Konsep Gender dan Relasi Gender

165 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 unik dan berbeda, sehingga menarik untuk dibaca. Dapat dikatakan bahwa karya sastra menampilkan realitas yang terjadi di masyarakat sehingga dapat ditelusuri maknanya. Salah satu karya sastra yang memuat permasalahan perempuan adalah puisi berjudul “Sebungkus Sabu dan Perempuan Lugu” karya A. Slamet Widodo. Dalam puisi tersebut digambarkan nasib seorang perempuan, yang karena kemiskinannya, menjadi korban dari dominasi lawan jenisnya. Widodo berusaha menggambarkan dalam puisinya bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, kaum perempuan menjadi subordinasi kaum laki laki sebagai akibat dari kebodohan, kelemahan, kepasrahan, keterbatasan, dan kemiskinan dari kaum perempuan itu sendiri.

2. Sekilas Mengenai A. Slamet Widodo

Sebelum membahas lebih lanjut puisi “Sebungkus Sabu dan Perempuan Lugu”, berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jati diri pengarang. Aloysius Slamet Widodo lahir di Solo pada 29 Februari 1952. I a adalah arsitek yang saat ini memiliki usaha di bidang konsultan teknik, pengembang dan pertambangan. A. Slamet Widodo memiliki kegemaran menulis puisi meskipun ia tidak pernah belajar sastra. Beberapa puisi yang pernah ditulisnya antara lain “Puisi Seorang Ndoro untuk Babunya”, “Puisi Babu kepada Ndoronya”, “Guantanamo”, “Palu Keadilan”, “Tempe”, dan “Ciliwing Teater Orkestra”. Menurut penyair Sapardi Djoko Damono, Slamet Widodo telah mengambil jalan glenyengan dalam puisinya dengan segala konsekuensi resepsinya. 19 Sebagai bagian dari masyarakat, sastrawan banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Begitupun puisi-puisi karya A. Slamet Widodo banyak mengangkat permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam puisi “Ciliwung Teater Orkestra”, misalnya, ia mengangkat kehidupan masyarakat miskin yang berada di pinggir kali Ciliwung. “Palu Keadilan” berisi kritik mengenai hukum yang dapat dibeli. Sementara itu, “Puisi Seorang Ndoro untuk Babunya” dan “Puisi Babu untuk Ndoronya” berkisah mengenai kehidupan masyarakat perkotaan yang sangat bergantung pada kehadiran pekerja rumah tangga. Jika pada umumnya puisi banyak ditulis menggunakan bahasa-bahasa indah, penuh kiasan, perumpanaan, dan bermakna konotatif, tidak demikian dengan puisi-puisi karya Widodo. Gaya bahasa yang digunakan oleh A. Slamet Widodo sangatlah gamblang dan cenderung bermakna denotatif. Untaian kata demi kata yang terangkai dalam puisi- puisi karya Widodo lebih bersifat sebagai sebuah cerita. Namun bukan berarti tidak ada makna yang dapat digali di balik puisi-puisi tersebut. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis akan menggali permasalahan apa saja yang terungkap di balik puisi “Sebungkus Sabu dan Perempuan Lugu”

3. Konsep Gender dan Relasi Gender

Pemahaman terhadap konsep gender sangatlah diperlukan mengingat analisis puisi yang akan dilakukan dalam makalah ini menggunakan pendekatan gender. Perspektif gender berguna untuk menggali persoalan-persoalan ketidakadilan yang menimpa sosok perempuan dalam puisi ”Sebungkus Sabu dan Perempuan Lugu”. Menurut Handayani dan Sugiarti, terdapat kaitan erat antara perbedaan gender gender 19 “Puisi-Puisi Slamet Widodo” dalam http:nasional.kompas.comread200809302113165puisi- puisi.slamet.widodo diakses 18 Oktober 2012 166 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 differences dan ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. 20 Analisis gender yang dilakukan, pada umumnya berupaya memahami pokok persoalan ketimpangan relasi gender, yakni pada sistem dan struktur sosial yang tidak adil yang merugikan salah satu pihak. Gender adalah pandangan yang hidup dalam kelompok masyarakat yang membedakan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang ada dalam masyarakat tersebut disebabkan adanya konstruksi sosial, yaitu pandangan yang tumbuh dan disepakati dalam masyarakat. Pandangan ini dapat diubah sesuai perkembangan zaman. 21 Konsep gender itu sendiri adalah adalah pembedaan sifat, sikap, dan peran yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Hubungan yang didasarkan atas gender disebut relasi gender. Bhasin mengatakan istilah relasi gender merujuk kepada relasi kekuasaan di antara perempuan dan laki-laki yang diungkapkan dalam serangkaian praktik, ide, representasi, termasuk pembagian kerja, peran, dan sumber penghasilan di antara perempuan dan laki-laki, serta anggapan bahwa mereka memiliki kemampuan, sikap, keinginan, watak kepribadian, pola kepribadian, dan sebagainya yang berbeda. 22 Lebih lanjut Bashin menyatakan relasi gender dibentuk oleh dan membantu membentuk praktik-praktik serta ideologi ini di dalam interaksi dengan struktur hierarki sosial yang lain, seperti kelas, kasta, dan ras. Mereka dapat dilihat sebagian besarnya sebagai konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai waktu dan tempat. Dengan demikian, sama halnya dengan gender, relasi gender tidak sama di setiap masyarakat dan tidak pula statis di dalam sejarah. Relasi gender bersifat dinamis dan berubah sesuai waktu. Meskipun demikian, Bashin menilai seseorang dapat menggeneralisir dan mengatakan bahwa dalam kebanyakan masyarakat relasi gender bersifat timpang. 23 Menurut Bashin, di dalam relasi gender terdapat istilah ”politik” yang merujuk kepada fakta mengenai permainan kekuasaan di dalam hubungan apapun. 24 Karena orang-orang diberikan jumlah kekuasaan, otoritas, dan kontrol yang berbeda, permainan kekuasaan atau politik yang halus atau menyolok terjadi di antara gender di dalam keluarga, di tempat kerja, dan di dalam masyarakat secara umum. Secara teoretis, hierarki gender dapat diartikan sebagai dominasi dari gender manapun, tetapi dalam praktiknya hampir selalu laki-laki merupakan pihak yang mendominasi dan sebaliknya perempuan didominasi. 25 Hal ini terjadi karena kehidupan masyarakat didominasi oleh laki-laki. Peran gender yang berbeda juga menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi perempuan. Beberapa manifestasi ketidakadilan gender adalah marginalisasi, subordinasi, stereotipe, beban ganda, dan tindak kekerasan terhadap perempuan. Manifestasi 20 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender Malang: UMM Press, 2002, 4. 21 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, 8. 22 Kamla Bashin, Memahami Gender Cet I Jakarta:Teplok Press, 2001, 35-36. 23 Ibid., 36. 24 Ibid. 25 Ibid., 37. 167 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 ketidakadilan gender tidak dapat dipisah-pisahkan karena saling berkaitan dan berhubungan, serta saling memengaruhi secara dialektis Parwieningrum, 2005. Marginalisasi menurut Murniati berarti menempatkan atau menggeser perempuan ke pinggiran. 26 Proses marginalisasi mengakibatkan terjadinya kemiskinan pada kaum perempuan. Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi di tempat kerja, tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat, kultur, dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. 27 Sementara itu, subordinasi menurut Murniati adalah memposisikan perempuan dengan segala atributnya lebih rendah daripada laki-laki. 28 Perempuan seringkali dipandang tidak sebanding kemampuannya bila dibandingkan dengan laki-laki. Bila kemampuannya dianggap sama, terdapat faktor lain yang tetap memosisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Ditinjau dari sudut laki-laki, pandangan yang hidup di masyarakat itu menyebabkan mereka dianggap wajar dan sah untuk tidak memberi kesempatan kepada perempuan, baik sebagai anggota kelompok dalam masyarakat maupun sebagai pribadi yang utuh. Salah satu contoh subordinasi dalam rumah tangga adalah anggapan mengenai kedudukan suami yang dipandang lebih tinggi daripada kedudukan istri. Suami bertindak sebagai kepala keluarga, sementara istri bertugas sebagai pendamping suami. Stereotipe, juga disebut sebagai pelabebelan merupakan penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Menurut Murniati, stereotipe adalah pembakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki. Perempuan secara stereotipe dinilai mewarisi sifat-sifat feminin, yaitu emosional, pasif, inferior, bergantung, lembut, dan perannya dibatasi pada bidang keluarga; sedangkan laki-laki dinilai mewarisi sifat-sifat maskulin, yaitu rasional, aktif, superior, berkuasa, keras, dan menguasai peran dalam masyarakat. 29 Kenyataan yang ada di dalam masyarakat, akibat dari adanya pelabelan atau stereotipe, justru kaum perempuanlah yang selalu dirugikan, karena merekalah yang selalu menerima ketidakadilan itu. Bentuk ketidakadilan gender selanjutnya adalah beban ganda terhadap perempuan. Pekerjaan yang diberikan kepada perempuan lebih lama pengerjaannya jika dibandingkan dengan pekerjaan untuk laki-laki. Perempuan yang bekerja di sektor publik masih dibebani untuk mengerjakan tugas rumah tangga, kegiatan di masyarakat, kantor, organisasi, meskipun secara ekonomi sebenarnya mereka mampu menyerahkan tugas- tugas tersebut kepada pembantu rumah tangga.30 Selanjutnya adalah kekerasan violence terhadap perempuan karena adanya perbedaan gender. Berbagai macam bentuk kekerasan menimpa perempuan, mulai dari yang ringan hingga yang berat mengancam jiwa. Banyak sekali kekerasan terjadi pada perempuan yang ditimbulkan oleh adanya stereotipe gender. Perbedaan gender dan sosialisasi gender yang amat lama mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah 26 A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender I: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM Magelang: Indonesiatera, 2004, XX-XXI. 27 Endang Parwieningrum, “Gender dan Permasalahannya,” http:hqweb01.bkkbn. go.id hqweb priaartikel 01-2I.html. 28 Murniati, Getar Gender I, XXIII. 29 Murniati, Getar Gender, XXI-XXIII. 30 Ibid. 168 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 dan kaum lelaki umumnya kuat. Hal itu tidak menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut tidak mendorong dan memperbolehkan lelaki untuk dapat seenaknya memukul dan memperkosa perempuan. Banyak terjadi pemerkosaan justru bukan karena unsur kecantikan, melainkan karena kekuasaan dan stereotipe gender yang dilabelkan pada kaum perempuan. 31

4. Analisis Puisi Sebungkus Sabu dan Perempuan Lugu