BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat
menyerang saluran pernafasan bagian atas maupun bawah dan sering disertai dengan gejala dan tanda sistemik seperti demam, sakit
kepala, mialgia dan malaise.
1
Virus influenza termasuk dalam keluarga Orthomxyoviridae dan terbagi atas 3 tipe yaitu virus
influenza A, B dan C. Penggolongan tipe ini didasarkan atas sifat antigenik dari protein matriks dan nukleoproteinnya.
2
Influenza tipe A terdapat pada manusia, babi, burung, kuda dan beberapa mamalia
lainnya. Infeksi virus influenza umumnya lebih sering terjadi pada musim dingin di negara-negara dengan 4 musim. Tetapi di negara-
negara tropis, infeksi virus influenza dapat terjadi secara sporadik sepanjang tahun.
2
Di Amerika Serikat, infeksi virus influenza mengakibatkan angka rawat inap sampai dengan 226.000 kasus dan angka kematian
sebanyak 36.000 kasus setiap tahunnya. Infeksi oleh virus influenza juga diperkirakan mengakibatkan pengeluaran biaya medis sebanyak
1 sampai 3 miliar dolar AS dan pengeluaran biaya akibat penurunan produktifitas kerja antara 10 sampai dengan 15 miliar dolar AS setiap
Universitas Sumatera Utara
tahunnya. Jika terdapat keadaan pandemi, biaya yang dikeluarkan bahkan dapat mencapai 71 sampai dengan 167 miliar dolar AS setiap
tahun.
2,3
Saat ini telah tersedia pengobatan anti virus influenza yang cukup efektif. Obat yang terbaru adalah golongan neuraminidase
inhibitor yaitu oseltamivir dan zanamivir terbukti dapat mengurangi durasi gejala dan tanda akibat influenza menjadi 1-2,5 hari lebih cepat,
dapat mengurangi pemakaian antibiotik sampai dengan 30-40, mengurangi mortalitas dan morbiditas serta bersifat cost effective.
4
Selain itu, golongan obat lain adalah golongan adamantane yaitu amantadin dan rimantadin juga dapat dipergunakan untuk
penanganan influenza.
5
Golongan obat ini dipergunakan untuk influenza A dan dapat mengurangi durasi penyakit hingga mencapai
50 dibandingkan tanpa terapi. Namun penelitian menunjukkan bahwa pemakaian obat anti virus hanya akan efektif bila diberikan
dalam waktu kurang dari 48 jam setelah gejala dan tanda influenza mulai terjadi. Pemakaian yang tidak tepat waktu akan mengakibatkan
pemakaian obat menjadi tidak efektif, menambah beban biaya dan cenderung menimbulkan resistensi obat.
5
Hal ini mejadi alasan diperlukannya suatu metode diagnostik yang akurat dan cepat dalam mendiagnosis influenza. Metode
Polymerase Chain Reaction PCR dan teknik isolasi virus dengan kultur sel diketahui merupakan metode diagnostik yang sangat akurat,
Universitas Sumatera Utara
namun mempunyai kelemahan dalam aplikasi klinis karena biayanya yang besar dan waktu pemeriksaan yang cukup lama. Metode
diagnostik lain dengan deteksi antigen influenza secara cepat atau lebih dikenal dengan metode Rapid test Diagnostic mempunyai
kelemahan karena sensitivitasnya yang rendah dan bervariasi yaitu sekitar 64-78 saja.
6,7
Karena itu, hingga saat ini diagnosis influenza dilakukan masih berdasarkan atas pemeriksaan klinis para dokter. Center of Disease
Control CDC di Amerika Serikat memnbuat suatu kriteria diagnostik infeksi influenza yang disebut sebagai kriteria Influnza-Like Illness
ILI, yang digunakan sebagai pedoman diagnosis kasus-kasus yang disangkakan sebagai influenza. Akan tetapi kriteria ini sendiri masih
belum dapat secara spesifik mendiagnosis influenza mengingat banyak penyakit infeksi saluran nafas lain yang bisa menimbulkan
gejala yang serupa dengan influenza, misalnya pneumonia bakterial, infeksi Respiratory Syncitial Virus, Coronavirus, Adenovirus,
Rhinovirus dan lain sebagainya.
8,9,10
Beberapa peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mencari tanda dan gejala klinis yang dapat dipergunakan untuk
prediktor diagnosis influenza secara lebih akurat. Manto dkk 2000 mendapatkan bahwa kombinasi gejala batuk dan demam mempunyai
Positive Predictive Value PPV sebesar 79 untuk mendiagnosis influenza. Sejalan dengan Manto, Boivin dkk 2000 juga
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan bahwa batuk dan demam merupakan prediktor gejala yang paling baik untuk influenza. Sedangkan Walsh 2000 dan
Navarro-Meri 2009 dalam penelitiannya mendapatkan hasil yang berbeda. Walsh 2000 melaporkan bahwa batuk dan demam
mempunyai PPV hanya sebesar 47 pada populasi pasien lansia, dan Navarro-Meri 2009 di Spanyol melaporkan bahwa kriteria ILI
hanya mempunyai PPV sebesar 36.
11,12,13
Data mengenai tampilan klinis berbagai subtipe influenza masih sedikit dan terbatas. Beberapa penelitian terdahulu
menunjukkan gambaran klinis yang bervariasi antar subtipe yang berbeda. Influenza B dilaporkan mempunyai gejala yang lebih ringan
dibandingkan influenza A, dengan tampilan gejala gastrointestinal yang lebih sering dibandingkan dengan influenza A.
14,15
Penelitian tentang influenza di Indonesia pernah dilakukan setelah epidemik di Hongkong pada tahun 1968-1970. Isolat pertama
influenza H2N2Hongkong68 ditemukan oleh Gani dkk dari sampel faring yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia sebagai
penyebab epidemik . Hasil yang sama dilaporkan oleh Tjaij dan Gani dengan menggunakan sampel yang dikumpulkan di Medan.
Selanjutnya Maroef pada tahun 1982-1986 serta tahun 1991-1993 dapat mengisolasi semua subtipe influenza A dan influenza B.
16
Irwin dkk 2008 dalam penelitiannya di Medan, mendapatkan bahwa
subtipe virus influenza yang dijumpai di kota Medan dalam periode
Universitas Sumatera Utara
September 2004 sampai dengan April 2006 adalah virus influenza A H1N1, A H3N2 dan B.
17
Sejauh ini, data mengenai tampilan klinis influenza dan perbedaan tampilan klinis antara subtipe influenza di Indonesia belum
pernah dilaporkan. Karena itu peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan tampilan klinis ILI antara influenza A
H1N1, A H3N2, B dan non influenza dengan sample pasien penderita ILI yang berobat di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
1.2 Perumusan masalah