ANALISIS EFISIENSI PG. WATOETOELIS KABUPATEN SIDOARJO

(1)

ANALISIS EFISIENSI PG. WATOETOELIS

KABUPATEN SIDOARJO

SKRIPSI

Oleh: Diar Iswardhani NIM. 091510601011

PROGRAM STU DI A GR IBIS NIS FAKULTA S PERTAN IAN

UNIVERSITAS JEMBER 2015


(2)

i

ANALISIS EFISIENSI PG. WATOETOELIS

KABUPATEN SIDOARJO

SKRIPSI

diajukan guna memenuhi salah satu syarat menyelesaikan tugas akhir pada Program Studi Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Jember

Oleh: Diar Iswardhani NIM. 091510601011

PROGRAM STU DI A GR IBIS NIS FAKULTA S PERTAN IAN

UNIVERSITAS JEMBER 2015


(3)

ii

PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Mama tercinta Siti Sundari dan Papa tercinta Ismunarko 2. Kedua kakakku, Andy Iswindarto dan Riza Isfabianarif

3. Guru-guruku sejak taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi; 4. Almamater Fakultas Pertanian Universitas Jember.


(4)

iii MOTTO

“Orang yang menuntut ilmu berarti menuntut rahmat ; orang yang menuntut ilmu

berarti menjalankan rukun Islam dan Pahala yang diberikan kepada sama dengan

para Nabi”

( HR. Dailani dari Anas r.a )

“Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah dilaksanakan / diperbuatnya”

( Ali Bin Abi Thalib )

“Setiap orang membutuhkan tiga hal yang akan membuat mereka berbahagia di

dunia ini, yaitu; seseorang untuk dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu

untuk diharapkan”


(5)

iv

PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Diar Iswardhani NIM : 091510601011

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis ilmiah yang berjudul

“ANALISIS EFISIENSI PG. WATOETOELIS KABUPATEN SIDOARJO” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika disebutkan sumbernya dan belum pernah diajukan pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini Saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 12 Mei 2015 Yang Menyatakan,

Diar Iswardhani NIM. 091510601011


(6)

v SKRIPSI

ANALISIS EFISIENSI PG. WATOETOELIS

KABUPATEN SIDOARJO

Oleh Diar Iswardhani NIM 091510601011

Pembimbing

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Rudi Wibowo, MS. NIP 195207061976031006 Pembimbing Anggota : Ir. Anik Suwandari., MP.


(7)

vi

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Analisis Efisiensi PG. Watoetoelis Kabupaten Sidoarjo” telah diuji dan disahkan pada :

Hari, Tanggal : Selasa, 12 Mei 2015

Tempat : Fakultas Pertanian Universitas Jember

Dosen Pembimbing Utama, Dosen Pembimbing Anggota,

Prof. Dr. Ir. Rudi Wibowo, MS Ir. Anik Suwandari, MP

NIP 195207061976031006 NIP 196404281990022001

Dosen Penguji,

Dr. Triana Dewi Hapsari, SP, MP NIP 197104151997022001

Mengesahkan Dekan,

Dr. Ir. Jani Januar, MT NIP 195901021988031002


(8)

vii RINGKASAN

Analisis Efisiensi PG. Watoetoelis Kabupaten Sidoarjo. Diar Iswardhani, 091510601011, 2015, DPU: Prof. Dr. Ir. Rudi Wibowo, MS, DPA: Ir. Anik Suwandari, MP. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember.

Tebu adalah tanaman berkeping satu (monokotil), termasuk suku rumput-rumputan. Tinggi batangnya 3 – 5 m, batangnya beruas dan berbuku, daun-daunnya duduk pada setiap buku dan tebu tumbuh di dataran rendah tropika. Di Indonesia terbanyak diusahakan di Pulau Jawa, terutama Jawa Timur. Pengusahaan tebu di Indonesia dilaksanakan oleh rakyat dan Pabrik Gula (PG). Tujuan utama PG ialah untuk menghasilkan gula kristal putih.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui kualitas tebu yang di giling PG Watoetoelis, (2) untuk mengetahui biaya pokok produksi gula PG Watoetoelis, dan (3) untuk mengetahui efisiensi teknis PG Watoetoelis. Metode penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive methods). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif deskriptif. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun 2009 – 2013 yang dimiliki oleh PG Watoetoelis dan instansi lain sebagai pendukung. Data yang digunakan antara lain biaya produksi gula, data indikator efisiensi teknis pabrik gula dan data dari instansi lain yaitu biaya pokok produksi (BPP) nasional, harga lelang tetes dan harga lelang gula.

Hasil analisis menunjukkan bahwa (1) Pabrik Gula Watoetoelis tidak efisiensi teknis selama tahun 2009 - 2013. Terlihat dari angka parameter efisiensi teknis rata-rata selama 5 tahun yang masih berada di bawah standar yaitu, nilai ME 86,03%, OR 80,97%, pol 9,58%, rendemen 6,76%. Hanya nilai BHR dengan nilai 96,06% saja yang berada di atas standar, akan tetapi nilai OR berada di bawah standar dimana nilai OR merupakan total keseluruhan dari proses pengolahan tebu menjadi gula, (2) kualitas bahan baku PG Watoetoelis tahun 2009–2013 memiliki mutu yang rendah, terlihat dari standar dengan nilai rata-rata selama 5 tahun terakhir untuk nilai kadar nira 73,10%, pol 9,58% dan nilai NPP 10,17. Nilai untuk kualitas tebu tersebut berada di bawah standar yaitu, 80-83%


(9)

viii

Pokok Produksi (BPP) PG Watoetoelis tahun 2010-2013 tidak efisien, karena berada di atas BPP standar. Nilai BPP PG Watoetoelis selama tahun 2010 - 2013 adalah Rp 6.874/kg, Rp 7.696/kg, Rp 8.830/kg dan Rp 8.931/kg, sedangkan BPP standar Rp 6.350/kg, Rp 7.000/kg, Rp 8.100/kg dan Rp 8.500/kg. Saran yang dapat dilakukan dari hasil penelitian ini adalah (1) PG Watoetoelis seharusnya melakukan peremajaan terhadap mesin pabrik yang berusia tua, supaya PG Watoetoelis dapat berproduksi secara maksimal. (2) Pemerintah seharusnya melakukan pendekatan kepada petani tebu, agar petani tebu masih mau mengusahakan lahannya, sehingga lahan dan produksi tebu tidak berkurang yang akan berpengaruh positif terhadap biaya pokok produksi gula PG Watoetoelis.


(10)

ix SUMMARY

The Efficiency Analysis of PG. Watoetoelis Sidoarjo. Diar Iswardhani, 091510601011, 2015, DPU: Prof. Dr. Ir. Rudi Wibowo, MS, DPA: Ir. Anik Suwandari, MP. Study Program of Agribusiness Faculty of Agriculture University of Jember.

Cane is a plant which splits into one piece (monocots), including the grassy plants (Nartheciaceae). Its stalk is 3-5m tall, the stems are segmented and grained, the leaves sit on each segment and the Cane grows in tropical area. In Indonesia, It is mostly cultivated in Java, especially in East Java. The cane cultivation in Indonesia is carried out by people and the sugar factory (PG) whose goal is to produce white sugar.

The objectives of the study were (1) to determine the quality of milled cane in PG Watoetoelis, (2) to know the production cost of sugar at PG Watoetoelis, and (3) to determine the technical efficiency of PG Watoetoelis. The method of determining area of the research was conducted purposively (purposive methods). The research method used was descriptive quantitative method. This study used secondary data of 2009-2013 owned by PG Watoetoelis and other institutions as supporting data. The data used were the cost of sugar production, the indicator of technical efficiency, and the data of sugar factory from other institutions were the national production costs (BPP), the auction costs of molasses and sugar.

The results showed that (1) the sugar factory, PG Watoetoelis, was not technically efficient in 2009 - 2013. It can be seen from the average of technical efficiency parameter numbers over 5 years was still under the standard; the value of ME 86.03%, OR 80.97%, pol 9.58%, yield 6.76%, and the value of BHR with a value of 96.06% which was above the standard, but the value of OR was below standard in which OR was the total value of the process of cane into sugar, (2) the quality of the raw materials at PG Watoetoelis in 2009-2013 had low quality. It can be seen from the standard average value in the last 5 years that the value of sap was 73.10%, pol 9.58%, and NPP 10.17. The value for the quality of the sugar cane was below standard; 80-83% for sap, ≥ 12.0% for pol and ≥ 14.00 for NPP, and (3) the cost of production (BPP) at PG Watoetoelis in 2010- 2013 was inefficient, because it was above the standard of BPP. The value of BPP at PG


(11)

x

Watoetoelis in 2010 - 2013 was Rp 6.874 kg, Rp. 7.696/kg, Rp. 8.830/kg, and Rp. 8.931/kg, while the standard of BPP Rp 6,350/kg, Rp 7,000/kg, Rp 8,100/kg and Rp 8,500/kg. The suggestions that can be made from the study results were (1) PG Watoetoelis should change machinery factory because of its old age so that PG Watoetoelis can produce optimally. (2) The government should approach the sugar farmers so that farmers still want to cultivate the sugar land, so that land and sugar production would not be diminish in which it would also influence positively on the production cost of sugar at PG Watoetoelis.


(12)

xi PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan hidayah yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah tertulis (skripsi) yang berjudul “Analisis Efisiensi PG. Watoetoelis Kabupaten Sidoarjo”. Penyusunan karya ilmiah tertulis ini banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jember, yang telah memberikan bantuan perijinan dalam menyelesaikan karya ilmiah tertulis ini;

2. Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Program Studi Agribisnis, yang telah memberikan bantuan sarana dan prasarana dalam menyelesaikan karya ilmiah tertulis ini;

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Rudi Wibowo, MS. selaku Dosen Pembimbing Utama dan Ibu Ir. Anik Suwandari., MP. selaku Dosen Pembimbing Anggota dan Ibu Dr. Triana Dewi Hapsari, SP, MP sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan motivasi, meluangkan waktu dan pikiran serta perhatiannya guna memberikan pengarahan demi terselesaikannya penulisan skripsi ini;

4. Dr. Ir. Evita Soliha Hani, MP. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis;

5. Seluruh Dosen Program Studi Agribisnis dan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Jember yang telah memberikan ilmu, bimbingan, saran dan kritik kepada penulis;

6. Keluargaku, Ibunda tercinta Siti Sundari S.Pd, Ayahanda tercinta Drs. Ismunarko, MM., Kakakku Andy Iswindarto, S.Hut dan Riza Isfabianarif,

SE., kakak iparku Fitriyani Kusumawardani dan Wijat Hersih serta keponakan tercinta Aditya Ismaulana Ibrahim, Muhammad Khalid Isbarra dan Fahrizal Zafran Ismail. Terima kasih untuk pengorbanan dan kasih sayang yang tak terhingga, serta doa dan semangat yang luar biasa terutama selama penyusunan skripsi ini;


(13)

xii

7. Sahabat-sahabat seperjuangan Monica Vigayana B.S., Faicha Donna T.D., Najwah, Mujiati, Siti Navisa, Iin Sugiarti, Tri Wijayanti, Taufiqur Rohman, Dodi Rakhmat R, Nisa Atin S.Z., Yuli Dwi Kusno, terima kasih atas waktu dan dukungan kalian selama ini.

8. Seluruh teman seperjuangan Agribisnis 2009 terima kasih atas waktu dan dukungan kalian selama ini yang telah memberikan warna baru dalam kehidupanku;

9. Ibu dan bapak kost, serta teman kost Nias 3 No. 21, Sakinah Jawas, Mulia Dila A, Desi Pertiwi S, Maulida Eka R, Anita Kurnia, Dienisa Amalia A, Ajeng, Faiz, terima kasih atas dukungan dan hiburan yang telah kalian berikan selama ini.

10.Administratur dan Kepala Bagian Pengolahan PG Watoetoelis yang telah bersedia membantu dalam penyusunan skripsi ini;

11.Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Jember, 12 Mei 2015 Penulis

Diar Iswardhani NIM. 091510601011


(14)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSEMBAHAN... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN PEMBIMBING... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

RINGKASAN ... vii

SUMMARY ... ix

PRAKATA ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Penelitian Terdahulu ... ... 7

2.2 Landasan teori ... ... 8

2.2.1 Proses Tebang Angkut Tebu ... 8

2.2.2 Proses Pengolahan Tebu di Pabrik Gula ... 10


(15)

xiv

2.2.4 Teori Efisiensi ... 32

2.3 Kerangka Pemikiran ... 38

2.4 Hipotesis ... 43

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 44

3.1 Penentuan Daerah Penelitian ... 44

3.2 Metode Penelitian ... 44

3.3 Metode Pengambilan Data ... 44

3.4 Metode Analisis Data ... 45

3.5 Definisi Operasional ... 49

BAB 4. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 51

4.1 Letak dan Keadaan Wilayah ... 51

4.2 Sejarah Pabrik Gula Watoetoelis ... 51

4.3 Lokasi Pabrik Gula Watoetoelis ... 52

4.4 Proses Pengolahan Tebu ... 54

4.5 Gambar Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula ... 66

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 70

5.1 Efisiensi Teknis Pabrik Gula Watoetoelis ... 70

5.1.1 Mill Extraction (ME) ... 73

5.1.2 Boiling House Recovery (BHR) ... 74

5.1.3 Overall Recovery (OR) ... 75

5.1.4 Pol Tebu ... 76

5.1.5 Rendemen Tebu ... 78

5.2 Kualitas Tebu Yang Digiling Pabrik Gula Watoetoelis ... 79

5.2.1 Kadar Nira ... 82

5.2.2 Pol Tebu ... 83

5.2.3 Nilai Nira Perahan Pertama (Nilia NPP) ... 83

5.2.4 Kadar Sabut ... 84


(16)

xv

5.3 Biaya Pokok Produksi Pabrik Gula Watoetoelis ... 87

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1 Kesimpulan ... 92

6.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

1.1 Produksi Tebu Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 – 2012 ... 3

3.1 Indikator Efisiensi Teknis Pabrik Gula ... 45

3.2 Parameter Kualitas Bahan Baku (Tebu) ... 47

3.3 Biaya Pokok Produksi Standar Nasional Tahun 2010 - 2013... 48

5.1 Nilai Mill Extraction (ME), Boiling House Recovery (BHR), Overall Recovery (OR), Pol Tebu dan Rendemen Tebu Tahun 2009-2013... 71

5.2 Nilai Kadar Nira, Pol, Nilai NPP, Sabut dan Trash Pabrik Gula Watoetoelis Pada Tahun 2009 - 2013... 81

5.3 Total Produksi Gula, Produksi Gula Milik PG, Nilai Tetes Milik PG, Biaya Total PG dan Biaya Pokok Produksi (BPP) PG Watoetoelis Tahun 2010 - 2013... 87

5.4 Biaya Pokok Produksi Standar Nasional Tahun 2010 – 2013.... 88

5.5 Biaya Pokok Produksi Standar Nasional dan PG Watoetoelis Tahun 2010 - 2013 ………... 89


(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Skema Proses Pengolahan Tebu ... 11

2.2 Kurva Biaya ………... 17

2.3 Skema Kerangka Pemikiran ………... 42

4.1 Skema Stasiun Gilingan ... 54

4.2 Skema Stasiun Pemurnian ………... 56

4.3 Skema Stasiun Penguapan ………... 58

4.4 Skema Stasiun Masakan ... 60

4.5 Skema Puteran HGF ... 62

4.6 Skema Puteran LGF ………... 63

4.7 Proses Pengolahan Gula PG Watoetoelis ... 65

4.8 Proses Pengangkutan dan Penggilingan Tebu ... 66

4.9 Mesin dan Nira Setelah Penggilingan ………... 67

4.10 Pemberian Belerang Pada Proses Pemurnian ... 68


(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman A Biaya Produksi PG Watoetoelis Tahun 2009 - 2013 ... 98

B Bagi Hasil Gula PG Watoetoelis Tahun 2009 - 2013 ... 99 C Produksi Gula, Produksi Gula Milik PG, Nilai Tetes Milik PG,

Biaya Produksi PG dan BPP PG Tahun 2010 - 2013... 102 D Kadar Nira%, Pol%, Nilai NPP, Sabut% dan Trash PG

Watoetoelis Tahun 2009 – 2013 ... 103 E Mill Extraction (ME), Boiling House Recovery (BHR), Overall

Recovery (OR), Pol Tebu dan Rendemen Tebu Tahun

2009-2013... 104 F Luas Areal Tebu, Produksi Tebu, Produktivitas Tebu,


(20)

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pertanian adalah salah satu sektor dari seluruh perekonomian. Terdapat pendapat yang ekstrims yang mengatakan, bahwa kemakmuran perekonomian tergantung pada kemakmuran pertanian dan tekanan pada income akan menekan pula seluruh perekonomian pertanian, hal ini barangkali benar di dalam masyarakat yang sangat bersifat agraris. Negara-negara yang berkembang, bagaimanapun juga pengaruh pertanian terhadap perekonomian sebagai keseluruhan menjadi berkurang (Bishop, 1979).

Pertanian di Indonesia sendiri tidak hanya mengacu pada pertanian subsektor hortikultura dan subsektor pangan saja, tetapi juga subsektor peternakan, subsektor perikanan, subsektor kehutanan dan subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan merupakan salah satu penghasil devisa negara, karena sebagian tanaman perkebunan diusahakan oleh perkebunan besar milik pemerintah ataupun milik swasta sedangkan sisanya merupakan usaha perkebunan milik rakyat. Produk perkebunan merupakan produk yang memiliki nilai jual baik dipasar nasional maupun internasional, sehingga produk perkebunan memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional, penerimaan ekspor dan penerimaan pajak.

Perkebunan memiliki beragam tanaman yang dapat dibudidayakan. Salah satu tanaman perkebunan yang berpotensi tumbuh di Indonesia adalah tanaman tebu. Tanaman tebu hanya dapat tumbuh di daerah tropis dan Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis. Menurut Sudiatso (1982), bahwa tebu termasuk family Graminae, genus Saccharum. Tiga spesies tebu, yaitu meliputi S. officinarum, S. robustum, dan S. spontaneum, serta dua sub spesies, yaitu S. sinensedan S. barberi. Saccharum Officinarum adalah jenis tebu yang banyak dikembangkan dan dibudidayakan karena kandungan sukrosa yang tinggi.

Tebu yang merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peranan yang penting bagi industri gula nasional karena tebu sebagai bahan baku utama pembuatan gula. Pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap tanaman tebu


(21)

ini, karena tebu merupakan bahan baku gula dan gula ada kebutuhan pokok sehari-hari khususnya bagi masyarakat Indonesia.Tebu dan gula di Indonesia dihasilkan di Pulau Jawa, khususnya propinsi Jawa Timur. Tebu yang merupakan bahan baku pembuatan gula sebagian besar dihasilkan di Propinsi Jawa Timur dan sebagian besar dihasilkan oleh petani tebu. Perkebunan tebu terdiri dari perkebunan rakyat, perkebunanan BUMN dan perkebun swasta. Perkebunan milik rakyat memiliki luasan lahan yang terbesar, oleh karena itu tebu yang dihasilkan di Jawa Timur sebagian besar dihasilkan oleh petani. Propinsi Jawa Timur juga menjadi produksi gula terbesar di pulau Jawa bahkan terbesar di Indonesia, karena terdapat banyak pabrik gula di Jawa Timur.

Pabrik gula mempunyai peranan yang sangat penting dalam memproduksi gula karena merupakan tempat berlangsungnya proses pengolahan tebu menjadi gula. Namun, sebagian besar pabrik gula (PG) di Jawa menghadapi kendala dalam memproduksi gula sehingga impor gula masih dilakukan. Hal ini dapat disebabkan karena faktor-faktor produksinya yang belum dikelola dengan baik sehingga mempengaruhi produksi gula nasional. Produksi gula nasional sebagian besar berasal dari produksi gula di Jawa Timur (Santoso, 2008).

Pabrik gula milik BUMN, terutama di Jawa, tanaman tebu yang menjadi bahan baku pembuatan gula dikelola oleh rakyat. PG BUMN melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu. PG lebih berkonsentrasi pada pengolahan, sedangkan petani sebagai pemasok bahan baku tebu. Sistem yang dipakai adalah bagi hasil, di mana petani memperoleh 66% dari produk gula petani, sedangkan PG 34%. Kondisi kurang menguntungkan yang juga terkait masalah ini adalah kepemilikan lahan petani tebu di Jawa yang sangat sedikit. Sebagian besar, sekitar 70%, petani tebu di Jawa adalah petani kecil dengan luas areal kurang dari 1 Ha. Kondisi ini membuat budidaya tebu di tingkat petani, jika tidak dikelola secara serius, akan jauh dari skala ekonomi. Alhasil, dari sisi hulu, efisiensi menjadi kata yang sulit ditemukan dalam pengusahaan tebu (Subiyono, 2014). Data di bawah ini merupakan data lima tahun terakhir produksi tebu di Propinsi Jawa Timur. Data produksi tersebut menunjukkan jumlah produksi pada masing-masing kabupaten dan kota yang terletak di Jawa Timur.


(22)

Tabel 1.1 Produksi Tebu Provinsi Jawa Timur Tahun 2008-2012 Kabupaten /

Kota

2008 2009 2010 2011 2012

Kabupaten:

Pacitan - - - - -

Ponorogo 18.900 14.722 10.541 11.420 14.250

Trenggalek 7.287 6.492 3.225 3.284 3.886

Tulungagung 41.434 36.652 34.560 47.310 50.622

Blitar 57.220 49.246 49.765 35.801 36.036

Kediri 110.617 97.784 80.534 127.217 168.102

Malang 181.880 162.356 154.707 204.655 307.883

Lumajang 99.416 84.248 53.475 60.345 67.308

Jember 48.251 41.981 42.616 28.114 31.815

Banyuwangi 18.260 14.358 14.561 4.488 18.381

Bondowoso 45.507 39.246 38.500 34.447 32.447

Situbondo 49.015 42.133 41.756 60.097 47.852

Probolinggo 18.973 15.468 14.320 9.207 13.207

Pasuruan 40.102 34.535 33.045 20.558 25.724

Sidoarjo 39.286 36.481 35.262 31.560 38.974

Mojokerto 72.113 62.843 61.350 65.645 77.620

Jombang 86.943 75.328 74.658 69.402 78.049

Nganjuk 29.293 25.091 24.445 24.862 22.884

Madiun 39.168 33.764 33.283 40.970 29.063

Magetan 47.939 44.157 41.420 44.924 37.260

Ngawi 43.689 35.127 26.200 27.526 35.526

Bojonegoro 7.778 3.729 3781 3.845 4.250

Tuban 6.207 4.753 4.221 4.307 3.912

Lamongan 18.445 15.468 11.542 11.846 18.288

Gresik 15.533 12.467 11.643 7.152 12.272

Bangkalan - - - - -

Sampang - - - - -

Pamekasan - - - - -

Sumenep - - - - -

Kota:

Kediri 18.397 16.287 16.517 3.250 3.267

Blitar - - - - -

Malang 5.199 2.579 2.616 4.457 3.932

Probolinggo 1.117 435 441 452 452

Pasuruan 1.229 628 135 135 135

Mojokerto 1.057 982 1.042 1.042 915

Madiun 5.270 2.946 960 960 805

Surabaya - - - - -

Batu - - 75 125 132

Jumlah 1.175.525 1.010.286 923.676 989.403 1.185.249 Sumber: Badan Pusat Statistik 2008-2012


(23)

Produksi tebu Jawa Timur dapat dilihat dari tabel 1.1 bahwa dari tahun 2008 - 2012dengan produksi tebu yang terletak di kabupaten dan kota jumlah produksinya tidak stabil. Produksi tebu pada tahun 2012 sebesar 1.185.249 ton dari 29 kabupaten dan 9 kota yang tersebar di Provinsi Jawa Timur. Jumlah produksi tebu tahun 2012 meningkat secara signifikan sebesar 195.846 ton dari tahun 2011. Kabupaten yang memiliki produksi tebu terbanyak adalah Kabupaten Malang, oleh sebab itu terdapat beberapa pabrik gula yang mengambil tebu ke Malang guna memenuhi kapasitas giling pabrik gula tersebut.

Salah satu pabrik gula yang mengambil bahan baku hingga Kabupaten Malang adalah PG Watoetoelis, untuk memenuhi kekurangan bahan baku yang di alami PG Watoetoelis. PG Watoetoelis adalah salah satu pabrik gula yang dimiliki PTPN (PT Perkebunan Nusantara) X dan terletak di Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo sendiri merupakan kabupaten yang berperan sebagai penyangga Ibu Kota Provinsi Jawa Timur yaitu Surabaya, sehingga banyak pabrik-pabrik yang berdiri di atas lahan sawah dan menyebabkan luas areal tebu di Kabupaten Sidoarjo berkurang.

Jarak yang semakin jauh untuk mengambil bahan baku hingga Kabupaten Malang menyebabkan biaya produksi yang di keluarkan PG Watoetoelis lebih banyak. Jarak yang jauh ini akan memerlukan waktu lebih lama supaya tebu sampai PG, akan berakibat pada berubahnya kualitas tebu karena tebu yang telah ditebang mengalami proses penguapan pada saat tebu menuju PG. PG Watoetoelis juga tidak bisa mengontrol secara langsung kinerja petani yang berada di lapangan, sehingga kualitas tebu yang akan digiling memiliki kualitas yang kurang baik. Batang tebu yang berdaun seharusnya dibersihkan supaya pada saat di giling tidak terlalu banyak sampah, tetapi petani tebu hanya membiarkan saja tebunya berdaun tanpa membersihkan daun tersebut. Daun-daun pada tebu yang tidak di bersihkan menyebabkan nira mentah yang dihasilkan sedikit, hal ini dikarenakan banyak nira mentah yang ikut terangkut sampah saat proses penggilingan. Kualitas yang kurang baik mengakibatkan biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh, sehingga keuntungan yang didapatkan oleh pabrik gula tidak maksimal.


(24)

Sasaran program revitalisasi industri gula ke arah swasembada gula adalah agar volume impor gula berkurang, ternyata juga masih belum sesuai harapan karena volume impor pada periode 2008-2012 terus meningkat dengan rata-rata sebesar 4,6%. Kontribusi pabrik gula BUMN terhadap produksi gula kristal putih nasional juga masih rendah sekitar 60%, walaupun 52 unit dari 62 PG nasional atau 84% dari PG berstatus BUMN, hal ini mengindikasikan rendahnya produktivitas PG di lingkungan BUMN karena PG milik BUMN rata-rata umurnya sudah tua (Subiyanto, 2014). Permasalahan yang dihadapi PG berkaitan dengan teknologi, antara lain: mesin-mesin sudah tua, adanya ketidaksesuaian antara kapasitas mesin dan kurangnya perawatan mesin. Mesin-mesin yang sudah tua menyebabkan mesin tidak dapat berfungsi sesuai dengan kapasitasnya. Kondisi tersebut berakibat pada tingkat efisiensi pada unit penggilingan, pengolahan, dan ketel (boiler) lebih rendah dari standar serta terjadinya kerusakan mesin pada waktu yang tidak diharapkan (Dewayana, 2007 dalam Dewayana, 2008).

PG Watoetoelis adalah pabrik gula yang dimiliki oleh BUMN yang berusia sekitar 175 tahun. PG Watoetoelis harus memproduksi gula dengan menggunakan mesin yang berusia tua. Mesin-mesin tersebut menandakan apakah pabrik gula mempunyai efisiensi secara teknis. Efisiensi teknis merupakan indikator yang dapat digunakan untuk melihat baik atau buruknya kinerja mesin dan bagaimana mesin dapat dalam memisahkan kotoran, air dan nira. PG Watoetoelis dapat dikatakan tidak efisien secara teknis, apabila produksi gula PG Watoetoelis tidak maksimal. Produksi gula yang tidak maksimal disebabkan akibat mesin yang ada di PG tidak mampu berkerja dengan baik. Berdasar latar belakang di atas maka dapat ditentukan perumusan masalah mengenai efisiensi teknis, kualitas tebu dan biaya pokok produksi gula PG Watoetoelis.

1.2Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah efisiensi teknis PG. Watoetoelis?

2. Bagaimanakah kualitas tebu yang digiling PG. Watoetoelis? 3. Bagaimanakah biaya pokok produksi gula PG. Watoetoelis?


(25)

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui efisiensi teknis PG. Watoetoelis.

2. Untuk mengetahui kualitas tebu yang digiling PG. Watoetoelis. 3. Untuk mengetahui biaya pokok produksi gula PG. Watoetoelis. 1.3.2 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi PG. Watoetoelis untuk memberikan rekomendasi yang dapat menguntungkan bagi PG. Watoetoelis dan petani tebu.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk peneliti selanjutnya.


(26)

7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Susanto (2011), pada penelitiannya yang berjudul Analisis Efisiensi Pabrik Gula Wringinanom Kabupaten Situbondo menyatakan bahwa PG Wringinanom inefisien teknis selama 10 tahun karena berada di bawah efisiensi normal. Nilai

Mill Extraction (ME) 89,72%, Boiling House Recovery (BHR) 88,53%, Overall Recovery (OR) 81,93%, Pol 8,80% dan Rendemen 6,36%. Kualitas bahan baku tebu yang digiling PG Wringinanom termasuk rendah/tidak efisien, karena nilai parameter teknis tanaman utamanya selama 10 tahun untuk nilai Kadar Nira 80,00%, Sabut 12,89%, NNPP (Nilai Nira Perahan Pertama) 9,52% dan Trash

3,87%. Biaya Pokok Produksi (BPP) gula termasuk tinggi selama tahun 2008-2010 dengan nilai BPP tahun 2008: Rp 5.408,- per kg, tahun 2009: Rp 7.309,-per kg dan tahun 2010: Rp 9.220,-per kg yang berada di atas BPP nasional selama tahun 2008-2010 yaitu, Rp 4.900,- per kg, Rp 5.100,- dan Rp 6.250,- per kg, sehingga gula yang dihasilkan PG Wringinanom tidak kompetitif.

Shinta dan Pratiwi (2011), pada penelitiannya yang berjudul Analisis Faktor Produksi Pabrik Gula Kebon Agung Malang yang membahas tentang efisiensi Pabrik Gula Kebon Agung. Kinerja stasiun gilingan belum mencapai standar efisien, yang ditunjukkan dari nilai Mill Extraction (ME) sebesar 94%, Boiling House Recovery (BHR) 79%, Overall Recovery (OR) 74%. Keadaan pabrik gula yang mengalami inefisiensi mesin tersebut, menyebabkan pabrik gula hanya mampu mecapai kapasitas produksi 402,35 ton gula per hari atau sebesar 64,48%. Nilai ekonomis yang mampu dicapai dengan kapasitas produksi tersebut adalah Rp 2.011.750.000 per hari, sedangkan kapasitas produksi yang tidak mampu dicapai oleh pabrik gula sebesar 239,65 ton gula per hari atau sebesar 38,41%. Efisiensi mesin (teknis) yang mampu dicapai oleh pabrik adalah sebesar 74% (4,93%/hari) berdasarkan standar indikator 85%, sedangkan tingkat efisiensi sebesar 11% (0,73%/hari) tidak mampu dicapai oleh pabrik, apabila dibandingkan dengan kapasitas produksi yang tidak dapat dicapai pabrik adalah sebesar 38,41%. Penyebab mesin tidak dapat mencapai kapasitas produksi gula adalah karena


(27)

inefisiensi pada mesin-mesinnya sebesar 0,73% dan sisanya sebesar 37,68% disebabkan karena faktor-faktor lain seperti kualitas bahan baku, manajemen pabrik yang belum optimal dan lain-lain.

Hasan (2006), pada penelitiannya yang berjudul Analisis Harga Pokok Produksi Gula Pada Petani Tebu Rakyat Yang Tergabung Dalam APTR PG. Soedhono Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur yang membahas tentang harga pokok produksi gula per kilogram Rp. 4.500,00 per Kg dan harga ini lebih tinggi dari ketetapan pemerintah, yaitu Rp. 3.800,00 per Kg. Total biaya pabrik gula mencapai Rp. 19.378.000,00. Hal ini memberikan gambaran bahwa harga pokok yang dihitung peneliti lebih efisien jika dibandingkan dengan perhitungan pabrik. 2.2 Landasan Teori

2.2.1 Proses Tebang Angkut Tebu

Tebang angkut merupakan kegiatan yang rumit dan sangat penting dalam proses budidaya tebu karena mempengaruhi besarnya rendemen gula. Kehilangan gula yang terjadi pada kegiatan penebangan sampai pengolahan adalah 35% dan kehilangan terbesar terjadi pada kegiatan tebang sampai giling, yaitu 25%. Pengangkutan yang terlambat akan mengakibatkan penundaan proses penggilingan yang pada gilirannya menurunkan rendemen. Penundaan giling dapat menurunkan kadar sukrosa sebesar 0,78% per hari dan menurunkan tingkat kemurnian gula sebesar 3,55% per hari (Sila, 1995 dalam Haryanto, 2001).

Menurut Bantacut (2012), menyatakan bahwa sistem tebang yang digunakan dalam Standard Operasional Procedure (SOP) di PG Sindang Laut dan PG Tersana Baru adalah penebangan secara manual dengan tenaga manusia. Penebangan dilaksanakan mengacu pada jadwal tebang yang telah tersusun berdasarkan perhitungan T-score dan disesuaikan pula dengan kapasitas giling pabrik sehingga tidak menyebabkan kekurangan dan kelebihan tebu. Penyesuaian

tebangan dengan kapasitas giling diimplementasikan melalui pembatasan “keper”

(surat kuota angkutan tebu) dan sisa pagi sebesar 14% dari kapasitas giling atau tiga jam kapasitas giling. Kedua Pabrik Gula menerapkan waktu tunda maksimal antara tebu setelah ditebang dan tebu masuk gilingan adalah 24 jam.


(28)

Pemanenan atau penebangan dilakukan terhadap tebu segar. Pelaksanaan penebangan dilakukan dengan penerapan tebang rata tanah untuk plant cane (PC), keprasan 1, dan keprasan 2, yaitu dengan tinggi maksimal tunggak 5 cm. Tebu yang telah ditebang dan yang akan digiling harus bersih dari sogolan (tebu muda), pucuk, dan daun kering. Kandungan sampah maksimal yang diizinkan adalah 5%. Pengangkutan tebu yang dilakukan oleh PG Sindang Laut dan PG Tersana baru menggunakan truk dengan kapasitas 5,5–6,0 ton per unit. Selain truk, kedua pabrik gula menggunakan lori sebagai alat angkut. Pada dasarnya kedua Pabrik Gula menggunakan prinsip First In First Served. Pabrik gula menggunakan sistem tebang dan sistem muat secara manual yaitu dengan tenaga manusia. Pelaksanaan penebangan dilakukan dengan penerapan tebang rata tanah untuk PC, keprasan 1, dan keprasan 2, yaitu dengan tinggi maksimal tunggak 5 cm. Kandungan sampah maksimal yang diizinkan adalah 5%. Setelah ditebang tebu diikat untuk memudahkan pemuatan tebu ke truk yang dilakukan oleh penebang. Waktu proses pemuatan berkisar antara 0,5–1,5 jam/truk tergantung pada banyaknya tenaga muat. Proses pemuatan dilakukan secepatnya setelah proses tebang tebu. Akan tetapi proses pemuatan juga dipengaruhi oleh tersedianya alat angkut di kebun tebu yang akan ditebang (Bantacut, 2012).

Rendahnya rendemen yang bersumber dari teknik budidaya tebu yang kurang benar, antara lain disebabkan oleh tingkat kebersihan tebu dan kemasakan tebu. Mutu tebu yang baik adalah bersih: tebu tidak mengandung kotoran berupa pucuk, bung (sogolan), klaras, tanah dan kotoran lain, manis: tebu pada saat ditebang pada tingkat kemasakan optimal yaitu selisih brix atas dan bawah < 1%;

segar: tebu saat ditebang dari kebun sampai dengan digiling tidak lebih dari 36 jam. Faktor kedua yang sangat penting adalah belum optimalnya umur tebu saat ditebang. Karena keterbatasan kapasitas pabrik dan pada masa puncak produksi, masa tebang optimum sering menjadi rebutan antara pihak PG dengan petani dan antar petani (Sutrisno, 2009).

Proses pengangkutan tebu dilakukan dengan menggunakan truk dan lori. PG Sindang Laut memiliki komposisi alat angkut, yaitu 90% truk dari total alat angkut dan sisanya 10% dengan menggunakan lori. PG Tersana Baru memiliki


(29)

komposisi alat angkut, yaitu 83% truk dan 17% lori. Pengangkutan dengan menggunakan lori tersebut dilakukan untuk kebun-kebun yang masih terjangkau oleh rel-rel lori, atau kebun-kebun yang yang letaknya dekat dengan pabrik. Kapasitas angkut masing-masing, yaitu untuk truk berkapasitas 6 ton/unit dan untuk lori berkapasitas 2.5 ton/unit. Sistem antrian yang ada di masing-masing PG adalah FIFO (First In First Out), dimana tebu yang datang lebih dahulu ke pelataran pabrik akan digiling lebih dahulu juga. Dalam pelaksanaannya sistem ini hanya terjadi pada direct feeding, yaitu tebu yang masuk ke gilingan tanpa dipindahkan ke lori. Tebu-tebu untuk persediaan giling malam hari adalah tebu yang tersedia di lori-lori yang berada di pelataran tebu. Tebu-tebu yang tersedia dari lori terebut berasal dari truk-truk yang datang ke pelataran pada saat pabrik masih menggiling tebu-tebu sisa malam hari. Selanjutnya jika tebu persediaan telah habis digiling, maka yang terjadi adalah direct feeding. Untuk memenuhi persediaan tebu giling malam hari, dilakukan pemindahan tebu ke lori pada saat terjadi antrian panjang atau pada saat sore hari (Bantacut, 2012).

2.2.2 Proses Pengolahan Tebu di Pabrik Gula

Menurut Rohmatulloh (2009), bahwa untuk mendapatkan hasil gula Kristal murni, biasanya pada industri gula dikenal tiga metode pengolahan. Metode defeaksi (penambahan zat kapur tohor), sulfitasi (penambahan susu kapur dan gas SO2), dan karbonatasi (pemberian susu kapur dan gas CO2). Ketiga metode memiliki kelebihan dan kekurangan ditinjau dari aspek biaya produksi, kualitas gula, kehilangan gula selama proses dan pemasaran gula.

Menurut Anantha (2007), menyatakan bahwa bahan baku utama untuk pengolahan gula di PG Madukismo adalah tebu. Sementara bahan bantunya adalah Ca(OH)2, SO2, flokulan, NaOH, Na3PO4 dan air imbibisi. Proses pengolahan tebu menjadi gula membutuhkan energi yang cukup besar. Sebagai penghasil tenaga uap digunakan 5 buah ketel pipa air New Mark dengan kapasitas 16 ton/jam masing-masing 440 m2 dengan tekanan kerja 15 kg/cm2 dan satu buah ketel chen-chen kapasitas 40 ton/jam. Uap yang dihasilkan dipakai untuk menggerakkan alat-alat berat, memanaskan dan menguapkan nira dalam pan


(30)

penguapan, serta untuk pembangkit tenaga listrik. Sebagai bahan bakar dipakai ampas tebu yang mengandung kalori sekitar 1.800 Kal/kg dan kekurangannya ditambah dengan kayu bakar dan BBM. Secara umum proses pengolahan tebu menjadi gula pasir melalui tahapan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Skema Proses Pengolahan Tebu 1. Pemerahan Nira (Extraction)

Tebu setelah ditebang dikirim ke stasiun gilingan (ekstraksi) untuk dipisahkan antara bagian padat (ampas) dengan cairannya yang mengandung gula (nira mentah) melalui alat-alat berupa Unigrator Mark IV dan Cane Knife

digabung dengan 5 gilingan, masing-masing terdiri dari 3 rol dengan ukuran

36”x64”. Jumlah ampas yang diperoleh sekitar 35% dan digunakan untuk bahan bakar stasiun ketel (pusat tenaga), sedangkan nira mentah akan dikirim ke bagian pemurnian untuk diproses lebih lanjut. Untuk mengurangi kehilangan gula karena bakteri dilakukan sanitasi di stasiun gilingan.

Gilingan Ekstraktor Pemanasan I

Pemanasan II Pemurnian

Penguapan Pan Masakan

Gula Kristal Putih (GKP) Tebu

SO2 SO2, Ca(OH)2

H2O


(31)

2. Pemurnian Nira

Pemurnian nira dilakukan dengan sulfitasi. Nira mentah ditimbang, dipanaskan pada suhu 70-75oC, direaksikan dengan susu kapur dalam Defekator dan diberi gas SO2 dalam peti sulfitasi sampai pH 7,0, kemudian dipanaskan lagi sampai suhu 100 – 105oC. Kotoran yang dihasilkan diendapkan dalam peti pengendap (Door Clarifier) dan disaring menggunakan Rotary Vacuum Filter

(alat penapis hampa). Endapan padatnya (blotong) bisa digunakan sebagai pupuk organik. Kadar gula dalam blotong ini di bawah 2,0%. Nira jernihnya dikirim ke stasiun penguapan.

3. Penguapan Nira

Nira jernih dipekatkan di dalam pesawat penguapan dengan sistem multiple effect yang disusun secara interchangeable agar dapat dibersihkan secara bergantian. Nira encer dengan padatan terlarut 16% dapat naik menjadi 64% dan disebut nira kental yang siap dikristalkan di stasiun kristalisasi atau stasiun masakan. Total luas bidang pemanas adalah 5.990 m2. Nira kental yang berwarna gelap ini diberi gas SO2 sebagai bleaching/pemucatan dan siap untuk dikristalkan. 4. Kristalisasi

Nira kental dari stasiun penguapan ini diuapkan lagi dalam pan kristalisasi sampai lewat jenuh hingga timbul kristal gula. Sistem yang dipakai yaitu A-C-D dimana gula A sebagai produk, gula C dan D dipakai sebagai bibit (seed), serta sebagian lagi dilebur untuk dimasak lagi. Pemanasan dengan menggunakan uap dengan tekanan di bawah atmosfer dengan vakum sebesar 65 cm Hg, sehingga suhu didihnya hanya 65oC, jadi sukrosa tidak rusak akibat kena panas tinggi. Hasil masakan merupakan campuran kristal gula dan larutan (stroop). Sebelum dipisahkan di stasiun puteran, gula lebih dahulu didinginkan dalam palung pendingin (kultrog).

5. Stasiun Sentrifugasi

Pada stasiun putaran dilakukan bertujuan untuk memisahkan gula kristalnya dari stroop, klare dan tetes. Pemutaran tersebut menggunakan mesin pemisah

(centrifuge) yang terdiri dari basket berdinding saring yang berputar. Alat ini bekerja dengan gaya sentrifugal. Hasil sentrifugasi adalah kristal gula (belum


(32)

kering dan masih berwarna merah/belum murni) dan molase (tetes tebu). Kristal gula yang berwarna merah ini disebabkan adanya lapisan tipis tetes yang masih tertinggal pada permukaan kristal sukrosa. Kristal gula ini masih membawa kotoran, untuk membersihkan kotoran dapat dilakukan dengan cara membasahi kristal gula dengan larutan sukrosa jenuh kemudian diputar sekali lagi, sehingga diperoleh kristal gula yang bersih.

6. Penyelesaian dan Gudang Gula

Dengan alat penyaring gula, gula SHS dari puteran SHS dipisahkan antara gula halus, gula kasar dan gula normal. Gula halus dan kasar dilebur, kemudian dikristalisasi lagi. Gula normal dikirim ke gudang dan dikemas dalam karung plastik.

Menurut Subiyanto (2012), bahwa dalam proses produksi gula kristal putih, sistem sulfitasi dan karbonatasi merupakan pilihan teknologi pada proses pemurnian. Proses pemurnian sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu teknologi inti pada proses pabrikasi gula kristal putih karena sangat menentukan kualitas gula yang dihasilkan. Proses pemurnian dimaksudkan untuk memisahkan material bukan gula (kotoran) dari nira mentah seoptimal mungkin, sehingga diperoleh nira encer yang jernih dan kondusif untuk dikristalkan. Pemurnian sendiri hanya merupakan salah satu tahapan proses dalam sistem produksi. Pemurnian dalam proses produksi gula menggunakan prinsip kerja penangkapan kotoran, pengendapan, dan penyaringan.

Menurut Hasanah (2013), menyatakan bahwa kapur tohor (CaO) dijadikan susu kapur untuk digunakan pada proses pemurnian sulfitasi alkalis. Hal ini dikarenakan sukrosa tidak tahan terhadap suasana asam dan akan stabil jika ditambahkan basa. Tujuan dari pencampuran susu kapur dengan nira agar terjadi reaksi penetralan antara ion-ion fosfat yang ada dalam nira dengan ion-ion Ca2+ dalam susu kapur sehingga terbentuk endapan. Endapan ini bersifat abrsorbsi dan mengikat partikel-partikel halus (koloid) yang melayang sehingga membentuk gumpalan-gumpalan.


(33)

Gula merupakan salah satu komoditas pangan sumber kalori. Di samping sebagai sumber kalori, gula juga berperan sebagai pemanis serta pengawet. Berdasarkan asal bahan pembuatnya, gula dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu gula alami dan gula sintetis. Gula alami merupakan gula yang terbuat dari bahan-bahan alami yang berasal dari bagian atau sari tanaman tertentu, seperti tebu, kelapa, aren, bit, jagung dan stevia. Gula pasir, gula merah, gula bit, HFCS

(High Fructose Corn Sugar), dan gula stevia merupakan beberapa contoh dari gula alami. Kebalikan dari gula alami adalah gula sintetis, yaitu gula yang terbuat dari bahan-bahan kimiawi. Contoh gula sintetis, antara lain sakarin dan siklamat. Gula sintetis dikenal sebagai gula yang mempunyai tingkat kemanisan ratusan kali lipat lebih tinggi dibanding gula alami. Penggunaan gula alami dan gula sintetis semakin meluas dalam masyarakat karena kebutuhan gula yang semakin meningkat. Diantara jenis gula-gula tersebut penggunaannya ada yang bersifat substitusi dan ada pula yang bersifat komplementer, baik yang derajat substitusi / komplementernya tinggi maupun rendah (Masyhuri, 2005).

Menurut Yuwanti (2012), menyatakan bahwa ada beberapa istilah yang digunakan dalam nira yaitu Brix (derajat brix), Polarisasi (derajat pol atau pol) dan HK (hasil bagi kemurnian). Brix (derajat brix) adalah jumlah zat padat terlarut (gr) dalam 100 gr larutan. Pengukuran derajat Brix bisa dilakukan dengan refraktometer (berdasar indeks bias), piknometer (berdasar berat jenis) atau hydrometer (timbangan brix). Polarisasi adalah jumlah gula (gr) yang ada dalam 100 gr larutan, pengukuran polarisasi dengan menggunakan polarimeter secara langsung. HK (hasil bagi kemurnian) = (Pol/Brix) x 100 %. Brix, polarisasi dan HK nira yang diperoleh dari 5 seri penggiling.

Menurut Sugiyarto (1992), proses kristalisasi merupakan salah satu langkah penting dalam rangkaian proses di pabrik gula, dimana akan dikerjakan pembuatan kristal gula dari larutan yang mengandung gula serta memisahkan kotoran yang masih terkandung di dalam larutan tersebut. Dengan sendirinya di dalam proses ini harus selalu diusahakan agar tercapai:

 Hasil kristal gula yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan / dikehendaki.  Menekan kehilangan gula yang sekecil-kecilnya.


(34)

 Waktu proses sesingkat-singkatnya.  Biaya proses serendah-rendahnya.

Menurut Supriyadi (2002), terdapat 3 macam rendemen yang menentukan berapa besar perolehan gula bagi petani yang menggilingkan tebunya di sebuah pabrik, yaitu:

1. Rendemen Contoh. Rendemen contoh merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah suatu kebun tebu sudah mencapai masak optimal atau belum. Dengan kata lain rendemen contoh adalah untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa tingkat rendemen yang sudah ada. Dengan rendemen contoh maka dapat diketahui kapan saat tebang yang tepat dan kapan tanaman tebu mencapai tingkat rendemen yang maksimal.

2. Rendemen Sementara. Perhitungan rendemen sementara perlu dilaksanakan untuk menentukan bagi hasil gula, tetapi sifatnya masih sementara. Sedangkan penentuan hasil yang benar akan diperhitungkan setelah rendemen nyata diketahui.

3. Rendemen Efektif. Rendemen efektif disebut juga rendemen nyata atau rendemen terkoreksi. Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling habis dalam jangka waktu tertentu.

Bagi hasil gula yang diterima petani dihitung berdasarkan rendemen sementara dikalikan berat tebu petani dikali ratio bagi hasil. Ratio bagi hasil gula antara petani dengan pabrik penggiling yang ditetapkan bersifat progresif, semakin tinggi rendemen yang didapat semakin besar ratio bagian petani. Jika rendemen yang didapat antara 6 - < 7% bagi hasil gula petani sebesar 66% dan pabrik gula 34%. Jika rendemen yang didapat antara 7 – 8% bagi hasil petani sebesar 68% dan pabrik gula sebesar 32%. Sedangkan jika rendemen yang didapat > 8% maka bagi hasil gula petani sebesar 70% dan pabrik gula 30% (Indrawanto, 2010).

Menurut Manalu (2006), menyatakan bahwa stasiun penimbangan tebu, yang perlu diperhatikan adalah kalibrasi alat timbangan, proses penimbangan apakah sesuai prosedur dan pencatatan hasil timbangan. Stasiun laboratorium meliputi kalibrasi peralatan laboratorium, proses pengambilan sampel nira


(35)

perahan pertama pada gilingan 1, analisis brix dengan refraktometer, hydrometer atau piknometer, analisis pol dengan polarimeter/sakarimeter dan pencatatan hasil analisis. Hasil dari analisis sampel di laboratorium inilah yang disebut dengan rendemen sementara (RS). Stasiun penimbangan gula melipui kalibrasi alat, akurasi timbangan dan pencatatan hasil timbangan. Hasil gula dibagi bobot tebu yang digiling akan menghasilkan nilai rendemen nyata. Jika nilai rendemen nyata lebih besar dari RS, maka selisihnya akan dibagi proporsional berdasarkan RS. Jika rendemen nyata lebih kecil dari RS, nilai RS akan dipakai sebagai dasar bagi hasil guna petani dan gula PG.

2.2.3 Teori Biaya Produksi

Fungsi produksi menghubungkan input dengan output. Fungsi tersebut menentukan kemungkinan output maksimum yang bisa diproduksi dengan sejumlah input tertentu, atau sebaliknya kuantitas input minimum yang diperlukan untuk memproduksi suatu tingkat output tertentu. Fungsi produksi ditentukan oleh teknologi yang tersedia bagi sebuah perusahaan. Karena itu, hubungan input/output untuk setiap sistem produksi merupakan suatu fungsi dan tingkat teknologi dari pabrik, peralatan, tenaga kerja, bahan-bahan dan lain-lain yang digunakan perusahaan tersebut. Setiap perbaikan teknologi, seperti pemakaian komputer untuk melakukan proses pengendalian yang memungkinkan sebuah perusahaan industri bisa memproduksi sejumlah output tertentu dengan bahan baku yang lebih sedikit energi dan tenaga kerja yang lebih sedikit, atau adanya suatu program latihan yang bisa meningkatkan produktivitas tenaga kerja, akan menghasilkan sebuah fungsi produksi yang baru (Arsyad, 1991).

Terdapat 3 konsep biaya, yang pertama konsep biaya oportunitas

(opportunity cost) atau yang sering juga disebut biaya sosial (social cost) adalah pendapatan bersih yang dikorbankan atau penghematan biaya yang tidak jadi diperoleh karena kita mengerjakan atau memilih alternatif. Konsep biaya yang kedua adalah biaya akuntansi. Akuntansi biasanya memandang biaya sebagai pengeluaran nyata (out of pocket), biaya historis (historical cost), depresiasi


(36)

Konsep biaya yang terakhir adalah konsep biaya ekonomi. Seorang ekonom memandang biaya sebagai pengeluaran yang sepantasnya atau sewajarnya saja untuk menghasilkan sesuatu barang atau jasa (Nicholson, 1999).

Biaya produksi dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak dipengaruhi besar kecilnya produksi, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi. Biaya total merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel, sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut (Rahardja dan Manurung, 2000) :

TC = FC + VC Keterangan :

TC = total biaya (total cost) FC = biaya tetap (fixed cost)

VC = biaya variabel (variable cost)

Kurva biaya-biaya untuk fungsi produksi dapat dilihat pada Gambar 2:

Keterangan :

TC = Total Biaya (Total Cost)

TVC = Total Biaya Variabel (Total Variabel Cost) TFC = Total Biaya Tetap (Total Fixed Cost) Q = Jumlah (Quantity)

Gambar 2.2. Kurva Biaya Biaya (Rp) TC

TVC

TFC Q


(37)

Kurva FC atau TFC yang mendatar menunjukkan bahwa besarnya biaya tetap tidak tergantung pada jumlah produksi. Kurva VC atau TVC membentuk huruf S terbalik menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat produktivitas dengan besarnya biaya. Kurva TC sejajar dengan TVC menunjukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan biaya total semata-mata ditentukan oleh perubahan biaya variabel. Biaya tetap total (TFC) yaitu biaya yang secara total tetap pada waktu tertentu (jangka pendek) selama perusahaan masih belum dalam keadaan kapasitas penuh dan biaya per unitnya berubah-ubah secara proporsional dengan volume produksi atau penjualan. Biaya variabel total (TVC) yaitu biaya yang secara total berfluktuasi secara porposional dengan perubahan volume produksi atau penjualan (Rahardja dan Manurung, 2000).

Menurut Sumarjono (2004), menyatakan bahwa konsep adalah lambang-lambang yang dipergunakan untuk menyatakan buah pikiran yang mempunyai arti khusus, sedangkan hukum adalah peraturan-peraturan tentang sesuatu hal yang telah disepakati kebenarannya. Konsep dan hukum ekonomi di bidang produksi adalah sebagai berikut:

1. Konsep Efisiensi

Ada dua konsep efisiensi dalam penyelenggaraan produksi yaitu efisiensi teknis dan ekonomis. Efisiensi teknis menyatakan perbandingan output fisik dengan input fisik telah mencapai maksimum. Efisiensi ekonomis menyatakan kondisi proses produksi telah mencapai keuntungan yang maksimum berupa nilai uang (bukan berupa hasil produk fisik).

2. Konsep Biaya Alternatif Terbaik/Opportunity Cost

Opportunity Cost adalah nilai produk yang tidak diproduksikan karena inputnya telah digunakan untuk menghasilkan produk lain. Jika input X telah digunakan untuk produksi Y1 dengan laba Rp 1000,-, sedangkan penggunaan input X untuk produksi alternatifnya Y2 adalah Rp 2000,-, maka Opportunity Cost Y1 adalah Rp 2000,-. (Rp 2000,- adalah laba terbaik dari laba yang mungkin dapat diperoleh).


(38)

3. Konsep Keuntungan Maksimum dan Kerugian Minimum

Keuntungan maksimum dan kerugian minimum merupakan perwujudan perilaku produsen yang mengejar kepuasan maksimum dari apa yang dikerjakan. Dengan menggunakan konsep tersebut memudahkan analisis kuantitatif dari perilaku produsen yang bersifat abstrak.

4. Konsep Optimasi

Optimasi adalah keputusan produsen bekerja dengan optimal (optimum = seimbang = baik). Keadaan ini tercapai jika keuntungan maksimum tercapai atau dalam kerugian minimum.

5. Konsep Jangka Waktu Produksi

Ada dua jangka waktu yang menjadi perhatian dalam analisis produksi yaitu jangka pendek (Short Run) dan jangka panjang (Long Run). Short Run adalah waktu yang cukup lamauntuk mengubah output tanpa mengubah kapasitas usaha (perusahaan). Sedangkan Long Run adalah jangka waktu yang cukup lama untuk mengubah output dengan mengubah kapasitas usaha (perusahaan). 6. Konsep Mekanisme Pasar

Mekanisme pasar adalah bekerjanya perekonomian melalui pasar. Dalam mekanisme pasar, tingkat harga ditentukan oleh kebebasan bertindak sebagai agen-agen ekonomi yang menghasilkan kekuatan permintaan dan penawaran. 7. Konsep Marjinal/Marginal

Konsep adalah perbandingan antara nilai tambahan produk dengan nilai tambahan satu satuan input. Konsep ini untuk menentukan tingkat optimalisasi produksi.

Menurut Soekartawi (1986), menyatakan bahwa harga lapang produksi

(field price of output) adalah sejumlah nilai tambahan dari nilai produksi sebelum waktu panen. Petani yang akan menjual sebagian atau semua produksinya akan berhubungan dengan harga lapang produksi ini. Sedangkan sejumlah produksi yang dikonsumsi diperhitungkan dengan harga lapang yang diluangkan

(opportunity unity field price) dari produksi tersebut. Sedangkan harga lapang nilai produksi (money field price of output) adalah harga pasar dari produksi dikurangi dengan biaya panen, penyimpanan, transportasi dan pemasaran.


(39)

Menurut Indarwati (2009) biaya produksi dapat diperkecil melalui efisiensi penggunaan faktor produksi efisiensi ini dapat diketahui dengan membandingkan nilai produksi marginal (NPM) dengan biaya korbanan marginal (BKM) dari faktor produksi tersebut. Penggunaan faktor produksi dikatakan belum efisien bila NPM dibandingkan dengan BKM lebih besar dari 1, tidak efisien jika kurang dari 1, dan efisien sama dengan 1.

Menurut Assauri, 2008 (dalam Ramadhan, 2013), menyatakan bahwa proses produksi dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Proses produksi yang terputus-putus (intermittent process)

Perencanaan produksi dalam perusahaan pabrik yang mempunyai proses produksi yang terputus-putus, dilakukan berdasarkan jumlah pesanan (order) yang diterima. Oleh karena kegiatan produksi yang dilakukan berdasarkan pesanan (order), maka jumlah produknya biasanya sedikit atau relatif kecil, sehingga perencanaan produksi yang dibuat semata-mata tidak berdasarkan ramalan penjualan (sales forecasting), tetapi terutama didasarkan atas pesanan yang masuk. Perencanaan produksi dibuat untuk menentukan kegiatan produksi yang perlu dilakukan bagi pengerjaan setiap pesanan yang masuk. Ramalan penjualan ini membantu untuk dapat memperkirakan order yang akan diterima, sehingga dapat diperkirakan dan ditentukan bagaimana mesin dan peralatan yang ada agar mendekati optimum pada masa yang akan datang, dan tindakan-tindakan apa yang perlu diambil untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang mungkin terdapat. Perencanaan produksi yang disusun haruslah fleksibel, supaya peralatan produksi dapat dipergunakan secaraa optimal.

2. Proses produksi yang terus-menerus (continuous process)

Perencanaan produksi pada perusahaan yang mempunyai proses produksi yang terus-menerus, dilakukan berdasarkan ramalan penjualan. Hal ini karena kegiatan produksi tidak dilakukan berdasarkan pesanan akan tetapi untuk memenuhi pasar dan jumlah yang besar serta berulang-ulang dan telah mempunyai rancangan selama jangka waktu tertentu


(40)

Menurut Utami (2009), menyatakan bahwa biaya produksi adalah semua pengorbanan yang dikeluarkan untuk suatu proses produksi yang dinyatakan dalam bentuk uang menurut harga yang berlaku. Biaya privat merupakan kurva biaya yang menunjukkan biaya minimum produksi pada berbagai tingkat input. Biaya privat berdasarkan realitas dibagi menjadi 2 kelompok:

1. Biaya eksplisit

Biaya eksplisit ialah biaya yang nyata-nyata dikeluarkan dalam memperoleh faktor produksi (nilai dan semua input yang dibeli untuk produksi).

2. Biaya implisit

Biaya implisit disebut juga imputed cost (ongkos tersembunyi), ialah taksiran biaya atas faktor produksi yang dimiliki sendiri oleh perusahaan dan ikut digunakan dalam proses produksi.

Biaya produksi adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk dapat menghasilkan output. Produksi dapat dilaksanakan apabila tersedia faktor-faktor produksi. Seseorang pengusaha yang ingin melakukan produksi tentu harus terlebih dahulu menyediakan faktor-faktor produksi itu. Faktor produksi itu tidak dapat diperoleh secara cuma-cuma, melainkan harus dibeli. Sebabnya adalah karena tidak ada satu faktor produksi pun yang merupakan barang bebas, semuanya adalah barang ekonomis yang jumlah atau tersedianya adalah langka

(scare) sehingga untuk mendapatkannya tentu harus dilakukan pengorbanan (Rosyidi, 2000).

Menurut Robyanto (2013), menyatakan bahwa menghitung efisiensi biaya persediaan yang dicapai sebelum dan sesudah diadakannya analisis persediaan yang efektif.

Efisiensi biaya = TIC sebelum EOQ – TIC setelah EOQ Dimana:

TIC = Total biaya persediaan

EOQ = Jumlah pembelian yang ekonomis

Keuntungan maksimum pada jangka pendek dapat dicapai dengan menyamakan nilai produktivitas marjinal dari output dengan biaya korbanan marjinal atau harga input yang bersangkutan. Selain itu, upaya pencapaian


(41)

efisiensi ekonomis produksi juga dapat dilakukan dengan cara memperluas skala usaha. Perluasan skala usaha akan berdampak terhadap penurunan biaya input tetap dan total yang semakin menurun akibat kenaikan jumlah output yang dihasilkan (Mandaka dan Hutagaol, 2005).

Pengendalian biaya produksi dengan menggunakan sistem biaya standar merupakan salah satu metode atau cara yang sangat penting dalam kegiatan suatu perusahaan manufaktur. Sebagaimana diketahui biaya produksi meliputi beberapa komponen biaya yaitu, biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik. Biaya-biaya standar untuk biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik memberikan cara paling efektif untuk menetapkan berapa penentuan dimuka suatu biaya, sehingga dengan ditetapkannya biaya standar maka manajemen dapat mengendalikan dan merencanakan biaya produksi secara efektif (Edison dan Sapta, 2010).

Menurut Mankiw (2000), menyatakan bahwa faktor-faktor produksi (factors of production) adalah input-input yang digunakan untuk memproduksi berbagai barang dan jasa. Secara umum, tenaga kerja, tanah, dan modal dipandang sebagai tiga faktor produksi terpenting. Ketika sebuah perusahaan komputer memproduksi perangkat lunak (software) berupa sebuah program, perusahaan tersebut menggunakan waktu kerja si pemrogram (tenaga kerja), ruangan fisik tempat laboratorium atau kantor berada (tanah), serta bangunan dan berbagai peralatan komputer (modal). Demikian pula, setiap kali pompa bensin menjual bahan bakar, perusahaan menggunakan jasa pengisian bensin (tenaga kerja), ruangan fisik di mana pompa bensin itu berada (tanah), serta tangki dan pipa bensin (modal).

Bagi perusahaan, biaya dari setiap kegiatannya adalah opportunity cost atau nilai tertinggi dari alternatif yang dilewatkannya. Keputusan-keputusan suatu perusahaan senantiasa didasarkan kepada biaya-biaya yang dikeluarkannya. Walaupun ada keputusan yang menimbulkan biaya tambahan yang tidak diperhitungkan sebelumnya oleh perusahaan. Biaya yang dikeluarkan pengambil keputusan perusahaan atau pun perseorangan sebagai akibat dari keputusan mereka sendiri disebut biaya privat (private cost) (Miller. 2000).


(42)

Menurut Winardi (1992), menyatakan bahwa supaya biaya dan harga pokok dapat melaksanakan fungsi mereka dengan baik, maka biaya harus dibagi menjadi aneka macam patokan seperti misalnya:

 Menurut jenis (biaya)

o Biaya Tanah

o Biaya bahan-bahan dasar dan bahan-bahan pembantu

o Biaya alat-alat produksi tahan lama o Biaya tenaga kerja

o Biaya pemberian jasa oleh pihak ketiga dan pajak  Menurut fungsi

o Biaya pembelian o Biaya penyimpanan o Biaya pabrikasi o Biaya pemasaran

o Biaya riset pengembangan o Biaya lingkungan

 Menurut perilaku

o Biaya konstan o Biaya variabel o Biaya proporsional o Biaya progresif

o Biaya degresif o Biaya semi variabel

Menurut Rosyidi (1996), menyatakan bahwa telah sejak semula para ahli ekonomi memandang penting persoalan biaya produksi ini. Alasannya adalah karena jasa-jasa faktor produksi itu langka adanya sehingga menjadi bernilai. Jadi, dengan mempergunakan faktor-faktor produksi itu, perusahaan yang bersangkutan telah mempergunakan benda-benda yang bernilai. Karena tujuan utama suatu perusahaan atau firm adalah untuk mendapatkan laba semaksimal mungkin, persoalan biaya produksi ini sangat dirasakan perlu untuk dipelajari karena laba merupakan selisih antara penerimaan dan biaya (selisih antara revenue dan cost).


(43)

Oleh sebab itu, pengetahuan akan besarnya biaya-biaya produksi lalu merupakan prakondisi untuk mengetahui besarnya laba atau keuntungan, sedangkan pengetahuan akan keuntungan ini perlu sekali untuk dapat memahami tingkah laku (behavior) perusahaan. Demikianlah, pengetahuan akan biaya-biaya produksi itu perlu:

1. Untuk melukiskan tingkah laku aktual perusahaan

2. Untuk dapat meramalkan bagaimana tingkah laku perusahaan dalam menghadapi perubahan-perubahan kondisi yang dihadapinya

3. Untuk membantu perusahaan yang bersangkutan dalam menentukan kebijaksanaan yang terbaik yang dapat dilakukannya dalam mencapai tujuannya (yakni: mencapai laba maksimum)

4. Untuk dapat memberikan penilaian betapakah caranya perusahaan mengelola sumber-sumber (resources/faktor produksi/input).

Biaya produksi diharapkan bisa minimal, tetapi harus dipahami secara integratif dengan hasil produksi. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa perbandingan antara hasil produksi harus melebihi dari biaya yang dikeluarkan, dan sejauh dalam rasio perbandingan tersebut biaya diharapkan bisa minimal. Biaya yang meningkat tidak selalu buruk, asal peningkatan biaya tersebut berdampak terhadap peningkatan produksi yang lebih besar (Rasul, 2012).

Menurut Mubyarto (1989), biaya produksi dapat dibagi menjadi dua yaitu biaya-biaya yang berupa uang tunai misalnya upah kerja untuk biaya persiapan atau penggarapan tanah, termasuk upah untuk ternak, biaya untuk membeli pupuk dan pestisida. Biaya-biaya panen, bagi hasil, sumbangan dan mungkin juga pajak-pajak dibayarkan dalam bentuk in-natura. Besar kecilnya bagian biaya produksi yang berupa uang tunai ini sangat mempengaruhi pengembangan usahatani.

Menurut Djojodipuro (1991), biaya produksi adalah pengeluaran, tidak semua pengeluaran merupakan biaya produksi. Untuk dapat dikatakan sebagai biaya produksi, maka suatu pengeluaran harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1. tak dapat dihindarkan

2. dapat diduga 3. dapat dinyatakan


(44)

Menurut Bustam (1983), alat-alat produksi dipakai untuk dijadikan barang. Oleh sebab itu nilai alat-alat produksi itu masuk dalam pokok barang. Maka biaya-biaya yang masuk dalam pokok barang ialah:

1. biaya bahan 2. biaya tenaga kerja

3. biaya alat produksi jangka lama 4. biaya tanah

5. biaya jasa pihak ketiga 6. biaya pajak

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2003), beberapa biaya perusahaan bervariasi dengan keluaran, sementara yang lainnya tetap sepanjang perusahaan itu tetap memproduksi dengan keluaran apa saja. Perbedaan ini akan penting ketika kita menjelaskan pilihan keluaran perusahaan yang memaksimumkan laba perusahaan. Oleh karena itu kita membagi biaya total (total cost/TC, atau C), total biaya ekonomi ke dalam dua komponen:

1. Biaya tetap (fixed cost/FC) adalah biaya yang tidak dapat divariasikan dengan tingkat keluaran.

2. Biaya variabel (variable cost/VC) adalah biaya yang bervariasi sesuai dengan variasi keluaran.

Menurut Daniel (2004), biaya produksi adalah sebagai kompensasi yang diterima oleh para pemilik faktor-faktor produksi, atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses produksi, baik secara tunai maupun tidak tunai. Dalam analisis ekonomi, biaya diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan sesuai dengan tujuan spesifik dari analisis yang dikerjakan, yaitu sebagai berikut:

1. Biaya uang dan biaya in natura. Biaya-biaya yang berupa uang tunai, misalnya upah kerja untuk persiapan atau penggarapan tanah, termasuk upah untuk ternak, biaya untuk membeli pupuk dan pestisida. Sedangkan biaya-biaya panen, bagi hasil, sumbangan dan mungkin pajak-pajak dibayarkan dalam bentuk natura.


(45)

2. Biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah jenis biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya sewa atau bunga tanah yang berupa uang. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya berhubungan langsung dengan besarnya produksi, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk bibit, pupuk, dan sebagainya.

3. Biaya rata-rata dan biaya marginal. Biaya rata-rata adalah hasil bagi anatar biaya total dengan jumlah produk yang dihasilkan. Sedangkan biaya marginal adalah biaya tambahan yang dikeluarkan petani/pengusaha untuk mendapatkan tambahan satu satuan produk pada suatu tingkat produksi tertentu.

Ongkos marginal memegang peranan yang sangat penting di dalam pertimbangan seorang produsen ketika menentukan jumlah produksi yangperlu dihasilkan. Telah dinyatakan bahwa tujuan dari setiap produsen adalah untuk memaksimumkan keuntungannya. Dua cara yang dapat digunakan produsen untuk memaksimumkan keuntungannya, yaitu:

a. Dengan memproduksi barang pada tingkat dimana perbedaan diantara hasil penjualan total dengan ongkos total adalah yang paling maksimum. Atau b. Dengan memproduksikan barang pada tingkat dimana hasil penjualan marginal

= ongkos marginal.

Cara yang pertama tidak memerlukan penjelasan yang panjang lebar. Keuntungan adalah perbedaan di antara hasil penjualan total dengan ongkos total, maka keuntungan adalah maksimum apabila perbedaan di antara dua faktor diatas mencapai maksimum (Sukirno, 1994).

Menurut Kadariah (1994), menyatakan bahwa biaya marginal adalah tambahan biaya produksi untuk unit terakhir dari hasil perusahaan. Seperti halnya dengan penerimaan (revenue), pada biaya dapat dihitung biaya rata-rata (average cost = AC), biaya marginal (marginal cost = MC), dan biaya total (total cost = TC). Seperti halnya dengan penerimaan (revenue), maka pada biaya :

a) AC (biaya rata-rata) pada tiap tingkat hasil = TC/Q,


(46)

Menurut Sudarman (2000), ongkos sosial untuk menghasilkan satu unit X adalah sama dengan jumlah Y yang dikorbankan (tidak dihasilkan), karena faktor produksi tersebut digunakan untuk menghasilkan X dan bukan Y. Misalkan, ada seseorang yang hidup sendirian di suatu pulau. Setiap harinya ia bekerja mencari ikan dan mengumpulkan kelapa. Besarnya biaya yang diperlukan untuk mendapatkan tambahan ikan adalah diukur dengan jumlah kelapa yang harus ia korbankan karena sekarang ia mencurahkan waktunya lebih banyak untuk mancari ikan. Konsep ongkos produksi dalam pengertian sosial ini sering disebut dengan konsep biaya produksi alternatif (alternative cost of production) atau konsep biaya produksi oportuniti (opportunity cost of production).

Istilah-istilah jangka pendek (short run) dengan jangka panjang (long run) digunakan untuk menyatakan lamanya waktu yang diperlukan sebuah perusahaan untuk mengubah keputusan-keputusannya, dan keduanya merupakan istilah yang berguna untuk meneliti dan mempelajari reaksi (tanggapan) pasar terhadap keadaan-keadaan yang berubah. Jika hanya jangka pendek yang diperhitungkan, maka mungkin perlu bagi perusahaan untuk memperlakukan sebagian input sebagai input tetap. Secara teknis agaknya tidak mungkin untuk merubah tingkat penggunaan input dalam waktu singkat. Misalnya, jika yang dipilih adalah interval waktu selama seminggu saja, maka mungkin perlu untuk memperlakukan ukuran pabrik sebuah perusahaan sebagai ukuran yang benar-benar tetap. Begitu pula, seorang pengusaha mungkin terikat pada suatu usaha tertentu dalam jangka pendek dan tidak mungkin untuk menghentikannya. Oleh karena itu dalam jangka pendek input pengusaha itu pada proses produksi pada dasarnya adalah tetap. Tetapi untuk periode yang lebih lama, sebuah perusahaan mungkin tidak mau memperlakukan salah satu input-input ini sebagai input tetap karena tentu saja ukuran perusahaan itu dapat diubah dan seorang pengusaha dapat meninggalkan usahanya (Nicholson, 1983).

Menurut Sumarsono (2007), jangka pendek adalah suatu jangka waktu dalam proses produksi dimana produsen tidak dapat merubah sebagian faktor produksi yang tetap, tetapi hanya dapat merubah faktor produksi yang variabel dalam usaha untuk memperbesar produksinya. Jangka pendek ini akan cukup lama


(47)

untuk memungkinkan berubahnya jumlah faktor variabel. Misalnya tanah, gedung, dan mesin yang dimiliki perusahaan sudah tertentu dan tetap. Produksi yang diperbesar dengan cara produsen hanya dapat merubah bahan baku, bahan pembantu, tenaga kerja dan faktor produksi yang lain.

Perusahaan dapat menambah semua faktor produksi yang akan digunakannya, hal ini dapat dilakukan ongkos produksi dilakukan dalam jangka panjang. Dengan demikian ongkos produksi tidak perlu lagi dibedakan diantara ongkos tetap dan ongkos berubah. Di dalam jangka panjang tidak ada ongkos tetap, semua pengeluaran pengusaha merupakan ongkos berubah. Berarti bahwa perusahaan bukan saja dapat menambah tenaga kerja tetapi juga jumlah mesin, luas tanah yang digunakan dan luasnya bangunan atau pabrik yang digunakan (Sukirno, 1985).

Menurut Martusa (2012), menyatakan bahwa ada beberapa cara untuk menekan biaya diantaranya adalah dengan menggunakan metode biaya standar, dimana biaya standar ini merupakan biaya yang ditentukan diawal dan akan dibandingkan dengan biaya aktual atau biaya yang sebenarnya terjadi dalam proses produksi perusahaan. Pembandingan biaya standar dengan biaya aktual akan menghasilkan varians biaya yang merupakan selisih antara biaya standar dengan biaya aktual kemudian varians tersebut dapat dianalisis oleh pihak manajemen melalui analisis efektivitas maupun efisiensi dengan hasil analisisnya adalah apakah varians tersebut favorable (menguntungkan) atau unfavorable

(tidak menguntungkan).

Menurut Lambajang (2013), harga pokok produksi merupakan kumpulan dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Perhitungan harga pokok produksi yang benar, akan mengakibatkan penetapan harga jual yang benar pula, sehingga nantinya mampu menghasilkan laba sesuai dengan yang diharapkan. Informasi harga pokok produksi yang dihitung untuk jangka waktu tertentu bermanfaat bagi manajemen untuk menentukan harga jual produk, memantau realisasi biaya produksi, menghitung laba atau rugi periodik, menentukan harga pokok persediaan produk jadi dan


(48)

produk dalam proses yang disajikan dalam neraca. Tujuan dan manfaat dalam penentuan harga pokok produksi adalah sebagai berikut:

1. Sebagai dasar dalam penetapan harga jual

2. Sebagai alat untuk menilai efisiensi proses produksi 3. Sebagai alat untuk memantau realisasi biaya produksi 4. Menentukan laba atau rugi periodik

5. Menilai dan menentukan harga pokok persediaan 6. Sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan bisnis.

Menurut Sunarto (2003), bahwa jumlah biaya produksi belum menggambarkan nilai barang yang dibuat sebab barang yang dibuat belum tentu seluruhnya selesai dikerjakan. Jumlah biaya produksi pada suatu periode hanya menggambarkan biaya yang diupayakan untuk membuat barang. Untuk sampai kepada nilai yang merupakan harga pokok barang jadi yang dibuat maka harus diperhitungkan nilai barang dalam proses awal periode dan akhir periode. Perhitungannya sebagai berikut:

Biaya Produksi + Nilai barang dalam proses awal = Nilai barang dalam proses Biaya Produksi – Nilai barang dalam proses akhir = Harga pokok produksi

Menurut Setiadi (2014), menyatakan bahwa harga pokok produksi dalam industri merupakan bagian terbesar dari biaya yang harus dikeluarkan perusahaan. Jika informasi biaya untuk pekerjaan atau proses tersedia dengan cepat, maka manajemen mempunyai dasar yang kuat untuk merencanakan kegiatannya. Perusahaan harus cermat dan rinci dalam membuat laporan keuangan terutama yang berkaitan dengan biaya produksi agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan serta pemborosan biaya dalam proses produksi. Informasi harga pokok produksi dapat dijadikan titik tolak dalam menentukan harga jual yang tepat kepada konsumen dalam arti yang menguntungkan perusahaan dan menjamin kelangsungan hidup perusahaan.

Menurut Supriyono (1999), menyatakan bahwa dihubungkan dengan pembebanan harga pokok kepada produk, metode harga pokok proses dapat menggunakan sistem:


(49)

1. Semua elemen biaya dibebankan berdasar biaya sesungguhnya (historical cost system). Pada sistem ini, produk yang diolah dibebani biaya bahan, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik yang sesungguhnya dinikmati oleh produk yang bersangkutan.

2. Elemen biaya tertentu yaitu biaya overhead pabrik, dibebankan berdasar tarip atau biaya yang ditentukan di muka. Pada sistem ini biaya bahan dan tenaga kerja dibebankan berdasar biaya sesungguhnya dan biaya overhead pabrik dibebankan berdasar tarip. Sistem ini dipakai apabila kondisi-kondisi yang ada di dalam perusahaan mengharuskan dipakainya tarip biaya overhead pabrik, dengan tujuan untuk membebankan biaya secara adil dan teliti kepada produk kondisi tersebut adalah:

a. Perusahaan menghasilkan beberapa jenis produk. Untuk membebankan pada setiap jenis produk diperlukan dasar tertentu yang sifatnya adil, teliti dan praktis.

b. Produksi perusahaan tidak stabil dari waktu ke waktu. Pada perusahaan yang kegiatan produksinya tidak sepanjang tahun atau bersifat musiman, misalnya perkebunan tanaman semusim (tembakau, gula), biaya overhead

timbul pula dalam masa tidak berproduksi. Untuk membebankan biaya tersebut di muka kepada produk yang dihasilkan pada masa produksi dengan adil dan teliti perlu ditentukan tarip.

c. Elemen biaya overhead tetap jumlahnya relatif tinggi. Apabila elemen biaya

overhead pabrik tetap jumlahnya cukup besar dan produksi perusahaan tidak stabil, penentuan tarip overhead pabrik di samping untuk membebankan biaya dengan teliti dan adil juga dapat membantu menejemen untuk mengukur efisiensi dan selisih kapasitas yang timbul.

3. Semua elemen biaya dibebankan pada produk atas dasar harga pokok yang ditentukan di muka. Untuk menyajikan informasi biaya yang lebih baik kepada menejemen terutama untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan pengendalian biaya semua elemen biaya produksi dibebankan berdasar harga pokok yang ditentukan di muka. Jadi pada sistem ini dalam penentuan harga


(50)

pokok produk semua elemen biaya baik bahan, tenaga kerja maupun overhead pabrik dibebankan berdasar harga pokok yang ditentukan di muka.

Menurut Enggiana (2005), menyatakan bahwa dalam penentuan harga pokok produksi terdapat dua metode yang bisa digunakan, yaitu:

a. Metode Full Costing

Dalam metode ini, harga pokok produk dihitung dengan cara menjumlah semua elemen biaya produksi, baik biaya produksi langsung maupun biaya yang tidak langsung.

b. Metode Variable Costing

Dalam metode ini, penentuan harga pokok produk hanya memperhitungkan biaya-biaya variabel saja ke dalam harga pokok produk.

Metode full costing harga pokok produksinya terdiri dari semua unsur biaya produksi, yaitu biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya

overhead pabrik, tanpa mempermasalahkan apakah biaya tersebut berperilaku variabel atau tetap. Sedangkan metode variable costing harga pokok produk ditentukan berdasarkan besarnya pembebanan biaya pabrikasi yang berkaitan dengan perubahan volume. Dengan kata lain, dalam metode variabel costing

hanya unsur biaya variabel yang diperhitungkan pada harga pokok produk yang terdiri dari biaya bahan langsung, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead

pabrik variabel. Sedangkan biaya overhead pabrik tetap dianggap sebagai biaya periode (period cost), yaitu biaya yang dibebankan pada perkiraan laba rugi periode yang bersangkutan (Nirwanto, 2011).

Menurut Carter dan Usry (2004) dalam Meidisilvia (2014), menyatakan bahwa pengendalian biaya adalah sebagai berikut:

“Usaha sistematis perusahaan untuk mencapai tujuan aktivitas-aktivitas dimonitori terus menerus untuk memastikan bahwa hasilnya berada pada batasan yang diinginkan.Hasil aktual untuk setiap aktivitas dibandingkan dengan rencana, dan

jika ada perbedaan yang signifikan, tindakan perbaikan dapat dilakukan”.

Tujuan pengendalian biaya adalah untuk memperoleh jumlah produksi atau hasil yang sebesar-besarnya dengan kualitas yang dikehendaki, dari pemakaian sejumlah bahan tertentu, dengan biaya yang sewajar mungkin. Pengendalian biaya


(51)

dilakukan melalui proses membandingkan hasil yang sesungguhnya dengan hasil yang dianggarkan oleh perusahaan. Sehingga manajemen dapat melakukan analisis atas efisiensi usaha dan kemampuan memperoleh laba dari berbagai produk.

Dengan adanya perbaikan teknologi , misalnya penggunaan teknologi baru sebagai pengganti teknologi lama, maka produksi akan semakin meningkat. Tentu saja penggunaan teknologi ini mengkin memerlukan biaya produksi yang relative tinggi, beban resiko dan ketidakpastian yang juga relatif tinggi, memerlukan keterampilan khusus dan sebagainya, tetapi bilaketerbatasan ini dapat dipecahkan, maka produksi akan semakin besar (Soekartawi, 1993).

2.2.4 Teori Efisiensi

Konsep Efisiensi menurut Lipsey, Courant, Purvis, Steiner (1995) dalam Wicaksana (2007), menyatakan bahwa konsep efisiensi adalah sebagai berikut: 1. Efisiensi teknis, berkaitan dengan jumlah fisik semua factor yang digunakan

dalam proses produksi komoditi tertentu. Produksi output tertenti adalah inefisiensi teknis jika ada cara-cara lain untuk memproduksi output yang bisa menggunakan semua input dengan jumlah yang lebih kecil. Produksi dikatakan efisien teknis jika tidak ada alternative cara yang bisa menggunakan semua input dengan jumlah yang lebih kecil.

2. Efisiensi ekonomis, berkaitan dengan nilai semua input yang digunakan untuk memproduksi output tertentu. Produksi output tertentu dinamakan efisiensi ekonomis jika tidak ada cara lain untuk memproduksi output yang bisa menggunakan seluruh nilai input dengan jumlah yang lebih sedikit.

Alokasi yang efisien adalah menentukan kondisi ekuilibrium secara umum. Kondisi ini terjadi pada saat output berada pada tingkat dimana marginal cost

(MC) sama dengan harga (P) dari masing-masing produk setiap perusahaan di dalam perekonomian secara keseluruhan. Harga juga akan sama dengan tingkat kemungkinan biaya rata-rata (AC) minimum dalam jangka panjang. Dalam analisa klasik mengenai keseimbangan umum, kondisi ini dan kondisi ekuilibrium pareto yang lainnya dianggap sebagai penerapan yang tepat dalam perekonomian


(1)

Lampiran D. Kadar Nira %, Pol%, Nilai NPP, Sabut % dan Trash PG Watoetoelis Tahun 2009 - 2013

Tahun Kadar Nira % Pol % Nilai NPP Sabut % Trash %

2009 72,80 9,66 9,66

2010 71,45 8,25 9,03 12,46 3,21

2011 73,30 10,07 10,82 12,79 3,24

2012 73,19 10,32 10,89 12,20 3,39


(2)

Lampiran E. Mill Extraction (ME), Boiling House Recovery (BHR), Overall Recovery (OR), Pol Tebu dan Rendemen Tebu PG Watoetoelis Tahun 2009– 2013

Tahun ME (%) BHR (%) OR (%) Pol (%) Rendemen (%)

2009 85,99 96,48 82,96 9,66 7,05

2010 87,01 97,69 85,00 8,25 5,85

2011 87,07 96,74 84,24 10,07 7,13

2012 87,74 90,67 79,55 10,32 7,32


(3)

Lampiran F. Luas Areal Tebu, Produksi Tebu, Produktivitas Tebu, Rendemen Tebu dan Hablur

Tahun Luas Areal Produksi Tebu (Ton) Produktivitas Tebu (Ton/Ha) Rendemen Tebu (%) Hablur (Ton)

TS TR TS TR TS TR TS TR TS TR

2009 814,8 3.481,9 58.132,8 265.807,9 71,4 76,3 8,06 6,83 5,75 5,21

2010 561,1 3.674,7 48.497,9 304.962,5 86,4 83,0 6,98 5,66 6,03 4,70

2011 498,3 4.196,1 35.624,3 284.501,2 71,5 67,8 8,04 7,01 5,75 4,76

2012 690,9 3.805,9 62.135,2 268.014,1 89,9 70,4 8,21 7,11 7,38 5,01

2013 160,8 4669,0 10.903,0 318.839,8 67,8 68,3 7,67 6,42 5,20 4,39


(4)

UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

KUISIONER PG WATOETOELIS

Judul Penelitian : Analisis Efisiensi PG. Watoetoelis Kabupaten Sidoarjo

Lokasi : PG Watoetoelis Desa Watutulis Kecamatan Prambon Kabupaten Sidoarjo

IDENTITAS PEWAWANCARA:

Nama : Diar Iswardhani

NIM : 091510601011

Hari/Tanggal :

Waktu :

Gambaran Umum

1. Pada Tahun berapa Pabrik Gula Watoetoelis ini didirikan?

... 2. PG Watoetoelis merupakan pabrik gula milik?

a. Pemerintah b. Swasta

3. Sudah berapa lama PG Watoetoelis ini berdiri?

... 4. Bagaimana sejarah berdirinya PG Watoetoelis?

... 5. Dimanakah lokasi berdirinya PG Watoetoelis?

... 6. Bagaimana batas-batas administrasi PG Watoetoelis?

... 7. Bagaimana proses produksi berlangsung mulai dari tebu masuk hingga menjadi gula?


(5)

Bahan Baku

1. Apakah bahan baku berasal dari berasal dari Desa Watutulis sendiri? a. Ya

b. Tidak

Jika tidak, berasal darimana……… 2. Mengapa bahan baku berasal dari luar Desa Watutulis?

……… 3. Milik siapakah tebu yang digiling di PG Watoetoelis ini?

a. Milik Rakyat b. Milik Pabrik Gula

4. Berapa bahan baku yang dibutuhkan pabrik gula dalam sehari?

... 5. Berapa kira-kira jumlah bahan baku yang dibutuhkan untuk satu kali produksi?

………. 6. Bagaimana bahan baku bisa sampai ke pabrik gula?

a. Diantar

b. Diambil sendiri

7. Apakah ada biaya angkut atau biaya yang harus dikeluarkan pabrik gula dalam meperoleh bahan baku?

……… 8. Apakah ada kualitas khusus untuk bahan baku yang digunakan?

a. Ada b. Tidak

9. Apakah ada perebutan bahan baku dengan pabrik gula lain? a. Ada

b. Tidak

Jika ada, mengapa ... 10. Apakah pabrik gula mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku?

a. Ya b. Tidak


(6)

11.Apakah ketersediaan bahan baku tersedia secara berkelanjutan? a. Ya

b. Tidak

12. Apakah ada sistem bagi hasil antara petani dan pabrik gula? a. Ada

b. Tidak

13. Siapakah yang menentukan bagi hasil tersebut? a. Petani

b. Pabrik Gula

14. Bagaimana cara menentukan bagi hasil antara petani dan pabrik gula?

………. Teknologi

1. Bagaimana bentuk teknologi yang digunakan dalam proses produksi?

……… 2. Berapa kapasitas giling pabrik gula setiap harinya?

a. Diatas 2000 TCD b. Di bawah 2000 TCD

3. Apakah terdapat kendala pada saat proses produksi? a. Ya

b. Tidak

4. Jika ya, apa saja kendala pada saat proses produksi tersebut?

……….. 5. Apa solusi yang dilakukan dalam mengatasi kendala yang terjadi?