BAP 6-Bensilaminopurin TINJAUAN PUSTAKA

2. Tanaman atau bagian tanaman itu keseluruhannya mengalami perubahan, sehingga semua sel mempunyai jumlah kromosom dua kali lipat dan sel-sel tersebut akan mempunyai ukuran yang besar. Terutama pada ukuran stomata dan tepung sari akibat pengaruh colchicine yang mudah terlihat walaupun tanaman poliploid itu wujudnya lebih besar namun pertumbuhannya lambat. 3. Tanaman atau bagian tanaman itu mempunyai dua macam genotipe dan disebut chimaer. Disamping jaringan asli yang poliploid ada jaringan yang tetraploid akibat pengaruh colchicine. Menurut bentuknya dibedakan atas: a. Chimaer sectoral, yaitu bila hanya satu sektor saja yang mengalami perubahan, b. Chimaer periclinal, yaitu bila jaringan hasil perubahan mengelilingi jaringan asli, ataupun sebaliknya, c. Mixochimaer, bila kedua jaringan tersebut tidak teratur letaknya.

2.5 BAP 6-Bensilaminopurin

Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan Hendaryono Wijayani 1994. Zat pengatur tumbuh tumbuh ZPT sering ditambahkan ke dalam medium tanaman untuk merangsang respon eksplan sesuai arah yang diinginkan. Tanpa zat pengatur tumbuh dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari zat pengatur tumbuh tersebut Hendaryono Wijayani 1994. Level zat pengatur tumbuh ini akan menjadi faktor pemicu triggering factor untuk proses- proses tumbuh dan morfogenesis Gunawan 1988 diacu dalam Purwaningsih 2003. Zat pengatur tumbuh pada tanaman ada dua yakni auksin dan sitokinin. sitokinin mempunyai 2 peran yang penting untuk propagasi secara in vitro, yakni merupakan perangsang pembelahan sel dalam jaringan yang dibuat eksplan dan merangsang pertumbuhan tunas Mayasari 2007. Sitokinin alamiah dalam tanaman adalah zeatin, sedangkan sitokinin diantaranya adalah 6- Bensilaminopurin BAP, N 6 -2-isopentil adenin, dan kinetin Davies 1955 diacu dalam Purwaningsih 2003. Pemberian sitokinin secara eksogen berpengaruh terhadap pembelahan sel, perbesaran sel, perkembangan kloroplas, diferensiasi sel, dan morfogenesis. Menurut Salisbury dan Ross 1992, diacu dalam Purwaningsih 2003, induksi pertumbuhan tunas aksilar didasarkan atas nisbah sitokinin dan auksin. Apabila nisbah sitokinin tinggi, akan mendorong perkembangan tunas aksilar, sedangkan apabila nisbah sitokinini rendah akan mendorong ke arah dominansi apikal. Wattimena 1992, diacu dalam Purwaningsih 2003 menyatakan bahwa jenis sitokinin yang secara in vitro berpotensi tinggi untuk menginduksi multiplikasi tunas aksilar antara lain adalah 6-Bensilaminopurin BAP atau Bensiladenin BA. BAP merupakan jenis sitokinin dari senyawa golongan purin substitusi. Jenis sitokinin ini paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan BAP dinilai lebih stabil, tidak mahal dan lebih efektif dibandingkan kinetin Lisdiantini 2009. Raha dan Roy 2001 diacu dalam Purwaningsih 2003 melaporkan bahwa konsentrasi BAP 3mgl sangat efektif untuk multiplikasi tunas aksilar Holarrhena antidysenterica Wall. Namun konsentrasi BAP 6mgl juga dapat menginduksi tunas aksilar pada Dendrocalamus giganiues Wall Ramanayake et al. 2001 diacu dalam Purwaningsih 2003. Rout dan Das 2002 diacu dalam Purwaningsih 2003 juga melaporkan bahwa konsentrasi BAP antara 0,5 – 1,0 mgl dapat menginduksi multiplikasi tunas aksilar pada Plumbago zeylanica. Menurut Gunawan 1995, penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan masa yang panjang sering kali menyebabkan regenerasi sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk abnormal. Secara umum, konsentrasi sitokinin yang digunakan berkisar dari 0,1 – 1,0 mgl. Media tanam juga tidak terlepas dari tingkat keasamannya pH. Keasaman pH suatu larutan menyatakan kadar dari ion H dalam larutan. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0 dan 6,0 Hendaryono Wijayani 1994. Bila eksplan sudah mulai tumbuh, pH dalam lingkungan kultur jaringan umumnya akan naik apabila nutrien habis terpakai. Senyawa fosfat dalam media kultur jaringan mempunyai peran yang penting dalam menstabilkan pH. Penyimpangan pH dalam medium yang mengandung garam tinggi kemungkinan terjadi lebih kecil, karena kapasitas buffernya lebih besar. Kapasitas buffer kultur sel untuk penggunaan NH 4+ sebagai satu-satunya sumber N tergantung pada pengaturan pH dari medium di atas 5. Menurut Lakitan 2007, pH dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Umumnya terdapat pH optimum agar suatu enzim dapat berfungsi maksimum dan aktivitas enzim akan menruun pada pH yang lebih tinggi atau lebih rendah. PH juga dapat mempengaruhi laju reaksi dengan paling tidak melalui 2 cara lain, yakni melalui aktivitas enzim sering tergantung pada ada atau tidaknya gugus amino atau karboksil yang bebas dan melalui pengendalian ionisasi beberapa substrat, dimana beberapa substrat harus terionisasi dahulu sebelum dapat bereaksi. Untuk pohon jelutung yang habitatnya di rawa, biasa tumbuh dengan pH di bawah normal atau basa. pH medium menunjukkan salah satu faktor penentu untuk menentukan keberhasilan kultur jaringan Ellyzarti 1986. Seperti yang dinyatakan oleh Mattjik 2005 diacu dalam Isnaeni 2008, untuk meningkatkan persentase keberhasilan sebaiknya lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan asalnya pada saat pembiakan, sehingga dalam penelitian ini menggunakan nilai pH 4.

BAB III METODE PENELITIAN