10 sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-
fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian, kerja keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan
uraian mengenai apa itu etnomusikologi seperti tersebut di atas.
Untuk itu, penulis membuat tulisan ini dengan judul : Deskripsi Struktur dan Fungsi Musik Taganing pada Repertoar Si Pitu Gondang
dalam Ensambel Gondang Sabangunan yang Disajikan oleh Maningar Sitorus.
1. 2. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana konsep penyajian sipitu gondang dalam gondang
sabangunan? 2.
Bagaimana fungsi sipitu gondang dalam gondang sabangunan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba?
3. Bagaimana struktur musik taganing pada repertoar si pitu gondang
dalam gondang sabangunan?
1. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep si pitu gondang dalam
penyajiannya pada sebuah upacara. 2.
Untuk mengetahui fungsi taganing pada repertoar si pitu gondang dalam gondang sabangunan dalam kebudayaan masyarakat batak
Toba.
11 3.
Untuk mengetahui struktur taganing pada repertoar si pitu gondang dalam gondang sabangunan.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Sebagai dokumentasi atau literatur mengenai pola ritme taganing
pada gondang sabangunan. 2.
Menambah referensi tentang pola-pola ritme taganing bagi peneliti selanjutnya.
1. 4. Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Naional, analisis berarti: pemaparan dengan kata-kata seeara jelas dan terperinci.
Sruktur artinya cara sesuatu disusun atau dibangun. Struktur juga berarti susunan pembentuk sesuatu. Sedangkan musikal artinya unsur-unsur musik
terutama ritme dan melodi. Ritme merupakan bahasa serapan berasal dari bahasa Inggris yaitu Rhythm yang berarti pukulan kuat dan lemah yang berulang secara
teratur dalam berpidato, bermusik, dan tarian The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press. Ritme juga berarti
durasi bunyi dalam musik. Deskripsi struktur musik dalam tulisan ini berarti kegiatan keilmuan
yang bertujuan untuk menggambarkan dan mempelajari pola-pola atau struktur atau bentuk-bentuk ritme taganing yang terdapat pada repertoar gondang
12 sabangunan. Struktur yang dimaksud mencakup pola ritme ritem, meter,
tempo, frasa, dan motif. Taganing singel-headed braced drum adalah seperangkat gendang yang
terdiri dari lima buah masing-masing memiliki nada yang berbeda-beda. Taganing berperan sebagai pembawa melodi pada repertoar musik tradisional
Batak Toba bersama dengan sarune bolon double reeds-oboe. Orang yang memainkan taganing disebut dengan partaganing.
Repertoar adalah kumpulan beberapa komposisi lagu dalam sebuah acara atau upacara. Contohnya repertoar si pitu gondang, terdapat beberapa komposisi
lagu dan dalam penyajiannnya paling banyak tujuh komposisi gondang. Sipitu gondang merupakan pembuka lambang pengesahan dimulainya upacara adat
dalam masarakat Batak Toba. Gondang sabangunan adalah salah satu ansambel musik tradisonal Batak
Toba selain gondang hasapi uning uningan. Pada tradisi musik Batak Toba, kata gondang memiliki arti: 1 instrumen musik taganing=gondang, 2
ansambel musik, dan 3 judul komposisi lagu Pasaribu, 1987. Gondang sabangunan terdiri dari taganing singel-headed braced drum; gordang dan
anak ni taganing, sebuah sarune bolon double reeds-oboe, empat buah ogung suspended-gongs; ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora, dan ogung
doal, serta satu buah hesek idiophone.
13
1.4.2 Teori
Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas suatu permasalahan. Untuk itu, penulis menggunakan beberapa teori
sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori yang diungkapkan oleh
Bruno Nettl dan Gerald Behague 1991 bahwa sebuah kebudayaan rakyat atau kebudayaan lisan, sebuah lagu atau musik harus dinyanyikan, diingat, dan
diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika hal ini tidak terjadi, maka lagu atau musik itu akan mati dan hilang. Namun, ada alternatif lain, jika
musik tersebut tidak diterima oleh penonton, hal ini mungkin dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan dari orang-orang yang mempertunjukkan dan
mendengarnya. Nettl juga mengemukakan bahwa perubahan sangat mungkin terjadi pada tradisi oral. Hal inilah yang terjadi pada musik tradisional Batak
Toba yang merupakan tradisi lisan khususnya gondang sabangunan sehingga memungkinkan para pemusik pargonci membuat variasi masing-masing
supaya tetap dapat diterima oleh masyarakat. Untuk mendeskripsikan fungsi taganing pada repertoar si pitu gondang
dalam gondang sabangunan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, penulis menggunakan teori penggunaan dan fungsi musik, seperti yang dikemukakan
oleh Alan P. Merriam 1964:223-226. Menurut Merriam penggunaan uses dan fungsi function merupakan salah satu masalah yang terpenting di dalam
etnomusikologi. Penggunaan musik meliputi pemakaian musik dalam konteksnya atau bagaimana musik itu digunakan, sedangkan fungsi musik
berkaitan dengan tujuan pemakaian musik tersebut.
14 Di dalam buku Allan P. Merriam juga disebutkan bahwa paling tidak
sampai tahun 1964 para etnomusikolog mendeskripsikan sepuluh fungsi musik dalam ilmu etnomusikologi yaitu:
1. Fungsi pengungkapan emosional,
2. Fungsi pengungkapan estetika,
3. Fungsi hiburan,
4. Fungsi komunikasi,
5. Fungsi perlambangan,
6. Fungsi reaksi jasmani,
7. Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial,
8. Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan,
9. Fungsi kesinambungan kebudayaan, dan
10. Fungsi pengintregasian masyarakat.
Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu
Bronislaw Malinowski 1884-1942. Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya
dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia
ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942. Sayangnya tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional
yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Caims dan menerbitkannya dua tahun sesudah itu Malinowski, 1944.
15 Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi
berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam beberapa kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam
masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menye-babkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, prilaku
manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi Kaberry 1957:82, yaitu: a Fungsi
sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, prilaku
manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat; b Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua
mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat
yang terlibat; c Fungsi sosial dari suau adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak
untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Lebih jauh lagi, Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat
berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian,
Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian
aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal,
seperti yang diuraikannya berikut ini.
16 By the definition here offered ‘function’ is the contribution
which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution
of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a
certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the
social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts
can neither be resolved not regulated 1952:181.
Menurut Radcliffe-Brown fungsi dapat diartikan sebagai sumbangan suatu aktivitas tertentu kepada keseluruhan aktivitas di dalam masyarakat, yang
mana kegiatan ini menjadi bahagian tidak terpisahkan dari keseluruhan kegiatan tersebut. Fungsi dari penggunaan sosial tertentu adalah menyumbangkan kepada
semua kehidupan di dalam masyarakat tersebut yang membentuk sebuah sistem sosial, yang membentuk suatu kesatuan fungsional. Dapat didefenisikan bahwa
fungsi adalah sebuah kondisi di mana semua bahagian sistem sosial bekerjasama untuk mencapai harmoni dan konsistensi internal kebudayaan, tanpa terjadinya
kondisi seperti ini, maka akan terjadi konflik dan tidak akan terjadi regulasi. Untuk mendeskripsikan pola ritme dan struktur melodi taganing, penulis
menggunakan teori analisis musik oleh William P. Malm terjemahan Takari, 2003 yang mengatakan bahwa ada langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
pengamatan seni pertunjukan, yaitu: 1 mendeskripsikan sifat seni pertunjukan apakah penyanyi atau pemain musik, 2 menganalisis “waktu”, yaitu meter,
pulsa dasar, dan unit-unit pembentuk birama, serta 3 menganalisis melodi musik dengan menggunakan metode weighted scale bobot tangga nada. Dalam
tulisan ini, penulis berfokus pada analisis pola ritme yang sesuai dengan langkah kedua, yaitu menganalisis “waktu” lewat pendekatan musik barat yang meliputi:
17 pencatatan tempo, penulisan notasi ritme dan hubungannya dengan melodi,
pencatatan meter untuk menentukan pusa dasar, dan merangkum pulsa-pulsa tersebut ke dalam unit-unit birama Takari, 1993.
Berhubungan dengan itu, Mark Slobin dan Jeff Titon 1984 mengatakan bahwa style gaya musik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
organisasi bunyi musikal itu sendiri, antara lain: 1 elemen nada: tangga nada, modus, melodi, harmoni, sistem laras, 2 elemen waktu: ritme dan meter, 3
elemen warna suara: kualitas suara dan warna suara instrumen, serta 4 intensitas suara keras lembutnya suara. Dalam ansambel gondang sabangunan
taganing merupakan alat musik perkusi yang berperan memainkan melodi bersama sarune bolon. Taganing dilaras sehingga menghasilkan lima nada yang
berbeda. Menurut Maningar Sitorus, sistem pelarasan taganing berhubungan dengan kualitas bunyi yang dihasilkan. Permainan taganing ditentukan pada
pengembangan dari melodi dasar yang dimainkan sehingga menjadi sebuah pola ritme dan aksentuasi yang kompleks.
Untuk proses transkripsi penulis menggunakan pendekatan transkripsi yang mengacu pada Nettl yang mengatakan bahwa ada dua pendekatan utam
untuk mendeskripsikan musik, yaitu: 1 kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan 2 kita dapat dengan cara
menuliskan apa yang kita dengar tersebut ke atas kertas lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat. Namun menurut Nettl, poin pertama merupakan hal yang
sangat sulit dan tak mungkin bagi seseorang manusia untuk mengingat dan mendeskripsikan sesuatu hanya lewat sekali pendengaran, oleh sebab itu penulis
menggunakan poin kedua. Selain itu penulis juga akan menggunakan cara
18 mentranskripsikan musik dengan: 1 menirukan bunyi atau ritme dengan
bernyanyi, dan 2 belajar memainkan alat musik yang akan ditranskripsikan. Hal ini juga dilakukan oleh bapak Maningar Sitorus dalam teknik pengajaran
taganing kepada muridnya.
1. 5. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian yang bersifat kualitatif. Pada penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap,
yaitu: tahap sebelum ke lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap analisis data, dan tahap penulisan laporan.
Penulis juga menggunakan metode yang dikemukakan oleh Curt Sachs dalam Nettl 1963:2 bahwa penelitian dalam etnomusikologi dibagi dalam dua
cara, yaitu: kerja lapangan field work dan kerja laboratorium desk work. Kerja lapangan meliputi pengumpulan data dan perekaman data dari aktifitas
musik dalam hal aktifitas martaganing dan kerja laboratorium adalah pengolahan data yang meliputi pentranskripsian, menganalisa data, dan
membuat kesimpulan dari keseluruhan data.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Dalam mengumpulkan data-data awal maupun data pendukung tulisan ini, penulis melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi pendukung penelitian dan penulisan ini yang terdapat antara lain pada buku berjudul Gondang Batak Toba I 2005 yang ditulis oleh
Rithaony Hutajulu dan Irwansyah Harahap, buku ajar karangan Emmi
19 Simangunsong berjudul Musikologi Batak 2006, buku berjudul Meninggal
Adat Dalihan Na Tolu 1999 karangan Drs. Richard Sinaga, buku berjudul Dalihan Natolu-Sistem Sosial Kemayarakatan Batak Toba 2007 karangan
Doangsa P.L. Situmeang, buku karangan Prof. Koentjaraningrat yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia 1971 dan Pengantar Ilmu Antropologi
edisi revisi 2009, buku berjudul The Anthropology of Music karangan Alan P. Merriam, buku berjudul Theory and Method in Ethnomusicology karangan
Bruno Nettl, buku karangan Lexy Moleong dengan judul “Metodologi Penelitian Kualitatif” 2000, buku karangan William P. Malm yaitu Music Cultures of the
Pasific, The Near East, and Asia 1993 yang telah dialih-bahasakan oleh Muhammad Takari, serta buku karangan Alan P. Merriam dkk yaitu
“Etnomusikologi” yang telah dialih-bahasakan oleh Sentosa dan Rizaldi Siagian dengan R.Supanggah sebagai editor. Selain buku, penulis juga mencari sumber
lain seperti; skripsi-skripsi di Perpustakaan Departemen Etnomusikologi FIB USU, artikel-artikel dan jurnal etnomusikologi serta artikel-artikel dari internet
yang mempunyai relevansi dengan materi pokok penulisan.
1.5.2 Penelitian Lapangan
1.5.2.1 Observasi
Kontak langsung dengan objek yang akan diteliti merupakan cara terbaik untuk mendapatkan informasi. Observasi atau pengamatan dilakukan penulis
langsung di tempat objek yang diteliti berada, dalam hal ini di Laguboti, kabupaten Toba Samosir. Penelitian pertama dilakukan pada tanggal 5-6 Maret
20 2014. Pengamatan penulis lakukan adalah pengamatan terhadap daerah tempat
objek yang diteliti berada dan aktifitas martaganing.
1.5.2.2 Wawancara
Dalam melakukan wawancara, penulis melakukan wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Artinya, selain pokok permasalahan dan daftar pertanyaan
yang sudah tersusun, akan timbul juga topik dan pertanyaan di luar pokok permasalahan namun akan tetap mendukung data yang akan dikumpulkan,
sehingga proses penelitian tidak kaku dan dapat berjalan dengan lancar. Informan kunci dalam penelitian ini adalah bapak Maningar Sitorus yang
merupakan partaganing yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam musik Batak Toba.
1.5.2.3 Perekaman Data
Perekaman data yang dilakukan adalah perekaman aktifitas martaganing dan perekaman wawancara menggunakan kamera video maupun foto.
Alat perekam yang penulis gunakan adalah handycam SONY, digital cam SONY, dan handphone NOKIA. Data yang sudah ada kemudian ditransfer dalam
bentuk audio, khususnya data rekaman aktivitas martaganing.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Keseluruhan data yang telah penulis dapatkan dari penelitian lapangan akan diolah dalam kerja laboratorium. Proses transkripsi, analisa data, dan
21 mengolah data rekaman hingga membuat suatu kesimpulan dari penelitian
dilakukan penulis pada kerja laboratorium. Untuk selanjutnya kesimpulan tersebut disusun menjadi sebuah laporan hasil penelitian dalam bentuk skripsi.
22
BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA
MASYARAKAT BATAK TOBA
2. 1. Letak Geografis
Etnis Batak Toba berasal dari daerah pinggiran danau Toba hingga wilayah pegunungan ke arah tenggara, selatan dan barat danau Toba serta pulau
Samosir. Daerah tersebut kini merupakan beberapa wilayah administrasi kabupaten di provinsi Sumatera Utara, yaitu kabupaten Tapanuli Utara,
kabupaten Toba Samosir, kabupaten Samosir, kabupaten Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Tengah. Danau Toba terletak di antara gugusan pegunungan Bukit
Gambar 2.1 Daerah asal Suku Batak
23 Barisan. Di sebelah Utara terdapat etnis Simalungun, Melayu, dan Karo. Di
sebelah Selatan terdapat etnis Angkola dan Mandailing. Di sebelah Barat Laut terdapat etnis Pakpak.
Berdasarkan letak geografisnya, wilayah yang didiami oleh etnis Batak terdiri atas:
1. Wilayah pegunungan di sebelah Timur danau Toba disebut Uluan.
2. Wilayah pegunungan di sebelah Tenggara danau Toba disebut Habinsaran
meliputi Parsoburan. 3.
Wilayah dataran landai di sebelah Selatan danau Toba disebut Toba Holbung meliputi Balige, Laguboti, Sigumpar, Silaen dan Posea.
4. Wilayah pegunungan di sebelah Timur Laut danau Toba disebut Humbang
meliputi Siborong-borong, Dolok Sanggul, Muara, Bakara, dan Sibandang. 5.
Wilayah lembah di sebelah Selatan Humbang disebut Silindung meliputi Tarutung, Sipoholon, Sipahutar.
6. Samosir dan Tele.
7. Wilayah pinggiran danau Toba di sebelah Barat Laut disebut Silalahi na
Bolak. 8.
Pesisir meliputi Barus dan Sibolga.
2. 2. Tatanan Sosial Kemasyarakatan Batak Toba
Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba tidak lepas dari istilah marga
2
2
Marga adalah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, sedarah, seketurunan menurut garis keturunan dari ayah atau ibu, yang mempunyai tanah sebagai sebagai milik
bersama di daerah asal atau tanah leluhur. Situmeang 2007:32
yang diturunkan dari garis keturunan marga ayah patrilineal. Kelompok marga tertentu biasanya mendiami sebuah kampung yang disebut huta dan dipimpin oleh
Raja Huta. Kekerabatan masyarakat Batak Toba diatur dalam suatu tatanan sosial
24 kemasyarakatan yang disebut dalihan na tolu.
3
Dalam adat istiadat Batak Toba, pernikahan sesama marga dilarang dan dianggap tabu
Dalihan na tolu terdiri atas dongan tubu dongan sabutuha yaitu kelompok semarga, hula-hula yaitu
kelompok marga asal istri, dan boru yaitu kelompok marga asal suami. Prinsip Dalihan Na Tolu memiliki kaitan erat dengan sistem marga dan
silsilah. Seorang Batak harus mengetahui asal-usul marga keluarganya dan juga urutan silsilahnya sehingga setiap dapat menempatkan diri dengan baik dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat. Doangsa P.L. Situmeang mengatakan konsep dalihan na tolu telah
memberikan kepastian hukum tentang tohonan kedudukanjabatan, sijaloon hak, sileanon kewajiban, pangalaho sikap dan perilaku, patik hukum, ruhut
aturan, parture na urutan-urutan, tording batasan, uhum perbuatan baik, ugari wujud perbuatan baik, partuturan sistem kekerabatan, tarombo silsilah,
ulaon adat acara adat, tonggo raja, ria raja, rapot forum musyawarah, dan sebagainya. Dengan demikian terciptalah keteraturan dan ketertiban
bermasyarakat. 2007:205
4
3
Dalihan artinya tungku, tolu artinya tiga. Dalihan na tolu adalah tungku yang terdiri dari tiga buah batu.
4
Doangsa P.L. Situmeang menyebutkan dalam bukunya “Dalihan na Tolu: Sistem Kemasyarakatan Batak Toba”:2007, hukum marga menetapkan hukum Bongbong yaitu larangan
menikah dengan kawan semarga.
maka pernikahan antar marga eksogami merupakan perilaku yang lazim. Akibatnya, secara bersamaan konsep dalihan na tolu terbentuk.
Dalihan na tolu juga mengatur sikap dan perilaku bermasyarakat. Konsep dalihan na tolu adalah manat mardongan tubu menjaga hubungan terhadap dongan tubu,
somba marhula-hula hormat terhadap hula-hula, dan elek marboru lemah lembut terhadap boru.
25 Ketiga unsur dalihan na tolu memiliki peran masing-masing dalam
kehidupan bermasyarakat terutama dalam acara adat. Dongan tubu merupakan teman berdiskusi dan turut bertanggungjawab atas jalannya suatu acara. Boru
memiliki tanggung jawab dalam hal teknis di lapangan. Sedangkan acara adat tidak akan berjalan tanpa kehadiran dan restu dari hula-hula. Seorang masyarakat
Batak Toba dapat menyandang fungsi sebagai dongan tubu, hula-hula, dan boru sekaligus dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam sebuah acara adat hanya
satu fungsi yang dapat disandangnya. Organisasi wilayah yang terdiri dari beberapa huta yang masih semarga
akan membentuk Horja yang dipimpin oleh seorang Raja Parjolo raja terdepan dan seorang Raja Partahi raja perencana. Tingkatan wilayah yang lebih tinggi
dari horja disebut Bius yang dipimpin oleh seorang Raja Bius atau Raja Doli. Onan pasar tradisional merupakan tempat yang sangat penting bagi
perekonomian masyarakat. Hari onan berbeda pada setiap tempat. Contohnya hari onan di Dolok Sanggul dan Balige adalah hari Jumat, sedangkan di Bakkara hari
Rabu, di Laguboti hari Senin, di Muara hari Selasa, dan seterusnya. Selain tempat jual beli, onan merupakan tempat pertemuan orang dari kampung yang berbeda.
Pada jaman dulu onan merupakan pusat interaksi antar masyarakat dan pusat informasi. Onan juga merupakan tempat dalam menyelesaikan perselisihan,
pertemuan raja-raja, pesta bius, dan sebagainya.
2. 3. Sistem Mata Pencaharian