Desentralisasi dan Potensi Konflik Horisontal

Lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mendakan bahwa konfigurasi perkembangan politik menjadi berubah dimana para elit politik didaerah mulai menyadari bahwa disamping otonomi yang sedang bergulir, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah prioritas utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3.2 Desentralisasi dan Potensi Konflik Horisontal

Tumbangnya rezim orde baru membersitkan harapan akan terjadinya perubahan politik dari sistem politik dari system politik otoritarian menuju system politik demokratis. Harapan yang melambung tinggi itu bukannya tanpa disadari, karena sepanjang lebih dari tiga dekade wajah kekuasaan Orde Baru tidak pernah berpihak ke rakyat, tapi sebaliknya kekuasaan itu dipakai untuk mempertahankan kepentigan elitnya. Di awal orde baru harapan untuk membawa bangsa ini dari turbulensi politik, sebagaimana yang diperlihatkan akhir tahun 1950-an dan pertengahan tahun 1960-an ke pemerintahan yang lebih baik dan mengupayakan memperbaiki kesejahteraan rakyat mendapat sambutan besar dari semua elemen yang mendukung kelahiran rejim ini. Namun, di tengah jalan kekuasaan orde baru bukannya menjalankan apa yang menjadi harapan rakyatnya melainkan melakukan konsolidasi kekuasaan dengan penopang utamanya militer, hingga akhirnya menyeruak menjadi rejim otoriter. Kebebasan berorganisasi dan berbicara dibatasi dan partai politk diikebiri . mereka yang mengkritik dan mengancam kebijakan politik dan pembangunan dikejar-kejar kekuasaan. Rakyat tidak dibolehkan dan mendapat ancaman jika memasuki partai politik dan organisasi masyarkat. Siapa saja yang ada pada masalah suku, agama, ras, dan hubungan antar golongan yang sangat popular dengan sebutan SARA, apalagi yang menghubungkan dominasi etnik yang bersal dari pulau jawa dengan luar jawa dalam formasi kekuasaan misalnya, oleh kekuasaan dituding membangkitkan permusuhan dengan kelompok suku lain Universitas Sumatera Utara yang dapat mempork-porandakan persatuan bangsa. Karena mendapat tudingan yang mengerikan itu tidak ada kelompok manapun yang mempersalkan kesukuan dan agama. Bersamaan dengan konsolidasi negara Orde Baru, cengkeraman kekuasaan yang memancar dari pusat sangat dirasakan keseluruh wilayah republik ini. Demikian kuat aur kekuasaan menyebabkan daerah provinsi tidak berdaya dan sepenuhnya mengikuti hasrat politik Jakarta. Pusat tidak pernah member peluang, apalagi mengakomodir kepentingan daerah dalam pengelolaan kekuasaan daerah. Hal ini membawa implikasi, pertama, daerah menjadi satelit pemerintahan Jakarta. Dalam mengatur sirkulasi elit daerah keterlibatan Jakarta sangat dirasakan pengarunya. Pusatlah yang menetukan siapa yang menjadi Bupati dan Gubernur di daerah. Daerah hanya bisa mengusul nama ke DPRD tetapi yang memutuskan siapa yang menjadi Gubernur bukan DPRD melainkan Jakarta. Dapat dimengerti sering terjadi yang terpilih menjadi Gubernur atau Bupati bukan merupakan keinginan daerah karena calon gubernur asal usulnya bukan berasal dari kelompok etnik derah tersebut, melainkan didatangkan dari luar daerah. Sebenarnya gubernur yang bukan berasal dari kelompok etnik dar daerah tersebut mendapat penolakan diam-diam karena dianggap tidak mengerti keadan daerah. Namun, karena menjadi bawahan pusat daerah tidak bisa berbuat banyak kecuali menerima keputusan politik pusat. Kedua, daerah menjadi sumber eksploitasi pusat. Semasa orde baru daerah menjadi sumber pendapatan ekonomi elite Orde Baru. Ketika Orde Baru runtuh harapan untuk membawa bangsa ini menuju pemerintahan yang demokratis melambung tinggi. Runtuhnya rejim orde baru dinilai sebagai transisi politik dari negara otoriter menuju negara demokratis. Ditengah Negara bertransisi menuju negara demokratis dari berbagai daerah Aceh, Kalimantan ditambah Papua, Sulawesi, Maluku, Ambon dan Juga Riau muncul konflik etnik yang berujung dengan kekerasan, brutalitas, dan pembersihan etnik utamanya antar penduduk setempat dengan pendatang. Universitas Sumatera Utara Dibeberapa wilayah yang tadinya sebagai satelit kekuasaan, disana bangkit nasionalisme kesukuan yang menghancurkan siapa saja yang selama ini dianggap pencipta pemiskinan dan keterbelakangan di daerah tersebut. Di Aceh penduduk setempatsuku aceh yang diwakili GAM selain membenci Jakarta juga mengusir orang Jawa, di Kalimantan suku Dayak membersihkan Madura dari daerah mereka, di Poso Sulawesi konflik agama makin tidak terkendali, di Maluku dan Ambon konflik agama dan kesukuan esklasinya makin meninggi. Sementara Papua, akibat mengalami deprivasi ekonomi dan politik berkepanjangan ingin memisahkan diri dari Republik. Di Riau perasaan anti terhadap pemerintah pusat ditambah lagi keinginan Melayu yang ingin menjadi tuan rumah di negeri sendirinya makin bergaung keras. Konflik etnik yang bertumpangtindih dengan sentiment agama, kesukuan, dan ketimpangan ekonomi dan politik itu semakin nyaring terdengar di berbagai daerah disaat kekuasaan Jakarta terus melemah. Belakangan konflik etnik dan agama yang berlangsung di daerah-daerah satelit itu yang penuh dengan kekerasan dan menelan korban jiwa tersebut perlahan-lahan mereda, namun bukan berarti pemerintah pusat berhasil menyelesaikan akar persoalannya. Di beberpa daerah perundingan damai baik yang difasilitasi masyarakat internasional maupun diinisiatif pemerintah sendiri telah membka pintu jalan damai. Melalui serangkaian perundingan Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia telah membuka babakan baru dalam menyongsong perdamaian di Aceh. Sedangkan di beberapa daerah di Kalimantan konflik etnik tidak lagi berkecamuk, konflik horizontal di Maluku dan Ambon terus menurun dan tuntutan Riau memishkan diri dari Republik semakin melemah. Namun, di Poso walau ketegangan agama terus berkurang dan suasananya makin kondusif namun sampai hari ini di Poso masih menyimpan ketegangan horizontal. Peledakan bom dan ditebasnya tiga pelajar perempuan bukan muslim di akhir bulan Oktober 2005 lalu merupakan contoh kekerasan agama masih terus berkobar di wilayah ini. Demikian di Papua yang terus menuntut pemberlakuan otonomi khusus dan menolak agar provinsi di Universitas Sumatera Utara ujung barat ini tidak dipecah-pecah menjadi beberapa provinsi masih terus disuarakan. Jika persoalan Papua salah penanganannya dapat dipastikan ketidaksenangan rakyat dan perasaan anti pemerintah pusat terus mengeras. Akibatnya,ketidakpercayaan dan ketidaksenangan rakyat Papua atas pemerintah pusat terus berkumandang. Pasca orde baru sentralisasi digantikan dengan desentralisasi atau lazim disebut otonomi daerah . sewaktu desentralisasi dilaksanakan 2001, sekali lagi public sangat berharap relasi kekuasaan antara pusat daerah akan berubah dan daerah tidak lagi menjadi arena eksploitasi pusat. Dengan begitu daerah dapat mempunyai kesempatan memperbaiki kesejahteraan rakyatnya. Selain itu kekuasaan yang selama ini menjauh dan tidak berpihak rakyat, dengan desentralisasi kekuasaan semakin dekat dengan rakyat. Lebih penting lagi desentralisasi menjadi pendorong bergulirnya proses demokratisasi di aras lokal dan membuat kekuasaan tidak lagi memusat, centralized, tetapi menyebar ke daerah. Pengawasan kekuasaan semakin berkurang, organisasi masyarakat sipil terus bertumbuhan dan kebebasan berorganisasi kian terbuka. Semua ini merupakan modal penguatan proses demokratisasi di daerah. Namun, berbarengan dengan menguatnya kemauan publik melakukan perubahan politik ditatarn kekuasaan lokal sendiri masih belum mempunyai kemauan politik membuka diri terhadap apa yng di inginkan publik. Kekuasaan lokal yang seharusnya dapat memfasiitasi pengembangan gerakan demokratisasi di tingkat local,ternyata masih bersikap arogan dan acap menegasikan aspirasi dan keinginan kebanyakan warganya, malah sering tidak menghiraukan aspirasi rakyat. Maka dari itu tidak mengherankan hubungan antara elit kekuasaan local dan masyarkat organisasi masyarakat sipil masih mengalami kesenjangan. Demikin pula dalam proses pengambilan kebijakan kekuasaan lokal hampir tidak pernah melibatkan partisipasi public yang sedang mendambakan perubahan itu. Pembuatan keputusan daerah masih ditentukan dan didominasi lingkaran elit lokal. Hal inilah yang Universitas Sumatera Utara menyuburkan rasa frustasi dan ketidakpercayaan organisasi masyarakat sipil terhadap keuasaan lokal. Yang menarik, dimasa desentrlisasi ini konflik etnik yang melanda di wilayah pinggiran berangsur-angsur eskalasinya menurun, meskipun di beberapa daerah kondisinya belum berarti menurunnya eskalasi konflik semakin menaiknya pasang demokratisasi di tingkat local. Kemauan melaksanakan demokrasi masih jauh dari harapan. Dari pelbagai daerah telah dipertontonkan dimasa desentralisasi ini para anggota DPRD terlibat kasus korupsi, sedangkan partai politik yang sejatinya menjadi pendorong gerakan demokratisasi kinerjanya mengecewakan rakyat. Sementara kekuatan organisasi masyarkat sipil yang terus bertumbuhan makin terfragmentasi dan berserakan sehingga belum dapat menjadi kekuatan penekan kekuasaan local. Sedangkan kekuasaan local sendiri yang seharusnya dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat dan member peluang bagi penumbuhan organisasi masyarakat sipil dan demokratisasi local semakin menjauh dari harapan rakyat. Transparansi dan akuntabilitas kekuasaan local masih menjadi barang mahal. Di Provinsi Aceh beberapa daeah yang merasa tidak memiliki sejarah dan kultur yang sama dengan penduduk setempat mendesak memisahkan diri dari provinsi Aceh untuk mendirikan provinsi sendiri. Di Sumatera Utara, elite local suku Toba menginginkan Provinsi Sumatera Utara di pecah dan di tambah satu provinsi, provinsi Tapanuli. Keinginan pendirian provinsi Tapanuli mendapat kecaman luas dari kelompok elit bukan Toba. Sementara itu beberapa kecamatan di Kabupaten Labuhan Batu, Tapanuli Selatan dan juga Nias yang dimotori elit local stempat dan kaum terdidik yang berasal dari tiga daerah ini yang berada di Medan dengan manipulasi symbol kesukuan, kedaerahan, dan agama sambil erasionalisasikan alasan unuk menyejahterakan rakyat mendesak agar dibentuk kabupaten baru di wilayah tersebut. Sulawesi juga kemungkinan besar akan menambah provinsi baru Universitas Sumatera Utara dari provinsi yang ada. Di Papua selain ada provinsi Papua dan Irian Jaya Barat akan didirikan lagi provinsi baru. Pemekaran kabupaten dan provinsi baru dikhawatirkan akan menimbulkan konflik horisontal yang dapat menggoyahkan bangunan kekuasaan lokal. Apalagi jika pemekaran kabupaten atau provinsi ini memkasa penduduk yang menolak bergabung ke wilayah baru tanpa memperhatikan latr belakang kesukuan, agama dan juga territorial dapat dipastika akan menciptakan konflik horisontal. Kasus pemekaran seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat misalnya, yang berujung dengan kekerasan antar-agama ini merupakan contoh dari konflik horisontal itu sebagai akibat dari pemekaran daerah . namun, dari daerah lain berdirinya kabupaten baru dapat mencegah terjadinya gesekan antar suku. Pemekaran kabupaten Pak-pak Barat yang terpisah dari kabupaten Dairi, Sumatera Utara merupakan conth penghindaran konflik terbuka antara suku pak-pak dengan Toba. Desentralisasi telah mengurangi kekuasaan pusat atas daerah, malah dalam batas tertentu daerah tidak bisa lagi dikendalikan pusat. Meski kekuasaan daerah berkurang tetapi pusat tetap mempunyai political leverage atas daerah, dalam hal pemekaran misalnya, elit local hars melakukan negosiasi dengan pusat. Sebaliknya agar daerah tetap bergantung dengan berbagai cara pusat memanfaatkan political laverage nya untuk tetap memperkuat posisinya atas daerah. Dengan begitu kekuasaan pusat terus meneus berkibar di daerah meskipun suasana politik saat ini sudah berubah. 25 25 Budi Agustono,2005,Desentralisasi dan potensi konflik horizontal:Refleksi relasi pusat dan daerah,Etnovisi,volume 1 No 3.hal 147-150

3.3 Kronologis terjadinya konflik dan faktor-faktor yang menyebabkan konflik di desa Pagar Manik