Dalam kebuntuan itu, etika hadir sebagai alat atau perangkat memahami, mengkaji,
atau menganalisa suatu putusan moral. Etika berupaya membantu seseorang memahami
alasan, sumber, justifikasi, akar, dan status dari suatu putusan moral. Dengan demikian, etika
sering disebut sebagai filsafat moral. Dalam konteks ini, sederhananya, filsafat adalah aktivitas
atau perangkat untuk mengkaji secara analitis, radikal, dan komprehensif suatu fenomena.
Etika disebut sebagai filsafat moral karena objek kajiannya adalah moralitas, misalnya saja
mengapa suatu putusan dianggap baik atau buruk? Apa pembenaran atau justifikasinya?
Bagaimana seseorang memahami nilai baik dan buruk tersebut?
Beranjak dari ulasan tersebut, tulisan selanjutnya akan membahas etika lebih
mandalam. Ada tiga bagian utama dalam tulisan ini. Bagian pertama akan mengulas definisi
etika, penempatannya dalam filsafat, dan ruang lingkupnya. Bagian kedua akan memetakan
sejarah pemikiran dari etika. Bagian ketiga memuat dua aliran etika yang cukup dominan, yaitu
Deontologi dan Utilitarian, serta bagaimana keduanya mengatasi dilema moral dalam
menentukan suatu tindakan.
IV.2 Definisi dan Ruang Lingkup Etika
Gambar4: . Dilema Moral
Sumber: www. ausomeawestin.wordpress.com
Etika merupakan bagian dari filsafat.
Sebelumnya, filsafat memiliki tiga sistematika atau
pembagian pemikiran, yaitu ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Sederhananya, ontologi berbicara
mengenai status keberadaan suatu fenomena the
existence of being, sementara epistemologi
mempersoalkan pengetahuan knowledge, ilmu
pengetahuan science, kebenaran truth, dan
pembenarannya justification. Sistematika terakhir
adalah aksiologi, yaitu bagian dari filsafat yang
mempersoalkan nilai. Aksiologi terdiri atas dua kajian,
yaitu estetika dan etika. Kedunya mempersoalkan
nilai, tetapi estetika fokus pada satu nilai tertentu, yaitu keindahan beauty. Dengan begitu,
pembahasan dalam estetika terkait dengan seni, karya seni, dan putusan estetis asthetical
judgment. Estetika tidak membahas mengenai nilai terkait tindakan atau perbuatan seseorang.
Problem nilai dalam tindakan itu yang menjadi ranah etika.
Istilah etika sendiri berakar dari kata bahasa Yunani, ἠθικός ethikos dan hē ēthikē
tekhn ē, berarti ilmu mengenai moralitas science of morality. Sebagai bagian dari filsafat,
etika hadir dengan mengajukan pertanyaan mengenai moralitas. Pertanyaan itu diantaranya,
“bagaimana seharusnya seseorang menjalani kehidupannya?”; “tindakan mana yang baik dan
buruk dalam situasi dan kondisi tertentu?”; “bagaimana seseorang dapat memahami suatu
tindakan itu baik dan buruk?”; “apa yang dimaksud dengan kebaikan?”; “mengapa seseorang
harus berlaku baik?” Pertanyaan semacam itu yang berusaha dijawab sejumlah pemikiran
dalam etika. Singkatnya, etika merupakan bagian dari penyelidikan filsafat philosophical
inquiry, yaitu kapasitas untuk berpikir kritis, radikal atau mendalam, dan analitis mengenai
putusan moral dan nilai dari tindakan individu.
Pembahasan mengenai etika sendiri sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
metaetika, etika normatif, dan etika terapan. Metaetika merupakan bagian yang melacak
asumsi dasar dari suatu pemikiran etika, konsep etika, dan justifikasi dari konsep tersebut.
Gambar5 : Sistematika Filsafat
Sumber: www.educarepk.com
Sederhananya, metaetika mengkaji teori yang ada di dalam etika. Wilayah kedua adalah etika
normatif. Etika normatif adalah bagian berisi teori mengenai justifikasi atau pembenaran dari
suatu putusan moral. Umumnya, teori dalam etika normatif akan menjelaskan suatu putusan
moral itu berlandaskan pada kewajiban yang harus dipatuhi atau konsekuensi dari suatu
tindakan. Terakhir, etika terapan mempersoalkan sejumlah isu kontroversial yang
membutuhkan analisis mendalam menggunakan perangkat teori etika. Isu kontroversial dan
dilematis itu misalnya saja, aborsi, pengayaan nuklir, hukuman mati, atau hak animal dan
lingkungan. Dalam pembahasannya, etika terapan menunjukkan bagaimana penggunaan suatu
teori etis sifatnya kasuistik, atau bergantung pada kasus tertentu yang dihadapi.
Peter Singer 1946‐ dalam bukunya Practical Ethics menjelaskan urgensi etika terletak
pada kompleksitas dalam kehidupan keseharian Singer, 2011. Maksudnya, seseorang terbiasa
dihadapkan pada situasi yang tidak lantas mudah menentukan, bahkan membedakan mana
tindakan yang baik dan buruk. Misalnya saja, “mencuri itu buruk.” Namun, bagaimana dengan
mencuri dari seorang koruptor? atau mencuri dari seorang pencuri? Contoh lain, “membunuh
itu buruk.” Akan tetapi, persoalannya bagaimana saat pembunuhan itu dilakukan untuk
mempertahankan hidup diri sendiri self‐defense? Sama halnya dengan kasus, “berbohong itu
buruk” Namun, bagaimana jika situasinya, seseorang itu berbohong agar tidak dibunuh. Tentu
ragam posisi dilematis itu yang menjadi urgensi atau dorongan etika dibutuhkan untuk
mengkaji suatu putusan moral.
IV.3 Sejarah Pemikiran Etika