xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumen Perizinan Lampiran 2. Informed Consent
Lampiran 3. Kuesioner Lampiran 4. Rekapitulasi Jawaban Instrumen
Lampiran 5. Hasil Uji Validitas Lampiran 6. Hasil Uji Reliabilitas
Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas Lampiran 8. Hasil Olahan SPSS Univariat
Lampiran 9. Hasil Olahan SPSS Bivariat
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang penelitian
Sebanyak 29 penduduk dunia terdiri dari remaja, dan 80 diantaranya tinggal di negara berkembang. Berdasarkan sensus di Indonesia
pada tahun 2005, jumlah remaja yang berusia 10 –19 tahun sekitar 41 juta
orang, yaitu 20 dari jumlah total penduduk Indonesia dalam tahun yang sama, sedangkan pada tahun 2010, jumlah remaja
meningkat sekitar 64 juta atau 27,6 dari jumlah total penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa
Wiguna, 2013. Masa remaja adolescence adalah suatu fase tumbuh kembang yang
dinamis dalam kehidupan seorang individu, dimulai ketika anak berada pada rentang usia 10-19 tahun World Health Organization, 2004. Masa ini
merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial
Pardede N, 2002 dalam Wiguna, 2013. Percepatan perkembangan fisik,
mental, emosional yang terjadi pada remaja membuat mereka sering dilanda permasalahan. Pernyataan ini senada dengan pernyataan yang telah
dikemukakan oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall pada abad ke- 20 bahwa masa remaja merupakan masa storm and stress Santrock, 2003.
Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan yang dipengaruhi baik oleh lingkungan
maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut Sunaryo, 2004. Tuntutan kehidupan merupakan salah satu sumber stres stressor pada
remaja, dalam hal ini tuntutan kehidupan remaja adalah tuntutan atau tekanan di sekolah aacap.org. Hal ini didukung oleh Denise E. Larue Judith W.
Herrman dalam penelitian mereka yang berjudul Adolescent Stress through the Eyes of High-Risk Teens 2008 bahwa stresor utama yang sering terjadi
pada remaja adalah lingkungan sekolah. Siswa SMA umumnya berada pada kategori remaja dan aktivitas sehari-
hari mereka banyak dihabiskan di sekolah, hal ini menyebabkan mereka rentan mengalami stres di sekolah, terlebih lagi pada siswa akselerasi
Ramadhani, 2010. Colangelo 1991 menyebutkan bahwa istilah akselerasi
menunjuk pada pelayanan yang diberikan service delivery dan kurikulum yang disampaikan curriculum delivery. Sebagai model pelayanan, akselerasi
dapat diartikan sebagai model layanan pembelajaran dengan cara lompat kelas, misalnya bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi diberi
kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih tinggi dan model kurikulum akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang
seharusnya dikuasai oleh siswa saat itu sehingga siswa dapat menyelesaikan program studinya lebih awal Hawadi, 2004.
Siswa yang seharusnya menyelesaikan studi SMP Sekolah Menengah Pertama atau SMA Sekolah Menengah Atas dalam waktu 3 tahun dapat
menyelesaikan materi kurikulum dalam waktu 2 tahun saja Hawadi, 2004. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa akselerasi adalah
program layanan belajar yang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki
kemampuan tinggi supaya dapat menyelesaikan studi sesuai kecepatan dan kemampuannya Ardiansyah, 2011.
Siswa yang berkemampuan tinggi dipilih melalui proses seleksi yang ketat. Menurut pengalaman peneliti, proses seleksi dimulai dari tes bidang
akademik, tes IQ, wawancara dan tes kesehatan. Serangkaian tes diharapkan mampu menyaring anak-anak berbakat sehingga program akselerasi dapat
menjadi wadah untuk mereka yang berkemampuan istimewa, namun, hal itu tidak menjamin akan kelancaran program akselerasi. Menurut beberapa
penelitian, siswa akselerasi justru mengalami stres, bahkan ada siswa yang harus pindah ke kelas reguler karena tidak bisa mengikuti proses percepatan
belajar Ramadhani, 2010. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nadiva 2013 menyebutkan bahwa 39 siswa akselerasi dari 65 siswa memiliki
subjective well being rendah, atau dengan kata lain mereka merasa stres. Stres tersebut berdampak negatif pada perkembangan sosial, emosional dan fisik
siswa Rena, 2009. Faktor yang menyebabkan stres pada siswa akselerasi menurut
Hardjana 1994 adalah tuntutan pekerjaan melalui beban kerja yang terlalu banyak dan berat, keharusan menyelesaikan banyak pekerjaan dalam waktu
terbatas, dan tugas yang menuntut banyak pikiran dan tenaga Gunarsa, 2004. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada 10
anak akselerasi, mereka menunjukkan tanda dan gejala stres seperti sulit berkonsentrasi ketika pelajaran, kurang tidur, dan mudah lelah karena
padatnya aktivitas belajar dan tugas yang diberikan guru, jika hal tersebut dibiarkan terus-menerus, maka akan berdampak pada kesehatan fisik maupun
psikologis Tennant, 2013. Untuk mengatasi hal tersebut, tentu siswa diharapkan memiliki strategi koping yang tepat Naviska, 2012.
Koping adalah respon individu terhadap situasi yang negatif atau menekan stresor Endler Parker, 1990 dalam Araya dkk, 2007.
Pengertian strategi koping menurut Stuart dan Sundeen adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan
yang terjadi, dan situasi yang mengancam, baik secara kognitif ataupun perilaku Nasir Muhith, 2011. Setiap individu dapat memiliki strategi
koping yang berfokus pada masalah problem focused coping dan atau berfokus pada emosi emotion focused coping. Problem focused coping
termasuk dalam strategi perencanaan dan merupakan koping aktif untuk merubah atau menghilangkan stresor. Sebaliknya, emotion focused coping
kurang efektif jika dibandingkan dengan problem focused coping Kelly et al., 2008
Problem focused coping dapat mengurangi dampak negatif dari stres dan menghasilkan sesuatu yang positif. Sementara itu, emotion focused
coping dipandang maldaptif karena strateginya yang cenderung melepaskan diri dari tugas dan sebagai hasilnya dapat memperburuk efek dari stres
Doron et al., 2009. Strategi koping yang berfokus pada masalah yang mungkin dimiliki oleh siswa akselerasi antara lain bertanya kepada guru
ketika ada materi pelajaran yang tidak dimengerti, membuat kelompok belajar dengan teman sekelas, membuat jadwal antara belajar dan bermain.
Sedangkan contoh strategi koping yang berfokus pada emosi adalah menangis, tidur seharian, dan marah-marah Naviska, 2012.
Setiap individu dapat memiliki strategi koping yang berbeda. Individu cenderung untuk menggunakan problem focused coping dalam menghadapi
masalah-masalah yang menurut mereka dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi
masalah yang menurutnya sulit dikontrol Lazarus dan Folkman, 1984 dalam Nasir Muhith, 2011. Hasil penelitian Prihatina dkk 2012
mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa akselerasi mengalami gejala stres secara fisik maupun psikologis dan mereka yang mengalami stres
cenderung menggunakan koping yang berfokus pada emosi. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui
apakah ada hubungan antara tingkat stres dengan strategi koping yang digunakan oleh siswa-siswi akeselerasi.
B. Rumusan Masalah
Program percepatan yang mempersingkat masa belajar di SMA menjadi 2 tahun membuat siswa dibebani dengan tugas-tugas dan pemadatan materi
pelajaran, hal tersebut membuat siswa menjadi stres Gunarsa, 2004. Oleh sebab itu, diperlukan strategi koping yang adaptif untuk mengatasi stresor
tersebut. Strategi koping yang digunakan berbeda pada masing-masing individu, ada yang berfokus pada masalah dan ada yang berfokus pada emosi
Naviska, 2012. Untuk itu peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara tingkat tingkat stres dengan strategi koping yang digunakan oleh
siswa-siswi akselerasi SMAN 2 Kota Tangerang Selatan.