11
petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya.
3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum
skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW yang
cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum Law Enforcement
dari peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kustiawan 1997 dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada
faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu 1 Faktor Eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan,
demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah kepenggunaan non-pertanian, 2 Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial
ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya kepemilikan lahan, dan 3 Faktor Kebijaksanaan Pemerintah.
2.5 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Masalah yang timbul akibat konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah adalah terancamnya swasembada beras yang telah dicapai dengan susah
payah. Di samping itu konversi lahan sawah ini mempunyai opportunity cost yang sangat besar, diantaranya adalah penurunan produksi pangan lokal atau nasional
yang secara tidak langsung akan mengurangi kontribusi sektor pertanian dalam PDRB, penurunan laju daya serap tenaga kerja sektor pertanian, mubazirnya
investasi irigasi dan dampak konversi terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat.
Terkonsentrasinya rencana pemerintah pada kegiatan pembangunan sarana infrastruktur di Pulau Jawa menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Di satu sisi
alih fungsi lahan ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian
12
seperti jasa konstruksi, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh akibat pergeseran atau mutasi lahan pertanian ke non pertanian perlu dilihat bukan saja berdasarkan dampaknya
kepada produksi padi saja, tetapi perlu dilihat dalam perspektif yang lebih luas. Dampak yang lebih luas tersebut termasuk pengaruhnya terhadap kestabilan
politik yang diakibatkan oleh kerawanan pangan, perubahan sosial yang merugikan, menurunnya kualitas lingkungan hidup terutama yang menyangkut
sumbangan fungsi lahan sawah kepada konservasi tanah dan air untuk menjamin kehidupan masyarakat dimasa depan. Dampak dari kehilangan lahan pertanian
produktif adalah kehilangan hasil pertanian secara permanen, sehingga apabila kondisi ini tidak terkendali maka dipastikan kelangsungan dan peningkatan
produksi akan terus berkurang dan pada akhirnya akan mengancam kepada tidak stabilnya ketahanan pangan.
2.6 Kelembagaan Lahan
New Institutional Economics NIE dalam Fauzi 2010 mengartikan kelembagan sebagai rules of the game dalam masyarakat atau secara formal
diartikan sebagai kendali yang dirancang manusia yang membentuk interaksi manusia. Dalam konteks yang lebih konkrit, kelembagaan terdiri dari hukum
formal, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, dan informal, atau nilai- nilai values yang ada dan diakui dalam masyarakat serta bentuk-bentuk
pengorganisasiannya. Dengan demikian norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dalam hal pemilikan dan pengelolaan lahan menjadi sangat penting
dalam pembangunan ekonomi. Namun faktor kelembagaan merupakan pedang bermata dua dalam konteks pengelolaan sumber daya lahan. faktor kelembagaan
yang lemah merupakan salah satu faktor yang menjadi driving force dari degradasi lahan. Buruknya institusi yang dalam bentuk kebijakan formal yang
tidak kondusif, iklim kebijakan yang tidak baik korupsi dan manajemen yang buruk serta masalah property right yang kompleks yang tidak ditangani dengan
baik adalah beberapa faktor yang sangat krusial dalam memicu degradasi lahan
13
dan buruknya pengelolaan yang berkelanjutan. Disisi lain, kelembagaan yang baik akan membantu menjadi leverage dalam pengelolaan yang berkelanjutan.
Menurut Fauzi 2010, salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property right ini melekat
dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial atau adat. Relevansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam
masyarakat. Ketidakjelasan hak pemilikan dan enforced property rights terbukti menjadi handicap dalam mentransformasi pembangunan ekonomi yang berkaitan
dengan lahan. Bagian lain yang juga penting dalam konteks ekonomi kelembagaan adalah menyangkut biaya transaksi. Biaya transaksi adalah
pertimbangan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam organisasi antara aktor yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Dalam konteks inilah
sering terjadi pemahaman yang keliru mengenai apa yang dimaksud dengan biaya transaksi. Biaya transaksi bukanlah biaya pertukaran cost of exchange atau salah
satu biaya dalam jual beli barang dan jasa termasuk lahan, namun biaya transaksi lebih diartikan sebagai the cost of establishing and maintaining right.
Biaya transaksi dalam hal ini mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam ekonomi yakni bounded rationality rasionalitas terbatas, masalah informasi,
biaya negosisasi kontrak, dan opportunism. Kedua aspek di atas yakni property rights dan transaction cost adalah bagian penting yang memerlukan pemahaman
yang serius dalam kelembagaan pengelolaan lahan.
2.7 Ketahanan Pangan