Deskripsi Struktur Dan Fungsi Musik Taganing Pada Repertoar Si Pitu Gondang Dalam Ensambel Gondang Sabangunan Yang Disajikan Oleh Maningar Sitorus

(1)

DESKRIPSI STRUKTUR DAN FUNGSI MUSIK TAGANING PADA REPERTOAR SI PITU GONDANG DALAM ENSAMBEL GONDANG SABANGUNAN YANG DISAJIKAN OLEH MANINGAR SITORUS

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA: MARIO KING A.S. SIANIPAR

NIM: 080707010

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

DESKRIPSI STRUKTUR DAN FUNGSI MUSIK TAGANING PADA REPERTOAR SI PITU GONDANG DALAM ENSAMBEL GONDANG SABANGUNAN YANG DISAJIKAN OLEH MANINGAR SITORUS

OLEH:

NAMA: MARIO KING A.S. SIANIPAR

NIM: 080707010

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

NIP 196512211991031001 NIP 196605271994032001

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni

dalam bidang disiplin Etnomuskologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin

Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

3. 4. 5.


(4)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001


(5)

ABSTRAK

Skripsi sarjana yang penulis tulis ini, berjudul Deskripsi Struktur dan Fungsi Musik Taganing pada Repertoar Si Pitu Gondang dalam Ensambel Gondang Sabangunan yang Disajikan oleh Maningar Sitorus. Tujuan penulis di dalam menulis skripsi ini adalah untuk mengetahui tiga aspek dari musik taganing dalam repertoar sipitu gondang tersebut, yaitu: (a) penyajiannya dalam pertunjukan, (b) fungsinya dalam masyarakat Batak Toba, dan (c) struktur melodi dan rime. Untuk mendeskripsikan penyajian dan struktur musik digunakan teori weighted scale yang ditawarkan oleh Malm (1977), sedangkan untuk mendeskripsikan fungsi digunakan teori fungsionalisme (penggunaan dan fungsi) dari Merriam (1964). Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan metode kualitatif, dengan melakuklan studi lapangan, yang dilengkapi dengan wawancara, perekaman pertunjukan musikal dalam bentuk audiovisual, dan pelibatan penelitian sebagai pengamat terlibat.

Hasil yang diperoleh adalah bahwa sipitu gondang tersebut terdiri dari tujuh repertoar yang saling terkait dan memiliki makna-makna budaya. Fungsi dari pertunjukan musikal ini adalah sebagai: penghayatan estetika, pengungkapan emosional, hiburan, komunikasi, perlambangan, reaksi jasmani, pengesahan lembaga sosial dan upacara agama, kesinambungan budaya, dan pengintegrasian masyarakat. Struktur melodi dan ritme adalah jalin-menjalin dalam ritme duple dan kuadrupel, dengan didukung oleh tangga nada khas Batak Toba pentatonik.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Allah Yang Maha Kuasa, atas segala berkat dan karunia yang telah dilimpahkanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Saya mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya; Ompu Rahel Radja Sianipar - R. br Sitohang, yang telah memberikan segala kekuatan dan kemampuannya dalam mendorong penulis untuk tetap belajar dan memberikan yang terbaik. Juga kepada haha-anggi-iboto keluarga besar Ompu Rahel Sianipar; yaitu Jumaga, Ramos, Martin, Christian, Batara Tua, Benvri, Juliani, dan Julita yang memberikan dukungan dalam penyelesaian studi penulis.

Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dosen Pembimbing I, yaitu bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. yang telah membimbing, memberikan petunjuk dan kesempatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. sebagai Dosen Pebimbing II yang memberikan dorongan dan motivasi serta berbagai informasi dalam penulisan skripsi ini. Dan juga kepada Departemen Etnomusikologi, seluruh dosen dan staf pengajar serta rekan-rekan mahasiswa.

Kepada keluarga bapak Maningar Sitorus, penulis mengucapakan terima kasih atas bantuan dan informasi yang telah diberikan selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat saya yang ikut bekerja keras dalam penyelesaian tulisan ini, yaitu Ondy Yohan, Theresia, dan Anna. Dan kepada sahabat-sahabat saya dalam Paduan Suara El-Shaddai USU


(7)

Rasa syukur dan terima kasihsecara khusus penulis sampaikan kepada ‘sahabat hati’, Disa, atas doa dan dorongan semangat yang telah diberikan selama ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam tulisan ini, karena keterbatasan dan hambatan yang dilalui penulis. Namun, penulis berharap kiranya tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu etnomusikologi serta bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Februari 2015

Penulis


(8)

DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Poko Permasalahan ………....……... 10

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 4.3.1 Tujuan Penelitian ………...….... 10

4.3.2 Manfaat Penelitian ……….…... 11

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep ... 11

1.4.2 Teori ... 13

1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Studi Kepustakaan ... 18

1.5.2 Penelitian Lapangan 1.5.2.1 Observasi ... 19

1.5.2.2 Wawancara ... 20

1.5.2.3 Perekaman Data ... 20

1.5.3 Kerja Laboratorium ... 20

BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BATAK TOBA 2.1 Letak Geografis ...………... 22

2.2 Tata Sosial Kemasyarakatan ... 23

2.3 Sistem Mata Pencaharian ... 25

2.4 Agama dan Kepercayaan ... 26

2.5 Bahasa ... 28

2.6 Kesenian (Musik dan Tari) 2.6.1 Seni Musik ... 28

2.6.2 Seni Tari ... 29

BAB III DESKRIPSI GONDANG SABANGUNAN DAN SI PITU GONDANG DAN FUNGSINYA 3.1 Pengertian Gondang ... 31

3.2 Instrumen Pada Gondang Sabangunan 3.2.1 Sarune Bolon ... 33

3.2.2 Taganing ... 34

3.2.3 Gordang ... 36

3.2.4 Ogung ... 36

3.2.5 Hesek ... 37

3.3 Fungsi Gondang Sabangunan ... 37

3.3.1 Fungsi Penghayatan Estetika ... 37


(9)

3.3.4 Fungsi Komunikasi ... 38

3.3.5 Fungsi Perlambangan ... 38

3.3.6 Fungsi Reaksi Jasmani ... 39

3.3.7 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial Dan Upacara Agama ... 41

3.3.8 Fungsi Kesinambungan Budaya ... 42

3.3.9 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ... 42

BAB IV ANALISIS STRUKTUR MUSIK TAGANING PADA GONDANG SABANGUNAN DALAM SI PITU GONDANG 4.1 Transkripsi 4.1.1 Metode Transkripsi ... 48

4.1.2 Sistem Notasi ... 48

4.2 Meter ... 50

4.3 Tempo ... 51

4.4 Frasa 4.5.1 Gondang Mula mula ... 52

4.5.2 Gondang Didang didang ... 56

4.5.3 Gondang Sitio tio ... 58

4.5 Motif Dan Pola Ritem 4.5.1 Gondang Mula mula ... 60

4.5.2 Gondang Didang didang ... 62

4.5.3 Gondang Sitio tio ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... x


(10)

ABSTRAK

Skripsi sarjana yang penulis tulis ini, berjudul Deskripsi Struktur dan Fungsi Musik Taganing pada Repertoar Si Pitu Gondang dalam Ensambel Gondang Sabangunan yang Disajikan oleh Maningar Sitorus. Tujuan penulis di dalam menulis skripsi ini adalah untuk mengetahui tiga aspek dari musik taganing dalam repertoar sipitu gondang tersebut, yaitu: (a) penyajiannya dalam pertunjukan, (b) fungsinya dalam masyarakat Batak Toba, dan (c) struktur melodi dan rime. Untuk mendeskripsikan penyajian dan struktur musik digunakan teori weighted scale yang ditawarkan oleh Malm (1977), sedangkan untuk mendeskripsikan fungsi digunakan teori fungsionalisme (penggunaan dan fungsi) dari Merriam (1964). Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan metode kualitatif, dengan melakuklan studi lapangan, yang dilengkapi dengan wawancara, perekaman pertunjukan musikal dalam bentuk audiovisual, dan pelibatan penelitian sebagai pengamat terlibat.

Hasil yang diperoleh adalah bahwa sipitu gondang tersebut terdiri dari tujuh repertoar yang saling terkait dan memiliki makna-makna budaya. Fungsi dari pertunjukan musikal ini adalah sebagai: penghayatan estetika, pengungkapan emosional, hiburan, komunikasi, perlambangan, reaksi jasmani, pengesahan lembaga sosial dan upacara agama, kesinambungan budaya, dan pengintegrasian masyarakat. Struktur melodi dan ritme adalah jalin-menjalin dalam ritme duple dan kuadrupel, dengan didukung oleh tangga nada khas Batak Toba pentatonik.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah

Taganing merupakan seperangkat gendang bersisi satu (single-headed braced drum) yang berasal dari kebudayaan Batak Toba. Alat musik ini terdiri dari lima buah drum dengan nada yang masing-masing berbeda, yakni odap-odap (gendang yang paling besar/lebih kecil dari gordang), paidua odap-odap, painonga, paidua ting ting, dan ting ting (gendang yang paling kecil). Alat ini dimainkan oleh satu orang yang disebut partaganing dengan menggunakan dua buah stik pemukul (palu-palu).

Taganing lazimnya dimainkan dalam ansambel gondang sabangunan1

Dalam penyajiannya, taganing memiliki peranan ganda baik dalam penguasaan repertoar maupun pemainan melodi dan ritme. Dari sisi penguasaan repertoar, taganing berperan sebagai pemberi aba-aba dengan isyarat-isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh instrumen lainnya. Di sisi lainnya, taganing

berperan bersama sarune sebagai pembawa melodi. Dalam hal ini, sarune

berfungsi sebagai patron dalam menyelaraskan nada pada taganing. Ting ting . Ansambel ini meliputi empat instrumen lainnya, yaitu sarune bolon (double reeds-oboe), gordang (singel-headed braced drum), empat buah ogung

(suspended-gongs); ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora, dan ogung doal, serta satu buah hesek (idiophone).

1

Pada perkembangannya, taganing dipakai pada ansambel gondang hasapi sebagai pembawa ritme konstan ataupun variatif. (lihat Tarihoran 1994)


(12)

(gendang paling kecil) diselaraskan dengan nada paling tinggi pada sarune bolon. Sebaliknya, odap-odap (gendang paling besar) diselaraskan dengan nada paling rendah pada sarune bolon Namun, tidak seluruh repertoar taganing

berperan sebagai pembawa melodi.

Dalam memainkan taganing, terdapat empat macam teknik, yaitu: memukul stik pada bagian tengah gendang, memukul stik pada bagian pinggir gendang, memukul stik pada bagian tengah gendang dan menghentikannya dengan cara menekan permukaan gendang dengan ujung stik, dan menekan permukaan gendang dengan ujung jari tangan kiri sementara tangan kanan memukul permukaan gendang (Hutajulu, 2005). Keempat teknik tersebut berkaitan dengan pola-pola yang dihasilkan, yaitu: (1) mangarapat, yaitu kedua stik dipukulkan pada gendang secara bergantian, teknik ini dimainkan pada saat

taganing secara keseluruhan membawa melodi atau mengikuti pola sarune bolon, (2) didang-didang, yaitu stik pada tangan kiri mengikuti pola siklus

ogung dan stik pada tangan kanan mengikuti pola melodi sarune bolon, (3)

mangodap-odapi, yaitu stik pada tangan kiri mengikuti pola siklus ogung dan stik pada tangan kanan hanya membuat pola ritme dengan aksentuasi tertentu diantara melodi sarune bolon. Teknik-teknik tersebut di atas diperoleh dari proses pengajaran yang bersifat lisan.

Kebudayaan musik Batak Toba merupakan sebuah tradisi lisan. Tradisi lisan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) nama pencipta repertoar-repertoar tidak ada/tidak jelas, (2) tidak memiliki notasi tersendiri, dan (3) proses transmisi yang dilakukan generasi yang lebih tua ke generasi selanjutnya dengan cara lisan atau dengan praktek langsung. Ciri-ciri tersebut ditemukan pada musik


(13)

Batak Toba khususnya pada gondang sabangunan. Repertoar-repertoar yang ada tidak jelas siapa penciptanya sehingga notasi yang baku pun tidak dapat ditemukan. Dengan tidak adanya satu bentuk yang baku dari repertoar-repertoar itu, generasi yang lebih tua meneruskannya melalui lisan dan praktek langsung terhadap muridnya. Hal ini menimbulkan lahirnya variasi-variasi yang baru dari pola-pola sebelumnya. Selain itu, pengaruh dari kebudayaan di luar Batak Toba dapat membuat pengetahuan dan pengalaman musik para partaganing bertambah luas sehingga dapat merubah pola-pola yang sudah ada.

Sepuluh tahun yang lalu, penulis masih dapat mendengar gondang sabangunan dengan instrumen yang lengkap pada banyak acara-acara adat di daerah Balige dan Laguboti. Bunyi-bunyi ogung, taganing, dan sarune bolon

bisa terdengar sejauh dua kilometer bahkan lebih. Namun, seiring dengan masuknya instrumen baru dalam gondang sabangunan, seperti keyboard dan

brass band telah menggeser peranan instrumen asli. Salah satu instrumen tradisi yang tetap dipertahankan yakni taganing. Oleh sebab itu, pemahaman masyarakat pun lambat laun dapat berubah akan keberadaan gondang sabangunan itu sendiri. Hal ini terbukti dengan semakin seringnya acara-acara adat di Balige dan sekitarnya telah menggunakan format band, brass band, keyboard, dan taganing serta sulim sebagai pangganti gondang sabangunan. Hal itulah yang menarik penulis untuk memilih taganing sebagai objek penelitian.

Pergeseran penggunaan gondang sabangunan dalam masyarakat Batak Toba juga secara otomatis berdampak pada penggunaan jenis repertoarnya. Hal ini dapat dilihat dari tradisi permainan repertoar si pitu gondang. Si pitu gondang


(14)

Batak Toba. Repertoar si pitu gondang dibagi dalam tiga kelompok gondang, yaitu (1) gondang mula; (2) gondang pasu-pasuan; dan (3) gondang hasahatan. Dalam tiga kelompok gondang ini masih terdapat lagi jenis repertoar lainnya.

Dalam penyajiannya, si pitu gondang dibawakan dengan tujuh jenis

gondang yang berasal dari tiga kelompok gondang tersebut di atas. Jenis

gondang yang dimainkan dapat berubah-ubah sesuai dengan permintaan paminta gondang atau sesuai dengan keperluan acara. Menurut Irwansyah (dalam Tarihoran 1994:36), gondang yang terdapat pada si pitu gondang dapat dimainkan secara menyeluruh tanpa berhenti, atau dimainkan secara terputus (berhenti pada saat pergantian gondang).

Selama si pitu gondang dimainkan peserta upacara tidak diperbolehkan untuk manortor. Hal ini didasarkan pada konsep si pitu gondang yang awalnya dimainkan untuk menghormati sahala badia guru, yaitu mula jadi na bolon yang telah memberi pengajaran kepada pargonsi untuk dapat bermain gondang. Selain itu, juga untuk menghormati roh leluhur dan kekuatan-kekuatan supranatural agar upacara tersebut dapat berlangsung dengan baik tanpa diganggu oleh roh-roh jahat (Simangunsong 2006:22).

Eksistensi si pitu gondang dalam kebudayaan kepercayaan Parmalim menjadi salah satu ketertarikan dalam diri penulis dan keinginan untuk mendapatkan dokumentasi pola ritme taganing adalah hal lain yang menarik penulis untuk mengkajinya.

Penulis memfokuskan pada seorang partaganing yang masih eksis di Laguboti yaitu bapak Maningar Sitorus. Beliau merupakan penganut kepercayaan Parmalim dan dipercaya sebagai partaganing pada upacara-upacara


(15)

keagamaan dan adat pada komunitas Parmalim yang berpusat di Huta Tinggi, kecamatan Laguboti kabupaten Toba Samosir. Beliau juga aktif sebagai partaganing pada acara-acara adat masyarakat Batak non-Parmalim khususnya di Laguboti, Balige, Porsea, dan sekitarnya. Pengalaman beliau lebih dari 20 tahun sebagai partaganing membuat penulis tertarik untuk menjadikan beliau sebagai narasumber utama dalam penulisan skripsi ini. Selain dikenal sebagai partaganing, bapak Maningar Sitorus juga dikenal sebagai pargarantung

(pemain garantung).

Di samping itu, sebagai seorang Parmalim beliau sangat menjaga tradisi dan adat terutama dalam hal musik tradisi sehingga besar kemungkinan gondang

yang dimainkan oleh beliau masih kental dengan ritual dan doa-doa seperti

gondang pada masyarakat Batak pra-Kristen. Menurut beliau, manusia menerima karunia dan anugerah yang berbeda-beda dari Yang Maha Kuasa, salah satunya adalah kebudayaan. Oleh karena itu manusia harus menyembah dam memuliakanNya melalui karunia itu yang dalam hal ini melalui adat istiadat dan gondang. Melalui gondang manusia dapat berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa. Hal ini membuat gondang menjadi sesuatu yang sakral dan serius sehingga dalam penyajiannya dalam masyarakat Batak memiliki makna dan fungsi masing-masing berdasarkan judul gondang tersebut.

Oleh karena itu, penulis hendak mendokumentasikan dan mengkaji pola-pola ritme taganing yang dimainkan oleh bapak Maningar Sitorus dan membuat analisis musikal terhadap pola-pola ritme tersebut. Penulis memfokuskan pada repertoar si pitu gondang. Adapun judul gondang yang akan penulis teliti dalam


(16)

tulisan ini mewakili setiap kelompok gondang, yaitu gondang mula-mula, gondang didang-didang, dan gondang si tio-tio.

Dalam melakukan kerja keilmuan tersebut, penulis menggunakan disiplin etnomusikologi. Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai etnomusikologi ini, namun dalam hal ini penulis menggunakan defenisi pada laman w Merriam (1964) sebagai berikut.

Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed

Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working in the field may have training in music, cultural anthropology, folklore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: 1) Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style, or genre). 2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). 3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research.

Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicolo-gists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the

appreciation of the world’s musics


(17)

Berdasarkan kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka dapat dimengerti bahwa etnomusikologi adalah studi (kajian) musik dalam konteks budaya di mana musik itu tumbuh dan berkembang. Biasanya para ahli etnomusikologi yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut etnomusikolog, melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut.

Seterusnya apabila dilihat secara keilmuan, maka etnomusikologi sangat interdisipliner. Artinya para ilmuwan yang bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, atau ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, studi ras atau etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Namun semua etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3) Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli teori sekeligus), dan penelitian sejarah musik.

Para etnomusikolog biasanya aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik musik, mereka


(18)

mengajar kursus musik dunia, musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus (misalnya, tradisi musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan di dalam budaya masyarakat. Bermitra dengan komunitas musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya, penyelesaian konflik, pengobatan (melalui media musik), pemrograman seni, atau komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya, rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia.

Dalam sejarah perkembangan etnomusikologi, terjadi gabungan dua disiplin yaitu muskologi dan etnologi. Musikologi selalu digunakan dalam mendeskrip-sikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri--sedangkan etnologi memandang musik sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara tegas dan gamblang dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context.


(19)

Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).

Berdasarkan kutipan paragraf di atas, menurut Merriam, para pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena itu, selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan, yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya. Seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengandaikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara musik


(20)

sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian, kerja keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu etnomusikologi seperti tersebut di atas.

Untuk itu, penulis membuat tulisan ini dengan judul : Deskripsi Struktur dan Fungsi Musik Taganing pada Repertoar Si Pitu Gondang dalam Ensambel Gondang Sabangunan yang Disajikan oleh Maningar Sitorus.

1. 2. Pokok Permasalahan

1. Bagaimana konsep penyajian sipitu gondang dalam gondang sabangunan?

2. Bagaimana fungsi sipitu gondang dalam gondang sabangunan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba?

3. Bagaimana struktur musik taganing pada repertoar si pitu gondang

dalam gondang sabangunan?

1. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep si pitu gondang dalam penyajiannya pada sebuah upacara.

2. Untuk mengetahui fungsi taganing pada repertoar si pitu gondang

dalam gondang sabangunan dalam kebudayaan masyarakat batak Toba.


(21)

3. Untuk mengetahui struktur taganing pada repertoar si pitu gondang

dalam gondang sabangunan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1. Sebagai dokumentasi atau literatur mengenai pola ritme taganing

pada gondang sabangunan.

2. Menambah referensi tentang pola-pola ritme taganing bagi peneliti selanjutnya.

1. 4. Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Menurut Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Naional, analisis berarti: pemaparan dengan kata-kata seeara jelas dan terperinci.

Sruktur artinya cara sesuatu disusun atau dibangun. Struktur juga berarti susunan pembentuk sesuatu. Sedangkan musikal artinya unsur-unsur musik terutama ritme dan melodi. Ritme merupakan bahasa serapan berasal dari bahasa Inggris yaitu Rhythm yang berarti pukulan kuat dan lemah yang berulang secara teratur dalam berpidato, bermusik, dan tarian (The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press). Ritme juga berarti durasi bunyi dalam musik.

Deskripsi struktur musik dalam tulisan ini berarti kegiatan keilmuan yang bertujuan untuk menggambarkan dan mempelajari pola-pola atau struktur atau bentuk-bentuk ritme taganing yang terdapat pada repertoar gondang


(22)

sabangunan. Struktur yang dimaksud mencakup pola ritme (ritem), meter, tempo, frasa, dan motif.

Taganing (singel-headed braced drum) adalah seperangkat gendang yang terdiri dari lima buah masing-masing memiliki nada yang berbeda-beda.

Taganing berperan sebagai pembawa melodi pada repertoar musik tradisional Batak Toba bersama dengan sarune bolon (double reeds-oboe). Orang yang memainkan taganing disebut dengan partaganing.

Repertoar adalah kumpulan beberapa komposisi lagu dalam sebuah acara atau upacara. Contohnya repertoar si pitu gondang, terdapat beberapa komposisi lagu dan dalam penyajiannnya paling banyak tujuh komposisi gondang. Sipitu gondang merupakan pembuka (lambang pengesahan dimulainya) upacara adat dalam masarakat Batak Toba.

Gondang sabangunan adalah salah satu ansambel musik tradisonal Batak Toba selain gondang hasapi (uning uningan). Pada tradisi musik Batak Toba, kata gondang memiliki arti: (1) instrumen musik (taganing=gondang), (2) ansambel musik, dan (3) judul komposisi lagu (Pasaribu, 1987). Gondang sabangunan terdiri dari taganing (singel-headed braced drum); gordang dan

anak ni taganing, sebuah sarune bolon (double reeds-oboe), empat buah ogung

(suspended-gongs); ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora, dan ogung doal, serta satu buah hesek (idiophone).


(23)

1.4.2 Teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas suatu permasalahan. Untuk itu, penulis menggunakan beberapa teori sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori yang diungkapkan oleh Bruno Nettl dan Gerald Behague (1991) bahwa sebuah kebudayaan rakyat atau kebudayaan lisan, sebuah lagu atau musik harus dinyanyikan, diingat, dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika hal ini tidak terjadi, maka lagu atau musik itu akan mati dan hilang. Namun, ada alternatif lain, jika musik tersebut tidak diterima oleh penonton, hal ini mungkin dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan dari orang-orang yang mempertunjukkan dan mendengarnya. Nettl juga mengemukakan bahwa perubahan sangat mungkin terjadi pada tradisi oral. Hal inilah yang terjadi pada musik tradisional Batak Toba yang merupakan tradisi lisan khususnya gondang sabangunan sehingga memungkinkan para pemusik (pargonci) membuat variasi masing-masing supaya tetap dapat diterima oleh masyarakat.

Untuk mendeskripsikan fungsi taganing pada repertoar si pitu gondang

dalam gondang sabangunan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, penulis menggunakan teori penggunaan dan fungsi musik, seperti yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam (1964:223-226). Menurut Merriam penggunaan (uses) dan fungsi (function) merupakan salah satu masalah yang terpenting di dalam etnomusikologi. Penggunaan musik meliputi pemakaian musik dalam konteksnya atau bagaimana musik itu digunakan, sedangkan fungsi musik berkaitan dengan tujuan pemakaian musik tersebut.


(24)

Di dalam buku Allan P. Merriam juga disebutkan bahwa paling tidak sampai tahun 1964 para etnomusikolog mendeskripsikan sepuluh fungsi musik dalam ilmu etnomusikologi yaitu:

1. Fungsi pengungkapan emosional, 2. Fungsi pengungkapan estetika, 3. Fungsi hiburan,

4. Fungsi komunikasi, 5. Fungsi perlambangan, 6. Fungsi reaksi jasmani,

7. Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial,

8. Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, 9. Fungsi kesinambungan kebudayaan, dan

10. Fungsi pengintregasian masyarakat.

Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942. Sayangnya tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Caims dan menerbitkannya dua tahun sesudah itu (Malinowski, 1944).


(25)

Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam beberapa kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menye-babkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, prilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry 1957:82), yaitu: (a) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, prilaku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat; (b) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; (c) Fungsi sosial dari suau adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

Lebih jauh lagi, Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.


(26)

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Menurut Radcliffe-Brown fungsi dapat diartikan sebagai sumbangan suatu aktivitas tertentu kepada keseluruhan aktivitas di dalam masyarakat, yang mana kegiatan ini menjadi bahagian tidak terpisahkan dari keseluruhan kegiatan tersebut. Fungsi dari penggunaan sosial tertentu adalah menyumbangkan kepada semua kehidupan di dalam masyarakat tersebut yang membentuk sebuah sistem sosial, yang membentuk suatu kesatuan fungsional. Dapat didefenisikan bahwa fungsi adalah sebuah kondisi di mana semua bahagian sistem sosial bekerjasama untuk mencapai harmoni dan konsistensi internal kebudayaan, tanpa terjadinya kondisi seperti ini, maka akan terjadi konflik dan tidak akan terjadi regulasi.

Untuk mendeskripsikan pola ritme dan struktur melodi taganing, penulis menggunakan teori analisis musik oleh William P. Malm (terjemahan Takari, 2003) yang mengatakan bahwa ada langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pengamatan seni pertunjukan, yaitu: (1) mendeskripsikan sifat seni pertunjukan apakah penyanyi atau pemain musik, (2) menganalisis “waktu”, yaitu meter, pulsa dasar, dan unit-unit pembentuk birama, serta (3) menganalisis melodi musik dengan menggunakan metode weighted scale (bobot tangga nada). Dalam tulisan ini, penulis berfokus pada analisis pola ritme yang sesuai dengan langkah kedua, yaitu menganalisis “waktu” lewat pendekatan musik barat yang meliputi:


(27)

pencatatan tempo, penulisan notasi ritme dan hubungannya dengan melodi, pencatatan meter untuk menentukan pusa dasar, dan merangkum pulsa-pulsa tersebut ke dalam unit-unit birama (Takari, 1993).

Berhubungan dengan itu, Mark Slobin dan Jeff Titon (1984) mengatakan bahwa style (gaya) musik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan organisasi bunyi musikal itu sendiri, antara lain: (1) elemen nada: tangga nada, modus, melodi, harmoni, sistem laras, (2) elemen waktu: ritme dan meter, (3) elemen warna suara: kualitas suara dan warna suara instrumen, serta (4) intensitas suara (keras lembutnya suara). Dalam ansambel gondang sabangunan taganing merupakan alat musik perkusi yang berperan memainkan melodi bersama sarune bolon. Taganing dilaras sehingga menghasilkan lima nada yang berbeda. Menurut Maningar Sitorus, sistem pelarasan taganing berhubungan dengan kualitas bunyi yang dihasilkan. Permainan taganing ditentukan pada pengembangan dari melodi dasar yang dimainkan sehingga menjadi sebuah pola ritme dan aksentuasi yang kompleks.

Untuk proses transkripsi penulis menggunakan pendekatan transkripsi yang mengacu pada Nettl yang mengatakan bahwa ada dua pendekatan utam untuk mendeskripsikan musik, yaitu: (1) kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) kita dapat dengan cara menuliskan apa yang kita dengar tersebut ke atas kertas lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat. Namun menurut Nettl, poin pertama merupakan hal yang sangat sulit dan tak mungkin bagi seseorang manusia untuk mengingat dan mendeskripsikan sesuatu hanya lewat sekali pendengaran, oleh sebab itu penulis menggunakan poin kedua. Selain itu penulis juga akan menggunakan cara


(28)

mentranskripsikan musik dengan: (1) menirukan bunyi atau ritme dengan bernyanyi, dan (2) belajar memainkan alat musik yang akan ditranskripsikan. Hal ini juga dilakukan oleh bapak Maningar Sitorus dalam teknik pengajaran

taganing kepada muridnya.

1. 5. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian yang bersifat kualitatif. Pada penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap sebelum ke lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap analisis data, dan tahap penulisan laporan.

Penulis juga menggunakan metode yang dikemukakan oleh Curt Sachs dalam Nettl (1963:2) bahwa penelitian dalam etnomusikologi dibagi dalam dua cara, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pengumpulan data dan perekaman data dari aktifitas musik dalam hal aktifitas martaganing dan kerja laboratorium adalah pengolahan data yang meliputi pentranskripsian, menganalisa data, dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam mengumpulkan data-data awal maupun data pendukung tulisan ini, penulis melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan informasi pendukung penelitian dan penulisan ini yang terdapat antara lain pada buku berjudul Gondang Batak Toba I (2005) yang ditulis oleh Rithaony Hutajulu dan Irwansyah Harahap, buku (ajar) karangan Emmi


(29)

Simangunsong berjudul Musikologi Batak (2006), buku berjudul Meninggal Adat Dalihan Na Tolu (1999) karangan Drs. Richard Sinaga, buku berjudul Dalihan Natolu-Sistem Sosial Kemayarakatan Batak Toba (2007) karangan Doangsa P.L. Situmeang, buku karangan Prof. Koentjaraningrat yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1971) dan Pengantar Ilmu Antropologi (edisi revisi 2009), buku berjudul The Anthropology of Music karangan Alan P. Merriam, buku berjudul Theory and Method in Ethnomusicology karangan Bruno Nettl, buku karangan Lexy Moleong dengan judul “Metodologi Penelitian Kualitatif” (2000), buku karangan William P. Malm yaitu Music Cultures of the Pasific, The Near East, and Asia (1993) yang telah dialih-bahasakan oleh Muhammad Takari, serta buku karangan Alan P. Merriam dkk yaitu “Etnomusikologi” yang telah dialih-bahasakan oleh Sentosa dan Rizaldi Siagian dengan R.Supanggah sebagai editor. Selain buku, penulis juga mencari sumber lain seperti; skripsi-skripsi di Perpustakaan Departemen Etnomusikologi FIB USU, artikel-artikel dan jurnal etnomusikologi serta artikel-artikel dari internet yang mempunyai relevansi dengan materi pokok penulisan.

1.5.2 Penelitian Lapangan 1.5.2.1 Observasi

Kontak langsung dengan objek yang akan diteliti merupakan cara terbaik untuk mendapatkan informasi. Observasi atau pengamatan dilakukan penulis langsung di tempat objek yang diteliti berada, dalam hal ini di Laguboti, kabupaten Toba Samosir. Penelitian pertama dilakukan pada tanggal 5-6 Maret


(30)

2014. Pengamatan penulis lakukan adalah pengamatan terhadap daerah tempat objek yang diteliti berada dan aktifitas martaganing.

1.5.2.2Wawancara

Dalam melakukan wawancara, penulis melakukan wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Artinya, selain pokok permasalahan dan daftar pertanyaan yang sudah tersusun, akan timbul juga topik dan pertanyaan di luar pokok permasalahan namun akan tetap mendukung data yang akan dikumpulkan, sehingga proses penelitian tidak kaku dan dapat berjalan dengan lancar.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah bapak Maningar Sitorus yang merupakan partaganing yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam musik Batak Toba.

1.5.2.3Perekaman Data

Perekaman data yang dilakukan adalah perekaman aktifitas martaganing

dan perekaman wawancara menggunakan kamera video maupun foto.

Alat perekam yang penulis gunakan adalah handycam SONY, digital cam SONY, dan handphone NOKIA. Data yang sudah ada kemudian ditransfer dalam bentuk audio, khususnya data rekaman aktivitas martaganing.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yang telah penulis dapatkan dari penelitian lapangan akan diolah dalam kerja laboratorium. Proses transkripsi, analisa data, dan


(31)

mengolah data rekaman hingga membuat suatu kesimpulan dari penelitian dilakukan penulis pada kerja laboratorium. Untuk selanjutnya kesimpulan tersebut disusun menjadi sebuah laporan hasil penelitian dalam bentuk skripsi.


(32)

BAB II

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKATBATAK TOBA

2. 1. Letak Geografis

Etnis Batak Toba berasal dari daerah pinggiran danau Toba hingga wilayah pegunungan ke arah tenggara, selatan dan barat danau Toba serta pulau Samosir. Daerah tersebut kini merupakan beberapa wilayah administrasi (kabupaten) di provinsi Sumatera Utara, yaitu kabupaten Tapanuli Utara, kabupaten Toba Samosir, kabupaten Samosir, kabupaten Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Tengah. Danau Toba terletak di antara gugusan pegunungan Bukit


(33)

Barisan. Di sebelah Utara terdapat etnis Simalungun, Melayu, dan Karo. Di sebelah Selatan terdapat etnis Angkola dan Mandailing. Di sebelah Barat Laut terdapat etnis Pakpak.

Berdasarkan letak geografisnya, wilayah yang didiami oleh etnis Batak terdiri atas:

1. Wilayah pegunungan di sebelah Timur danau Toba disebut Uluan.

2. Wilayah pegunungan di sebelah Tenggara danau Toba disebut Habinsaran meliputi Parsoburan.

3. Wilayah dataran landai di sebelah Selatan danau Toba disebut Toba Holbung meliputi Balige, Laguboti, Sigumpar, Silaen dan Posea.

4. Wilayah pegunungan di sebelah Timur Laut danau Toba disebut Humbang meliputi Siborong-borong, Dolok Sanggul, Muara, Bakara, dan Sibandang. 5. Wilayah lembah di sebelah Selatan Humbang disebut Silindung meliputi

Tarutung, Sipoholon, Sipahutar. 6. Samosir dan Tele.

7. Wilayah pinggiran danau Toba di sebelah Barat Laut disebut Silalahi na Bolak.

8. Pesisir meliputi Barus dan Sibolga.

2. 2. Tatanan Sosial Kemasyarakatan Batak Toba

Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba tidak lepas dari istilah marga2 yang diturunkan dari garis keturunan marga ayah (patrilineal). Kelompok marga tertentu biasanya mendiami sebuah kampung yang disebut huta dan dipimpin oleh


(34)

kemasyarakatan yang disebut dalihan na tolu. 3

Dalam adat istiadat Batak Toba, pernikahan sesama marga dilarang dan dianggap tabu

Dalihan na tolu terdiri atas

dongan tubu / dongan sabutuha yaitu kelompok semarga, hula-hula yaitu kelompok marga asal istri, dan boru yaitu kelompok marga asal suami.

Prinsip Dalihan Na Tolu memiliki kaitan erat dengan sistem marga dan silsilah. Seorang Batak harus mengetahui asal-usul marga keluarganya dan juga urutan silsilahnya sehingga setiap dapat menempatkan diri dengan baik dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.

Doangsa P.L. Situmeang mengatakan konsep dalihan na tolu telah memberikan kepastian hukum tentang tohonan (kedudukan/jabatan), sijaloon

(hak), sileanon (kewajiban), pangalaho (sikap dan perilaku), patik (hukum), ruhut

(aturan), parture na (urutan-urutan), tording (batasan), uhum (perbuatan baik),

ugari (wujud perbuatan baik), partuturan (sistem kekerabatan), tarombo (silsilah),

ulaon adat (acara adat), tonggo raja, ria raja, rapot (forum musyawarah), dan sebagainya. Dengan demikian terciptalah keteraturan dan ketertiban bermasyarakat. (2007:205)

4

3Dalihan

artinya tungku, tolu artinya tiga. Dalihan na tolu adalah tungku yang terdiri dari

maka pernikahan antar marga (eksogami) merupakan perilaku yang lazim. Akibatnya, secara bersamaan konsep dalihan na tolu terbentuk. Dalihan na tolu juga mengatur sikap dan perilaku bermasyarakat. Konsep dalihan na tolu adalah manat mardongan tubu (menjaga hubungan terhadap dongan tubu),

somba marhula-hula (hormat terhadap hula-hula), dan elek marboru (lemah lembut terhadap boru).


(35)

Ketiga unsur dalihan na tolu memiliki peran masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam acara adat. Dongan tubu merupakan teman berdiskusi dan turut bertanggungjawab atas jalannya suatu acara. Boru memiliki tanggung jawab dalam hal teknis di lapangan. Sedangkan acara adat tidak akan berjalan tanpa kehadiran dan restu dari hula-hula. Seorang masyarakat Batak Toba dapat menyandang fungsi sebagai dongan tubu, hula-hula, dan boru sekaligus dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam sebuah acara adat hanya satu fungsi yang dapat disandangnya.

Organisasi wilayah yang terdiri dari beberapa huta yang masih semarga akan membentuk Horja yang dipimpin oleh seorang Raja Parjolo (raja terdepan) dan seorang Raja Partahi (raja perencana). Tingkatan wilayah yang lebih tinggi dari horja disebut Bius yang dipimpin oleh seorang Raja Bius atau Raja Doli.

Onan (pasar tradisional) merupakan tempat yang sangat penting bagi perekonomian masyarakat. Hari onan berbeda pada setiap tempat. Contohnya hari onan di Dolok Sanggul dan Balige adalah hari Jumat, sedangkan di Bakkara hari Rabu, di Laguboti hari Senin, di Muara hari Selasa, dan seterusnya. Selain tempat jual beli, onan merupakan tempat pertemuan orang dari kampung yang berbeda. Pada jaman dulu onan merupakan pusat interaksi antar masyarakat dan pusat informasi. Onan juga merupakan tempat dalam menyelesaikan perselisihan, pertemuan raja-raja, pesta bius, dan sebagainya.

2. 3. Sistem Mata Pencaharian

Pada umumnya masyarakat Batak Toba hidup dari bertani dan berkebun. Di daerah Toba Holbung dan Silindung masih terhampar luas persawahan diantara


(36)

Humbang hasil kebun dan hasil hutan adalah mata pencaharian yang utama. Hasil ikan dari danau Toba juga dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di pinggiran danau.

Hasil kerajinan seperti ulos, mandar (sarung), dan karya seni seperti ukiran juga terdapat di Samosir dan beberapa tempat lainnya di Toba Holbung dan Silindung. Selain itu, masyarakat Batak Toba juga bekerja di pemerintahan dan swasta.

2. 4. Agama Dan Kepercayaan

Kepercayaan kuno masyarakat Batak Toba meyakini Mulajadi na Bolon

sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya. Nama Mulajadi na Bolon berdasar pada konsep pemikiran orang Batak bahwa segala sesuatu ada mulanya. Mulajadi na Bolon menciptakan Debata na Tolu ( dewa tritunggal), yaitu Batara Guru sebagai penguasa benua bawah, Soripada sebagai penguasa benua tengah, dan Mangala Bulan sebagai penguasa benua atas. Ketiga unsur ini berkaitan dengan konsep Dalihan na Tolu. Batara Guru melambangkan kelompok Hula-hula, Soripada melambangkan kelompok Dongan Sabutuha, dan Mangala Bulan melambangkan kelompok Boru. (Situmeang 2007:216)

Menurut tulisan Hutasoit, Mulajadi Na Bolon sebagai pencipta segalanya pada awalnya memiliki tiga telur yang masing-masing menetaskan dua anak sehingga berjumlah enam, yaitu: (1) Batara Guru; (2) Raja Odap-odap; (3)

Debata Sori; (4) Tuan Dihurmajati; (5) Bala Bulan; (6) Raja Padoha. Oleh karena itu, konsep Ketuhanan (Hadebataon) dalam masyarakat Batak Toba berjumlah tujuh.


(37)

Warna khas Batak terdiri dari tiga warna yaitu hitam, merah, dan putih. Warna hitam melambangkan segala sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata dan tidak terjangkau oleh akal manusia.Warna hitam (birong) juga melambangkan Mulajadi na Bolon yang disebut homi (tersembunyi) karena manusia tidak dapat melihat dan tidak terjangkau oleh akal manusia.Warna putih (bottar) merujuk kepada getah tumbuhan yang memberikan kehidupan bagi tumbuhannya. Warna merah (rara) merujuk kepada warna darah manusia yang menghidupkan manusia. Tanpa darah, manusia tidak akan dapat hidup dan darah yang kotor akan menyebabkan banyak penyakit.

Menurut sumber-sumber yang diperoleh, agama Kristen dan Islam masuk ke Tanah Batak pada abad 19. Agama Islam dibawa oleh kaum Paderi dari Minangkabau ke daerah Mandailing, Angkola, dan daerah pesisir sebelum datangnya missionaris Kristen. Oleh sebab itulah missionaris Kristen mengambil lokasi penginjilannya pada daerah yang belum dimasuki oleh agama Islam, yaitu daerah pedalaman. Agama Kristen masuk ke Tanah Batak yang dibawa oleh orang Eropa dan Amerika dimulai pada tahun 1820an dari daerah Sibolga, daerah yang sudah diduduki oleh Belanda. Perkembangan agama Kristen semakin pesat setelah kedatangan I.L. Nommensen pada tahun 1862. Rencana awal dimulai dari Sipirok sampai ke Barus. Kemudian misi penginjilan berkembang ke Silindung, Toba, hingga ke Samosir. Nommensen memusatkan penginjilan dengan membuka sekolah dan pusat pengobatan di Huta Dame hingga akhirnya dipindahkan ke Pearaja. Sampai saat ini Pearaja merupakan pusat administrasi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).5


(38)

2. 5. Bahasa

Bahasa yang dipakai dalam masyarakat Batak Toba adalah hata Batak

(bahasa Batak). Tradisi penulisan di dalam bahasa Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13. Aksara Batak Toba terdiri dari 19 buah huruf yang disebut juga induk huruf dan ditambah 7 jenis anak huruf. Pada jaman dahulu aksara Batak hanya dipakai oleh datu (dukun). Aksara Batak sering digunakan untuk menuliskan berbagai mantra dan ilmu perdukunan, ilmu tentang ramuan obat, astrologi atau penanggalan, dan sebagainya.

Naskah-naskah tersebut ditulisakan pada lak lak (kulit kayu), ruas bambu, dan tulang kerbau. Lak lak dibentuk menjadi buku yang disebut pustaha.

Sementara naskah pada bambu dibuat dari bambu yang bekulit halus yang disebut

bulu suraton.

2. 6. Kesenian (Musik dan Tari) 2.6.1 Seni Musik

Dalam tradisi masyarakat Batak Toba terdapat dua jenis ensambel musik, yaitu gondang sabangunan dan gondang hasapi (uning-uningan). Gondang sabangunan atau disebut juga dengan gondang bolon terdiri dari satu set taganing

(singel-headed braced drum-chime), sebuah sarune bolon (double reeds-oboe),

gordang (singel-headed braced drum), empat buah ogung (suspended-gongs);

ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora, dan ogung doal, serta satu buah

hesek (idiophone). Semua perangkat ensambel ini disebut parhohas na ualu

(delapan perkakas). Gondang hasapi terdiri dari alat musik hasapi ende (lute), hasapi doal (lute), sarune etek (single reed), hesek (idiophone), dan dalam


(39)

Pemain musik gondang disebut dengan pargonsi (baca:pargocci). Gondang sabangunan dan gondang hasapi digunakan sebagai bagian dari suatu upacara adat. Kegiatan memainkan musik dalam suatu upacara disebut dengan

margondang.

Selain gondang, masyarakat Batak Toba juga mengenal andung-andung

dan andung. Andung-andung dan andung sebenarnya lebih mengarah kepada karya sastra karena penggunaan bahasa dan struktur pembentuk kalimatnya. Namun, dalam pelaksanaannya, keduanya memiliki unsur musik seperti melodi dan ritme.

Menurut Sibarani (1999:84-85)6

2.6.2 Seni Tari

, andung-andung merupakan prosa liris yang dikumandangkan untuk mengekspresikan perasaan sedih baik karena ditinggal kekasih, teman, anak, orangtua atau karena kesedihan lainnya. Lumbantoruan mengatakan bahwa andung-andung adalah nyanyian sendu yang merupakan ekspresi pribadi dengan menggunakan bahasa ratapan. Biasanya menceritakan tentang kesedihan atau penderitaan hidup (Lumbantoruan 2004:95).

Siahaan menjelaskan bahwa andung merupakan sejenis sastra lisan yang berisi curahan perasaan untuk meratapi jenazah orang yang dikasihi (Siahaan 1964:70). Bahasa yang dipakai dalam andung bukanlah bahasa sehari-hari karena merupakan ungkapan-ungkapan tertentu yang tidak lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Secara umum seni tari di dalam kebudayaan etnis Batak Toba disebut dengan tor-tor. Istilah ini berkait erat dengan gerak, gestur, ekspresi, dan


(40)

makna-makna yang dikomunikasikan dalam gerak berdasarkan konsep dalam tradisi budaya Batak Toba. Tor-tor merupakan ekspresi masyarakat Batak Toba yang disalurkan melalui gerakan tubuh sebagai “reaksi” terhadap gondang. Makna dari gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa tor-tor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui gerakan-gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara (Purba 2004:64).


(41)

BAB III

DESKRIPSI GONDANG SABANGUNAN

DAN SI PITU GONDANG DAN FUNGSINYA DI DALAM KEBUDAYAAN BATAK TOBA

3. 1. Pengertian Gondang Sabangunan

Secara harfiah, kata gondang memiliki banyak pengetian. Menurut Irwansyah1

Dalam tradisi mayarakat Batak Toba terdapat dua jenis ansambel musik, yaitu

gondang sabangunan dan gondang hasapi (uning-uningan). Gondang sabangunan atau disebut juga dengan gondang bolon terdiri dari satu set taganing (singel-headed braced drum-chime), sebuah sarune bolon (double reeds-oboe), gordang ( singel-headed braced drum), empat buah ogung (suspended-gongs); ogung oloan, ogung

, pengertian gondang adalah (1) seperangkat alat musik; (2) ansambel musik; (3) komposisi lagu atau kumpulan beberapa komposisi lagu; (4) suatu upacara; (5) menunjukkan suatu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia, atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang manortor (menari) pada saat upacara berlangsung.

Pengertian gondang sebagai seperangkat alat musik merujuk pada instrumen

taganing yang merupakan alat musik di dalam esnsambel gondang sabangunan.

Makna gondang lebih mengarah pada alat musik gendang.

1

Dalam skripsi sarjana Etnomusikologi P. Emerson Tarihoran, “Analisis Perbandingan Struktur Repertoir Musik Brass Band Dengan Gondang Sabangunan Dalam Si Pitu Gondang Di Kotamadya Medan”, 1994.


(42)

ihutan, ogung panggora, dan ogung doal, serta satu buah hesek (idiophone). Semua perangkat ansambel ini disebut parhohas na ualu (delapan perkakas). Gondang hasapi terdiri dari alat musik hasapi ende (lute), hasapi doal (lute), sarune etek (single reed), hesek (idiophone), dan dalam perkembangannya menggunakan alat musik taganing dan sulim (side blow flute).

Menurut Maningar Sitorus, manusia menerima karunia dan anugerah yang berbeda-beda dari Yang Maha Kuasa, salah satunya adalah kebudayaan (termasuk gondang). Oleh karena itu manusia harus menyembah dan memuliakanNya melalui karunia itu yang dalam hal ini melalui adat istiadat dan gondang. Melalui gondang manusia dapat berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa. Hal ini membuat gondang menjadi sesuatu yang sakral dan serius sehingga dalam penyajiannya dalam masyarakat Batak memiliki makna dan fungsi masing-masing berdasarkan judul gondang tersebut.

Konsep pemikiran tersebut merupakan konsep pemikiran masyarakat Batak Toba yang masih menganut religi Batak asli2

Pengertian godang sebagai sebuah upacara dapat ditemukan pada upacara parmalim. Seperti gondang parsahadatan pada upacara Pameleon Bolon Si Paha

, dimana gondang sabangunan berfungsi sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Mulajadi Na Bolon atau dapat juga antara manusia dengan sahala ni da ompung (arwah leluhur). Oleh karena sedemikian sakralnya gondang sabangunan, parsarune dan partaganing diberikan gelar yang sejajar dengan “dewa”, yaitu Batara Guru Manguntas (parsarune) dan

Batara Guru Humundul (partaganing). (Mauly, 1989:5).

2

Termasuk di dalamnya Parmalim (penganut ugamo Malim) . Maningar Sitorus adalah seorang Parmalim.


(43)

Lima. Gondang mandudu pada upacara pemanggilan roh. Gondang saem pada upacara penyembuhan.

3. 2. Instrumen Pada Gondang Sabangunan 3.2.1 Sarune Bolon

Sarune Bolon merupakan alat musik tiup berlidah ganda (double reed aerophone). Sarune bolon terbuat dari batang kayu mahoni yang berukuran antara 60 hingga 70 cm.


(44)

Sarune bolon memiliki lima buah lubang jari di bagian atas/depan dan sebuah lubang di bagian bawah/belakang. Dilihat dari kajian organologinya, sarune bolon terdiri atas: porda ni sarune (batang sarune); angar-angar atau sangar-sangar dan

daurna, yang berfungsi untuk memperbesar volume suara; situngkoi atau tolonan,

sebagai tempat reed diletakkan; untam-untam atau ombong-ombong, sebagai penahan bibir parsarune (pemain sarune); dan anak ni sarune atau ipit-ipit (reed).

3.2.2 Taganing

Taganing adalah seperangkat gendang yang terdiri dari lima buah gendang yang dilaras dan disusun sesuai tinggi rendah nadanya (frekwensi bunyi). Kelima gendang ini disusun pada satu kerangka kayu dengan susunan yang paling kecil (nada paling tinggi) di sebelah kiri dan kemudian berurutan sesuai nadanya.

Taganing terbuat dari kayu, seperti hau ni pinasa (artocarpus integer), hau ingul (cedrella toona), atau hau joring (phite colobium) (Purba 1998 : 157). Berbentuk konis atau barel dan termasuk gendang bermuka satu (single headed drum). Kulitnya terbuat dari kulit kerbau, lembu, atau kambing.

Sebutan untuk kelima taganing tersebut antara lain: ting ting atau anak ni taganing (gendang yang paling kecil); paidua ting ting (gendang kedua); painonga

(gendang ketiga/tengah); paidua odap (gendang keempat); dan odap-odap (gendang kelima). Taganing dimainkan oleh satu orang pemain (partaganing) dengan menggunakan dua alat pemukul (palu-palu).


(45)

Gambar 3.2 Taganing dan Gordang

Cara melaras nada taganing disebut dengan manganingnging3. Pertama-tama

tingting dipukul-pukul untuk mendengar bunyinya. Untuk menaikkan atau menurunkan nadanya yaitu dengan cara memukul solang-solang4

3

Berdasarkan wawancara dengan bapak Maningar Sitorus. Disebut manganingning karena untuk melaras taganing pertama sekali yang dilaras adalah tingting (gendang paling kecil), kemudian berurutan gendang kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

4

Solang-solang: kayu pengganjal yang berfungsi untuk menambah atau mengurangi

ketegangan kulit taganing.

. Kemudian

Gordang

Odap odap Paidua odap

Painonga Paidua ting ting


(46)

dilanjutkan gendang kedua, dan seterusnya. Ting ting merupakan dasar perhitungan interval bunyi pada taganing, sehingga ada istilah marguru tu anak na do taganing

(taganing berguru kepada anaknya) (Simangunsong 2006 : 7).

3.2.3 Gordang

Dari segi bentuk, gordang sama dengan taganing. Gordang merupakan gendang yang lebih besar yang peran musikalnya adalah sebagai pembawa ritem konstan maupun variatif dan berulang (ostinato). Gordang dimainkan oleh satu orang pemain (panggordangi) dengan menggunakan alat pemukul (palu-palu).

3.2.4 Ogung

Ogung terdiri dari empat buah ogung (gong) yaitu ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora dan ogung doal. Empat ogung ini mempunyai pencu dengan ukuran yang berbeda. Ogung oloan dan ogung ihutan lebih besar dengan garis pusat antara 40 hingga 50 sentimeter sedangkan ogung panggora dan ogung doal lebih kecil dengan garis pusat antara 30 hingga 37 sentimeter. Ogung dipukul dengan pemukul yang berbalut dan masing-masing dimainkan oleh satu orang. pemain

ogung oloan disebut pangoloi, pemain ogung ihutan disebut pangihuti, pemain

ogung panggora disebut panggorai, dan pemain ogung doal disebut pandoali


(47)

Gambar 3.3 Ogung

3.2.5 Hesek

Hesek adalah alat pukul idiofon yang dibuat dari perunggu tetapi kadang-kadang juga ada yang menggunakan besi atau botol bir kosong. Alat musik hesek ini dimainkan oleh satu orang pemain, dan pemainnya disebut panghesehi (baca: pakkeseki).

3. 3. Fungsi Gondang Sabangunan

Berdasar pada teori fungsi musik yang dikemukakan oleh Alan. P. Merriam, fungsi gondang sabangunan dalam tradisi Batak Toba secara umum adalah sebagai berikut:

3.3.1. Fungsi Penghayatan Estetika

Orang Batak yang hidup di lingkungan dengan kultural batak yang kental dan daerah yang sarat dengan budaya dan adat akan mampu memahami keindahan dari gondang.


(48)

3.3.2. Fungsi pengungkapan emosional

Musik dapat menyalurkan emosi dari para musisi kepada orang lain. Musisi gondang sabangunan akan mengungkapkan emosi musik kepada masyarakat yang mendengarnya. Tor-tor adalah ekspresi emosional spontan dari masyarakat yang mendengarkan gondang sabungan. Penortor akan menyesuikan tariannya dengan gondang yang ada. Gondang yang di mainkan dalam tempo cepat biasanya menunjukkan kegembiraan, sebaliknya, jika di mainkan dalam tempo lambat, melambangkan emosi dukacita, kesedihan, kekecewaan dan bencana.

3.3.3. Fungsi Hiburan

Dalam beberapa acara, Gondang sabungan digunakan sebagai hiburan. Contohnya pada upacara gondang naposo (gondang muda-mudi), Gondang didang-didang (gondang yang menyatakan kegembiraan), gondang saurmatua5

3.3.4. Fungsi Komunikasi

dan lain sebagainya.

Gondang sabungan mampu menyampaikan informasi melalui musik yang dimainkan oleh pargonsi. Masyarakat batak toba yang mendengar gondang naposo, tidak perlu menanyakan, upacara/ kegiatan apa yang berlangsung.

5

Pada Gondang saurmatua, kematian tidak menunjukkan kesedihan lagi, melainkan kegembiraan karena orang tua yang meninggal telah meninggalkan tugas-tugasnya di dunia dan memperoleh predikat gabe, namora dan marsangap.


(49)

Menurut Tarihoran, ada dua komunikasi dalam gondang sabungan, komunikasi vertikal dan horizontal. Komunikasi vertikal menunjukkan komunikasi antara manusia dan sosok yang dianggap posisinya lebih tinggi dari manusia. Biasanya komunikasi vertikal bersifat lebih relegius karena ditujukan kepada sumber berkat, kesejahteraan dan kehidupan.

Komunikasi Horizontal menghubungkan manusia dengan manusia di sekelilingnya. Gondang sabungan juga berfungsi untuk memanggil orang-orang sekitar, bahkan orang yang jauh untuk ikut dalam upacara yang sedang berlangsung. Semakin banyak orang yang datang dalam upacara tersebut, semakin terhormat upacara tersebut.

3.3.5. Fungsi perlambangan

Gondang sabangunan disebut parhohas na ualu, karena terdiri dari delapan alat musik batak toba yang berbeda, yaitu hesek, gordang, ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora, ogung doal, sarune, dan taganing. Setiap alat musik dalam gondang sabungan memiliki lambang dan makna tersendiri. Berikut adalah penjelasan lambang dari setiap alat musik dalam gondang sabangunan menurut Nainggolan (1984:9):

a. Hesek dilambangkan sebagai dongan (teman satu kampung) yang fungsinya serupa dengan haha-anggi (saudara/abang/adik) yakni mengurus terlaksananya suatu upacara adat itu dengan baik.

b. Gordang dilambangkan sebagai raja sahabat ataupun tetangga yang empunya hajat. Kehadiran raja ini membuktikan kebesaran suatu


(50)

keluarga, sama seperti suara gordang yang sanggup mempengaruhi keseluruhan bunyi gondang akibat besar volumenya.

c. Ogung oloan melambangkan boru natua-tua/boru pangolin (anak kemenakan yang kawin dan tinggal sekampung dengan hula-hula.) buru ini harus selalu setia pada hula-hula dan ia bertugas sebagai pemimpin pelayan di dalam upacara adat maupun pesta.

d. Ogung Ihutan dilambangkan sebagai boru naro (anak perempuan kandung yang pergi kawin dan tinggal di daerah lain), prinsipnya dia akan selalu mengikuti apa yang akan terjadi; selalu bertanya kepada boru yang lain apa yang haru dia kerjakan.

e. Ogung panggora dilambangkan sebagai boru tubu (anak perempuaan kandung yang tinggal sekampung dengan hula-hula), dia sebagai pemberi aba-aba (manggorahon) maupun menyatakan keinginan hula-hulakepada boru tubu dan boru na ro. Ia juga selalu akan diangkat sebagai bendahara dalam setiap kegiatan.

f. Ogung doal melambangkan namora, namora adalah keluarga lain yang diangkat sebagai boru di satu kampung. Dia bertanggungjawab atas segana pelayanaan dan dapat disebut sebagai koordinator pelaksana upacara adat.

g. Sarune dilambangkan sebai huls-huls, hula-hula selalu belakangan berbicara pada setiap kesempatan. Hula-hula sangat di hormati dalam sistim kekeluargaan masyarakat Batak Toba.di dalam pelaksanaan


(51)

gondang, sarune akan selalu belakangan di bunyikan sebagaimana hula-hula selalu belakangan berbicara.

h. Taganing dilambangkan sebagai hasuhuton yaitu orang yang melaksanakan upacara. (1986:32)

3.3.6. Fungsi reaksi Jasmani

Bunyi yang dihasilkan oleh gondang sabangunan, jika di dengar oleh masyarakat yang mengerti, dapat menimbulkan efek hingga orang yang mendengar dapat menari (manortor). Tempo musik yang di hasilkan oleh gondang sabangunan juga akan mempengaruhi tor-tor. Biasanya orang-orang yang menortorlah yang akan mengituti suasana musik yang sedang dimainkan. Reaksi lain dari gondang sabangunan adalah kesurupan.

3.3.7. Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Agama

Gondang sabangunan digunakan dalam berbagai peristiwa misalnya upacara kematian dan memasuki rumah baru. Pada kedua upacara ini, Gondang sabangunan berfungsi sebagai pengesahan.

3.3.8. Fungsi Kesinambungan Budaya

Secara tidak langsung, gondang batak telah menanamkan nilai-nilai kebudayaan dan adat istiadat dari generasi ke generasi. Sehingga generasi penerus tidak melupakan budaya luhur yang dimiliki suka batak. Seperti gondang Naposo,


(52)

yang menghantar generasi muda untuk memahami nilai-nilai budaya yang dikandung oleh gondang sabangunan tersebut.

3.3.9. Fungsi Pengintegrasiaan Masyarakat

Dalam upacara adat, gondang berfungsi sebagai penyatu antara masyarakat atau unsur-unsur dalam dalihan na tolu yang sedang berselisih paham. Setiap unsur akan merasakan adanya integrasi yang menyatu dalam nada dan irama musik gondang sabangunan.

3. 4. Si Pitu Gondang

Sipitu gondang merupakan kumpulan repertoir dalam gondang sabangunan yang disajikan sebagai pembuka sebuah upacara. Secara harfiah, pengertian sipitu gondang adalah tujuh gondang6

6gondang

dalam pengertian komposisi lagu.

. Keberadaan sipitu gondang dalam upacara sangat penting, karena tujuan dari gondang ini adalah menyampaikan segala maksud dan tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut. kepada Mulajadi Na Bolon (Irwansyah).

Kepercayaan asli Batak menurut Hutasoit, ada satu pencipta alam yaitu

Mulajadi Na Bolon. Pada awalnya Mulajadi Na Bolon memiliki tiga telur yang masing-masing menetaskan dua anak sehingga berjumlah enam, yaitu: (1) Batara Guru; (2) Raja Odap-odap; (3) Debata Sori; (4) Tuan Dihurmajati; (5) Bala Bulan;

(6) Raja Padoha. Oleh karena itu, konsep Ketuhanan (Hadebataon) dalam masyarakat Batak Toba berjumlah tujuh.


(53)

Menurut Sitohang (dalam Tarihoran,1994:37), sipitu gondang adalah milik ketujuh penguasa (Debata) yang dapat menggagalkan atau merestui jalannya upacara. Apabila gondang yang dimainkan baik, maka upacara itu akan direstui, dan sebaliknya jika tidak, maka pelaksana upacara akan mendapat hukuman. Oleh karena itu, sipitu gondang tidak dapat ditarikan.

Tarihoran mengambil kesimpulan bahwa makna bilangan tujuh bukanlah merujuk pada jumlah repertoar, namun berdasarkan kepada siapa gondang itu ditujukan.

Menurut Siahaan7

(1) Gondang Mulajadi Na Bolon, ditujukan kepada Debata Mulajadi Na Bolon sebagai pencipta alam semesta, darat, laut, dan segala isinya, yang tidak berawal dan tidak berakhir.

, salah satu contoh susunan sipitu gondang adalah sebagai berikut: (1) Gondang Mula-mula; (2) Gondang Ni Ompunta Mulajadi Na Bolon;(3)

Gondang Batara Guru; (4) Gondang Bala Bulan; (5) Gondang Debata Sori; (6)

Gondang Habonaran; (7) Gondang Sitio-tio; (8) Gondang Hasahatan. Dari ketujuh gondang tersebut, paling banyak dimainkan adalah tujuh gondang.

Sipitu gondang terdiri dari tiga bagian, yaitu: pendahuluan yang disebut gondang mula-mula, pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu, dan penutup yang disebut gondang hasatan.

Berikut uraian sipitu gondang berdasarkan tujuan penyajiannya:

7

Dalam skripsi sarjana Etnomusikologi P. Emerson Tarihoran, “Analisis Perbandingan Struktur Repertoir Musik Brass Band Dengan Gondang Sabangunan Dalam Si Pitu Gondang Di Kotamadya Medan”, 1994.


(54)

(2) Gondang Batara Guru, ditujukan kepada Batara Guru sebagai pengajar dan sumber segala ilmu, tempat bertanya, pemegang pertimbangan yang adil, yang menumbuhkan benih serta segala mahluk hidup.

(3) Gondang Debata Sori, ditujukan kepada Debata Sori sebagai penguasa yang mengasuh atau memelihara kehidupan manusia, yang memberikan kehormatan, kekayaan, kemakmuran, dan yang menentukan nasib manusia.

(4) Gondang Bane Bulan, ditujukan kepada Bane Bulan sebagai penguasa

hadatuon (ilmu kedukunan) dan hulubalang.

(5) Gondang Habonaron, ditujukan kepada penguasa setempat, yang dapat menenteramkan atau mengacaukan suasana setempat.

(6) Gondang Haro-haro, ditujukan kepada para dukun atau peramal yang menguasai ilmu gaib dan yang mengetahui nasib seseorang, yang sanggup mengadakan perang atau kedamaian tanpa disadari manusia.

(7) Gondang Saniang Naga, ditujukan kepada penguasa kehidupan laut (saniang naga laut), penguasa kehidupan di gunung/hutan (saniang

naga dolok/tombak), dan kepada penguasa kehidupan di perkampungan (saniang naga huta).

(8) Gondang Sibane-bane, sebagai pengesahan atau menguatkan ketujuh gondang di atas, atau sebagai penyempurnaan atas kekurangan yangmungkin terjadi pada permainan ketujuh gondang sebelumnya sekaligus memohon agar ketujuh penguasa itu menerima ketujuh gondang tersebut.


(55)

(9) Gondang Sitio-tio, sebagai permohonan kemurnian kepada ketujuh penguasa tersebut, memohon kejernihan suasana bagi semua masarakat yang berada dalam upacara itu berlangsung (Tarihoran,1994:41).

Seiring dengan masuknya agama terkhusus agama Kristen, maka penggunaan sipitu gondang dengan konsep lama mulai dihilangkan. Sipitu gondang tetap diadakan pada acara-acara adat Batak namun tujuan penyajiannya bukan lagi kepada “dewa-dewa”.

Dalam tulisan Simanungkalit (2011) dijelaskan tujuan penyajian gondang yang biasa digunakan pada masa sekarang ini, antara lain:

Gondang Mula-mula antara lain:

1. Gondang Alu-alu, untuk mengadukan segala keluhan kepada Yang Maha Pencipta.

2. Gondang Somba-Somba, sebagai persembahan kepada Yang Maha

Pencipta. Semua penari berputar di tempat masing-masing dengan kedua tangan bersikap menyembah.

Gondang Pasu-pasuan:

1. Gondang Sampur Marmeme, menggambarkan permohonan agar

dianugrahi dengan keturunan banyak.

2. Gondang Marorot, menggambarkan permohonan kelahiran anak yang

dapat diasuh.

3. Gondang Saudara, menggambarkan permohonan tegaknya keadilan dan


(56)

4. Gondang Sibane-bane, menggambarkan permohonan adanya kedamaian dan kesejahteraan.

5. Gondang Simonang-monang, menggambarkan permohonan agar selalu

memperoleh kemenangan.

6. Gondang Didang-didang, menggambarkan permohonan datangnya

sukacita yang selalu didambakan manusia.

7. Gondang Malim, menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang

imam yang tidak mau ternoda.

8. Gondang Mulajadi, menggambarkan penyampaian segala permohonan

kepada Yang Maha pencipta sumber segala anugerah.

Sedangkan yang termasuk gondang penutup (Gondang Hasatan):

1. Gondang Sitio-tio, menggambarkan kecerahan hidup masa depan sebagai jawaban terhadap upacara adat yang telah dilaksanakan.

2. Gondang Hasatan, menggambarkan penghargaan yang pasti tentang

segala yang dipinta akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama.

Sementara itu, Tarihoran(1994) memberikan gambaran bagaimana format repertoir sipitu gondang saat ini antara lain:

a. 1. Gondang Somba-somba/mula-mula 2. Gondang Mangaliat (Liat-liat) 3. Gondang Sibane-bane

4. Gondang Sampurmarmeme 5. Gondang Hasahatan/Sitio-tio


(57)

b. 1. Gondang Mula-mula 2. Gondang Saurmatua 3. Gondang Somba-somba

4. Gondang Parmeme/Parorot (Marorot) 5. Gondang Hasahatan/Sitio-tio

c. 1. Gondang Mula-mula

2. Gondang Mangaliat (Liat-liat) 3. Gondang Pasu-pasu (Pasu-pasuan) 4. Gondang Monang-monang

5. Gondang Hasahatan/Sitio-tio

Dari ketiga kelompok repertoir sipitu gondang di atas dapat kita lihat bahwa beberapa repertoir di gabungkan menjadi satu, namun tetap dianggap dua repertoir sehingga jumlahnya tetap tujuh. Walaupun demikian, biarpun hanya tiga atau bahkan satu, masih dapat disebut sipitu gondang, tergantung kepada konteksnya.

Jadi kelompok repertoir sipitu gondang yang kini berlaku dimintakan oleh sekelompok kekerabatan dalam suatu kesempatan upacara adat yang ditujukan kepada pelaksana upacara atau kepada objek/sasaran upacara.


(58)

BAB IV

STRUKTUR MUSIK TAGANING PADA

GONDANG SABANGUNAN DALAM SIPITU GONDANG

4. 1. Transkripsi

4.1.1. Metode Transkripsi

Dalam menganalisis struktur musik, notasi sangat diperlukan sebagai materi visual. Menurut Nettl (1964 : 99), notasi terbagi atas dua jenis, yaitu: notasi prespektif dan notasi deskriptif. Notasi prespektif adalah notasi yang bertujuan sebagai pedoman bermain musik, sedangkan notasi deskriptif adalah notasi yang bertujuan untuk mencatat secara terperinci bagian-bagian musik yang disajikan.

Untuk mendapatkan notasi permainan taganing, maka penulis berusaha untuk melakukan transkripsi melalui rekaman permainan taganing oleh bapak Maningar Sitorus. Sistem penulisan notasi yang penulis gunakan adalah notasi balok (Barat). Hal ini disebabkan oleh karena notasi balok adalah notasi yang umum digunakan saat ini terkhusus di lingkingan akademi. Selain itu, keterbatasan penulis dalam membuat sistem notasi yang baru di luar notasi balok.

4.1.2. Sistem Notasi

Dalam penulisan notasi taganing, lima gendang dilambangkan oleh lima garis paranada. Garis paranada menunjukkan posisi/urutan gendang. Garis (1) menunjukkan odap-odap, garis (2) menunjukkan paidua odap, garis (3) menunjukkan painonga, garis (4) menunjukkan paidua ting ting, dan garis (5)


(59)

Gambar 4.1 Garis paranada taganing

Pada gondang mula-mula dan gondang sitio tio, teknik memainkan yang dipakai Maningar Sitorus adalah mangarapat ; yaitu kedua stik (palu-palu) dipukulkan pada kulit gendang secara bergantian mengikuti pola melodi sarune. Sedangkan pada gondang didang didang, (sesuai dengan namanya) teknik yang dipakai adalah didang didang ; yaitu stik pada tangan kiri mengikuti pola siklus

ogung dan stik pada tangan kanan mengikuti pola melodi pada sarune. Pada notasi

gondang didang didang, tangkai not ke atas menunjukkan pukulan palu-palu pada tangan kiri; sedangkan tangkai not ke bawah menunjukkan pukulan palu-palu

pada tangan kanan.

Gambar 4.2 Contoh notasi gondang dengan teknik mangarapat (2) (5) (4) (3) (1)


(60)

Gambar 4.3 Contoh notasi gondang dengan teknik didang didang

Pelarasan taganing tidak selalu sama antara partaganing yang satu dengan

partaganing yang lain. Oleh karena itu, tinggi rendahnya frekwensi bunyi adalah relatif. Melihat hal itu, pada transkripsi dalam tulisan ini garis-garis paranada tidak menunjukkan pada frekwensi nada tertentu, sehingga tanda kunci (clef) tidak dipakai.

Gambar 4.4 Tanda mula pada alat musik perkusi

4. 2. Meter

Untuk dapat menentukan meter dalam gondang sabangunan sangat diperlukan peran ogung dan juga gordang. Pada dasarnya meter yang dipakai dalam semua gondang adalah meter 4. Hal itu terlihat dari siklus ketukan ogung. Ogung oloan akan selalu muncul pada ketukan pertama setiap birama dan ogung ihutan pada ketukan ketiga setiap birama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan


(61)

bahwa meter yang digunakan pada gondang mula-mula, gondang didang didang,

dan gondang sitio-tio adalah meter 4.

Gambar 4.5 Meter 4

4. 3. Tempo

Pada umumya ketiga gondang yang dibahas pada tulisan ini relative cepat. Dengan mengunakan sistem Metronom Meter dimana not ¼ mewakili satu ketukan dasar gondang, maka tempo dari ketiga gondang tersebut adalah sebagai berikut:

Gondang mula-mula = MM

q

± 170

Gondang didang didang = MM

q

± 152


(62)

4. 4. Frasa

4.4.1. Gondang Mula-mula

A


(63)

C

D

E

F


(64)

H

I

J K

L

M

N


(65)

Gondang mula mula yang dimainkan oleh bapak Maningar Sitorus memliki durasi yang panjang dan juga frasa yang beragam. Menurut beliau,

gondang mula mula seperti ini sudah sangat dimainkan pada acara-acara adat. Selain karena “tujuannya”, hal ini disebabkan oleh durasi yang lama untuk sebuah

gondang di awal acara.

P

Q

R

S


(66)

4.4.2. Gondang Didang didang

A

B

C B1

C1

D

D1


(67)

E1 F

F1

G

H

H1

I

I1


(68)

Frasa yang terdapat pada gondang didang didang berjumlah sepuluh frasa. Frasa A merupakan bagian pembuka (prelude), frasa B (B1); C (C1); D (D1); E (E1); F (F1); G; H (H1); dan frasa I (I1) merupakan bagian isi, serta frasa J sebagai bagian penutup.

4.4.3. Gondang Sitio-tio

A

B

C


(69)

E

F

G

H

I


(70)

4. 5. Motif dan Pola Ritem 4.5.1 Gondang Mula-mula


(71)

(72)

(73)

(1)

66 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan

Konsep dalihan na tolu sebagai suatu prinsip hidup masih dipegang erat oleh masyarakat Batak Toba hingga saat ini. Hal ini terlihat dari kehidupan sehari-hari dan yang paling nyata adalah pada saat acara-acara adat. Komponen dalihan na tolu harus saling melengkapi dan mengambil peran masing-masing dalam setiap acara-acara adat.

Gondang sabangunan sebagai komponen upacara masih dipertahankan walaupun mengalami pergeseran “tujuan” penggunaannya serta perubahan instrumen di dalamnya. Hal ini juga berpengaruh terhadap repertoar yang dimainkan pada acara tersebut juga telah berubah.

Si pitu gondang, yang pada awalnya merupakan doa kepada para “penguasa” dan harus dimainkan secara utuh, kini konsep itu telah berubah dimana si pitu gondang hanya dijadikan sebagai pembuka atau pengesahan acara. Menurut bapak Maningar Sitorus, masyarakat Batak saat ini tidak lagi menguasai apa saja repertoar gondang untuk acara tertentu. Gondang yang dimainkan tidak lagi harus berisi doa kepada “penguasa”, namun lebih mengarah kepada pengiring tor tor.

Oleh karena sebab di atas, seorang pemusik tidak lagi harus memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang repertoar gondang yang asli untuk dapat mengiringi sebuah acara. Hal ini juga berpengaruh pada proses transmisi gondang menjadi suatu hal yang diabaikan. Tidak ada lagi proses belajar margondang yang lama oleh murid kepada gurunya.


(2)

Ketiga gondang yang penulis transkripsi dalam tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan. Notasi yang ada belum membahas mengenai aksentuasi ritmis yang sangat kompleks dalam gondang Batak Toba. Namun, dari analisis yang dibuat dapat dilihat bahwa di samping berperan sebagai pembawa melodi dalam gondang sabangunan, taganing yang juga berperan sebagai pembawa ritme sering kali membuat variasi ritmis yang kompleks. Sehingga untuk mendapatkan melodi yang asli sangat sulit apabila dilihat dari permainan taganing.

Gondang dimainkan pada si pitu gondang memiliki tempo cepat. Dari

ketiga gondang yang dibahas terlihat tempo gondang mula mula adalah yang paling cepat diikuti oleh gondang sitio tio dan gondang didang didang. Dari data rekaman yang penulis peroleh, ketujuh gondang yang dimainkan oelh bapak Maningar Sitorus memiliki tempo yang cepat.

Pola-pola ritme yang ada pada ketiga gondang tersebut relatif sama. Pengulangan-pengulangan pola tersebut sangat jelas terlihat pada ketiga gondang. Secara musikal, hal yang sangat menentukan dalam keindahan gondang Batak Toba adalah aksentuasi dalam setiap pukulannya. Apabila dilihat transkripsi yang ada, semuanya mirip dan variasi yang ada merupakan pengembangan dari pola yang lebih sederhana. Namun, apabila didengarkan kembali data rekaman

gondang tersebut, maka yang muncul adalah aksetuasi yang kompleks anatara

tangan kanan dan kiri.

Berdasarkan wawancara dengan bapak Maningar Sitorus, keindahan permainan itu dipengaruhi oleh keyakinan pada yang Maha Kuasa. Dalam hal ini beliau adalah penganut ugamo malim (parmalim). Keyakinan beliau bahwa setiap pargonsi justru lebih tinggi posisinya dari seorang pemimpin upacara adat atau pemuka agama. Dia berkeyakinan setiap musik yang dimainkan tidak sepenuhnya


(3)

68

karena kemampuan pargonsi tersebut, tetapi karena penyertaan Yang Maha Kuasa dalam acara itu. Untuk bisa seperti itu, maka setiap pargonsi harus menjaga kualitas hidup yang suci dalam kehidupan sehari-hari.

5. 2. Saran

Kekurangan dalam proses transkripsi ini sangat berpengaruh kepada hasil penelitian. Namun, penulis berharap hasil transkripsi dan dokumentasi ini dapat digunakan sebagai bahan ajar dalam proses transmisi gondang dalam dunia akademis.

Penelitian dan tulisan mengenai konsep musik gondang sudah banyak, namun perhatian pada dokumentasi dan transkripsi musik itu sendiri belum sebanyak perhatian kepada penulisan atau penelitian konsep budaya yang terdapat pada musik itu.

Penulis berpendapat bahwa proses transkripsi dan dokumentasi terhadap

gondang dapat dilakukan dalam program yang lebih besar yang melibatkan

banyak akademisi di bidang etnomusikologi. Sehingga repertoar-repertoar gondang tidak hilang seiring dengan modernisasi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Hutajulu, Rithaony, Irwansyah Harahap, 2005. “Gondang Batak Toba I.” Koentjaraningrat. 1996. “Pengantar Antropologi-I”. Jakarta: PT Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1971. “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.” Jakarta:

Penerbit Djembatan.

Lumbantoruan, Nelson. 2004. “Andung Nyanyian Sendu Tradisi Lama Batak Toba.” dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun; Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen, Medan. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York:

Malm, William P. 1993. Music Cultures of the Pasific, the Near East, and Asia (terjemahan). Medan. Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Merriam, Alan P. The Anthropology of Music

Merriam, Alan.P. 1995. ”Beberapa Defenisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis”. Dalam:

Moleong, Lexy. J. 2000. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Prier SJ, Karl Edmund. 1996. “Ilmu Bentuk Musik”. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

Purba, Mauly. 2004. “Mengenal Trandisi Godang dan Tor tor Pada Masyarakat Batak Toba.” dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun; Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen, Medan.


(5)

xi

Tarihoran, P. Emerson. 1994. “ Analisis Perbandingan Struktur Repertoir Musik Brass Band Dengan Gondang Sabanguna Dalam Sipitu Gondang di Kotamadya Medan.” Skripsi S-1 Etnomusikologi, Fakultas Sastra, USU. Medan.

______________ 2008. “Kamus Bahasa Indonesia.” Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Simangunsong, Emmi. 2006. “Musikologi Batak.” Medan: Universitas HKBP Nommensen Medan.

Sinaga, Richard. 1999. “Meninggal Adat Dalihan Na Tolu.” Jakarta: Dian Utama. Situmeang, Doangsa P.L. 2007. “Dalihan Natolu - Sistem Sosial Kemayarakatan

Batak Toba.” Jakarta: Penerbit Kerabat-Dian Utama.


(6)

INFORMAN

Nama : Maningar Sitorus

Pekerjaan : Pemusik tradisional Batak Toba (pargonsi); Pimpinan Dos Ulina Grup