Sederhananya, metaetika mengkaji teori yang ada di dalam etika. Wilayah kedua adalah etika
normatif. Etika normatif adalah bagian berisi teori mengenai justifikasi atau pembenaran dari
suatu putusan moral. Umumnya, teori dalam etika normatif akan menjelaskan suatu putusan
moral itu berlandaskan pada kewajiban yang harus dipatuhi atau konsekuensi dari suatu
tindakan. Terakhir, etika terapan mempersoalkan sejumlah isu kontroversial yang
membutuhkan analisis mendalam menggunakan perangkat teori etika. Isu kontroversial dan
dilematis itu misalnya saja, aborsi, pengayaan nuklir, hukuman mati, atau hak animal dan
lingkungan. Dalam pembahasannya, etika terapan menunjukkan bagaimana penggunaan suatu
teori etis sifatnya kasuistik, atau bergantung pada kasus tertentu yang dihadapi.
Peter Singer 1946‐ dalam bukunya Practical Ethics menjelaskan urgensi etika terletak
pada kompleksitas dalam kehidupan keseharian Singer, 2011. Maksudnya, seseorang terbiasa
dihadapkan pada situasi yang tidak lantas mudah menentukan, bahkan membedakan mana
tindakan yang baik dan buruk. Misalnya saja, “mencuri itu buruk.” Namun, bagaimana dengan
mencuri dari seorang koruptor? atau mencuri dari seorang pencuri? Contoh lain, “membunuh
itu buruk.” Akan tetapi, persoalannya bagaimana saat pembunuhan itu dilakukan untuk
mempertahankan hidup diri sendiri self‐defense? Sama halnya dengan kasus, “berbohong itu
buruk” Namun, bagaimana jika situasinya, seseorang itu berbohong agar tidak dibunuh. Tentu
ragam posisi dilematis itu yang menjadi urgensi atau dorongan etika dibutuhkan untuk
mengkaji suatu putusan moral.
IV.3 Sejarah Pemikiran Etika
Sebagai bagian dari filsafat, pembahasan mengenai pemikiran etika dapat pula dirujuk
dari sejarahnya. Pembahasan mengenai etika telah dimulai dari masa Yunani Kuno dan
berkembang hingga era kontemporer atau saat ini. Bagian ini akan membahas kajian etika pada
triadik Sokratik‐Plato‐Aristoteles dan pemikir masa Helenistik lainnya, yaitu Epikurus, Kaum
Stoa, dan Diogenes dari kaum Sinis Cynics. Pembahasan awal mengenai etika dimulai dari
sejumlah konsep kunci, yaitu virtue atau arête, dan happiness atau eudaimonia. Kedua konsep
itu berusaha menunjukkan alasan seseorang mesti berbuat baik. Pengertian virtue secara literal
adalah keutamaan. Maksud dari keutamaan adalah tindakan yang harus dilakukan seseorang
dalam kehidupannya. Tujuan dari tindakan itu adalah kebahagiaan. Bagi para pemikir triadik
Sokrates ‐Plato‐Aristoteles, kebahagiaan merupakan tujuan dari perbuatan baik.
Sokrates merupakan seorang filosof yang ada dalam tulisan Plato. Ia menunjukkan suatu
putusan moral harus dipertanyakan lagi
keabsahannya. Baginya, tindakan yang harus
dilakukan manusia
merupakan bentuk
pengetahuan rasional. Dalam pandangannya,
rasionalitas merupakan instrumen atau alat
mencapai kebahagiaan. Murid Sokrates, Plato,
seorang filosof dan pendiri universitas pertama,
Akademia, punya pandangan tidak jauh
berbeda. Baginya, keutamaan virtue hanya
mungkin tampak saat ada tindakan riilnya.
Dalam pandangannya, kebijaksanaan wisdom
merupakan bagian dari keutamaan. Kebijaksanaan itu merupakan pengetahuan hasil kapasitas
rasional manusia. Terakhir, Aristoteles murid dari Plato. Ia memperkenalkan Nichomacean
Ethics NE
sebagai teori
etika yang
berbeda dari
para pendahulunya.
Gambar 6: Karikatur Sokrates
Sumber: Donald Palmer, Looking at Philosophy,
2006
Gambar 7: Aristoteles Nichomacean Ethics
Sumber: Donald Palmer, Looking at Philosophy, 2006
Aristoteles menerangkan tujuan dari perbuatan
baik tidak sebatas kebahagiaan. Ia menjelaskan,
bahwa suatu tindakan yang termasuk dalam virtue,
dapat dianggap sebagai tujuan itu sendiri. Misalnya,
seorang hakim yang berlaku adil hendak mencapai
keadilan itu sendiri. Begitupun halnya dengan
seseorang yang berlaku baik untuk kebaikan itu
sendiri. Aristoteles lebih menyetujui suatu
keutamaan merupakan disposisi dari tindakan.
Artinya, seseorang memiliki kecendrungan untuk
memahami dan menentukan tindakan mana yang baik
dan tepat
bagi dirinya. Namun, kecenderungan itu harus memenuhi
syarat rasional atau keutamaan intelektual intellectual
virtues, yaitu pengetahuan ilmiah atau saintifik, intuisi, dan kebijaksanaan, yaitu hasil
dari pemikiran kontemplatif dan reflektif, dan kemampuan penalaran secara kalkulatif calculative
reasoning. Bagi Aristoteles, kebaikan tertinggi highest good merupakan suatu tindakan
yang dihasilkan dari kontemplasi rasional Aristotle, 2004. Dua
tradisi pemikiran lain juga disumbang pada masa helenistik. Ada dua pemikiran etika yang
cukup dominan pada masa itu, yaitu Epikureanisme dan Stoisime. Pertama, Epikurus 341‐ 270
SM pendiri Epikureanisme. Berbeda dengan para pendahulunya yang mengedepankan rasio
sebagai instrumen menentukan putusan moral, Epikurus menekankan pada faktor yang lebih
sederhana, yaitu kesenangan pleasure. Jawaban Epikurus mengenai bagaimana seseorang
menjalani kehidupan adalah mencapai kebahagiaan. Epikurus menyederhanakan kebahagiaan
menjadi kesenangan. Seluruh tindakan dianggap baik jika ditujukan untuk mencapai
kesenangan, sementara tindakan yang harus dihindari saat hanya menimbulkan rasa sakit
pain Donald, 2006.
Gambar 8: Karikatur Aristoteles
Sumber: Donald Palmer, Looking
at Philosophy, 2006
Epikurus membuat dua jenis dari kesenangan, yaitu kesenangan alamiah natural
pleasure, kesenangan yang sia‐sia vain pleasure. Kesenangan alamiah pun memiliki dua
pemilahan, yaitu kesenangan yang diperlukan necessary, dan tidak diperlukan unnecessary.
Kesenangan yang mesti dipenuhi, diantaranya kehendak desire untuk memenuhi kebutuhan
alamia manusia, yaitu makan dan tidur. Sementara itu, kesenangan yang tidak diperlukan,
misalnya berhubungan badan atau koitus. Bagi Epikurus, kesenangan alamiah yang diperlukan
harus dipenuhi. Alasannya, kebutuhan macam itu yang mendatangkan kesenangan dengan
sedikit risiko yang menyakitkan. Sementara itu, kesenangan alamiah yang tidak diperlukan
dapat dipenuhi, tetapi tidak wajib. Pasalnya, kebutuhan itu, misalnya seks berpotensi
mendatangkan
Gambar 9: Ilustrasi Epikurus terhadap Patah Hati
Sumber: Donald Palmer, Looking at Philosophy, 2006
kesenangan yang terlalu intens.
Epikurus menjelaskan seluruh kondisi emosi yang intens berbahaya Donald, 2006.
Risiko lain, seseorang yang berhubungan badan cenderung menjalani relasi intim in a romatic
relationship. Relasi semacam itu justru perlu dihidari karena dianggap lebih banyak
mendatangkan rasa sakit dibanding kesenangan Lihat Gambar 6.
Pemikir helenistik lainnya adalah stoisisme. Figur sentral dalam aliran itu adalah Zeno
dari Siprus 334‐262 SM. Stoisisme banyak mendalami kajian etika pada perbuatan manusia.
Para pemikir Stoa sepakat dengan triadik Sokrates‐Plato‐Aristoteles bahwa putusan moral
manusia merupakan bentuk pengetahuan. Tiga pemikir Stoa, yaitu Seneca 4‐65 M, Epictetus,
dan Marcus Aaurelius 121‐180 M meyakini manusia dapat menjalani hidup yang baik an
excellence life saat dirinya telah mendapat pencerahan pengetahuan Donald, 2006.
Berbeda dengan para Epikurean, pemikir Stoa meyakini bahwa pencerahan hanya
mungkin didapat jika manusia melepaskan keterikatan duniawi, misalnya saja segala yang
berhubungan dengan emosi dan kesenangan. Para pemikir Stoa berkeyakinan kehidupan yang
baik dimulai dari menghentikan keinginan untuk bahagia, sedih, harapan, dan ketakutan.
Gambar 10: Ilustrasi Zeno dari Stoa
Sumber: Donald Palmer, Looking at Philosophy, 2006
Artinya, seorang individu cukup menjalani hidup sesuai kondisi alamiahnya. Maksudnya,
kehendak desire hanya akan menuntun manusia pada kesengsaraan. Suatu tindakan yang
disebut baik itu bukan sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan. Alasannya, keinginan dan
kehendak merupakan tanda seorang individu yang tidak bebas dan bahagia. Bagi para pemikir
stoisisme, individu semacam itu telah terkungkung pada keinginan yang egostik. Nantinya,
pemikiran etika pada Masa Yunani Kuno akan mempengaruhi dua figur cukup dominan pada
masa modern‐pencerahan. Para pemikir Triadik‐Sokrates‐Plato dan Stoisisme akan
mempengaruhi kajian yang disebut Deontologi, sementara Epikureanisme akan berpengaruh
pada terbentuknya aliran Utilitarianisme.
Pasca helenistik, pemikiran filsafat termasuk etika memasuki era yang dinamakan Abad
Pertengahan The Middle Age, atau ada pula yang menamakannya sebagai The Dark Age. Pada
periode itu, seluruh pemikiran filsafat menjadi alat membenarkan ajaran dalam teks suci,
khususnya pada agama Kristiani. Putusan moral, yaitu mengenai pengetahuan atas tindakan
baik dan buruk bersandar pada penafsiran terhadap perintah dan larangan teks suci agama.
Dalam masa itu, kajian etika kurang begitu berkembang mengingat kondisinya otoritas agama
menentukan seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk daya kritis individu untuk
mempertanyakan keabsahan dan pembenaran tindakan yang baik dan buruk.
Kajian terhadap etika mulai berkembang lagi saat peradaban memasuki masa
Renaissance, secara literal artinya “Kebangkitan Kembali.” Periode itu terjadi sekitar 1450‐1600.
Masa itu mencapai puncaknya pada Era Pencerahan The Enlightment, yaitu saat rasionalitas
manusia menjadi ukuran dalam seluruh aspek kehidupan. Segala bentuk pemikiran, termasuk
kajian filsafat dan begitupun etika tidak lagi tunduk pada otoritas teks suci agama. Pemikiran
dalam teks suci itu dianggap dogmatis dan ditempatkan pada urusan personal tiap individu.
Dalam masa modern‐pencerahan itu, sejumlah pemikir Etika yang cukup terkenal adalah David
Hume 1711‐1776, Immanuel Kant 1724‐1804, Jeremy Bentham 1748‐1832, dan John Stuart
Mill 1806‐1873.
David Hume merupakan seorang filosof berkebangsaan Skotlandia, Inggris. Ia termasuk
perintis empirisisme, yaitu aliran pemikiran yang menjelaskan seluruh pengetahuan manusia
didapat dari pengalaman. Hume memulai kajian etikanya dengan mempertanyakan,
“bagaimana manusia memiliki pengetahuan atas yang secara moral baik, buruk?” Hume
menolak pengetahuan atas yang baik itu didapat dari kerja rasio, melainkan didapat dari kondisi
emosi atau psikologis dari individu tersebut. Ia memperkenalkan istilah sentimen, yaitu kondisi
saat manusia merasa terapresiasi saat tindakannya disepakati oleh pihak lain the pleasure of
approval, dan merasa kecewa saat tindakanya tidak disenangi yang lain the uneasiness of
disapproval.
Hume mengajukan gagasan bahwa analisis mengenai moral tidak terhubung dengan
proposisi yang dibentuk oleh kognisi atau kapasitas rasional manusia. Ia menyampaikan analisis
terhadap putusan moral merupakan pandangan non‐kognitif. Alasannya, analisis itu tidak
memberikan argumen yang sifatnya definitif atau dalam kata kerja bahasa Inggris ditandai
dengan is. Sebaliknya, proposisi yang dibuat bersifat normatif, yaitu memberikan penjelasan
bagaimana yang seharusnya Rachel, 2016. Contohnya saja, perbuatan baik, bagi Hume, tidak
dijelaskan dengan kopula kata penghubung “adalah”, tetapi “seharusnya” atau “semestinya”.
Pada masa selanjutnya, Hume dianggap menempati pemikiran etika emotivisme. Pandangan
itu, sederhananya, menyandarkan penjelasan mengenai putusan moral pada kapasitas emosi
atau kondisi psikologi manusia.
Gamba11: Karikatur David Hume
Sumber: Donald Palmer, Looking at Philosophy, 2006
Pandangan Hume yang meminggirkan akal budi manusia
pada kajian etika mendapat reaksi penolakan dari
Immanuel Kant. Karya Kant mengenai etika tertulis dalam
bukunya berjudul “A Critique of Practical Reason.”
Pemikiran etika Kant banyak dikenal dengan sebutan
Deontologi Kantian. Deontologi merupakan istilah yang
terdiri dari kata deon, berarti kewajiban atau keharusan.
Sederhananya, suatu tindakan yang baik atau buruk
ditentukan dari kesesuaiannya dengan kewajiban seorang
individu dalam menjalani hidup. Berbeda dengan Hume,
Kant justru menerangkan suatu putusan moral merupakan
pengetahuan yang didapat secara a priori
7
dalam akal budi manusia.
Kant berpendapat manusia memiliki akal
praktis yang memungkinkan dirinya memiliki pengetahuan atas moral. Pengetahuan yang
didapat dari akal praktis itu
disebut maksim, yaitu
tuntutan melakukan tindakan
untuk menunaikan
kewajiban. Maksim juga dapat
dipahami sebagai
dorongan melakukan suatu tindakan secara moral baik karena tindakan itu sendiri. Artinya,
perbuatan yang secara moral baik tidak dinilai dari konsekuensi atau hasil tindakan ends,
melainkan dari proses melakukan tindakan tersebut means. Deontologi Kantian menekankan
bahwa suatu tindakan secara moral baik jika dilakkan demi kewajiban itu sendiri, bukan didasari
atas dorongan emosional manusia. Kewajiban deon itu merupakan pengetahuan atas tindakan
tanpa pamrih dan tanpa syarat Hardiman, 2012.
Kewajiban itu diketahui melalui sejumlah kategori imperatif, yaitu kondisi yang secara
inheren atau terberi ada pada kognisi manusia. Kategori imperatif itu sifatnya universal, atau
bernilai sama pada seluruh akal budi manusia. Salah satu bentuk pengetahuan semacam itu
7
Pengetahuan a priori maksudnya pemahaman yang didapat sebelum ada pengalaman, maksudnya manusia diandaikan
telah mengetahui terlebih dahulu. Artinya, pengetahuan a priori itu diandaikan terberi given pada kapasitas
rasional manusia.
Gamba12: Karikatur Kant
Sumber:Donald Palmer, Looking at
Philosophy, 2006
adalah prinsip Golden Rule, yaitu “perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan
olehnya.” Contoh
dari Deontologi Kantian dapat dilihat dari narasi Kadiroen dalam “Hikayat Kadiroen”
karya Semaun. Dalam cerita itu, Kadiroen merupakan seorang pegawai admininstratif pemerintah
Kolonial Belanda. Suatu hari, ia mendapati seorang ibu yang mencuri makanan di pasar.
Saat hendak membawanya ke petugas kepolisian, Kadiroen bertanya, “mengapa Ibu harus
mencuri?” Ibu itu menjawab dengan jujur bahwa dirinya sangat miskin, kedua anaknya membutuhkan
makanan. Jika tidak makan, dirinya dan kedua anaknya akan mati kelaparan. Kadiroen
tentu miris mendengar kisah pilu ibu itu. Namun, Kadiroen tetap membawa ibu itu ke penjara,
karena mencuri tetap perbuatan buruk. Singkat cerita, Kadiroen merupakan contoh seorang
penganut Deontologi Kantian saat dihadapkan pada dilema moral semacam itu. Mencuri
tidak sesuai dengan kewajiban manusia melakukan tindakan yang baik, sehingga seorang
pencuri harus dihukum apapun kondisinya. Dalam cerita itu memang Kadiroen memenjarakan
ibu itu, tetapi ia pun memberi makan dia dan kedua anaknya. Deontologi
Kantian pun mendapat pertentangan dari Utilitarianisme. Aliran itu juga dianggap
bagian dari Konsekuensionalisme. Alasannya, pemikiran itu meyakini suatu tindakan secara
moral baik atau buruk bergantung pada konsekuensi atas perbuatannya terlepas bagaimanapun
prosesnya. Pandangan itu tentunya berbeda dengan Deontologi Kantian yang abai
terhadap konsekuensi suatu tindakan. Figur sentral dalam Utilitarian Klasik, yaitu Jeremy Bentham
1748‐1832 dan John Stuart Mill 1808‐1873. Pemikiran utilitarian ini nantinya mendapat
pengembangan dari para pemikir kontemporer, salah satunya Peter Singer. Bentham
menegaskan analisis mengenai moral mesti bersandar pada fenomena empiris,
yaitu kondisi bahwa tindakan manusia merupakan kehendak mencapai kesenangan, dan
menghindari rasa sakit Donald, 2006. Bentham melanjutkan pandangan hedonistik, bahwa
kesenangan merupakan nilai yang utama dalam hidup. Ia memiliki rumusan tersendiri mengenai
kesenangan itu, yaitu nilai hedonistik yang sosial. Rumusan itu dapat dilihat dari maksim
atau prinsip terkenalnya, “perbuatan benar atau salah diukur dari kebahagianan terbesar
untuk banyak orang,” the greatest happiness for greatest number. Dalam konteks pikiran
Bentham, kebahagiaan disamakan dengan kesenangan. Prinsip itu yang menjadi
landasan dari Utilitarianisme. Bentham melanjutkan studinya terhadap kesenangan sebagai
ukuran tindakan yang baik. Ia membuat tujuh indikator yang dinamakan “the calculus of
felicity” atau kalkulus kebahagiaan. Indikator itu terdiri atas, intensitas, durasi, kepastian,
perkiraan atas waktu kejadian proximity, pengaruh terhadap kesenangan lain fecundity,
kemurnian, dan dampaknya.
Rumusan Bentham dapat disimak dari contoh saat seseorang bertemu penjahat
bersenjata api. Orang itu ditanya oleh penjahat mengenai keberadaan salah seorang temannya.
Jika ia menjawab tidak tahu, maka orang itu akan ditembak mati. Kondisinya saat itu, orang
tersebut memang tidak mengetahui keberadaan temannya. Jika mengikuti Deontologi Kantian,
tentu dia tidak akan berbohong karena menyalahi kewajiban berkata jujur. Namun, orang itu
mengikuti pandangan Utilitarian, bahwa berbohong diperbolehkan karena sejumlah alasan: 1.
Menyelamatkan diri sendiri; 2. Kesempatan untuk memberi tahu teman orang itu atas bahaya
yang akan menimpanya; 3. Memanggil pihak
polisi atau yang berwajib untuk menangkap
penjahat tersebut. Akhirnya, orang itu pun
memilih berbohong dengan menyebut
sembarang posisi mengenai keberadaan
temannya. Pemikiran
Utilitarian berlanjut ke John Stuart
Mill. Dalam pandangannya mengenai kesenangan,
Mill merevisi pandangan Bentham
bahwa kondisi itu mesti diukur dari kualitasnya.
Dalam pandangan Mill ada
hirearki dalam subjek moral. Strata itu
ditentukan oleh kapasitas rasional dan
pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian, kesenangan seorang manusia dianggap lebih
bernilai dibanding kesenangan seekor kambing dan babi. Bahkan kesenangan seorang pelajar
pun dianggap lebih dikedepankan daripada kebahagiaan seorang pengemis. Artinya, suatu
Gambar13:Ilustrasi Pemikiran Mill
Sumber:Donald Palmer, Looking at Philosophy,
2006
putusan moral hanya dapat ditentukan oleh pihak yang memiliki pengetahuan atas hal
tersebut. Ia menyebut bahwa, beberapa jenis kesenangan lebih dikehendaki dan bernilai
daripada yang lain Donald, 2006. Dengan demikian, Mill membawa penilaian kualitatif
terhadap konsekuensi atas tindakan pada Utilitarianisme.
Utilitarianisme terus berkembang hingga era kontemporer ini. Figur yang cukup
berpengaruh adalah Peter Singer. Ia merupakan filosof yang kini mengajar Bioethics di
Princeton University, dan mengampu mata kuliah Filsafat Terapan dan Etika Publik di University
of Melbourne. Peter Singer merupakan filosof etika yang cukup aktif dan produktif. Ia pun
dapat ditemui di twitter via akunnya PeterSinger. Sejumlah karyanya yang cukup fenomenal,
antara lain Practical Ethics 1980, Animal Liberations 1975, The Expanding Circle: Ethics and
Sociobiology 1981, How Are We To Live? Ethics in An Age of Self Interest 1993, Ethics into
Action 1998, One World: The Ethics of Globalisation 2002, Should the Baby Live? 1985, dan
The Point of View of the Universe: Sidgwick and Contemporary Ethics 2014.
Peter Singer banyak fokus pada ranah etika terapan, yaitu penggunaan perangkat
Utilitarian ke persoalan dilema moral yang kompleks dan ditemui dalam keseharian, misalnya
kasus aborsi dan euthanasia. Singer mengajukan teori yang dinamakan Utilitarian
Preferensional Preference Utilitarianism. Dalam teorinya itu, preferensi tidak hanya diukur
dari kapasitas rasional seorang individu, melainkan tertuju pada seluruh mahluk hidup sebagai
pihak yang berkesadaran sentient being. Misalnya saja, ia mencontohkan, Utilitarian
Preferensional menegaskan segala tindakan yang bertentangan dengan preferensi dari mahluk
hidup tertentu merupakan perbuatan yang buruk. Misalnya saja, membunuh seseorang yang
masih ingin melanjutkan hidupnya dianggap salah atau buruk Singer, 2011. Namun
putusannya menjadi berbeda saat seorang pembunuh menembak mati orang yang meminta
untuk dibunuh.
Dalam pemikirannya, Singer berpendapat membunuh seorang manusia akan berdampak
buruk dari mencabut nyawa mahluk hidup lainnya. Alasannya, manusia bernilai dari
kapasitanya mengarah pada masa depan. Tiap mahluk hidup yang memiliki kemampuan
memproyeksikan dirinya di masa depan, memikirkan apa yang baik bagi dirinya, dan memiliki
harapan juga keinginan, memiliki derajat lebih tinggi dibanding pihak yang tidak. Pemikiran
Singer ini akan tampak lebih jelas saat dihadapkan pada dilema moral lebih riil.
Dalam satu sesi kuliahnya, Peter Singer pernah melempar dilema kolam dangkal
shallow pond. Dilema itu terjadi saat seseorang, sebut saja mahasiswa yang hendak kuliah
melewati kolam dangkal, dan melihat seorang anak kecil tampak akan tenggelam. Jika
mahasiswa itu menolong anak kecil itu, ia harus masuk ke dalam kolam, dan bajunya basah.
Dengan begitu, ia mesti kembali ke rumah dan ketinggalan satu sesi perkuliahan. Namun, anak
kecil itu selamat. Sebagian besar mahasiswanya saat ditanya akan memilih menolong anak kecil
itu. Bahkan banyak mahasiswanya mengakui ada kewajiban menyelamatkan anak tersebut.
Singer menerangkan tiap harinya, seseorang dihadapkan pada kondisi kolam dangkal tersebut.
Namun, banyak orang memilih abai atau tidak merasa memiliki kewajiban membantu
menyelamatkan anak yang akan mati kelaparan, misalnya. Contoh sederhananya, seseorang
banyak lebih memilih membeli baju baru, makan di restauran mahal, atau membeli gadget baru
tiap tiga bulan daripada berdonasi atau membantu langsung anak‐anak yang busung lapar,
sebut saja di Bantar Gebang. Persoalannya sebenarnya tidak begitu berbeda, ada kemampuan
dan kewajiban untuk menolong pihak yang sengsara, tetapi banyak yang justru tidak memilih
berbuat demikian.
IV.4 Dilema Moral