bertambahnya usia seseorang maka fungsi metabolisme akan menurun dan ini akan berakibat menurunnya aktifitas kolinesterase darah sehinggga akan
mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Usia juga berkaitan dengan kekebalan tubuh dalam mengatasi tingkat toksisitas suatu zat, semakin tua umur
seseorang maka efektifitas sistem kekebalan di dalam tubuh akan semakin berkurang. 2 jenis kelamin, kadar kolin bebas dalam plasma laki-laki dewasa
normal rata- rata sekitar 4,4μgml. Kaum wanita rata-rata mempunyai aktifitas
kolinesterase darah lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot pestisida, karena pada saat
kehamilan kadar rata-rata kolinesterase cenderung turun. 3 status kesehatan seperti kelemahan fisik, penyakit yang diderita, dan daya tahan tubuh. 4
penggunaan pestisida, penggunaan pestisida harus sesuai dengan prosedur seperti dosis, pengunaan APD, tindakan penyemprotan pada arah angin, serta waktu
menyemprot.
5.2 Penyebab keracunan pestisida
Kasus keracunan pestisida dikalangan petani pengguna pestisida umumnya karena petani pengguna pestisida tidak memiliki pengetahuan yang
baik tentang kesehatan, tidak memiliki informasi tentang pestisida, resiko penggunaan pestisida, dan teknik penggunaan pestisida yang benar dan bijaksana.
Ketika petani pengguna pestisida sudah mendapat informasi yang cukup , petani sering kali tidak mematuhi syarat-syarat keselamatan dalam menggunakan
pestisida. Banyak petani pengguna pestisida malah anggap enteng terhadap resiko yang mungkin timbul dari pestisida karena keracunan pestisida terutama
Universitas Sumatera Utara
keracunan kronis, tidak terasa dan akibatnya sulit dideteksi. Oleh karena itu, banyak petani mengatakan sudah sekian belas tahun mereka mengapikasikan
pestisida dengan cara mereka dan merasa tidak terganggu. Anggapan petani yang demikian harus diubah, walau sulit Kementerian Pertanian, 2011.
5.3 Dampak keracunan pestisida
Penggunaan pestisida tanpa prosedur yang benar akan mengakibatkan dampak negatif yang sangat besar, yakni keracunan pada petanipengguna
pestisida, pencemaran lingkungan, keracunan pada hewan dan keracunan pada konsumen ketika konsumen mengkonsumsi hasil tanaman dengan kadar residu
pestisida lebih dari batas yang diizinkan Wudianto, 2001. Jenis pestisida yang paling beracun adalah yang mirip dengan gas saraf,
yaitu golongan organofosfat dan golongan karbamat. Pestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah pestisida yang paling banyak digunakan untuk
membasmi hama, terutama serangga. Hal ini disebabkan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan dalam membunuh hama, yakni seletif, tidak persisten dalam
tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga Sartono, 2002. Akan tetapi, organofosfat sangat toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang dan
mamalia, dibanding jenis pestisida lainnya karena dapat mempengaruhi sistem saraf dengan cara menghambat aktivitas enzim kolinesterase dalam tubuh
acetylcholinesterase. Pestisida ini mudah dimonitor dengan mengukur kadar kolinesterase dalam darah. Oleh karena itu Depkes RI mengunakan kadar
kolinesterase dalam darah untuk memonitor keracunan pestisida pada petani Raini, 2007
Universitas Sumatera Utara
Menurut Depkes RI 1992 dalam Sitepu 2010 aktivitas kolinesterase dalam darah seseorang dinyatakan sebagai persentase dari aktivitas enzim
kolinesterase dalam darah. Jika aktivitas kolinesterase dalam darah 75-100 maka dikategorikan normal, jika 50 - 75 dari normal maka kelompok ini
dikategorikan keracunan ringan sehingga dianjurkan istirahat atau tidak kontak dengan pestisida selama 2 minggu sehingga terjadi pemulihan kadar kolinesterase
menjadi normal. Jika 25 - 50 dari normal, kelompok ini dikategorikan keracunan sedang sehingga perlu istirahat selama beberapa minggu dari paparan
pestisida. Sedangkan jika aktivitas kolinesterase 0 -25, kelompok ini dikategorikan keracunan berat, penderita harus segera diistirahatkan dari semua
pekerjaan dan perlu rujukan medis. Penurunan aktivitas kolinesterse hingga 60 dari nilai normal akan
menimbulkan gejala-gejala keracunan yang tidak spesifik seperti pusing, sakit kepala, mual, lemah, otot terasa pegal, sakit perut, dan iritasi kulit seperti
kemerahan pada kulit dan rasa panas terbakar, serta gatal pada kulit. Pada umumnya gejala dan kelainan neurologi muncul setelah terjadinya penurunan
aktivitas kolinesterase ≥50 Raini, 2007. Sering kali masyarakat mengganggap
hal ini sebagai efek dari kelelahan atau penyakit biasa, yang tidak memerlukan pengobatan khusus. Benar adanya bahwa banyak penyakit lain yang dapat
menimbulkan satu atau beberapa tanda dan gejala di atas. Akan tetapi, apabila seseorang yang semula sehat kemudian mengalam tanda dan gejala tersebut
setelah menggunakan pestisida maka patut diduga bahwa gejala tersebut disebabkan oleh keracunan pestisida Djojosumarto, 2004
Universitas Sumatera Utara
Keracunan pestisida dapat terjadi secara akut maupun kronis. Keracunan akut terjadi bila ada pestisida yang mengenai atau masuk ke dalam tubuh manusia
dalam jumlah yang cukup Wudianto, 2001. Berat ringannya tingkat keracunan dapat dinilai dari aktivitas kolinesterase dalam darah. Kolinesterase adalah enzim
suatu bentuk dari katalis biologik di dalam jaringan tubuh yang berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan sel-sel saraf bekerja secara
terorganisir dan harmonis Rustia, Wispriyono, Susanna, Luthfiah, 2010. Erwin dan Kusuma 2012 mengatakan ketika pestisida penghambat
kolinesterase masuk ke tubuh manusia, pestisida ini akan menempel pada enzim kolinesterase sehingga enzim ini tidak dapat memecah asetilkolin menjadi kolin
dan asam asetat, dimana pemecahan asetilkolin diperlukan untuk menghentikan penyampaian rangsangan saraf. Asetilkolin merupakan neurotrasmitter untuk
semua sistem saraf parasimpatis, sebagian saraf simpatis medulla adrenal dan kelenjar keringat, beberapa neuron susunan saraf pusat dan saraf somatik yang
menyarafi otot skelet. Pada kasus keracunanan karena enzim kolinesterase tidak dapat memecahkan asetilkolin, maka terjadi penumpukan asetilkolin sehingga
impuls saraf terus mengalir dan mengirimkan perintah kepada reseptor kolinergik kolinergik merujuk kepada efek neurotransmitter asetilkolin. Hal tersebut
menyebabkan timbul gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.
Depkes RI 1992 dalam Afriyanto 2008 mengatakan efek penumpukan asetilkolin dapat berupa peningkatan saliva, peningkatan urin, diare, mual,
muntah, kejang perut, bradikardi, miosis, peningkatan keringat, pegal-pegal,
Universitas Sumatera Utara
lemah, tremor, dypsnea, takikardi, sakit kepala, bingung, kelemahan umum, koma, dan pada saat sistem pernapasan tidak berfungsi terjadilah kematian.
Kenyataan yang ada di masyarakat selama ini adalah umumnya masyarakat tidak menyadari gejala gangguan kesehatan yang dialaminya
merupakan keracunan pestisida karena gejala yang ditimbulkan tidak spesifik, namun secara kronis dapat menimbulkan penyakit yang serius Raini, 2007.
Keracunan kronis adalah keracunan yang terjadi ketika pestisida masuk ke dalam tubuh manusia sedikit demi sedikit. Penderita keracunan kronis biasanya
tidak mempedulikan atau merasakan gejala keracunan dalam tubuhnya padahal hal ini bisa menghancurkan hidupnya Wudianto, 2001.
Keracunan kronis terjadi bila efek-efek keracunan pada kesehatan membutuhkan waktu untuk berkembang. Efek-efek jangka panjang ini dapat
muncul setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah terpapar pestisida. Telah banyak bukti-bukti yang ditemukan dampak tentang senyawa kimia
pestisida terhadap kesehatan manusia. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa jenis penyakit dapat diakibatkan oleh dampak penggunaan senyawa pestisida yang
tidak sesuai prosedur yang benar antara lain: leukemia, myaloma ganda, lymphomas, sarcomas jaringan lunak, kanker prostat, penyakit kulit, melanoma,
hati dan paru, gangguan saraf, dan neoplasma indung telur Watterson, 1988
dalam Martono, dkk., 2010.
Pada keracunan fase kronik, akibat penggunaan pestisida yang tidak sesuai prosedur yang benar akan menyebabkan mutagenik kemampuan untuk
menyebabkan perubahan genetik, karsinogenik kemampuan untuk menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
kanker, teratogenik kemampuan untuk menyebabkan kelainan janin, onkogenik kemampuan menginduksi pertumbuhan tumor, meningkatkan sensitifitas alergi,
kerusakan hati kematian sel, ikterus, sirosis, fibrosis, dan kanker hati, serta gangguan sistem reproduksi jumlah sperma berkurang, kemandulan, dan aborsi
Arisman, 2009. Di negara-negara maju beberapa pestisida telah diteliti dapat bersifat
carsinogenic agent, mutagenic agent, alergent dan irritant. Senyawa-senyawa pestisida yang telah diteliti bersifat carsinogenic ada sekitat 51 buah termasuk
diantaranya yang sudah dikenal masyarakat seperti Aldrin, Carbaryl, DDT, Dieldrin, Endosulfan, Formaldehyde, Lindane, MPCA, dan Parathion. Senyawa-
senyawa pestisida yang bersifat mutagenic agent ada sekitar 80 buah. Yang sudah dikenal oleh masyarakat umum hanya sedikit antara lain Captan, Carbaryl,
Carbofuran, Chlorfirifos, DDT, Dicrotovos, Fenitrithion, Monocrotophos, dan MPCA. Senyawa-senyawa pestisida yang dapat menjadi penyebab penyakit
radang kulit dan penyakit kulit lainnya yang dapat menyebabakan alergent dan irritant peradangan dan iritasi ada sekitar ada 51 buah. Yang sudah dikenal oleh
masyarakat antara lain Endosulfan, Glyphosate, Lindane, Malathion, Mancozeb, Parathion dan Sulphur Gosselin, 1984; IARC, 1978; Moriya, 1983; Saleh, 1980;
Sandhu, 1980; Weinstein, 1984 dalam Saenong, 2007. Pestisida yang terakumulasi dalam jangka waktu panjang akan
menimbulkan kerusakan pada organ tubuh yang menjadi target bahan kimia tersebut. Salah satu target bahan kimia pestisida adalah hati karena hati
merupakan pusat detoksifikasi zat beracun dalam tubuh. Kerusakan atau gangguan
Universitas Sumatera Utara
fungsi hati yang kronik dapat meningkatkan resiko kejadian sirosis hati. Gangguan terhadap fungsi hati dan penyakit hati seperti sirosis hati, akan
mengganggu tugas hati dalam melakukan biotransformasi dan detoksifikasi. Tidak optimalnya biotransformasi dan detoksifikasi mengakibatkan makin besar efek
buruk karena pajanan pestisida yang berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan meningkatkan resiko kejadian penyakit kanker,
diantaranya kanker hati Bhalli, 2006 dalam Siwiendrayanti, Suhartono, Endah, 2012.
Gangguan fungsi hati pada WUS Wanita Usia Subur selain berdampak pada kesehatannya sendiri juga akan berdampak pada janinnya ketika yang
bersangkutan hamil. Gangguan fungsi hati dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme makanan dan detoksifikasi pada tubuh ibu sehingga akan berdampak
pada jumlah zat makanan dan zat lain yang masuk ke sistem peredaran darah janin Irianto, 2004 dalam Fikri, Setiani, Nurjazuli, 2012. Wanita hamil yang banyak
terpapar dengan pestisida, risiko anaknya mengalami polimorfisme pada otak adalah 1,6 kali lebih tinggi dibanding yang tidak terpapar. Pestisida juga
berbahaya bagi pertumbuhan janin dan paparannya dapat menyebabkan berat bayi lahir rendah dan bayi lahir premature Isnawati, 2009; Salameh, 2006 dalam
Wigati Susanti, 2012 Soemirat 2003 dalam Milala 2005 mengatakan apabila wanita yang
sedang menyusui terpapar pestisida, maka bayi yang minum Air Susu Ibu ASI tersebut juga akan terpapar. Hal ini dibuktikan pada tahun 1975 dimana negara
Eropa, Kanada, Amerika Serikat dan Jepang melaporkan bahwa susu sapi yang
Universitas Sumatera Utara
memakan makanan yang mengandung pestisida maka di dalam susu sapi tersebut mengandung pestisida antara 19-50 microgram per kg, sedangkan di dalam ASI
didapat 25 kali lipat daripada susu sapi. Beberapa jenis pestisida juga telah diketahui dapat mengganggu sistem
kekebalan tubuh manusia dengan cara yang lebih berbahaya. Beberapa jenis pestisida dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk menahan dan melawan
infeksi. Ini berarti tubuh menjadi lebih mudah terkena infeksi, atau jika telah terjadi infeksi penyakit ini menjadi lebih serius dan makin sulit untuk
disembuhkan Khalid Ali, 2009.
5.4 Cara masuk pestisida ke dalam tubuh