Transportasi udara Transportasi darat Pengelolaan

Tabel 2 Jumlah penduduk dan tingkat pendidikan masyarakat tiap kampung di dalam kawasan Taman Nasional Wasur Tingkat Pendidikan SD SLTP SLTA PT No Nama Kampung Jmlh KK Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Jml Jiwa 1 Poo 84 80 20.6 5 1.29 0 0 388 2 Kuler 70 160 47.1 24 7.06 8 2.4 0 340 3 Onggaya 64 115 45.6 16 6.35 12 4.8 0 252 4 Tomer 95 70 20.5 20 5.87 4 1.2 1 0.3 341 5 Tomerau 45 40 21.5 5 2.69 0 0 186 6 Kondo 52 28 13.3 2 0.95 0 0 210 7 Wasur 93 62 13.5 18 3.92 1 0.2 0 459 8 Rawa Biru 45 20 10.2 3 1.53 0 0 196 9 Yanggandur 73 45 13.2 4 1.18 2 0.6 0 0 340 10 Sota 396 342 40.1 42 4.92 10 1.2 2 0.2 854 Jumlah 1017 962 - 139 - 37 - 3 - 3566 Sebaran kesepuluh kampung atau desa tersebut dapat dilihat pada lampiran 2 Peta Pemukiman Masyarakat.

4.4 Aksesibilitas

Kawasan TNW relatif mudah dijangkau dengan jarak lokasi 2 km dari batas kota sebelah timur, dan berjarak 13 km dari bandar udara Mopah Merauke. Aksesibilitas dari Jayapura ibukota Propinsi Irian Jaya hanya dapat ditempuh melalui transportasi laut dan udara, sedangkan dari kota Merauke untuk mencapai kawasan ini dapat menggunakan transportasi darat dan laut.

a. Transportasi laut

Tansportasi laut dapat ditempuh menggunakan kapal penumpang komersial KM Tatamailau dari Banyuwangi – Merauke pp melalui Ujung Pandang, tual, Fak-fak, Kaimana, dan Timika. Selanjutnya dari Merauke – kawasan TNW dapat ditempuh menggunakan speed boatlong boat.

b. Transportasi udara

Transportasi udara dapat ditempuh melalui penerbangan reguler, yaitu Merauke – JayapuraJakarta pp. Seminggu 4 empat kali pada hari Minggu, Selasa, Rabu, dan Jumat dengan menggunakan pesawat Merpati Nusantara Airlines MNA Boeing 737Foker 100.

c. Transportasi darat

Dari kota merauke menuju Kawasan dapat dicapai melalui 2 jalur utama, yaitu : 1. Jalan Trans-Irian 110 km. Jalan ini menghubungkan kota Merauke dengan desa-desa TNW desa Wasur, Sota, dan desa-desa dibagian utara kawasan. Merupakan jalur utama yang melintasi kawasan dari pintu masuk dekat desa Wasur menuju batas kawasan sebelah utara di sungai Wanggo. 2. Dari kota Merauke – kampung Ndalir 10 km. Jalan di sektor pantai yang menghubungkan kampung Ndalir – desa Kondo 24 km dengan kondisi hanya dapat dilalui kendaraan roda 4 pada musim kering Dirjen PHKA 1999. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan dan Sebaran Spasial 5.1.1 Penutupan Lahan Taman Nasional Wasur merupakan satu dari 22 taman nasional model yang ada di Indonesia. Sekitar 70 persen dari luas kawasannya adalah savana Dirjen PHKA 2006. Vegetasi lainnya yang terdapat di Taman Nasional Wasur yaitu padang rumput rawa, padang rumput, hutan bakau, hutan riparian, hutan musim, hutan pantai, hutan jarang, hutan co-dominan melaleuca–eucalypthus dan hutan dominan Melaleuca sp BTNW 2005. Berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat 5 TM pathrow 100066 tanggal 2 Desember 2006 musim kemarau dengan bantuan titik koordinat hasil ground check yang mewakili tipe penutupan lahan yang ada dengan menggunakan alat Global Positioning System GPS pada lampiran 3 Tabel koordinat ground check penutupan lahan di TN Wasur dan tingkat akurasi 86,67, maka kawasan Taman Nasional Wasur dikelompokkan menjadi sepuluh tipe penutupan lahan, yaitu savana, lahan terbuka, badan air potensial, badan air aktual, hutan mangrove, hutan riparian, hutan monsoon, hutan dominan melaleuca, padang rumput rawa dan awan. Data luas tiap tipe penutupan lahan di Taman Nasional Wasur dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Jenis dan luas penutupan lahan di kawasan Taman Nasional Wasur No. Jenis penutupan Lahan Luas ha 1 Savana 149.069,88 2 Padang rumput rawa 23.584,77 3 Hutan dominan Melaleuca sp 44.458,17 4 Hutan monsoon 62.633,19 5 Hutan riparian 9.957,79 6 Hutan mangrove 23.230,30 7 Badan air aktual 756,09 8 Badan air potensial 46.768,06 9 Awan 13.074,94 10 Lahan terbuka 40.276,81 Total 413.810,00 Kawasan Taman Nasional Wasur memiliki luas 413.810 ha Dirjen PHKA 1999. Dari luas kawasan hutan tersebut masih dapat dilihat bahwa savana tetap merupakan vegetasi yang dominan di Taman Nasional Wasur, tetapi telah mengalami pengurangan luas. Apabila Dirjen PHKA 2006 menyatakan bahwa luas savana adalah 70 persen dari luas seluruh kawasan TN Wasur, maka berdasarkan data hasil interpretasi citra di atas luas savana telah mengalami penyempitan menjadi 149.069,88 ha atau jika dipersentasikan sebesar 36 persen. Penyempitan savana terjadi oleh invasi hutan dominan Melaleuca sp yang memiliki pertumbuhan yang sangat cepat. Berdasarkan data sebelumnya, hutan dominan Melaleuca sp memiliki luas 33.535 ha Dirjen PHKA 1999, dan pada tahun 2006 telah mengalami pertambahan luas menjadi 44.458,17 ha. Dalam waktu 7 tahun hutan dominan Melaleuca sp telah mengalami pertumbuhan sebesar 10.923,17 ha atau dengan laju pertumbuhan 1.560,45 ha per tahun. Pertumbuhan hutan dominan Melaleuca sp ini perlu dicermati untuk menjaga vegetasi savana yang merupakan habitat satwa endemik yaitu kanguru, sehingga tetap lestari. Vegetasi padang rumput rawa terdapat pada lokasi yang berair atau tergenang air ketika musim hujan tiba, salah satunya yaitu di lokasi penelitian, sekitar Danau Rawa Biru. Hutan mangrove terdapat di sekitar muara dan sungai, yaitu di Seksi Pengelolaan Taman Nasional SPTN Wilayah II Ndalir. Hutan riparian terdapat di sepanjang sungai, yaitu di SPTN Wilayah I Agrindo. Hutan monsoon terdapat pada daerah yang kondisi tanahnya lebih tinggi daripada sekitarnya. Keberadaan monsoon di antara savana disebut dek yang berfungsi sebagai sekat atau pembatas alami pada kebakaran savana yang terjadi ketika musim kemarau. Badan air aktual adalah perairan yang selalu menggenang atau mengalir tetapi bersifat permanen. Sedangkan badan air potensial adalah wilayah yang berpotensi mengalami genangan air pada saat musim hujan. Pada musim hujan badan air potensial ini biasanya menghubungkan antara lokasi-lokasi yang terdapat badan air aktual di dalam kawasan Taman Nasional Wasur. Lahan terbuka di TN Wasur berupa pemukiman penduduk dan lahan yang tidak bervegetasi. Lahan yang tidak bervegetasi diakibatkan oleh adanya kebakaran atau pembakaran rumput, karena biasanya berupa savana yang dibakar pada musim kemarau agar rumput muda yang merupakan makanan satwa herbivora, dapat tumbuh kembali. Kegiatan ini merupakan suatu pembinaan habitat pada musim kemarau. Penutupan lahan berdasarkan citra landsat 5 TM ini tidak dapat dihitung semuanya karena terdapat penutupan awan, sehingga bagian permukaan bumi yang di atasnya tertutup awan tidak dapat diklasifikasikan termasuk savana, hutan dominan Melaleuca sp, atau yang lainnya. Gambar 4 Peta Penutupan Lahan Taman Nasional Wasur.

5.1.2 Sebaran Spasial

Danau Rawa Biru memiliki bentuk fisik yang memanjang dengan luas 85,188 ha dan keliling 16.109,2 meter. Dalam penelitian ini danau tersebut dibagi menjadi 3 zona berdasarkan habitat, jejak dan perjumpaan buaya, intensitas gangguan, serta bentuk danau itu sendiri yang berbentuk memanjang ujung utara- tengah-ujung selatan, untuk memudahkan analisis data. Ketiga zona Danau Rawa Biru adalah zona hulu, yaitu bagian danau sebelah utara atau biasa disebut masyarakat arah kali mati. Kedua adalah zona tengah, dan ketiga adalah zona hilir atau bagian selatan danau yang biasa disebut masyarakat sebagai kepala danau. Ketiga zona Danau Rawa Biru tersebut dapat dilihat pada lampiran 5 peta zonasi lokasi penelitian di Danau Rawa Biru TN Wasur.

A. Zona Hulu Danau Rawa Biru

Pada zona hulu Danau Rawa Biru terdapat sarang dan tempat berjemur yang masih aktif. Tempat berjemur yang berhasil ditemukan memiliki jarak yang tidak jauh dari sarang. Pada zona hulu tersedia makanan bagi buaya berupa ikan sembilang berukuran sebesar pergelangan tangan orang dewasa, udang batu atau udang hitam dan ikan-ikan kecil. Satwa-satwa yang ada tersebut merupakan satwa yang biasa dimangsa buaya air tawar Irian baik yang anakan maupun yang dewasa. Zona hulu danau memiliki jarak yang cukup jauh dari pemukiman masyarakat dibandingkan zona hilir, sehingga wilayah ini jarang dikunjungi oleh masyarakat baik untuk pergi ke kebun atau mencari dan menangkap ikan. Kondisi lingkungan yang jarang dikunjungi manusia, vegetasi didominasi oleh tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp yang sering dijadikan sebagai tempat berlindung dan bersarang buaya serta tersedianya makanan merupakan tempat yang disukai oleh buaya terutama buaya air tawar Irian. Itulah sebabnya pada zona hulu Danau Rawa Biru terdapat sarang, tempat berjemur bahkan berhasil ditemukan secara langsung telur, anakan dan buaya air tawar Irian dewasa. Buaya yang berhasil ditemukan pada zona hulu danau sebanyak 4 ekor, terdiri dari 3 ekor buaya anakan dan 1 ekor buaya dewasa berukuran 2,5 meter. Gambar 5. Peta Zona Hulu Danau Rawa Biru.

B. Zona Tengah Danau Rawa Biru

Tempat berjemur buaya air tawar Irian yang sudah tidak aktif terdapat pada zona tengah Danau Rawa Biru. Selama penelitian, pada lokasi ini ditemukan ikan mujahir rawa Oreochromis mossambicus berukuran 36 x 16 cm dan 3 ekor kura-kura leher panjang Chelodina novaeguineae yang merupakan makanan buaya air tawar Irian dewasa. Dahulunya pada lokasi ini diperkirakan merupakan habitat buaya air tawar Irian untuk bersarang dan berjemur. Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya kebutuhan masyarakat terutama penduduk Kampung Rawa Biru, maka masyarakat sering pergi ke kebun yang berada jauh di seberang danau. Kejadian ini terus berulang sehingga menjadikan zona ini sebagai area lalulintas kole-kole perahu masyarakat yang hendak pergi dan pulang kebun. Bahkan sekarang zona ini sudah mulai digunakan sebagai kebun keladi. Masyarakat menanam keladi di atas umbi Tebu rawa Hanguana malayana. Adanya kebun keladi dan ramainya arus lalulintas masyarakat ke kebun di zona ini menyebabkan buaya air tawar Irian menjadi ketakutan karena merasa terancam sehingga mereka berpindah menuju bagian danau yang jarang dikunjungi manusia dengan tetap memperhitungkan ketersediaan makanan yang ada. Itulah sebabnya di zona tengah Danau Rawa Biru terdapat beberapa tempat berjemur buaya air tawar Irian yang sudah tidak aktif. Gambar 6 Peta Zona Tengah Danau Rawa Biru.

C. Zona Hilir Danau Rawa Biru

Sebaran sarang dan tempat berjemur buaya air tawar Irian pada tiap bagian Danau Rawa Biru dipengaruhi oleh faktor gangguan manusia dan ketersediaan makanan. Pada zona hulu Danau Rawa Biru tidak berhasil menemukan buaya air tawar Irian baik secara langsung maupun melalui jejaknya, walaupun pada malam hari ketika dilakukan pengamatan malam pada lokasi ini banyak dijumpai ikan- ikan kecil yang merupakan makanan bagi anakan buaya air tawar Irian. Tersedianya sumber makanan bagi anakan buaya ini lebih kecil pengaruhnya untuk eksistensi buaya di zona hilir danau dibandingkan dengan tingkat gangguannya. Berdasarkan informasi dari kakek Apolinarius mbanggu penduduk Kampung Rawa Biru diketahui bahwa pada lokasi ini dahulunya sering terjadi perburuan buaya. Selain itu zona hilir Danau Rawa Biru juga sering dijadikan masyarakat Kampung Rawa Biru sebagai tempat untuk menangkap ikan karena jaraknya tidak jauh dari kampung, serta sering digunakan sebagai lalulintas kole- kole perahu masyarakat yang pergi ke kebun atau bivak, sehingga kondisinya sudah ramai dan kurang mendukung bagi eksistensi buaya air tawar Irian di zona hilir danau Danau Rawa Biru bagian selatan. Pada gambar 7 di bawah ini dapat dilihat bahwa pada zona hilir danau tidak terdapat sarang maupun tempat berjemur buaya air tawar Irian. Begitupun selama penelitian, pada zona hilir danau tidak ditemukan buaya air tawar Irian baik secara langsung ataupun jejaknya. Sarang dan tempat berjemur yang masih aktif hanya ditemukan di zona hulu danau, dan tempat berjemur yang sudah tidak aktif di zona tengah Danau Rawa Biru. Gambar 7 Peta Zona Hilir Danau Rawa Biru.

5.1.3 Bentuk Sebaran Spasial

Bentuk pola sebaran spasial buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru ditentukan berdasarkan perjumpaan secara langsung dengan individu buaya. Hasil analisis data dari perjumpaan langsung yang terjadi selama pengamatan pagi, sore dan metode hitung malam night count pada malam hari, tersaji seperti pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Analisis bentuk sebaran buaya di Danau Rawa Biru No. Metode Analisis Data Nilai Bentuk sebaran 1 Rasio ragam dan nilai tengah σ 2 =8, μ=2 Kelompok 2 Indeks Dispersion ID ID=4 Kelompok 3 Indeks of Clumping IC IC=3 Kelompok 4 Indeks Green IG IG=3 Kelompok Buaya memiliki bentuk sebaran spasial yang mengelompok. Kecenderungan hidup mengelompok ini berarti ketika kita menemukan satu individu buaya di suatu bagian Danau Rawa Biru, kemungkinan individu yang lainnya juga terdapat tidak jauh dari tempat individu yang pertama ditemukan. Bentuk sebaran spasial buaya ini dipengaruhi oleh faktor ketersediaan makanan dan tingkat gangguan manusia. Buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru terdapat mengelompok pada zona hulu danau. Hal ini dikarenakan pada zona hulu danau masih jarang dikunjungi manusia, sehingga gangguan dari manusia masih sedikit. Bentuk sebaran spasial buaya yang mengelompok ini disamping memberikan kemudahan untuk dapat diteliti, tetapi memiliki ancaman yang besar pula bagi kelestariannya. Apabila habitat seekor buaya diganggu, maka hal itu berarti telah mengganggu pula habitat buaya yang lainnya. Dengan kata lain, bentuk sebaran spasial yang mengelompok ini memiliki tingkat ancaman yang cukup rawan bagi eksistensi buaya.

5.2 Habitat Buaya Air Tawar Irian Crocodylus novaeguineae

5.2.1 Cover

Buaya merupakan satwa yang tempat hidupnya sebagian besar di air. Jika siang hari buaya berjemur di tepian sungai, di tempat terbuka. Ketika hari mulai gelap sampai sebelum fajar, buaya mulai aktif mencari makan karena buaya merupakan satwa nokturnal yaitu satwa yang aktif di malam hari. Untuk melakukan semua aktivitasnya, buaya memerlukan suatu cover. Cover yang dibutuhkan biasanya disesuaikan dengan perilaku satwa. Menurut Alikodra 2002 cover memiliki fungsi sebagai tempat hidup, berkembang biak dan berlindung dari bahaya, bahkan dapat pula sebagai tempat mencari makan. Jenis vegetasi disekitar lokasi penelitian, yaitu di Danau Rawa Biru Kampung Rawa Biru SPTN Wilayah III Wasur Taman Nasional Wasur Kabupaten Merauke Propinsi Papua didominasi oleh tumbuhan rawa, yaitu tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp dengan ketinggian mencapai 2 meter. Kedua jenis tumbuhan tersebut memiliki umbi dan terapung diatas air membentuk suatu daratan terapung. Selain itu terdapat juga vegetasi anakan bush Melaleuca sp, pulai Alstonia scholaris, sagu Metroxylon sagu dan Paku-pakuan yang hidup dan tumbuh menumpang di atas umbi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp. Vegetasi yang ada disekitar danau ini dimanfaatkan oleh buaya air tawar Irian untuk membuat sarang, mencari makan, dan tempat berlindung dari bahaya perburuan yang dilakukan oleh masyarakat adat sekitar danau. Foto by : Ajid Abdul M Gambar 8 Tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp.

A. Tempat Bersarang

Dalam penelitian ini berhasil ditemukan 2 dua sarang buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru. Sarang pertama masih baru dan aktif, tetapi sudah tidak dipergunakan lagi oleh induk buaya air tawar Irian karena dua minggu sebelumnya induk tersebut telah ditangkap dan dibunuh serta dijual oleh masyarakat dari kampung Rawa Biru. Sehingga sarang yang semestinya tinggal dipakai atau ditempati tersebut ditinggalkan begitu saja tanpa ada yang memanfaatkannya. Sarang ini terletak dibawah naungan pohon pulai Alstonia scholaris dan berjarak 14 meter dari tepi perairan danau. Sedangkan sarang yang kedua sudah tidak aktif lagi tetapi masih tetap ditunggui. Hal ini diperkuat dengan ditemuinya seekor buaya dewasa disekitar lorong jalan yang dibuat oleh induk buaya air tawar Irian pada vegetasi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp yang menuju sarangnya. Selain itu dekat sarang yang kedua ini ditemukan satu ekor anakan buaya air tawar Irian yang diperkirakan baru menetas beberapa minggu. Tepat pada sarangnya, ditemukan 5 lima cangkang telur yang telah menetas. Sarang buaya yang kedua ini terletak dibawah naungan pohon sagu Metroxylon sagu dengan kondisi sarang yang telah menjadi padat tertekan perakaran sagu dan bekas tindihan tubuh induknya pada bagian atas. Sarang ini berjarak 20 meter dari tepi perairan danau. Setelah dilakukan penggalian ternyata didalam sarang tersebut masih terdapat 8 delapan butir telur lagi yang gagal menetas, dan dua diantaranya sudah pecah dan berbau busuk. Lebih singkatnya dapat dilihat lampiran 4 tabel sarang buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru. Bila melihat jarak sarang yang ditemukan dari tepian perairan yaitu 14 dan 20 meter, maka hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Grzimek 1975 dalam Ratnani 2007 bahwa sarang buaya biasanya terletak 5-10 meter atau kadang-kadang mencapai 30 meter dari tepian air. Foto by : Ajid Abdul M a b Gambar 9 a Sarang buaya air tawar Irian yang masih aktif dan b bekas cakaran pada umbi tebu rawa Hanguana malayana di tempat induk menjaga sarang, di Danau Rawa Biru. Secara keseluruhan, sarang yang dijumpai berbentuk mound gundukan. Gundukan sarang buaya biasanya terbuat dari serasah dan tumbuh-tumbuhan, dan telur diletakkan ditengah-tengah gundukan Dirjen PHPA 1996. Kedua sarang yang berhasil ditemukan terbuat dari ranting-ranting pohon, serasah dan daun kering dari tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp ditambah dengan serasah daun pulai Alstonia scholaris pada sarang pertama dan daun sagu Metroxylon sagu pada sarang kedua. Selain itu kedua sarang tersebut berada dibawah naungan suatu tegakan dan didekat sarang sekitar jarak 3 meter dari sarang selalu ada tempat untuk istirahat induk buaya sambil menjaga sarangnya dari gangguan. Satu hal yang dapat memastikan bahwa kedua sarang yang ditemukan tersebut adalah sarang buaya air tawar Irian dan bukan sarang buaya muara yaitu disekitar sarang tersebut terdapat parit atau kubangan air kecil Kurniati H 4 Juni 2008, komunikasi pribadi. Keberadaan parit atau kubangan air yang kecil ini tidak terdapat pada sarang buaya muara yang terdapat juga di Taman Nasional Wasur. Menurut Kurniati 2007, bahan baku dari buaya yang bertipe sarang menggunung mound adalah daun-daun dari tanaman rumput-rumputan atau tanaman mengapung dan ranting-ranting kayu. Pemanfaatan tebu rawa dan rumput pisau sebagai habitat buaya tidak hanya dilakukan oleh jenis buaya air tawar Irian, tetapi juga dilakukan oleh jenis buaya lainnya. Di Danau Semati Kalimantan Barat, Sungai Sebingit, Danau Gatal, Danau Belida, Sungai Berais, Sungai Mapan dan Singai Bila di Kalimantan Tengah, serta Danau Tanah Liat dan Danau Mesangat di Kalimantan Timur, merupakan tempat-tempat yang potensial bagi habitat buaya air tawar. Semua tempat tersebut didominasi oleh tumbuhan tebu rawa dan rumput pisau Kurniati 2007. Sarang yang pertama memiliki panjang 210 cm dan tinggi 75 cm. Sedang sarang yang kedua panjangnya 180 cm dan tinggi 60 cm. Kedua sarang tersebut memiliki ukuran lebar yang sama, yaitu 120 cm. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Tete kakek Apolinarius Mbanggu pawang dan pemburu buaya di Kampung Rawa Biru bahwa sarang buaya air tawar Irian memiliki panjang sekitar 2,5 meter, lebar mencapai 2 meter, dan ketinggian 50 cm sampai 1 meter serta sarangnya biasanya berada dibawah naungan suatu tegakan yang tidak terlalu tinggi. Laju perkembangan embrio sangat bergantung temperatur, gas O 2 CO 2 , dan kelembaban lingkungan sarang. Pada suhu tinggi 34-35 o C, embrio dapat mengalami kematian atau keabnormalan di saat awal. Suhu rendah 26-28 o C, masa inkubasi lambat dan anak-anak buaya yang menetas memiliki daya tahan hidup yang sangat rendah. Masa inkubasi berlangsung selama 65-95 hari pada suhu 30 o C Dirjen PHPA 1996. Dengan demikian, suhu optimum untuk inkubasi berada pada selang antara suhu rendah dan suhu tinggi, yaitu pada suhu 29 o C sampai 33 o C. Hal ini pula yang diperkirakan mengakibatkan kondisi telur pada sarang kedua banyak yang gagal menetas. Karena berdasarkan data hasil penelitian, sarang pertama memiliki temperatur 30 o C dengan kelembaban 64 dan sarang kedua bertemperatur 28 o C dengan kelembaban 60. Pada sarang pertama sebenarnya baik untuk inkubasi telur temperatur diantara 29 o -33 o C, tetapi tidak bisa berfungsi karena induk buayanya telah dibunuh. Sedangkan pada sarang kedua dimungkinkan pada awalnya suhu sarang lebih dari 33 o C karena satu bulan sebelumnya masih merupakan musim panas sehingga sarang yang dibuat terlalu panas dan menyebabkan embrio dalam telur mengalami kematian. Kemudian setelah itu ketika dilakukan penelitian merupakan waktu peralihan ke musim hujan, mengakibatkan sarang yang telah dibuat memiliki suhu yang rendah karena terkena air hujan dan suhu udara disekitar pun berubah kurang lebih 6 o C lebih rendah dari suhu rata-rata sebelumnya 34 o C menjadi 28 o C. Hal inilah yang mungkin mengakibatkan telur di sarang kedua banyak yang gagal menetas. Foto by : Ajid Abdul M Gambar 10 Telur buaya air tawar Irian yang gagal menetas pada sarang kedua.

B. Tempat Berjemur Basking

Buaya memiliki perilaku berjemur basking ketika pagi sampai siang hari sebelum panas matahari sangat terik untuk menaikkan suhu tubuhnya pada suhu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan yang normal. Berjemur basking juga dilakukan untuk mengembalikan kalori yang hilang selama berendam di dalam danau di malam hari. Kegiatan ini dilakukan dengan cara buaya mencari tempat yang lebih terbuka sehingga cahaya matahari dapat langsung mengenai tubuhnya. Setelah itu buaya membuka mulutnya sebagai mekanisme pendinginan, dimana evaporasi dari membran mulutnya membantu menjaga temperatur tubuhnya menjadi konstan pada tingkat yang cocok untuk melakukan kegiatan Harto 2002. Tempat berjemur basking buaya air tawar Irian di danau Rawa Biru terdapat di tepian danau dengan jarak 1 sampai 3 meter. Jarak tersebut bisa mencapai lebih dari sepuluh meter dari tepian danau jika memang terdapat lokasi yang sesuai untuk dijadikan sebagai tempat berjemurnya. Hal ini berdasarkan data tempat berjemur buaya air tawar Irian yang berhasil ditemukan selama penelitian, disajikan pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Tempat berjemur buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru No Panjang cm Lebar cm Jarak dari tepi danau m Vegetasi 1 270 180 11 Sagu, tebu rawa, rumput pisau 2 570 370 2 Tebu rawa, rumput pisau, dan paku-pakuan 3 320 180 3 Kayu susupulai, tebu rawa, dan rumput pisau 4 320 180 3 Tebu rawa dan rumput pisau 5 320 110 2 Tebu rawa dan rumput pisau 6 340 110 1 Tebu rawa dan rumput pisau 7 600 510 1 Tebu rawa dan rumput pisau 8 210 100 3 Tebu rawa Berdasarkan data di atas terlihat bahwa tempat berjemur buaya air tawar Irian memiliki ukuran panjang antara 2,1 meter sampai 6 meter dan lebarnya antara 1 meter sampai 5,1 meter. Perbedaan ukuran tempat berjemur ini disebabkan oleh berbedanya individu, ukuran individu, dan intensitas penggunaan buaya air tawar Irian yang menggunakannya. Dari semua tempat berjemur buaya air tawar Irian yang ada tersebut didominasi oleh vegetasi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp, karena kedua jenis vegetasi ini merupakan tumbuhan yang dominan di sekitar Danau Rawa Biru. Ukuran tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp yang dijadikan sebagai tempat berjemur buaya air tawar Irian bukanlah yang berukuran antara 1-2 meter, tetapi yang masih berukuran mencapai 40 cm. Hal ini dikarenakan ukuran tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp yang berukuran mencapai 40 cm masih dapat diinjak dan ditindih oleh tubuh buaya air tawar Irian sehingga kondisi penutupan daun kedua tumbuhan tersebut menjadi lebih terbuka dan memungkinkan matahari menyinari langsung tubuh buaya air tawar Irian sehingga dapat digunakan sebagai tempat berjemur basking. Tempat berjemur buaya air tawar Irian dari depan atau jika dilihat dari badan danau sambil naik kole-kole perahu tradisional terlihat seperti biasa saja, yaitu tumbuhan tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp yang memiliki ketinggian mencapai 2 meter. Keberadaan lorong atau jalan tikus diantara celah daun tumbuhan tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp merupakan suatu ciri yang memungkinkan adanya tempat berjemur buaya atau bahkan terdapat individu buaya dibelakang tumbuhan tersebut. Apabila kita berdiri di atas kole-kole, maka bentuk tajuk kedua tumbuhan tersebut tidak datar atau terdapat cekungan yang menandakan bahwa lokasi pas cekungan tersebut memiliki vegetasi yang lebih pendek atau terbuka sehingga memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat berjemur buaya air tawar Irian. Apabila kita ikuti lorongjalan tikus atau lokasi yang penutupan tajuk tumbuhan tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp kelihatan cekung tadi, maka kemungkinan akan ditemukan tempat berjemur buaya air tawar Irian atau juga buaya air tawar Irian yang sedang berjemur. a b Foto by : Ajid Abdul M Gambar 11 Tempat berjemur buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru a tampak dari depandi atas kole-kole dan b dari dekat.

C. Tempat Berlindung

Fungsi cover yang lainnya adalah sebagai tempat berlindung dari bahaya. Vegetasi sekitar danau yang didominasi oleh tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp dengan ketinggian mencapai 2 meter, bentuk daun panjang, lebar dan berduri serta rapat, memiliki keuntungan tersendiri bagi buaya air tawar Irian untuk berlindung dari ancaman dan serangan bahaya. Ditambah lagi habitat buaya tersebut terapung di atas air danau dengan kedalaman 2,5 sampai 3 meter dari dasar danau. Walaupun di sekitar Danau Rawa Biru dijumpai burung elang bondol Haliastur indus yang merupakan top predator dan suka memangsa anakan buaya, tetapi kondisi habitat yang rapat dan rindang menyebabkan anakan buaya menjadi lebih aman dari ancaman dan serangan burung tersebut. Selain itu buaya air tawar Irian di tempat ini lebih aman dari gangguan predator lainnya karena merupakan top predator juga. Bahaya yang muncul biasanya berasal dari manusia yang sengaja berburu buaya untuk diambil kulitnya kemudian dijual. Perburuan pun biasanya dilakukan ketika malam hari, yaitu saat buaya berendam dan berada di tepi perairan danau, dan jarang yang berburu sampai masuk mendekati sarangnya. Jika berburu langsung mendekati sarang buaya, maka resiko yang diambil pemburu sangatlah besar. Selain harus berjalan diatas umbi-umbi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp yang licin dan mudah lapuk sehingga memiliki resiko yang besar untuk tenggelam, juga tidak dapat berlari cepat karena harus memilih pijakan yang tepat ketika mengejar atau dikejar buaya air tawar Irian. Walaupun demikian tidak perlu khawatir dikejar induk buaya air tawar Irian, karena betinanya tidak melindungi sarangnya dengan baik dan segera melarikan diri apabila didekati Dirjen PHPA 1996. Selain memanfaatkan vegetasi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp, buaya air tawar Irian juga menggunakan perairan yang dalam sebagai tempat berlindung atau bersembunyi. Foto by : Ajid Abdul M Gambar 12 Anggota PEH Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Wasur sedang memilih pijakan untuk berjalan di umbi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp.

5.2.2 Perairan

Menurut Alikodra 2002, satwaliar mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda-beda terhadap ketersediaan air. Berdasarkan segi ketergantungan terhadap air, buaya termasuk ke dalam golongan binatang air yaitu satwaliar yang hidup di dalam air atau di dekat air. Buaya merupakan satwa reptil yang menggunakan perairan sebagai tempat hidup dan berkembang biak. Buaya menggunakan perairan untuk mencari makan, berlindung dari gangguan, dan untuk menyesuaikan suhu tubuh pada malam hari. Sifat fisik dan kimia perairan sangat berpengaruh terhadap jenis flora dan fauna yang hidup di dalam air. Faktor-faktor perairan yang berpengaruh antara lain adalah tipe sungai, arus, kedalaman, kecerahan, suhu, pH, warna air, kadar gas terlarut dan kadar unsur-unsur terlarut dalam air Sumawidjaja, 1977. Faktor- faktor tersebut bila disederhanakan, maka terdiri dari faktor kualitas air sifat kimia air dan kondisi fisik perairan. Faktor perairan sengaja dibahas tersendiri karena satwaliar memerlukan air untuk berbagai proses, yaitu pencernaan makanan dan metabolisme, mengangkut bahan-bahan sisa, dan untuk pendinginan dalam proses evaporasi. A. Kualitas air sifat kimia air Pada penelitian ini dilakukan analisis air dari Danau Rawa Biru dengan mengukur Dahaya Hantar Listrik DHL, Padatan tersuspensi TDS dan tingkat keasaman pH. Setelah dilkakukan analisis sampel air, maka didapatkan data seperti pada tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Hasil analisis sampel air Danau Rawa Biru, Taman Nasional Wasur Titik Nilai DHL TDS ppm pH Lokasi Keterangan 1 14 16 6-7 Dekat sarang buaya ke-2 Lokasi ditemukannya anakan buaya 2 16 21 6-7 Tempat berjemur terbesar Lokasi ditemukannya buaya berukuran 2,5 meter. 3 8 15 6-7 Dekat sarang buaya ke-1 - 4 10 16 6-7 Tempat berjemur - 5 8 16 6-7 Tempat berjemur lama - 6 10 17 6-7 Kepala danau bagian selatan Lokasi tidak ditemukan buaya maupun jejaknya Dari tabel hasil analisis sampel air di atas diketahui bahwa perairan Danau Rawa Biru memiliki nilai DHL Daya hantar Listrik 8-16 dan nilai padatan terlarutnya 15-21 ppm. Suatu perairan dapat dikatakan bersifat air tawar apabila memiliki nilai DHL minimal 100 dan digolongkan telah mengalami pencemaran apabila nilai padatan terlarutnya ≥ 400 ppm Priyono A 24 Juni 2008, komunikasi pribadi. Nilai DHL air Danau Rawa Biru bernilai kecil dan di bawah nilai 100. Hal ini mengindikasikan bahwa perairan Danau Rawa Biru bersifat air tawar. Begitu pun nilai padatan terlarut hasil pengukuran TDS scan, memiliki nilai kurang dari 400 ppm sehingga dapat dikatakan perairannya belum mengalami pencemaran. Semakin tinggi nilai TDS menunjukkan bahwa kandungan padatan yang terlarut semakin banyak. Semakin banyak padatan terlarut merupakan suatu tanda bahwa pada perairannya telah terjadi pencemaran. Berdasarkan nilai pH, hasil analisis sampel air semua titik sampel memiliki pH=6-7 atau bersifat asam tetapi mendekati normal. pH normal adalah 7. Ketika penelitian ini dilaksanakan, musim saat itu adalah musim basah musim hujan. Perairan Danau Rawa Biru bersifat asam pH=6-7 karena vegetasi sekitar danau adalah berupa rerumputan. Rerumputan ini mati ketika musim kering yang kemudian membusuk dan mengendap ke dasar perairan. Pada musim basah, vegetasi rumput yang ada disekitar lokasi pengambilan sampel mulai tumbuh dan ada yang membusuk sehingga memberikan sifat asam terhadap perairan disekitarnya. Berdasarkan laporan identifikasi dan inventarisasi pencemaran air yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Wasur bekerjasama dengan UGM dan WWF kantor Merauke 2007 diketahui bahwa pada musim kering atau kemarau, pH perairan Danau Rawa Biru mencapai 7,6. Nilai pH tersebut berada pada kisaran pH normal. Nilai pH hasil analisis sampel termasuk asam, tetapi mendekati normal dan berfluktuasi tiap tahunnya diantara pH normal. Fluktuasi pH perairan Danau Rawa Biru berada pada pH perairan produktif dan ideal bagi satwa air yang ada di danau tersebut, yaitu antara 6,5 – 8,5 Ricker 1973. Adapun hasil analisis sampel air yang dilakukan menggunakan pH paper sebenarnya menunjukkan 6+ 6 lebih, tetapi kurang dari 7. Karena kesederhanaan alat yang dipakai, maka pH hasil analisis sampel dituliskan 6-7 yaitu lebih dari 6 tetapi kurang dari 7. Keberadaan sarang dan individu buaya air tawar Irian itu sendiri menunjukkan bahwa perairan tersebut masih cocok untuk tempat hidup mereka. Jenis buaya air tawar Irian Crocodylus novaeguineae tidak dapat hidup pada perairan yang terpengaruh air pasangair laut yang bersifat basa Dirjen PHPA 1996. Hasil analisis sampel air berdasarkan parameter kualitas air atau sifat kimia air menunjukkan bahwa kondisi air di Danau Rawa Biru bersifat air tawar dan memiliki kualitas air yang baik sehingga dianggap tidak berpengaruh nyata terhadap sebaran spasial buaya air tawar Irian pada tiap bagian Danau Rawa Biru.

B. Kondisi fisik perairan

Danau Rawa Biru termasuk ke dalam tipe perairan tergenang atau standing water Lentic. Warna airnya kebiruan karena terdapat ganggang atau lumut di bagian dasar danau, yang dijadikan sebagai tempat bermain dan mencari makan bagi ikan dan satwa air lainnya yang merupakan satwa mangsa buaya air tawar Irian sehingga buaya air tawar Irian bertahan di Danau Rawa Biru. Danau Rawa Biru tersebut memiliki keliling 16.109,2 meter dan luas badan air 85,188 ha. Tabel 7 Hasil pengukuran kedalaman dan kecerahan Danau Rawa Biru, Taman Nasional Wasur Kecerahan No Kedalaman meter meter Lokasi 1 4.5 2.15 47.8 Hilir danau ujung selatan danau 2 5.1 2.40 47.1 Sebelum hilir danau bagian selatan, pengukuran ditengah. 3 3.4 0.70 20.6 Kecerahan rendah karena bagian dasar danau ditumbuhi lumut. 4 2.8 1.80 64.3 Dekat tempat berjemur lama 5 3.4 2.90 85.3 Dekat sarang ke-2 6 3.7 0.90 24.3 Bagian sisi danau, terdapat lumut-lumut. 7 5.1 3.20 62.8 Pengukuran di tengah danau, dekat lokasi ditemukannya buaya Pada tabel hasil penelitian di atas terlihat bahwa Danau Rawa Biru memiliki kedalaman antara 2,8 meter sampai 5,10 meter dan kecerahan 20.6 – 85.3. Kedalaman 2.80 – 3.70 meter terdapat pada bagian tepisisi danau,dekat dengan tempat berjemur dan jalurlorong menuju sarang. Kedalaman yang ≤ 4 meter ini dimanfaatkan buaya untuk mencari makan karena pada bagian atas perairannya terdapat akar tebu rawa dan rumput pisau yang merupakan tempat mijah udang dan ikan mencari makan. Sedangkan kedalaman lebih dari 4 diukur pada bagian tengah danau, biasa dimanfaatkan buaya sebagai tempat berlari atau bersembunyiberlindung dari bahaya dan ancaman. Kecerahan air tertinggi mencapai 85.3. Perairan Danau Rawa Biru memiliki kecerahan yang tinggi karena air di sana berwarna biru jernih, sehingga bisa dilihat sampai permukaan dasar danau. Tetapi hampir di setiap bagian dasar Danau Rawa Biru ditumbuhi oleh lumut. Perbedaannya adalah lumut-lumut yang ada dibagian dasar danau tersebut ada yang berukuran tinggi, ada pula yang pendek. Kecerahan air yang rendah, yaitu 20.6 dan 24.3 terdapat dibagian tepisisi danau dengan lumut berukuran tinggi. © Ajid Abdul M Gambar 13 Profil Kedalaman Danau Rawa Biru.

5.2.3 Ketersediaan Makanan

Buaya merupakan satwa karnivora yang tidak memilih-milih mangsanya. Buaya juga merupakan pemangsa oportunistik, yaitu satwa yang memangsa satwa mangsanya dengan mencari kesempatan disaat satwa mangsanya lengah. Jenis makanannya sangat bervariasi, mulai dari kerang remis air tawar sampai kerbau. Anakan yang baru menetas biasanya memangsa insekta atau serangga, walaupun beberapa spesies dibeberapa habitat memiliki spesialisasi makanan seperti kepiting, udang dan ikan kecil Dirjen PHPA 1996. Dalam hal ketersediaan makanan, buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru memiliki makanan yang bisa dikatakan melimpah. Jenis satwa yang bisa dijadikan makanan mangsa oleh buaya air tawar Irian di lokasi tersebut berupa udang, ikan, kura-kura, burung, rusa dan kanguru. Menurut Neil 1946 dalam Harto 2002, makanan anak buaya terdiri dari serangga dan ikan. Tumbuh semakin besar makanan buaya meningkat ke ikan besar, burung, ular, monyet dan mamalia lain serta bahkan manusia. Buaya air tawar Irian memiliki makanan utama berupa unggas-unggas air. Buaya air tawar Irian memungkinkan untuk menjadikan manusia sebagai mangsanya, tetapi sampai saat ini belum pernah ada ceritanya manusia yang meninggal di Danau Rawa Biru akibat dimakan buaya. Di Danau Rawa Biru terdapat banyak ikan karena memiliki habitat yang cocok untuk berkembangbiak ikan. tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp memiliki perakaran yang lebat pada umbinya dan biasa digunakan sebagai tempat mijah udang batu udang hitam serta ikan-ikan kecil. Dengan intensitas cahaya matahari yang melimpah, di Danau Rawa Biru juga terdapat beberapa jenis lumut yang indah dan biasa digunakan ikan sebagai tempat bermain dan mencari makan. Sehingga ketersediaan makanan bagi buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru bisa dikatakan masih melimpah. Foto by : Ajid Abdul M a b Gambar 14 a Perakaran rumput pisau Pandanus sp yang digunakan sebagai tempat mijah udang batu udang hitam dan ikan kecil, dan b lumut di Danau Rawa Biru yang digunakan ikan sebagai tempat bermain dan mencari makan. Jenis satwa mangsa buaya air tawar Irian di danau rrawa biru yang berhasil diidentifikasi baik dari pertemuan langsung maupun jejaknya serta berdasarkan informasi dari masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Udang Penaeus sp, 2. Ikan kakap rawa Lates calcarifer bloch, 3. Ikan mujahir rawa Oreochromis mossambicus, 4. Ikan sembilang Bagrus nemurus, 5. Ikan betik Anabas testudineus, 6. Kura-kura leher panjang Chelodina novaeguineae, 7. Burung raja udang biru langit Alcedo azurea, 8. Burung belibis kembang Dendrocygna arcuata, 9. Burung tekukur Streptopella chinensis, 10. Burung kipasan hitam Rhipidura atra, 11. Burung nuri aru Chalcopsitta scintillata, 12. Burung elang bondol Haliastur indus, 13. Rusa Cervus timorensis, dan 14. Kanguru Macropus sp. Selama penelitian, ikan sembilang, ikan mujahir rawa dan burung ekor kipasan hitam merupakan jenis satwa mangsa buaya air tawar Irian yang sering di jumpai. Ikan sembilang adalah jenis mangsa yang paling banyak dijumpai terutama pada bagian danau dekat ditemukannya sarang buaya air tawar Irian. Tidak jauh dari tempat sering dijumpainya ikan sembilang tersebut adalah lokasi berhasil dijumpainya seekor buaya dewasa yang sedang berendam berukuran kurang lebih 2,5 meter. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan makanan atau satwa mangsa memiliki korelasi dengan keberadaan dan persebaran buaya air tawar Irian pada tiap bagian danau di Danau Rawa Biru. Buaya air tawar Irian membuat sarang dekat dengan sumber makanan agar ketika bertelur tidak terlalu jauh dari sarang sehingga dapat terus menjaga sarangnya. Buaya air tawar Irian cenderung untuk membuat sarang dekat dengan sumber makanannya. Hal ini terlihat dari dua sarang yang ditemukan berada pada lokasi yang berdekatan, hanya berseberangan danau. Kedua sarang tersebut berdekatan dengan lokasi sering dijumpainya ikan sembilang yang berukuran kurang lebih sebesar pergelangan tangan orang dewasa. a b Gambar 15 a Tulang ikan Kakap Rawa jejak makanan dan b Kura-kura leher panjang yang merupakan mangsa buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru. 5.3 Interaksi Penduduk dengan Buaya 5.3.1 Kearifan Tradisional Masyarakat Taman Nasional Wasur merupakan satu dari 22 taman nasional model yang ada di Indonesia. Taman nasional ini disebut sebagai taman nasional model karena di dalam kawasannya terdapat masyarakat adat yang memiliki kearifan tradisional dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam, yang telah lama tinggal jauh sebelum kawasan tersebut ditunjuk sebagai taman nasional. Masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan Taman Nasional Wasur TNW merupakan masyarakat empat sub suku dari suku Malind Anim. Empat sub suku tersebut yaitu sub suku Malind ImbutiNggawil Anim, sub suku Marori Men-Gey, sub suku Yeinan, dan sub suku Kanume. Masyarakat keempat sub suku tersebut terbagi lagi menjadi beberapa marga yang masing-masing marga memiliki totem lambang marga tersendiri berupa tumbuhan dan satwa dilengkapi dengan aturan dan cara pemanfaatannya, tempat sakral dan unsur alam, serta sanksi jika ada yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah dibuat sejak nenek moyang mereka. Apabila suatu sumberdaya alam di suatu wilayah dianggap telah berkurang atau menurun potensi dan pemanfaatannya, maka daerah tersebut akan ditutup dalam jangka waktu 1-2 tahun atau sampai dirasa telah mencukupi kembali untuk dilakukan pemanfaatan. Proses penutupan wilayah dan larangan pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalamnya dinamakan Sasi. Selama suatu wilayah atau daerah di sasi, maka masyarakat tidak boleh melakukan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Jika ada yang melanggar, mereka percaya bahwa akan terkena kuwalat atau celaka. Kampung Rawa Biru dihuni oleh masyarakat suku Malind dari sub suku Kanume. Sub suku ini terdiri dari 3 marga, yaitu marga Mbanggu yang terdiri dari sub marga Kairer, Barkali, Nkutar dan Almaki; marga Ndimar yang terdiri dari sub marga Meningge, Semerki, Ndermbe, Nggitua, Kidup, dan Koe; dan marga Ndipkuan dengan sub marga Ndipkuan Manggo, Mayua Nggerbu, Ngguntar Nggerbu, dan Bedi Nggerbu. Dari ketiga marga tersebut, marga Mbanggu merupakan pemilik totem lambang marga dari buaya atau yang dalam bahasa mereka disebut Kerri WWF Indonesia Kantor Merauke 2008. Di Taman Nasional Wasur sendiri terdapat dua jenis buaya, yaitu buaya muara Crocodylus porosus dan buaya air tawar Irian Crocodylus novaeguineae. Marga Mbanggu memiliki peraturan dan kebijakan dalam hal perburuan atau pemanfaatan Kerri atau buaya. Peraturan tersebut diantaranya adalah Kerri buaya hanya boleh diburu secara tradisional menggunakan panah atau tumbak dan atau anjing, tidak boleh menggunakan bacok dan atau senapan. Buaya tidak boleh diburu secara umum. Berburu buaya hanya boleh dilakukan di dusun sendiri atau hak ulayat sendiri dengan jumlah buaya yang diburu paling banyak 2 ekor setiap kali berburu. Cara memotong buaya hasil buruan adalah mulai dari atas perut sampai anus bagian pangkal ekor, kemudian dipotong kaki dan ekornya. Masyarakat mengetahui bahwa buaya yang kecil umur 1 minggu sampai 3 bulan tidak boleh ditangkap dari alam karena angka kematian lebih tinggi. Buaya yang boleh diburu adalah buaya yang berukuran sedang, yaitu buaya yang memiliki ukuran lingkar perut 15 – 23 atau 25 inchi. Berburu biasanya dilakukan pada musim panas atau kemarau dan tidak diperbolehkan pada musim hujan karena pada musim hujan buaya biasanya berkembangbiak. Namun pada kenyataannya, masyarakat selalu memburu buaya kapanpun ketika menemukan buaya baik yang berukuran kecil, dewasa atau tua, bahkan telurnya juga di ambil. Peraturan ini kurang begitu mengaplikasi pada masyarakat karena proses pewarisan dan rasionalisasi kearifan tradisional yang ada tidak sepenuhnya disampaikan kepada anak cucu mereka, serta kurang tegasnya pelaksanaan sanksi yang telah disepakati. Disamping itu alasan untuk mendapatkan uang juga menjadi penyebab meningkatnya perburuan yang cenderung kurang mentaati aturan-aturan tradisi yang ada. Setelah masuknya hukum positif atau hukum pemerintah terhadap kehidupan masyarakat adat di TN Wasur, maka sanksi terhadap pelanggaran aturan dan kebijakan adat yang telah ada pun ikut disesuaikan. Sanksi terhadap pelanggaran tersebut oleh marga Mbanggu dibagi menjadi dua, yaitu sanksi untuk masyarakat adat dan sanksi untuk masyarakat lain di luar masyarakat adat. Sanksi untuk pelanggar yang berasal dari masyarakat adat terdiri dari empat tahapan, yaitu : 1. Teguran, dinasehati dan dijelaskan kembali mengenai aturan yang berlaku. 2. Jika dilakukan lagi maka akan ditegur secara kasar dan ancaman atau bisa dipukul, atau dipanah dengan bambu tumpul sehingga badannya bertanda. 3. Didenda suruh bayar kumbili yang diberikan oleh pemilik sumberdaya alam, kemudian harus diganti, kalau tidak bisa dibayar atau diganti maka dia akan malu. 4. Dibunuh. Sedangkan sanksi bagi masyarakat lain di luar masyarakat adat yang melanggar aturan yang telah ditetapkan, yaitu barang yang diambil dari alam akan disita sambil dijelaskan dan dinasehati dengan baik. Jika melakukan lagi maka akan diserahkan kepada pemerintah melalui pihak Balai Taman Nasional Wasur untuk diberlakukan hukum positif atau hukum pemerintah berdasarkan undang- undang.

5.3.2 Gangguan Habitat

Pada tahun 1997, luas badan air aktual Danau Rawa Biru adalah 100,2 ha WWF 1997. Berdasarkan hasil penghitungan menggunakan ArcView 3.2 yang diperoleh dari data hasil pemetaan GPS Global Positioning System dengan mengelilingi tepian Danau Rawa Biru didapatkan data bahwa luasan badan air aktual Danau Rawa Biru saat ini adalah 85,188 ha. Ini berarti selama sebelas tahun badan air Danau Rawa Biru mengalami penyempitan sebesar 15,012 ha, atau dengan laju penyempitan per tahun sebesar 1,365 ha. Jika badan air aktual Danau Rawa Biru mengalami laju penyempitan yang sama setiap tahunnya, maka diperkirakan dalam jangka waktu kurang lebih 63 tahun lagi atau sekitar tahun 2071 Danau Rawa Biru akan berubah menjadi padang rumput rawa yang didominasi oleh tumbuhan tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp. Penyempitan badan Danau Rawa Biru diakibatkan oleh proses eutrofikasi pendangkalan dan penyuburan tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp yang memiliki pertumbuahan relatif cepat dan merupakan vegetasi dominan di sekitar bagian tepi Danau Rawa Biru, diikuti oleh tumbuhan Bush Melaleuca sp. Keberadaan vegetasi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp diperlukan untuk habitat bersarang dan berjemur buaya air tawar Irian, begitupun dengan badan air aktual atau bagian air bersih dari Danau Rawa Biru diperlukan untuk tempat berendam dan mencari makan. Ketika mencari mangsa, buaya air tawar Irian tidak melakukannya di dalam vegetasi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp karena menyulitkan pergerakan tubuhnya akibat rapatnya daun dan perakaran kedua tumbuhan tersebut. Sehingga untuk mencari makan buaya melakukannya di bagian tepi badan air danau aktual karena lebih mudah pergerakannya dan ikan- ikan pun biasanya berkumpul dibagian tepi badan air aktual danau tersebut. Penyempitan badan air aktual Danau Rawa Biru ini merupakan gangguan terhadap habitat buaya air tawar Irian yang bersifat alami. Keberadaan dan proporsi antara vegetasi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp dengan badan air aktual Danau Rawa Biru sangat dibutuhkan untuk eksistensi buaya air tawar Irian di tempat tersebut. Gangguan habitat buaya air tawar Irian yang lainnya adalah ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Adanya perkebunan keladi Thyponium sp. di atas umbi tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp di danau Rawa Biru mengakibatkan terjadinya fragmentasi habitat. Tempat yang seharusnya menjadi habitat buaya air tawar Irian kini telah berubah menjadi kebun keladi milik masyarakat. Jika perkebunan ’terapung’ ini terus berlanjut bahkan menjadi lebih luas, maka keberadaan buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru akan semakin terancam yang mengakibatkan mereka akan berpindah ke wilayah lain atau bertahan dan menunggu jenisnya habis di danau tersebut. Gangguan lainnya yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia adalah perburuan dan arus lalulintas kole-kole perahu tradisional masyarakat yang pulang-pergi ke kebun mereka yang berada di seberang sungai. Untuk perburuan, masyarakat berburu buaya kapan pun ketika mereka melihat atau menemukan buaya. Perburuan ini tidak memandang baik itu buaya yang masih anakan maupun buaya yang sudah dewasa. Perburuan ini dilakukan karena terstimulusnya masyarakat oleh uang dari hasil penjualan kulit buaya yang memiliki harga antara Rp. 30.000,- sampai Rp. 37.000,- perinci pada saat penelitian ini dilakukan. Sebenarnya masyarakat sendiri sudah memiliki suatu kearifan tradisional dalam hal pemanfaatan buaya. Tetapi saat ini kearifan yang telah nenek moyang mereka jadikan suatu peraturan yang tidak tertulis tersebut sangat lemah penerapannya. Hal ini mengakibatkan perburuan terhadap buaya menjadi dapat dilakukan kapanpun saat menemukan buaya. Ini merupakan suatu ancaman bagi populasi buaya air tawar Irian yang ada di Danau Rawa Biru. Gambar 16 Kebun keladi Thyponium sp. di habitat buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru.

5.3.3 Ancaman Populasi

Kelestarian buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru mendapatkan ancaman dari kegiatan manusia berupa perburuan, konversi habitat, dan arus lalulintas masyarakat mencari ikan serta pulang pergi ke kebun. Perburuan merupakan ancaman utama. Kegiatan berburu ini biasanya dilakukan oleh masyarakat adat yang berada di Taman Nasional Wasur untuk upacara adat, dan ada juga atas dorongan sejumlah uang yang dijanjikan oleh masyarakat di luar kawasan Taman Nasional Wasur. Pada tahun 1997, di Danau Rawa Biru diperkirakan terdapat 32 ekor buaya air tawar Irian Antoko 2002. Populasi buaya di danau ini terus mengalami penurunan, terutama oleh perburuan. Meskipun belum ada data mengenai jumlah buaya yang diburu atau diambil dari alam oleh masyarakat karena keterbatasan sumberdaya pengelola, namun selama penelitian ini berlangsung saja di Danau Rawa Biru diketahui telah terjadi perburuan 2 ekor buaya dewasa dan 8 ekor anakan buaya dalam kurun waktu Maret-Mei 2008. Tingginya tingkat kematian anakan buaya, rendahnya survival anakan buaya yang hanya mencapai 5 Dirjen PHPA 1996, sedikit data, seringnya perburuan dan terjadinya konversi habitat merupakan ancaman bagi populasi buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru sehingga memerlukan pengelolaan yang lebih spesifik.

5.4 Pengelolaan

Di Taman Nasional Wasur terdapat 2 jenis buaya dari 4 jenis buaya yang ada di Indonesia. Kedua jenis buaya tersebut yaitu buaya Muara dan buaya air tawar Irian. Buaya Muara tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di daerah-daerah muara sungai Iskandar 2000. Sedangkan buaya air tawar Irian merupakan satwa endemik yang hanya terdapat di kepulauan Irian, yaitu di Propinsi Irian Jaya Barat dan Propinsi Papua. Cara mudah membedakan kedua jenis buaya tersebut adalah melihat dari ada tidaknya tulang dibelakang kepalanya. Pada buaya air tawar Irian terdapat 4-7 buah tulang dibelakang kepalanya dan umumnya berjumlah 4, sedangkan pada buaya muara tidak ada. Selain itu, buaya air tawar Irian memiliki warna hitam atau kehitaman sehingga biasa disebut masyarakat sebagai buaya hitam sedangkan buaya muara memiliki kulit lebih putih, kekuning-kuningan atau keputih-putihan sehingga masyarakat di TN Wasur sering menyebutnya sebagai buaya putih. Dan bila kedua jenis tersebut disandingkan, maka buaya air tawar Irian memiliki ukuran sisik yang lebih besar daripada buaya muara Iskandar 2000. Buaya air tawar Irian memiliki tulang yang lebih tumpul dan moncong lebih pendek daripada buaya muara. Buaya muara dan buaya air tawar Irian bersama buaya Siamensis dan buaya Sinyulong di Indonesia dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar dan pemanfaatannya harus seijin Menteri Kehutanan Indonesia. Berdasarkan CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam, buaya air tawar Irian dimasukkan dalam Apendiks II. Apendiks II yaitu daftar spesies yang tidak segera terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Berdasarkan hasil wawancara dengan dua kios kerajinan kulit buaya yang ada di kota Merauke yang bisa dikatakan tergolong produsen kelas besar karena telah memiliki anak cabang dan produknya di kirim ke Pulau Jawa dan satu koperasi industri kerajinan rakyat yang telah mengekspor produknya ke luar negeri, umumnya mereka menerima penjualan kulit buaya dari masyarakat adat maupun makelar. Hal ini terutama dilakukan oleh kios-kios yang menjual sekaligus juga pengrajin kerajinan kulit buaya tersebut. Pada saat dilakukan penelitian, kulit buaya memiliki harga Rp. 30.000,- sampai Rp. 37.000,- perinci. Bagi pengrajin, mereka tidak memperdulikan apakah buaya itu termasuk satwa yang dilindungi atau tidak sehingga boleh dimanfaatkan secara langsung yang penting memiliki ijin usaha untuk berjualan atau buka kios. Bahkan diantara mereka ada yang terus terang menerima buaya dari kampung Rawa Biru. Mereka tidak mengetahui bahwa buaya terutama jenis buaya air tawar Irian dilindungi undang-undang sehingga berdasarkan PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, yang boleh diperdagangkan adalah keturunan atau generasi kedua dan seterusnya hasil penangkaran terlebih dahulu dan bukan hasil perburuan langsung dari alam. Yang mereka ketahui adalah bahwa jika buaya tersebut berasal dari TN wasur, maka mereka tidak diperbolehkan untuk membelinya. Jadi, persepsi mereka yang dilindungi itu bukanlah buayanya melainkan kawasan tempat buaya itu yang dilindungi. Walaupun demikian, mereka tetap saja menerima buaya yang dijual karena merupakan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Pada dasarnya yang melakukan perburuan terhadap buaya di Kabupaten Merauke adalah masyarakat adat. Tetapi dibalik perburuan yang mereka lakukan terdapat masyarakat luar biasanya berasal dari kota yang memfasilitasi senjata dan mengiming-imingi mereka dengan sejumlah uang yang banyak sehingga mereka mau untuk melakukan perburuan tanpa mempertimbangkan lagi aturan dan kebijakan yang telah ada dalam masyarakat mereka sendiri. Hasilnya, hampir setiap minggu pengrajin menerima penjualan kulit buaya dari makelar ataupun masyarakat adat yang tergiur dengan tingginya harga kulit buaya di mata mereka. Jika dalam satu tahun terdapat 52 minggu, maka satu pengrajin menghabiskan 52 ekor buaya. Dari sebelas pengrajin kulit buaya yang ada di Kota Merauke, maka dalam satu tahun kita akan kehilangan 572 ekor buaya. Tahun 2008 Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menentukan sebanyak 13.500 ekor buaya air tawar Irian dan 7.500 ekor buaya muara dimasukkan dalam quota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar tahun 2008. Yang mencengangkan adalah, selain untuk keperluan budidaya dan penelitian, pemerintah juga memperbolehkan untuk keperluan souvenir dan ekspor arnir 2008. Dari 13.500 ekor buaya air tawar Irian dan 7.500 ekor buaya muara yang telah ditentukan oleh Dirjen PHKA menjadi quota, 200 ekor buaya berasal dari Kabupaten Merauke Kepala BKSDA Merauke 27 Mei 2008, komunikasi pribadi. Apabila melihat jumlah yang diambil dari alam 527 ekor dengan quota buaya yang ditetapkan oleh Kabupaten Merauke 200 ekor, maka telah terjadi kegiatan ilegal. Hal ini dikarenakan jumlah yang telah diambil dan dimanfaatkan oleh pengrajin maupun pemburu buaya tidak dilaporkan kepada BKSDA Merauke sehingga perdagangan buaya di Kota Merauke tidak dapat termonitoring dengan baik. Untuk itu BKSDA Kabupaten Merauke bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Merauke perlu melakukan pendataan ulang mengenai ijin usaha kerajinan kulit buaya, menginformasikan kepada pengrajin dan penjual kerajinan kulit buaya mengenai quota yang diperbolehkan tiap tahunnya, serta mengawasi peredarannya di pasaran. Bagi tiap pengrajin kerajinan kulit buaya juga dihimbau agar selalu melaporkan jumlah produksi dan buaya yang telah dimanfaatkan, minimalnya setahun dua kali. Habitat buaya terdiri dari dua komponen, yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik dapat berupa predasi, pemburuan, makanan dan persaingan makanan. Sedangkan komponen abiotik adalah suhu, pH, salinitas air, curah hujan, kerusakan habitat akibat eksploitasi hutan, ramainya lalu lintas sungai, pencemaran air dan tekanan penduduk Anonim 1976. Kelestarian populasi buaya air tawar Irian ditunjang oleh kelestarian habitatnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan habitat di Danau Rawa Biru agar populasi buaya air tawar Irian yang ada disana terkelola sehingga dapat lestari. Pengelolaan ini dilakukan pada faktor yang dapat dirubah dan diusahakan. Penyempitan badan air Danau Rawa Biru oleh tebu rawa Hanguana malayana dan rumput pisau Pandanus sp merupakan gangguan habitat yang harus dilakukan pengelolaan. Jika tidak dilakukan pengelolaan maka hal ini akan berpengaruh terhadap pertambahan fragmentasi habitat. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengelolaan habitat agar badan air aktual Danau Rawa Biru tidak mengalami penyempitan lagi atau bahkan berubah menjadi padang rumput rawa dan akhirnya menjadi hutan bush Melaleuca sp. Pengendalian habitat ini harus dilakukan bukan hanya oleh pihak pengelola saja atau dalam hal ini adalah Balai Taman Nasional Wasur, karena selain untuk menjaga kelestarian habitat dan populasi buaya air tawar Irian yang ada di Danau Rawa Biru, juga untuk menjaga ketersediaan air bersih bagi kota Merauke yang diambil dari Danau Rawa Biru agar tidak mengalami krisis air bersih di Kota Merauke. Jadi pengelolaan habitat Danau Rawa Biru tersebut harus melibatkan masyarakat sekitar danau masyarakat Kampung Rawa Biru dan bekerjasama dengan pihak instasi pemerintahan terkait maupun lembaga swadaya masyarakat LSM yang ada, terutama kerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke. Pemahaman kembali aturan-aturan adat yang memiliki suatu kearifan tradisional dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam merupakan kunci agar perburuan dan pemanfaatan habitat buaya air tawar Irian tanpa bertanggungjawab tidak semakin berlanjut. Sedikitnya data populasi buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru yang menunjukkan apakah populasinya berkurang, tetap atau bertambah dari tahun ke tahunnya. Satu hal yang pasti, masyarakat merasakan jumlah buaya yang ada di Danau Rawa Biru sangatlah sedikit dibandingkan dengan duapuluh tahun yang lalu. Jika dahulu tiap kali masyarakat menyeberangi danau selalu melihat buaya, maka saat ini hanya ketika beruntung saja kita akan bertemu dengan buaya terutama buaya air tawar Irian. Penghitungan populasi dan pemantauan habitat dan populasi buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru perlu diadakan dan dilakukan secara intensif. Begitupun di bagian wilayah lain di Taman Nasional Wasur, sehingga hasilnya nanti selain dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan populasi buaya air tawar Irian di Taman Nasional Wasur juga memungkinkan untuk menghitung quota buaya terutama buaya air tawar Irian yang dapat diambil atau dipanen dari alam untuk ditangkarkan terlebih dahulu kemudian di manfaatkan atau di ekspor F2 atau keturunan keduanya. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan