Kondisi Demografi DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN

40 merupakan tanaman yang paling banyak dipilih oleh petani Gorontalo dalam bercocok tanam. Luas panen jagung pada tahun 2007 mencapai 119.027 ha dengan produksi 572.785 ton atau rata-rata produksinya 48,12 kuintal per ha. Sedangkan luas panen padi sawah pada tahun 2007 adalah 43.414 ha dengan produksi mencapai 197.779 ton atau rata-rata produksi 45,56 kuintal per ha. Komoditi pertanian utama di Gorontalo untuk kelompok sayur-sayuran adalah cabe dan tomat, sedangkan untuk tanaman perkebunan yang paling dominan adalah tanaman kelapa dalam, kakao, cengkeh, kemiri, dan aren.

4.2. Kondisi Demografi

Jumlah absolut penduduk di Provinsi Gorontalo senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2001 yang semula hanya 850.798 jiwa, pada tahun 2008 menjadi 972.208 jiwa atau naik 14. Demikian pula dengan jumlah penduduk pada kabupaten dan kotanya. Peningkatan terbesar terjadi di Kabupaten Boalemo, dengan jumlah 94.496 jiwa di tahun 2001 naik menjadi 127.639 jiwa atau naik 35. Kota Gorontalo di tahun 2001 sebesar 136.632 jiwa naik menjadi 165.175 jiwa atau naik 21. Kabupaten Pohuwato naik dari 98.352 jiwa menjadi 114.572 jiwa di tahun 2008 naik 16. Kabupaten Gorontalo, dari 402.488 jiwa di tahun 2001 menjadi 434.797 jiwa atau naik 8. Kabupaten Bone Bolango, dari 118.830 jiwa pada tahun 2001, naik menjadi 130.025 pada tahun 2008 atau meningkat 9. Sumber: BPS Provinsi Gorontalo, 2008 Gambar 4.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Gorontalo 41 Kabupaten Gorontalo memiliki laju pertumbuhan penduduk terendah, tapi dari kontribusi terhadap total jumlah penduduk di Provinsi Gorontalo, daerah ini rata-rata memberikan kontribusi sebesar 46. Kota Gorontalo sebagai ibu kota provinsi hanya memberikan kontribusi sebesar 17. Selebihnya 13 berasal Kabupaten Bone Bolango serta Kabupaten Pohuwato dan Boalemo masing- masing 12. Sumber: BPS Provinsi Gorontalo, 2008 Gambar 4.2 Laju Pertumbuhan Penduduk KabKota di Provinsi Gorontalo Meskipun mengalami peningkatan dalam jumlah absolut, ternyata laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Gorontalo mengalami fluktuasi yang cukup signifikan dan pada akhir tahun 2008 lebih rendah dibanding laju pertumbuhan pada tahun 2001. Dari lima daerah, Kabupaten Boalemo memiliki rata-rata laju pertumbuhan yang tertinggi, sebesar 4,10 per tahun. Selanjutnya Kabupaten Pohuwato 2,97; Kota Gorontalo 2,59; Kabupaten Bone Bolango 2,1 dan Kabupaten Gorontalo 1,3 rata-rata per-tahunnya. Penduduk Gorontalo pada tahun 2008 berjumlah 972.208 jiwa, jika dibandingkan dengan luas wilayah maka dapat diperoleh tingkat kepadatan penduduk sebesar 80 jiwa per km2. Berikut disajikan tabel luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk per km 2 menurut kabupaten kota di Provinsi Gorontalo. 42 Tabel 4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per Km 2 Menurut KabupatenKota di Provinsi Gorontalo Tahun 2008 No. KabupatenKota Luas km2 Jumlah Penduduk jiwa Tingkat Kepadatan jiwakm2 1 Kab. Gorontalo 3.426,98 434.797 127 2 Kota Gorontalo 64,79 165.175 2.549 3 Kab. Boalemo 2.248,24 127.639 57 4 Kab. Pohuwato 4.491,03 114.572 26 5 Kab. Bone Bolango 1.984,40 130.025 66 Provinsi Gorontalo 12,215.44 972.208 80 Sumber BPS Provinsi Gorontalo, 2009 Dengan kepadatan penduduk yang rendah dan ritme aktivitas yang tidak terlalu tinggi maka masyarakat Gorontalo dapat menjalin komunikasi sosial dengan baik. Umumnya penduduk pada suatu desa masih dapat saling mengenal, bahkan memiliki hubungan keluarga satu sama lainnya. Hubungan persaudaraan dan kekerabatan merupakan perekat sosial yang dipelihara sejak zaman dahulu yang diperkuat dengan doktrin nilai-nilai religius yang bersumber dari agama Islam sebagai agama kerajaan pada masa itu. Implementasi nilai-nilai sosial-religius pada masyarakat Gorontalo dilakukan dalam bentuk saling membantu, gotong-royong, saling silaturahmi, membagi masakan kepada tetangga dan sebagainya. Kehidupan yang begitu bersahaja juga ditunjukkan dalam hubungan sosial ekonomi dengan munculnya berbagai sub sistem sosial yang khas. Menurut Niode 2007 dalam kehidupan masyarakat Gorontalo terdapat 13 sub sistem sosial, 9 diantaranya menggambarkan susasana kekeluargaan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi secara bersama-sama dan selebihnya menyangkut etika kekeluargaan dan partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kesembilan sub sistem sosial yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : 1 hulunga, yakni melakukan pekerjaan secara bersama- sama secara sukarela dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan status sosial dan tidak mengharapkan imbalan sama sekali; 2 43 huyula , artinya melakukan pekerjaan secara bersama secara timbal-balik antar-anggota masyarakat, misalnya dalam membangun rumah; 3 himbunga , perhimpunan beberapa orang anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha secara bersama-sama dan membagi hasilnya secara merata, misalnya membuka dan mengelola lahan pertanian; 4 palita, hampir sama dengan himbunga, tetapi setiap orang ditentukan pembagian hak milik sehingga hasil yang dinikmati masing-masing akan berbeda sesuai pembatasan hak milik tersebut, 5 tiayo, permintaan bantuan seorang penduduk kepada tetangga, kenalan, atau kaum kerabat untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan sendiri, warga yang membantu tidak diberikan imbalan terkecuali sajian makan siang oleh pemilik pekerjaan; 6 dembulo, sumbangan berupa barang dalam kegiatan upacara pernikahan dan perkabungan dengan tidak mengharapkan imbalan, 7 depita, saling memberi antar tetangga, kenalan dan kawan kerabat pada saat seseorang baru melakukan panen atau memperoleh hasil pertanian yang berlebih; 8 timoa, sumbang-menyumbang berupa benda di kalangan pemuda yang akan menikah dengan ketentuan harus dibalas kembali ketika penyumbang tersebut akan menikah kelak; dan 9 heiya, sumbang menyumbang berupa uang dalam pelaksanaan hajatan seperti pesta pernikahan dan sebagainya. Nilai-nilai sosial tersebut mengikat masyarakat Gorontalo untuk maju secara bersama-sama, saling peduli dan menekan kesenjangan diantara mereka. Akan tetapi nilai-nilai demikian sudah mengalami proses erosi sosial, tradisi huyula, timoa, tiayo dan sebagainya tinggal menjadi strategi untuk bertahan hidup survival strategic pada masyarakat marginal, tidak lagi menjadi spirit sosial yang membentuk sistem nilai budaya. Masyarakat Gorontalo berada pada sebuah realitas dimana sistem makna sosial budaya sedang mengalami krisis.

4.3. Aspek Pemerintahan dan Penanggulangan Kemiskinan