terkonsentrasi dalam empedu, khususnya garam empedu dan bilirubin. Bila ekskresi empedu dari pigmen bilirubin terganggu, dapat terakumulasi di kulit dan
mata, menghasilkan penyakit kuning, dan ke dalam urin, yang menjadi kuning coklat atau gelap terang. Histologis kolestasis bisa sangat halus dan sulit untuk
dideteksi tanpa penelitian ultrastruktur. Perubahan struktural mencakup pelebaran dari canaliculus empedu dan adanya colokan empedu dalam saluran empedu dan
canaliculi Lu, 1995. d. Sirosis
Sirosis merupakan bentuk kerusakan yang terakhir, sering fatal, tahap kerusakan hati kronis. Sirosis ditandai dengan akumulasi sejumlah jaringan
fibrosa yang luas, khususnya serabut-serabut kolagen, sebagai respon terhadap kerusakan atau terhadap peradangan. Sirosis bersifat irreversibel, memiliki
harapan hidup yang kecil, dan biasanya merupakan hasil paparan berulang zat kimia beracun Treinen dan Moslen, 2001.
3. Hepatotoksin
Obat dan senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hati dibedakan menjadi : a. Hepatotoksin teramalkan
Senyawa yang bila diberikan dapat mempengaruhi sebagian besar orang yang menelan senyawa tersebut dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan
efek toksik. Hepatotoksin ini bergantung pada dosis pemberian Forrest, 2006. Contoh hepatotoksin teramalkan yang dapat menimbulkan kerusakan nekrosis
hepatoseluler adalah
racun jamur
Amanita phalloides,
aflatoksin,
karbontetraklorida, kloroform, parasetamol, dan lain sebagainya Chandrasoma dan Taylor, 1995.
b. Hepatotoksin tak teramalkan Senyawa yang tidak bersifat toksik pada hati tetapi bila diberikan kepada
orang tertentu dapat menimbulkan efek toksik. Hepatotoksin ini tidak bergantung pada dosis pemberian Forrest, 2006.
4. ALT dan AST
Kerusakan hepatoseluler dapat dideteksi dengan mengukur indeks fungsional dan dengan mengamati produk hepatosit yang rusak atau nekrotik. Uji
enzim sering menjadi satu-satunya petunjuk adanya cedera sel pada penyakit hati dini karena perubahan ringan kapasitas ekskretorik mungkin tersamar akibat
kompensasi dari bagian hati lain yang masih fungsional Sacher dan McPherson, 2002.
Dua enzim yang sering berkaitan dengan kerusakan hepatoseluler adalah aminotransferase. Aminotransferase mengkatalisis pemindahan reversibel satu
gugus amino antara asam amino dan sebuah asam alfa-keto, yang berfungsi dalam pembentukan asam-asam amino yang dibutuhkan untuk penyusunan protein di
hati. Alanine Aminotransferase ALT berfungsi memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam alfa-ketoglutamat. Aspartate Aminotransferase AST
berfungsi memerantai reaksi antara asam aspartat dan asam alfa-ketoglutamat Sacher dan McPherson, 2002.
Sebagian besar AST terdapat di hati dan otot rangka, serta tersebar ke seluruh jaringan. Meskipun enzim ALT terdapat pula pada beberapa bagian
jaringan, konsentrasi terbesarnya pada semua spesies adalah di hati sehingga ALT merupakan petunjuk yang lebih spesifik terhadap nekrosis hati daripada AST
Zimmerman, 1999. Transaminase ini sebagai nilai indeks kemungkinan kerusakan hati, dalam mendeteksi adanya toksisitas pada hati atau perubahan
dalam membran sel hati Edem dan Akpanabiatu, 2006. Angka hasil pemeriksaan aktivitas AST dibagi aktivitas ALT pada sampel
serum disebut rasio de Ritis. Rasio ini digunakan untuk membedakan berbagai penyakit dengan AST maupun ALT-nya. ALT lebih cepat dibebaskan dari
hepatosit ke dalam darah secara akut, sedangkan AST dibebaskan lebih besar pada gangguan kronis Sacher dan McPherson, 2002.
B. Karbon Tetraklorida