 98,8935 93 17007,8353

Nematoda 6 0,4208 7 39,8421

Sisik dan duri Pisces (Chordata) 6 0,6512 7 41,3786

Potongan Lamun (Liliopsida) 6 0,0345 7 37,2673

IRP ikan swanggi (

Sargocentron rubrum

)

Organisme % Jumlah % Massa % Kejadian IRP

Potongan Malacostraca (Crustacea) 100 100,0000 100 20000,0000

IRP ikan tanda-tanda (

Lutjanus ehrenbergii

)


(4)

padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

Makanan ikan baronang: Chlorophyceae Makanan ikan belanak: Caulerpa sp.

Makanan ikan cendro: sisik dan duri ikan Makanan ikan jarang gigi: potongan Crustacea

Makanan ikan kalam pute: Copepoda Makanan ikan kerapu koko: ikan betok hitam


(5)

Lampiran 8 (Lanjutan)

Makanan ikan pasir: potongan Anelida Makanan ikan serak: potongan Moluska


(6)

Lampiran 9 Hasil perhitungan Mann-Whitney Test dan ANOVA

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

Bulan N Mean Rank Sum of Ranks

Jumlah_Hasil_ Tangkapan

Januari 9 7,78 70,00

Maret 8 10,38 83,00

Total 17

Test Statistics(b)

Jumlah_Hasil_T angkapan

Mann-Whitney U 25,000

Wilcoxon W 70,000

Z -1,090

Asymp. Sig. (2-tailed) ,276 Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] ,321(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: Bulan

Anova: Single Factor

SUMMARY

Groups

Count

Sum

Average Variance

4

9

24 2,666667

8,75

2

9

39 4,333333

29

ANOVA

Source of Variation

SS

Df

MS

F

P-value

F crit

Between Groups

12,5

1

12,5 0,662252

0,42771166 4,493998

Within Groups

302

16

18,875