BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karsinoma Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung, berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi
anteroposterior 3 cm. Mukosa nasofaring dilapisi oleh pseudostratified columnar respiratory type epithelium dan non keratinizing stratified squamous epithelium.
Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh koana dan ujung posterior septum nasi. Lantai nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap
dan dinding posterior nasofaring dibentuk oleh daerah yang menyatu berupa permukaan melandai yang dibatasi oleh badan sphenoid, dasar oksiput dan
vertebra cervical I dan II sampai ke batas palatum mole. Di dinding lateral nasofaring terdapat muara tuba eustachius Cottrill Nutting, 2003; Wei, 2006.
Gambar 1. Anatomi Nasofaring Forastiere Marur, 2008 Pada daerah barat Amerika dan Eropa kejadian KNF jarang dengan
insiden sekitar 0,5100.000 dengan angka 1-2 dari seluruh kanker kepala dan
Universitas Sumatera Utara
leher. Di Amerika Utara terdapat keratinizing squamous cell carcinoma pada 60 kasus, sementara di timur tengah lebih 95 merupakan WHO tipe 2-3.
Insidensi WHO tipe 3 juga tinggi di Eskimo, Alaska dan juga meningkat di Malaysia, Afrika Utara dan Eropa Selatan Cotrill Nutting, 2003. Karsinoma
nasofaring jarang ditemukan pada orang kulit putih, India dan Jepang tapi banyak ditemukan di Asia pada ras Mongoloid Punagi, 2007.
Karsinoma nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas di seluruh tubuh, sedangkan di bagian penyakit telinga, hidung dan
tenggorok, kanker nasofaring menempati urutan pertama. Hampir 60 tumor ganas kepala dan leher merupakan kanker nasofaring Punagi, 2007. Data
kanker pada Depkes 2007, KNF termasuk 10 jenis kanker terbanyak di Indonesia pada tahun 2004-2006 dan terus mengalami peningkatan jumlah
penderita selama periode tersebut, dimana pada tahun 2004 dijumpai 1.039 penderita dari 25.055 seluruh penderita keganasan proporsi 4,15 dan pada
tahun 2006 meningkat menjadi 1.633 penderita dari 31.155 seluruh penderita proporsi 5,24. Dari sejumlah 2.007 kasus keganasan di bidang Telinga
Hidung Tenggorok-Kepala Leher THT-KL yang dikumpulkan antara tahun 1990-2001 di bagian THT-KL FK UI RSCM Jakarta, tercatat karsinoma
nasofaring sebanyak 1.247 62,13 penderita Munir, 2007. Tan 2010 melaporkan bahwa insidensi KNF di Indonesia mengalami peningkatan menjadi
6 per 100.000 penduduk setiap tahunnya dengan rata-rata 12.000 kasus baru per tahun. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan
mencapai puncak pada dekade empat dan lima. Pada daerah resiko rendah usia
Universitas Sumatera Utara
terbanyak pada dekade lima dan enam tapi masih terdapat insidensi yang signifikan pada usia dibawah 30 tahun sehingga didapati distribusi usia bimodal
dengan puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. Karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria, dengan perbandingan pria dan wanita 3:1 Cottrill
Nutting, 2003. Umur penderita bervariasi mulai kurang dari 10 tahun hingga lebih 80 tahun, dengan puncak insiden pada usia 40-50 tahun Lee, 2003
ataupun 40-60 tahun Thompson, 2005. Ditemukan kecendrungan penderita KNF laki-laki lebih banyak dari wanita. Insiden KNF di Malaysia Juli 2007
sampai Februari 2008 antara laki-laki dengan wanita berbanding 3:1 Pua et al, 2008. Penelitian case series, di RSUP dr. M. Djamil Padang dan RSUD dr.
Achmad Muchtar Bukittinggi selama tahun 2006-2008 ditemukan 45 kasus KNF dengan 32 kasus laki-laki dan 13 kasus wanita dengan kelompok umur tersering
pada umur 51-60 tahun Yenita, 2009. Penyebab pasti dan spesifik KNF sampai saat ini masih belum diketahui,
namun faktor genetik dan lingkungan, seperti infeksi Epstein Barr virus dan konsumsi ikan asin diyakini sebagai penyebab Zou, 2007.
Tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa
saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya. Nasofaring banyak memiliki suplai limfatik, sehingga metastasis servikal sering dijumpai
pada tampilan awal Plant, 2009. Gejala yang sering timbul pada penderita KNF dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan
saraf kranial dan pembesaran kelenjar limfe leher Wei, WI Kwong DL,
Universitas Sumatera Utara
2010. Gejala hidung berupa epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan yang terjadi berjumlah sedikit dan bercampur ingus serta timbul berulang-ulang
Ahmad, 2002; Cottrill Nutting, 2003; Aziza et al, 2005. Gangguan pada telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul karena asal karsinoma
nasofaring dekat dengan mura tuba Eustachius Roezin, 1995. Lokasi khas penyebaran karsinoma nasofaring ke kelenjar getah bening leher adalah daerah
yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot sternokleidomastoideus. Keluhan saraf yang paling sering ditemukan adalah keluhan diplopia, keluhan
baal di pipi dan wajah yang biasanya unilateral dan sakit kepala hebat. Organ yang sering terkena akibat metastase jauh adalah tulang, paru dan hati Aziza et
al, 2005.
Gambar 2: Penyebaran karsinoma nasofaring dan gejala yang ditimbulkan Dhingra, 2011
Universitas Sumatera Utara
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan pada pasien dengan keluhan pada telinga, hidung dan tenggorok, khususnya pasien dari
populasi dengan peningkatan insiden KNF Her, 2001; Jeyakumar, 2006. Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang diambil
dari tumor di nasofaring Chew, 1997; Wei, 2006. Klasifikasi histopatologi KNF yang diajukan oleh World Health
Organization WHO pada tahun 1978 mengklasifikasikan KNF menjadi 3 kelompok, yaitu:
Tipe 1: keratinizing squamous cell carcinoma, dengan jembatan interseluler, mirip dengan yang ditemukan pada saluran pernapasan atas.
Tipe 2 : non keratinizing squamous cell carcinoma, sel tumor menunjukkan maturasi, dimana diferensiasi skuamosa tidak terlihat jelas.
Tipe 3 : undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki batas sel tidak jelas dengan inti sel yang hiperkromatik.
WHO tipe 2 dan 3 paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF, seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Sementara WHO tipe 1
lebih sering dijumpai di Eropa dengan prognosis yang lebih buruk Licitra et al, 2003; Guigay et al, 2006. KNF tipe 2 dan tipe 3 memiliki hubungan dengan
Virus Epstein-Barr Wei, 2006; Lutzky et al, 2008 . Penelitian tentang karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu Harahap 2009
menemukan tipe 2 adalah tipe tersering 50, begitu juga dengan Hidayat 2009 menemukan tipe 2 adalah tipe tersering 63,6. Hasil yang berbeda di
dapatkan oleh Zahara 2007 yaitu jenis histopatologi terbanyak WHO tipe 3
Universitas Sumatera Utara
58,3, diikuti WHO tipe 2 37,5 dan WHO tipe 1 4,2, diikuti Delfitri M 2007 mendapatkan WHO tipe 3 sebesar 54,6, diikuti WHO tipe 1 29,1
dan WHO tipe 2 16,4. Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan
dengan kontras dan MRI dengan enhancement Jayekumar et al, 2006 . Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama
bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan struktur penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer
sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya
Guigay et al, 2006; Wei, 2006. Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90 kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-
75 kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90 pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70 pada kasus N2 dan N3
Wei, 2006. Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitisizer dan membantu dalam mengurangi metastase jauh Mould Tai, 2002; Wei, 2006.
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Pembedahan penyelamatan salvage treatment dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring
atau kelenjar leher tanpa metastase jauh Chew, 1997; Wei, 2003; Wei, 2006; Lutzky et al, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Mitogen Activated Protein Kinase