Metode Elemen Hingga FEM Kriteria Keruntuhan Mekanistik-Empris Perkerasan Lentur

II.3.3 Metode Elemen Hingga FEM

Metode Elemen Hingga FEM adalah satu teknik analisis numeris untuk memperoleh penyelesaian suatu permasalahan desain yang luas. Walaupun pertama kali dikembangkan untuk mempelajari tegangan di dalam struktur, sejak itu telah diperluas dan diberlakukan bagi medan luaslebar dari mekanika kontinum Huebner., 2001. Dalam suatu variabel secara umum tidak terbatas nilai fungsi dari tiap titik gerak. Sebagai contoh, tegangan dalam suatu perkerasan lentur tidak bisa dipecahkan dengan satu persamaan sederhana sebab fungsi yang menguraikannya adalah penempatan spesifiknya. Bagaimanapun, metode elemen hingga dapat digunakan untuk membagi satu rangkaian ke dalam sejumlah volume-volume kecil untuk tujuan memperoleh satu pendekatan penyelesaian numeris untuk masing-masing volume tersendiri dibanding satu eksakta yang tertutup solusi bentuk untuk keseluruhan perkerasan jalan. Di dalam FEM analisis dari satu perkerasan jalan, daerah perkerasan jalan dan tanah dasarmemasukkan sejumlah unsur beban roda Gambar 2.17. Elemen hingga ini meluas secara horisontal dan tegak lurus dari pengaruh roda. Gambar 2.10. EverFlex 3-D yang menggambarkan pengaruh beban roda, retak dan slip Universitas Sumatera Utara FEM mendekati model matematika lebih rumit dibanding pendekatan lapisan elastik buatan. Program komputer yang dikembangkan oleh Hongyu Wu dan George Turkiyyah pada University Washington Wu, 2001, EverFlex, menggunakan satu elemen 6-noded untuk model Winkler. Program ini juga menggunakan batasan di empat model perkerasan lentur. Apalagi, pilihan dari geometri elemen bentuk dan ukuran seperti juga fungsi sisipan akan mempengaruhi keseluruhan kemampuan model.

II.3.4 Kriteria Keruntuhan Mekanistik-Empris Perkerasan Lentur

Bagian-bagian proses utama empiris dari bentuk empiris mekanistis adalah persamaan-persamaan yang digunakan untuk menghitung banyaknya beban bergerak dalam kegagalan. Persamaan-persamaan ini berasal dengan pengamatan kinerja dari perkerasan dan berhubungan dengan tipe dan luas. Sekarang ini, dua tipe dari ukuran-ukuran kegagalan secara luas dikenal, pertama dengan retak lelah dan retak alur di dalam subgrade atau tanah dasar. Ukuran berbasis lendutan berguna di dalam penerapan-penerapan khusus karena ukuran kegagalan ini dengan bentuk pengalaman, dan harus dikalibrasi kepada kondisi lokal yang spesifik dan secara umum bukan yang bisa diterapkan di suatu skala yang nasional. Kriteria kegagalan mekanistik-empris perkerasan lentur adalah sebagai berikut :

1. Kriteria Retak Lelah Fatique

Fenomena “fatigue” yang terjadi pada campuran beraspal, yang digunakan pada lapis permukaanstruktur perkerasan, adalah sama seperti yang terjadi pada material “solid” lainnya, seperti logam, komposit, beton, dan yang lain. Universitas Sumatera Utara Pembebanan ulang yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan material menjadi “lelah” dan dapat menimbulkan “cracking” walaupun tegangan yang terjadi masih dibawah batas ultimate”-nya. Untuk material perkerasan, beban berulang disini berasal dari lintasan beban as kendaraan yang terjadi secara terus menerus, dengan intensitas yang berbeda-beda dan bergantung kepada jenis kendaraan dan terjadi secara random. Guna mempelajari fenomena fatigue yang terjadi, dilakukan percobaan fatigue di laboratorium dengan memakai alat yang dapat memberikan beban siklik hingga keruntuhan material terjadi. Percobaan fatigue untuk campuran beraspal yang sering dilakukan di Indonesia adalah percobaan “three-point bending test” menggunakan alat DARTEC, pada 3 tiga tingkat tegangan stress level yang berbeda, sehingga dapat dibuat “fatigue curve” berupa garis linier dalam skala log-log. Selain melakukan uji eksperimental di laboratorium, dikenal juga beberapa persamaan fatigue dari campuran beraspal, yang telah banyak dilakukan dinegara lain. Banyak persamaan-persamaan telah dikembangkan untuk mengetahui banyaknya pengulangan kepada kegagalan di dalam modus kelelahan untuk perkerasan aspal. Kebanyakan dari regangan tarik horisontal pada dasar lapisan aspal dan modulus elastisitas perkerasan aspal. Ukuran ini dikembangkan oleh metode Nottingham Brown dan Brunton, 1977 adalah: LogN hi = 15,8 x log ε hi – 46,1 – {5,13 x log ε hi – 14,39} x log V b - {8,63 x log ε hi – 24,2 } x log SP i Dimana : N hi = Jumlah repetisi lintasan roda mill.pases ε hi = Regangan tarik horizontal dibawah lapisan perkerasan aspal Universitas Sumatera Utara Vb = Kadar aspal SP i = Titik lembek aspal awal C Gambar 2.11. Regangan Horizontal yang terjadi dibawah permukaan aspal yang mengakibatkan retak lelah Retak “fatigue” dimulai dari titik terbawah dari lapis beraspal, kemudian merambat keatas, sejalan dengan bertambahnya perulangan beban, sehingga akhirnya mencapai permukaan berupa retak yang tersebar merata pada suatu lokasi yang terlemah dan dikatakan bahwa perkerasan telah mencapai “rupture”

2. Retak Alur Deformasi Permanen

Deformasi plastis terjadi pada campuran beraspal disebabkan oleh dua hal : pertama adalah akibat pemadatan tambahan yang diakibatkan oleh beban kendaraan yang lewat, dan yang kedua berasal dari sifat viscous campuran beraspal itu sendiri. Sedangkan fenomena “rutting” yang terlihat pada permukaan perkerasan, merupakan akumulasi dari semua deformasi plastis yang terjadi, baik dari lapis beraspal, lapis agregat pondasi dan lapis tanah dasar. Kriteria “rutting” merupakan kriteria kedua yang digunakan dalam Universitas Sumatera Utara Metoda Analitis-Mekanistik, untuk menyatakan keruntuhan struktur perkerasan akibat beban berulang. Nilai “rutting” maksimum harus dibatasi, agar tidak membahayakan bagi pengendara saat melalui lokasi “rutting” tersebut, terutama pada kecepatan tinggi. Deformasi plastis pada campuran beraspal, akibat pembebanan berulang, dapat diukur dilaboratorium menggunakan beberapa macam alat, misalnya OECD,1975: creep test, split tensile test, triaxial rupture test, atau wheel tracking test. Sedangkan “total rutting” harus dihitung untuk seluruh struktur perkerasan, mulai dari lapis permukaan, lapis pondasi samapi lapis tanah tanah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65 dari “total rutting” diakibatkan oleh penurunan settlement yang terjadi pada tanah dasar Yoder Witczak, 1975, sehingga critical value kedua dalam Metoda Analitis- Mekanistik adalah “compression strain” yang terjadi pada titik teratas dari lapis tanah dasar. Deformasi permanen dapat diketahui setiap lapisan dari struktur, membuat lebih sulit untuk memprediksi dibanding retak lelah. Ukuran-ukuran kegagalan yang ada dimaksudkan untuk alur bahwa dapat ditujukan kebanyakan pada suatu struktur perkerasan yang lemah. Ini adalah pada umumnya dinyatakan dalam kaitannya dengan menggunakan istilah regangan vertikal ε v yang berada di atas dari lapisan tanah dasar : LogN vi = log f r + 9,4771 – 3,57 x log ε vi Dimana : N vi = Jumlah repetisi lintasan roda mill.pases ε v = Regangan tekan vertikal diatas lapisan tanah dasar fr = 1 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.12. Regangan Vertikal yang terjadi diatas tanah dasar yang mengakibatkan deformasi permanen

3. Kriteria Kegagalan Lendutan

Sejumlah lendutan berdasarkan kriteria yang telah dikembangkan oleh berbagai para agensi 40 tahun terakhir. AASHO Road Test dan Roads and Transportation Association Canada RTAC, kedua kriteria ini dikembangkan berdasarkan pada lendutan. sebagai berikut : a. Kriteria AASHO Road Test AASHO Road Test digunakan untuk mengembangkan hubungannya dengan Higway Research Board,, 1962 adalah : Dimana : Log W25 = Jumlah beban gandar L1 dengan indeks pelayanan perkerasan 2.5 L1 = Beban gandar tunggal kips d sn = Benkelman Beam mengukur lendutan di permukaan perkerasan 0,001 inch Universitas Sumatera Utara Kriteria ini didasarkan pada data dari Loops 2 sampai 6 dan beban gandar tunggal 6, 12, 18, 24, dan 30 kips 1 kips =1,000 lbs. Persamaan yang berikut diperoleh jika L1 =18,000 lbs standar ESAL adalah : sn d Log W 25 , 3 06 , 11 log 5 . 2 − = b. Kriteria Roads and Transportation Association of Canada RTAC Kriteria RTAC dapat dihitung sebagai berikut setelah RTAC 1977 dan Haas 1994 adalah : ] log 30103 , 40824 , [ 10 ESAL BB − = Dimana : BB = lendutan balik maksimum inch menggambarkan lendutan balik kembali rata-rata standar deviasi pada suhu standar dari 21 C = 0.1 inch untuk ESAL ≤ 47.651 = 0.02 inch untuk ESAL 10.000.000 ESAL = 80 KN 18.000 Lbs beban gandar tunggal Tabel 2.4 Batas Lendutan AASHO Road Test dan RTAC Kegagalan akibat beban Batas lendutan inch AASHO RoadTest RTAC 10,000 0.148 0.10 100,000 0.072 0.08 1,000,000 0.036 0.04 10,000,000 0.018 0.02 Universitas Sumatera Utara II . 4 Pengaruh Temperatur Terhadap Perkerasan Lentur Temperatur adalah salah satu faktor-faktor yang paling penting mempengaruhi desain dan kinerja dari perekerasan lentur. Perubah-perubahan suhu di dalam struktur perkerasan membuat kerusakan. Pengetahuan tentang efek suhu adalah penting bagi penentuan desain dan syarat pemeliharaan . Efek kondisi lingkungan terhadap perkerasan aspal telah diketahui dengan baik. Variasi temperatur merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhitungkan dalam desain struktur perkerasan modern karena pada kenyataannya modulus lapis aspal di lapangan sangat dipengaruhi oleh temperatur. Implikasi gradien temperatur terukur bagi desain perkerasan dianalisa dengan menilai modulus lapis aspal efektif. Secara definisi, modulus aspal efektif adalah modulus yang jika diterapkan bagi seluruh lapis aspal akan mengakibatkan tingkat kerusakan lapis dasar perkerasan atau tingkat kelelahan lapis aspal yang sama seperti bila gradien modulus lapis aspal turut diperhitungkan. Pengaruh temperatur terhadap modulus perkerasan, khususnya modulus lapisan campuran beraspal, cukup nyata. Model matematis untuk memperkirakan modulus lapisan campuran beraspal sebagai fungsi dari temperatur telah banyak diusulkan, seperti menurut metoda Nottingham Brown dan Brunton, 1984 dan metoda Asphalt Institute 1982. Di laboratorium, modulus lapisan campuran beraspal pada berbagai temperatur dapat diukur, misalnya dengan alat uji modulus dinamis SHELL, 1990; AASHTO, 1998; dan, di lapangan, variasi nilai modulus dari masing-masing lapisan perkerasan bahkan dapat diperkirakan secara bersamaan melalui proses back calculation terhadap data lendutan yang diukur pada berbagai temperatur ASTM, 2000. Universitas Sumatera Utara Ada dua pendekatan yang dapat diikuti untuk memperhitungkan pengaruh temperatur dalam proses desain struktur perkerasan lentur secara analitis, yaitu pendekatan desain praktis yang menggunakan faktor temperatur desain, dan pendekatan desain sistematis berdasarkan teori Miner. Pendekatan desain praktis atau pendekatan desain rata-rata menawarkan kemudahan dalam prosesnya tetapi memerlukan standar desain untuk penentuan faktor temperatur desain yang diperlukan. Sayangnya, standar desain struktur perkerasan lentur secara analitis belum resmi diberlakukan di Indonesia. Sedangkan, pendekatan desain sistematis memerlukan data yang cenderung lebih rinci dan secara umum memerlukan program aplikasi komputer yang relatif lebih rumit. Dalam hal ini, modulus lapisan campuran beraspal dapat bervariasi mengikuti perubahan temperatur perkerasan dalam sehari, dan modulus tanah dasar dapat bervariasi mengikuti perubahan musim dalam setahun. Sedangkan, variasi beban lalu lintas dalam sehari umumnya dapat dianggap tipikal sepanjang tahun Prosedur desain struktur perkerasan secara analitis yang dilakukan dalam penelitian. Ada beberapa komponen utama dari proses desain ini, yaitu data struktur perkerasan, data spektrum beban lalu lintas dan data temperatur udara rata-rata tahunan. Penentuan faktor temperatur desain yang dilakukan secara iteratif, baik untuk desain struktur perkerasan yang didasarkan pada kriteria retak lelah, maupun kriteria deformasi permanen. Agar kedua kriteria desain dapat dianalisis di sini, struktur perkerasan hipotetikal perlu disertakan dalam analisis dengan mengatur tebal lapisan campuran beraspal D 1 dan tebal lapisan agregat D 2 sedemikian rupa sehingga masa layan rencana dari kedua struktur perkerasan Universitas Sumatera Utara hipotetikal adalah sama. Secara umum, desain struktur perkerasan dengan lapisan agregat yang tebal akan ditentukan oleh kerusakan retak lelah. Sebaliknya, desain struktur perkerasan dengan lapisan agregat yang tipis akan ditentukan oleh kerusakan deformasi permanen. Perhitungan modulus elastisitas perkerasan pendekatan desain rata-rata mempunyai parameter yang mempengaruhi modulus perkerasan antara lain :

a. VMA Void in the mineral agregat