Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi. Penelitian Terdahulu

23

2.5. Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi.

Menurut sebagian ekonom antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan memiliki hubungan kausal, dimana ketimpangan mempengaruhi pertumbuhan, dan sebaliknya pertumbuhan juga mempengaruhi ketimpangan. Pandangan dan debat mengenai hubungan antara ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ini sangat dipengaruhi hipotesis Kuznets 1955 – dikenal dengan Kuznets Hypothesis, yang menyatakan bahwa keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan seperti U-shaped terbalik Gambar 2.2. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung buruk dan tidak akan meningkat sampai negara tersebut mencapai status berpendapatan menengah middle-income. Implikasi lebih lanjut hipotesis ini sangat jelas, jika pada tahap awal pertumbuhan akan menciptakan ketimpangan, maka kemiskinan membutuhkan waktu beberapa tahun untuk berkurang di negara-negara berkembang Adams, 2003. Pandangan ini didukung oleh penelitian Dollar dan Kray 2001, dan Adams 2003. Mereka lebih percaya bahwa pertumbuhanlah yang menciptakan ketimpangan dengan argumentasi bahwa pertumbuhan akan menyebabkan setiap kelompok dalam masyarakat memperoleh keuntungan, namun kelompok yang menguasai faktor produksi dan modal biasanya mendapatkan keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan kelompok lainnya para buruh. Perotti 1996 dan Forbes 2000 lebih mendukung pandangan yang mengatakan bahwa ketimpangan yang diproksi oleh distribusi pendapatanlah yang mempengaruhi pertumbuhan. Hal ini didasarkan bahwa distribusi pendapatan yang timpang akan berpengaruh terhadap jumlah investasi, baik fisik maupun manusia, dan selanjutnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan.

2.6. Penelitian Terdahulu

Abel 2006 yang ingin mengetahui Disparitas Pembangunan Antara Kawasan Barat Indonesia KBI dan Kawasan Timur Indonesia KTI dengan sampel lokasi Kabupaten Cianjur dan Provinsi Gorontalo menggunakan analisis disparitas, tipologi wilayah dan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; 1 tingkat kesenjangan antarwilayah di Indonesia masih cukup tinggi 24 sebesar 1,56, KBI sebesar 1,27 sedangkan KTI memiliki tingkat disparitas antarkabupaten kota yang lebih tinggi sebesar 3,20; 2 faktor-faktor penyebab disparitas di KBI adalah PDRB sektor sekunder dan tersier sedangkan di KTI adalah PDRB sektor primer, sekunder, tersier dan kepadatan penduduk; 3 Kabupaten Cianjur memiliki wilayah tertinggal di bagian selatan, wilayah transisi di bagian tengah dan wilayah yang relatif maju dibagian utara karena interaksinya dengan kota-kota besar di sekitarnya; 4 Provinsi Gorontalo memiliki wilayah tertinggal di Kabupaten Boalemo dan agak tertinggal di Kabupaten Gorontalo karena rendahnya ketersediaan sarana dan pra-sarana, sementara Kota Gorontalo relatif lebih maju Karena menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Hasil penelitian Jocom 2009 tentang Dampak Pengembangan Agropolitan Terhadap Perekonomian Wilayah dan Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo menggunakan Analisis Location Quotient, Multiplier Short Run dan Multiplier Long Run , Analisis Shift-Share, Analisis Uji Beda Pendapatan, Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Analisis Rapid Assessment for Local Economic Development RALED menunjukkan bahwa pengembangan agropolitan berbasis jagung mampu meningkatkan perekonomian dan pergeseran struktur perekonomian wilayah. Secara komparatif agropolitan jagung mampu menggerakkan sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih dan memberikan multiplier effect terhadap total perekonomian wilayah. Secara kompetitif sektor-sektor unggulan seperti sub-sektor tanaman pangan, komoditi jagung, bangunan dan pengangkutan masih memiliki daya saing yang rendah sehingga menghambat perekonomian wilayah. Pengembangan agropolitan jagung meningkatkan pendapatan petani melalui penyuluhan, pembangunan infrastruktur jalan usaha tani dan intervensi harga dari pemerintah. Rata-rata pendapatan usaha tani dikawasan agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per hektar per tahun lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pendapatan usaha tani dikawasan non agropolitan sebesar Rp. 5.506.966,- per hektar per tahun. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendapatan usaha tani di kawasan agropolitan dengan kawasan non agropolitan pada taraf nyata 95.

BAB III METODE PENELITIAN