virus pada sel inang. Nukleoprotein NP merupakan protein yang membungkus materi RNA menjadi suatu ribonukleoprotein.
28
2.8 Patogenesis
Ketika membicarakan tentang patogenesis infeksi virus influenza, maka tidak akan terlepas dari tinjauan aspek virologinya
mengingat sifat virus influenza yang khas terutama dalam hal perubahan genetik.Untuk mempermudah maka pembahasan dapat
dibagi atas dua bagian besar yaitu faktor viral dan faktor pejamu.
28
Virus influenza mempunyai protein permukaan HA yang mempunyai spesifisitas terhadap sel yang mengandung reseptor
α 2,6 linkage sialic acid. Akan tetapi mutasi pada gen virus
menyebabkan virus influenza yang biasanya dijumpai pada binatang seperti burung, babi, kuda ataupun mamalia laut dapat menginfeksi
manusia. Diduga mutasi terjadi pada titik antigenik HA, yang memungkinkan HA menjadi dapat melekat pada 2 jenis reseptor sialic
acid yang berbeda yaitu α 2,3 dan α 2,6. Hal ini dijumpai pada
kasus infeksi virus influenza A H5N1 avian pada manusia dan pada saat pandemi flu Spanyol 1918 yang diakibatkan oleh H1N1 avian.
29- 32
Namun perbedaan diantara keduanya adalah transmisi manusia ke manusia pada H5N1 belumlah dijumpai, sedangkan pada
H1N1 1918 hal tersebut terjadi dan menjadi penyebab terjadinya
Universitas Sumatera Utara
pandemi flu Spanyol pada tahun 1918. Taunberger dkk 2005 menemukan bahwa terdapat perbedaan sekuensi gen polimerase
PB1, PB2 dan PA antara H1N1 1918 dengan virus H5N1 yang mengakibatkan perbedaan urutan asam amino pada RNA polimerase
keduanya. Perbedaan inilah yang diduga sebagai penyebab mengapa transmisi antara manusia pada H5N1 belum terjadi. Hal ini
dikonfirmasi oleh Hatta 2007 yang mendapati bahwa substitusi asam amino pada PB2 mempunyai efek peningkatan adaptasi pada
manusia, peningkatan virulensinya, dan adaptasi kemampuan replikasi pada temperatur di saluran nafas.
28,29
Selain dari kemampuan untuk berikatan dengan reseptor sialic acid spesifik pada epitel kolumnar saluran nafas, virulensi juga
ditentukan oleh derajat replikasi, kemampuan virus influenza untuk menginduksi reaksi inflamasi dan mekanisme kemampuan virus untuk
menghindari aktivitas sistem imunitas tubuh manusia.
28
Replikasi virus ditandai dengan lepasnya ikatan protein virus dengan sel epitel saluran nafas dan beredarnya partikel virus
influenza baru, baik ke sel yang berada didekatnya atau akan dibatukkan ke udara bebas. Lepasnya ikatan dengan protein virus
membutuhkan suatu enzim protease yang dihasilkan oleh sel epitel saluran nafas. Melalui proses mutasi tertentu, virus influenza yang
mempunyai derajat virulensi tinggi mempunyai kemampuan untuk melakukan replikasi tanpa adanya protease. Fenomena ini diamati
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada pada virus influenza A H1N1 1918 dan influenza A H5N1. Meskipun masih kontroversial, namun diduga hal ini
merupakan jawaban sementara terhadap fakta didapatinya RNA virus influenza A H5N1 di luar saluran nafas, yaitu di saluran cerna dan di
darah.
28
Faktor viral load juga dianggap mempunyai peranan penting dalam menentukan derajat kefatalan akibat infeksi virus influenza.
Menno 2006 pada penelitiannya terhadap pasien penderita infeksi infuenza A H5N1 di Vietnam mendapatkan bahwa pada kasus infeksi
yang fatal didapati viral load yang tinggi pada faring penderita dan juga didapati RNA virus di rektum dan darah penderita,
hipersitokinemia IL 10, IL 6 dan IFN α, dan jumlah limfosit T yang
sedikit di darah.
30
Walaupun infeksi influenza telah cukup sering diteliti, namun pola inflamasi dan regulasi sistem imun pada pasien influenza masih
belum dapat dimengerti sepenuhnya. Infeksi influenza pada saluran nafas akan segera diikuti dengan produksi sitokin pro inflamasi yang
bersifat kemoreaktan menarik sel-sel imun menuju ke lokasi infeksi di saluran nafas dan semakin memperberat inflamasi yang ada. Sitokin
yang mempunyai peranan terpenting diantaranya adalah Tumor Necrotizing Factor TNF
αβ, Interleukin IL-6, Interferon INF α , IL-8 dan Macrophage Inhibitory Factor MIF-12. Sitokin-sitokin ini
akan berinteraksi dengan organum vasculosum of the lamina
Universitas Sumatera Utara
terminalis OVLT untuk membentuk PGE
2
. Hal ini akan meningkatkan set point thermoregulator hipotalamus dan mengakibatkan terjadinya
demam. Sitokin-sitokin ini juga akan memprovokasi timbulnya gejala tambahan lain baik lokal respiratorik maupun sistemik gambar 3.
Beberapa subtipe influenza seperti A H1N1 1918 dan A H5N1 mempunyai kemampuan yang sangat poten dalam menginduksi
sitokin pro inflamasi terutama TNF α melalui perangsangan produk
antigen genom NS1. Gen NS1 juga mampu menekan kerja interferon tubuh yang merupakan zat anti replikasi virus yang dihasilkan oleh
tubuh manusia
27,28
Produksi sitokin ini sendiri diawali oleh proses apoptosis, baik yang bersifat alamiah sebagai respon pertahanan tubuh untuk
membatasi proses replikasi virus, maupun apoptosis yang diinduksi akibat infeksi virus influenza tersebut. Kematian dan kerusakan sel-
sel tersebut akan memicu pelepasan sitokin pro inflamasi dan timbulnya reaksi inflamasi lokal dan sistemik.
28
Penyebaran virus influenza terjadi melalui droplet infection dimana virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi
saluran nafas atau langsung memasuki alveoli, tergantung dari ukuran partikel droplet. Virus yang tertanam pada membran mukosa
akan terpapar dengan mukoprotein yang mengandung sialic acid yang dapat berikatan dengan alpha 2,6 sialioligosakarida yang
berasal dari membran sel dimana residu sialic acid yang dapat
Universitas Sumatera Utara
berikatan dengan residu galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage. Adanya perbedaan pada reseptor yang terdapat pada membran mukosa
merupakan penyebab mengapa virus avian influenza tidak dapat mengadakan replikasi secara efisien pada manusia. Mukoprotein
yang mengandung reseptor ini akan mengikat virus sehingga perlekatan virus dengan sel epitel saluran nafas dapat dicegah. Tetapi
virus mengandung protein neuramidase pada permukaannya yang dapat memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada
epitel permukaan saluran nafas untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam
waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel didekatnya. Masa inkubasi virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu
pada sel-sel kolumnar yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak dan intinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya
akan terbentuk badan inklusi.
26,27,28
Universitas Sumatera Utara
Gbr. 3. Patogenesis gejala dan tanda akibat infeksi virus influenza
29
Beberapa penelitian menunjukkan tingginya koinsidensi antara infeksi virus influenza dengan infeksi pneumonia bakterial. Ternyata
kerusakan dari sel epitel saluran nafas dan gangguan pergerakan silia merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya infeksi bakterial. Omar
1998 menemukan bahwa sel epitel columnar yang terinfeksi influenza mempunyai peningkatan kemampuan perlekatan terhadap
bakteri Stafilokokus aureus.
29,30
Bahkan Zambon 2001 mendapatkan bahwa koinfeksi bakteri akan memperkuat proses pelepasan HA
melalui mekanisme tidak langsung. Mekanisme yang pertama adalah protease dari bakteri akan membantu memperkuat efek protease
seluler dalam proses pelepasan hasil replikasi.Mekanisme yang kedua, diduga beberapa enzim bakteri seperti streptokinase atau
Universitas Sumatera Utara
sfafilokinase membantu proses aktivasi beberapa sub tipe virus. Disebutkan juga bahwa infeksi virus influenza dapat memperlemah
respon imunitas makrofag terhadap infeksi bakteri.
31-34
2.9 Perubahan antigenik virus influenza